Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 171349 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Beauty Rose Mawargany
"Latar belakang: Cedera kepala merupakan kegawatan di bidang Neurologi yang sering menyebabkan kematian dan kecacatan. Prognosis yang dapat dibuat diawal terjadinya cedera kepala akan membantu klinisi dalam memberikan tatalaksana yang tepat. Penelitian faktor prognostik pada cedera kepala dengan luaran skor GOSE yang dilakukan dalam tiga waktu pemantauan yang berbeda belum pernah dilakukan di RSUPN. Cipto Mangunkusumo.
Metode penelitian: Penelitian ini merupakan uji prognostik dengan disain kohort prospektif dan retrospektif untuk mengetahui faktor prognostik luaran GOSE pasien cedera kepala sedang dan berat pada hari 90 sebagai luaran primer, juga luaran pada hari 14 dan 30. Populasi yaitu pasien cedera kepala di RSUPN. Cipto Mangunkusumo selama bulan Oktober 2019- Maret 2021. Analisis data bivariat dengan chi-square dilanjutkan analisis multivariat dengan regresi logistik.
Hasil: Dari 139 sampel cedera kepala sedang dan berat didapatkan data demografik yaitu 81.3% sampel merupakan laki-laki dan usia rerata 40±44. Didapatkan sebaran klinis, SKG 3-8 16 sampel (11.5%), hipotensi 20 sampel (14.4%), Hipoksia sebanyak 11 sampel (7.9%), Anemia sebanyak 13 sampel (9.4%), hiperglikemi sebanyak 30 sampel ( 21.6%), skor ISS > 24 sebanyak 6 sampel (4.3%), skor Rotterdam > 4 sebanyak 56 sampel (45.2%). Pupil tidak reaktif bilateral 3.6%, reaktif unilateral 7.2%, reaktif bilateral 89.2%
Untuk luaran GOSE hari 90 sebagai luaran primer yaitu luaran baik 60.4% dan luaran buruk 39.6%. Luaran hari 30 luaran baik 46.8% dan luaran buruk 53.2%. Luaran fase awal yaitu hari 14 luaran baik 31.7% dan luara buruk 68.3%.
Analisis multivariat didapatkan faktor yang signifikan mempengaruhi luaran pada hari 14 yaitu usia di atas 60 tahun dan skor Rotterdam > 4. Analisis multivariat luaran hari 30 tidak didapatkan faktor yang signifikan mempengaruhi luaran GOSE. Pada hari 90 didapatkan faktor yang signifikan mempengaruhi luaran GOSE yaitu hipotensi < 100 mmHg.
Kesimpulan: Didapatkan faktor prognostik pada hari 14 yaitu usia dan skor Rotterdam dan faktor prognostik pada hari 90 yaitu hipotensi.

Background: Brain injury is an emergency in Neurology that often causes death and disability. Prognosis that can be made early in the occurrence of head injury will assist clinicians in providing appropriate management. The study of prognostic factors in head injury with GOSE score outcome that was conducted in three different monitoring times had never been done in RSUPN. Cipto Mangunkusumo.
Research method: Prognostic test with a prospective and retrospective cohort design to determine the prognostic factors for GOSE outcome in moderate and severe brain injury patients on day 90 as the primary outcome, as well as outcomes on days 14 and 30. The population was brain injury patients at the RSUPN. Cipto Mangunkusumo during October 2019-March 2021. Bivariat analysis with chi-square was followed by multivariate analysis with logistic regression.
Results: 139 samples of moderate and severe brain injury, demographic data were obtained, 81.3% of the sample were male and the mean age was 40±44. Obtained clinical distribution, SKG 3-8 16 samples (11.5%), hypotension 20 samples (14.4%), Hypoxia in 11 samples (7.9%), Anemia in 13 samples (9.4%), hyperglycemia in 30 samples (21.6%), ISS score > 24 for 6 samples (4.3%), Rotterdam score > 4 for 56 samples (45.2%). Bilateral unreactive pupils 3.6%, unilateral reactive 7.2%, bilaterally reactive 89.2%
For the 90 day GOSE outcome as the primary outcome, 60.4% good outcome and 39.6% bad outcome. The 30 day output is 46.8% good and 53.2% bad. The output of the initial phase was on day 14, good outcome was 31.7% and bad outcome was 68.3%.
Multivariate analysis found that the factors that significantly affected the outcome on day 14 were age over 60 years and Rotterdam score > 4. Multivariate analysis on day 30 did not find any significant factor influencing the outcome of GOSE. On day 90, it was found that a significant factor affecting the outcome of GOSE was hypotension < 100 mmHg.
Conclusion: In patients with moderate and severe brain injury, there were different prognostic factors for monitoring GOSE outcomes on days 14, 30 and 90.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dharmawita
"ABSTRAK
Latar Belakang: Pasien cedera kepala sedang (CKS) dan cedera kepala berat (CKB) memerlukan perawatan di rumah sakit sehingga beresiko terkena infeksi nosokomial seperti pneumonia yang dapat memperburuk keluaran. Karena banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi keluaran pasien cedera kepala dengan pneumonia, diperlukan suatu sistem skoring untuk menilai derajat keparahan pneumonia.
Tujuan: Untuk mengetahui apakah sistem skoring CURB-65 dapat dipakai untuk memprediksi keluaran pasien CKS dan CKB yang mengalami pneumonia.
Metode: Penelitian ini merupakan studi prospektif. Subjek penelitian adalah seluruh pasien CKS dan CKB yang dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta selama periode penelitian. Diagnosis pneumonia ditegakkan sesuai kriteria The Center for Disease Control (CDC). Penilaian derajat keparahan pneumonia dilakukan dengan skoring CURB-65. Keluaran yang dinilai adalah hidup atau meninggal.
Hasil: Dari 176 pasien CKS dan CKB, terdapat 26 pasien yang menderita pneumonia. Rentang usia subjek penelitian adalah 15 - 71 tahun. Sebagian besar berjenis kelamin laki-laki dan berusia < 65 tahun. Nilai maksimal dari CURB-65 pada penelitian ini adalah 3. Sedangkan nilai yang terbanyak adalah 2. Nilai CURB-65 ditemukan tidak bermakna sebagai prediktor keluaran pasca cedera kepala. Keluaran pasien cenderung dipengaruhi variabel usia, penurunan kesadaran, peningkatan kadar BUN, dan peningkatan frekuensi napas. Diantara 5 pasien yang meninggal, ada 2 pasien yang memiliki nilai CURB-65 = 3, sehingga tampak adanya kecenderungan peningkatan mortalitas pada pasien-pasien dengan nilai CURB-65 = 3.
Kesimpulan: Walaupun skoring CURB-65 tidak bermakna sebagai prediktor keluaran pada pasien CKS dan CKB dengan pneumonia, penelitian pendahuluan ini menemukan adanya kecenderungan pengaruh masing-masing komponen CURB-65 (penurunan kesadaran, frekuensi napas, kadar BUN, serta usia) terhadap resiko kematian pasien

ABSTRACT
Background: Patients with moderate and severe traumatic brain injury (TBI) require hospitalization, therefore they have higher risk in developing nosocomial infections such as pneumonia which can worsen their outcomes. Since there are many factors that can affect outcome of head-injured patients with pneumonia, a scoring system for evaluating the severity of pneumonia is needed.
Objective: To know whether the CURB-65 scoring system can be used to predict the outcome of moderate and severe TBI patients who developed pneumonia during hospitalization.
Methods: This was a prospective study. The study subjects were all moderate and severe TBI patients who had been hospitalized in Cipto Mangunkusumo Hospital during the research period. Diagnosis of pneumonia was confirmed if the patient fulfiled the criteria from The Center for Disease Control (CDC). The severity of pneumonia was determined by using CURB-65 scoring system. The outcome would either be dead or alive.
Results: Of 176 patients with moderate and severe TBI, there were 26 patients who developed pneumonia. The age of the subjects ranged between 15 to 71 years. Most of them were male and over the age of 65. The maximum score of CURB-65 was 3. The mode of CURB-65 score was 2. CURB-65 was shown to be not useful in predicting outcome of head-injured patients with pneumonia. The outcome was seemingly associated with age, loss of consciousness, BUN, and respiratory rate. Among 5 patients who were dead, there were 2 patients who had a CURB-65 score of 3, thus there was a trend of increasing mortality in patients with a CURB-65 score of 3.
Conclusions: Although the CURB-65 scoring system was not found to be useful in predicting outcome of moderate and severe TBI patients, this preliminary study have found that there were a tendency that each component of CURB-65 (loss of consciousness, respiratory rate, BUN, age) have some effects on mortality. "
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Reza Prabowo
"Latar Belakang: Limfoma Hodgkin merupakan keganasan yang mencakup 1% kasus kanker keseluruhan. Adapun overall survival (OS) pasien limfoma Hodgkin dalam lima tahun mencapai 90%. Namun, progression-free survival (PFS) limfoma Hodgkin hanya mencapai 70-90% dalam kurun waktu 25 bulan. Setelah mengalami progresivitas, pasien mengalami penurunan PFS setelah mendapat terapi lini kedua. Sehingga, perlu diketahui faktor-faktor prediktor yang mempengaruhi PFS pasien limfoma Hodgkin.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor prognostik PFS dua tahun pasien limfoma Hodgkin. Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif yang melibatkan pasien limfoma Hodgkin yang teregistrasi dari tahun 2011-2021 di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dokter Cipto Mangunkusumo. Faktor-faktor prognostik yang diteliti adalah stratifikasi risiko, skor prognosis internasional, kadar trombosit, laktat dehidrogenase, indeks komorbiditas Charlson, dan waktu sejak diagnosis hingga terapi. Analisis multivariat terhadap PFS dua tahun dilakukan menggunakan model regresi Cox.
Hasil: Terdapat 115 subjek yang disertakan dalam penelitian dengan median usia 29 tahun, kadar trombosit 393.000 sel/L, LDH 340 IU/L, dan waktu sejak diagnosis hingga terapi enam minggu. Sebagian besar subjek penelitian adalah kelompok stadium lanjut (53,91%), total skor prognosis internasional 0-3 (69,57%), dan total skor indeks komorbiditas Charlson 0-1 (75,65%). Angka PFS dua tahun pasien limfoma Hodgkin di RSCM sebesar 59,13%. Hasil analisis bivariat menunjukkan waktu sejak diagnosis hingga terapi yang tidak memiliki kemaknaan secara statistik dengan HR 0,83 (IK 95% 0,42-1,59, p=0,57). Analisis multivariat menghasilkan tiga faktor prognostik independen, yakni stadium lanjut (HR 7,85 IK 95% 3,01-20,47, p<0,01), trombosit >450.000 sel/L (HR 2,77 IK 95% 1,49-5,16, p<0,01), dan LDH baik 250-500 IU/L (HR 2,57 IK 95% 1,01-3,63, p=0,04) maupun >500 IU/L (HR 3,06 IK 95% 1,20-7,82, p=0,02). Sistem skor berdasarkan ketiga variabel tersebut memiliki diskriminasi yang baik (AUROC 0,879, IK 95% 0,816-0,942, p <0,01).
Kesimpulan: Stadium lanjut, trombosit >450.000 sel/L, dan LDH 250 IU/L merupakan faktor-faktor prognostik PFS dua tahun pada pasien limfoma Hodgkin.

Background: Hodgkin's lymphoma is a malignancy that accounts for 1% of all cancer cases. The overall survival (OS) of Hodgkin's lymphoma patients in five years reaches 90%. However, progression-free survival (PFS) for Hodgkin's lymphoma only reaches 70-90% within 25 months. After experiencing progression, patients experienced a decrease in PFS after receiving second-line therapy. So, it is necessary to know the predictor factors that influence the PFS of Hodgkin's lymphoma patients.
Aim: To determine prognostic factors for two-year PFS in Hodgkin's lymphoma patients. Methods: This study used a retrospective cohort design involving Hodgkin's lymphoma patients registered from 2011-2021 at Dokter Cipto Mangunkusumo National General Hospital. The prognostic factors studied were risk stratification, international prognosis score, platelet levels, lactate dehydrogenase, Charlson comorbidity index, and time from diagnosis to therapy. Multivariate analysis of two-year PFS was performed using Cox regression models.
Results: There were 115 subjects included in the study with a median age of 29 years, platelet levels of 393,000 cells/L, LDH 340 IU/L, and time from diagnosis to therapy of six weeks. Most of the research subjects were in the advanced stage group (53.91%), the total international prognosis score was 0-3 (69.57%), and the total Charlson comorbidity index score was 0-1 (75.65%). The two-year PFS rate for Hodgkin's lymphoma patients at RSCM was 59.13%. The results of bivariate analysis showed that the time from diagnosis to therapy was not statistically significant with HR 0.83 (95% CI 0.42-1.59, p=0.57). Multivariate analysis yielded three independent prognostic factors, namely advanced stage (HR 7.85, 95% CI 3.01-20.47, p<0.01), platelets >450,000 cells/L (HR 2.77, 95% CI 1.49-5.16, p<0.01), and LDH either 250-500 IU/L (HR 2.57, 95% CI 1.01- 3.63, p=0.04) or >500 IU/L (HR 3.06 95% CI 1.20-7.82, p=0.02). The scoring system based on these three variables had good discrimination (AUROC 0.879, 95% CI 0.816- 0.942, p <0.01).
Conclusion: Advanced stage, platelets >450,000 cells/L, and LDH >250 IU/L are prognostic factors for two-year PFS in Hodgkin's lymphoma patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sianipar, Harry Jonathan
"Pendahuluan: Ekstrofi buli merupakan suatu kelainan kongenital yang ditandai dengan tidak menutupnya dinding anterior dari rongga abdomen disertai kandung kemih yang membuka dengan manifestasi pada sistem traktus urinarius dan muskuloskeletal. Meskipun tatalaksana ekstrofi berkembang pesat, studi mengenai luaran klinis pasien ekstrofi buli masih jarang dilakukan. Di Indonesia, belum ada penelitian yang membahas mengenai luaran anatomis dan fungsional pasien ekstrofi buli pada tahun 2011-2017.
Metode: Studi penelitian ini adalah studi kohor retrospektif melalui penulusuran data rekam medis dari tahun 2011 hingga 2017 dan dilakukan di bulan Januari 2017. Seluruh pasien diperiksa untuk luaran klinis di poliklinik orthopaedi. Luaran anatomis dinilai dengan mengukur presentasi aproksimasi pubis pada foto pelvis. Sementara itu, luaran fungsional dinilai dengan menggunakan kuesioner Pediatric Quality of Life Inventory (PedsQL 4.0).
Hasil: 19 pasien ekstrofi buli dengan rerata usia 4,8±2,4 tahun kontrol rutin ke poli orthopaedi. Data yang dikumpulkan terdiri dari jenis kelamin laki-laki 11 (57,9%); perempuan 8 (42,1%), tipe ekstrofi buli (17 (89,5%); ekstrofi kloaka (2 (10,5%), anomali organ terkait yaitu epispadia 2 (10,5%); hipospadia 1 (5,3%); sisanya tidak kelainan tambahan 16 (84,2%), metode fiksasi gips 10 (52,6%); eksternal fiksasi 9 (47,4%), periode pasca operasi ≤36 bulan 10 (52,6%); >36 bulan 9 (47,4%), median usia operasi 6 bulan dengan kisaran 1-71 bulan, median nilai presentase aproksimasi 78,5% dengan kisaran 65-98,1%, rerata skor PedsQL setelah operasi 97,2±1,6. Terdapat hubungan bermakna antara usia operasi dan diastasis setelah operasi terhadap presentase aproksimasi dan skor PedsQL setelah operasi (p<0,05).
Diskusi: Luaran anatomis dan fungsional pada pasien ekstrofi buli menunjukkan hasil yang baik. Faktor usia operasi dan diastasis setelah operasi mempengaruhi nilai presentase aproksimasi dan kualitas hidup pasien ekstrofi buli.

Introduction: Bladder extrophy is an embryologic malformation that results in complex deficiency of the anterior midline, with urogenital and skeletal manifestations. Despite advances in management of bladder extrophy, the study of the patient outcome is rarely done. In Indonesia, there are no studies concerning about the anatomical and functional outcome of bladder extrophy patients in 2011-2017.
Method: A cohort retrospective study of the hospital medical records from 2011 to 2017 was performed in January 2017. The patients were assesed for the clinical outcome in orthopaedic outpatient clinic. Data of patients with bladder exstrophy managed by anterior and posterior innominate osteotomy were analysed. The anatomical outcome was assessed by calculating the percentage pubic approximation and the functional outcome was assessed by using Pediatric Quality of Life Inventory (PedsQL 4.0) and compared with those of typical peers.
Result: Nineteen children age 4,6±2,3 years presented to outpatient clinic for a routine control. Data was collected for gender man 11 (57,9%); woman 8 (42,1%), bladder extrophy 17 (89,5%); cloacal extrophy 2 (10,5%), epispadia 2 (10,5%); hipospadia 1 (5,3%); not having other congenital organ anomaly 16 (84,2%), fixation method slabs 10 (52,6%); external fixation 9 (47,4%), post operation period ≤36 months 10 (52,6%); >36 months9 (47,4%), the median of age at operation 6 months old with range from 1-71 m, the median of aproximation percentage 78,5% with range 65-98,1%, the mean of PedsQL score post operation 97,2±1,6. There was a significant correlation between age at operation and diastasis post operation to aproximation percentage and PedsQL score (p<0,05).
Discussion: The clinical outcome of the bladder extrophy patients shows good result that's measured by percentage pubic approximation and PedsQL score. Age at operation and diastasis post operation affect aproximation percentage and quality of life of bladder extrophy patient."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alphadenti Harlyjoy
"LATAR BELAKANG: Medulloblastoma memiliki prognosis baik jika pasien menjalani tatalaksana multimodalitas lengkap, terdiri dari operasi, radioterapi, dan kemoterapi. Radioterapi dan kemoterapi memiliki banyak efek samping, namun dosisnya dapat dikurangi pada kelompok pasien dengan faktor prognosis tertentu. Saat ini belum diketahui faktor prognosis medulloblastoma di Indonesia. Penulis bertujuan mengetahui karakteristik medulloblastoma di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan menganalisis hubungannya dengan luaran mortalitas.
METODE: Penelitian retrospektif ini didasarkan pada rekam medis dan register pasien medulloblastoma yang menjalani operasi pengangkatan tumor di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2011 - 2018. Cox regression analysis dipakai untuk mengetahui kemaknaan statistik dari hubungan antara demografi (usia dan jenis kelamin), karakteristik tumor (ukuran tumor praoperasi, lokasi tumor, komponen kistik, keterlibatan batang otak), serta tatalaksana (luas reseksi dan waktu pelaksanaan diversi liquor serebrospinal (LCS)) dengan luaran mortalitas.
HASIL: Dari 44 pasien medulloblastoma yang dioperasi pada tahun 2011 – 2018, mortalitas didapatkan pada 84,1% pasien, dengan median survival time 13 (8,67 – 17,32) bulan. Terdapat hubungan bermakna antara usia, jenis kelamin, dan luas reseksi dengan luaran mortalitas. Didapatkan HR (95% CI) untuk usia sebesar 0,44 (0,22 – 0,88; p = 0,022), untuk jenis kelamin 0,001 (0,000 – 0,27; REF: perempuan; p = 0,015), dan untuk luas reseksi berupa biopsi 31,52 (1,09 – 910,56; REF: Gross Total Resection (GTR); p = 0,044).
SIMPULAN: Terdapat hubungan bermakna secara statistik antara usia, jenis kelamin, dan luas reseksi dengan mortalitas. Tidak terdapat hubungan bermakna antara ukuran tumor praoperasi, lokasi tumor, komponen kistik, keterlibatan batang otak, dan waktu pelaksanaan diversi LCS.

BACKGROUND: The current prognosis of medulloblastoma is better in patients who underwent complete treatment consisting of surgery, radiotherapy, and chemotherapy. Radiotherapy and chemotherapy is widely associated with multiple side effects, but reduction of dosage is advisable in patients with certain prognostic factors. No study of prognostic factors of medulloblastoma had been conducted in Indonesia. The author aimed to study the characteristics of medulloblastoma patients in Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital, and to analyze its association with mortality.
METHOD: This retrospective study was based on medical record and patient registry of medulloblastoma patients who underwent removal tumor in Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital between 2011 – 2018. Cox regression analysis was used to determine statistical significance of patients’ demography (age and gender), tumor characteristics (preoperative size, location, cystic component, brainstem involvement), and treatment (extend of resection and timing of cerebrospinal fluid (CSF) diversion) with mortality as the outcome.
RESULT: 44 medulloblastoma patients were analyzed. The incidence of mortality is 84.1% and median survival time is 13 (8.67 – 17.32) months. Significant statistical association between age, gender, and extend of resection with mortality was identified, with HR (95% CI) for age was 0.44 (0.22 – 0.88; p = 0.022), gender was 0.001 (0.000 – 0.27; REF: female; p = 0.015), and biopsy was 31.52 (1.09 – 910.56; REF: gross total resection (GTR); p = 0.044).
CONCLUSION: There was significant statistical association identified between age, gender, and extend of resection with mortality. No significant statistical association was found between tumor size, location, cystic component, brainstem involvement, and timing of CSF diversion.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ardi Ardian
"Latar Belakang: Mortalitas pasien dengan kandidiasis invasif cukup tinggi berkisar 30 ndash; 70. Perbedaan angka mortalitas pada tiap tiap studi erat kaitannya dengan desain penelitian dan sampel penelitian. Data tentang profil dan faktor faktor yang berhubungan dengan mortalitas pada pasien sakit kritis dengan kandidiasis invasif yang ada di Indonesia belum ada.
Tujuan: Memberikan informasi profil kandidiasis invasif pada pasien sakit kritis beserta faktor faktor yang berpengaruh terhadap mortalitas sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas tata laksana pasien sakit kritis dengan kandidiasis invasif.
Metode: Desain penelitian adalah cross sectional, mengumpulkan data dari rekam medis pada seratus dua pasien sakit kritis dengan diagnosa kandidiasis invasif. Pasien kandidiasis invasif adalah pasien dengan hasil kultur darah dan atau kultur cairan tubuh normal steril positif jamur spesies Candida. Data yang dikumpulkan meliputi data usia, spesies jamur candida penyebab infeksi, faktor risiko kandidiasis invasif, serta faktor faktor yang diduga berpengaruh terhadap mortalitas yaitu ada tidaknya kondisi sepsis, nilai APACHE, ada tidaknya kondisi gagal nafas, ada tidaknya gagal ginjal, waktu pemberian terapi antijamur, Charlson Index, dan tempat perawatan ICU atau Non ICU. Uji analisa bivariat dengan uji chi square dilakukan terhadap masing masing faktor yang diduga dengan mortalitas, yang dilanjutkan dengan uji multivariat regresi logistik untuk menilai faktor yang paling berhubungan terhadap mortalitas 30 hari.
Hasil: Dari 102 sampel penelitian didapatkan laki laki 52,9 dan perempuan 47,1. Median usia 53 th. angka mortalitas 68,6. Spesies candida penyebab terbanyak adalah Candida Tropicalis 34,3 dan Candida Parapsilosis 29,4. Faktor risiko kandidiasis invasif terkait dengan penyakit dasar adalah sepsis 78,9. keganasan 42,15. diabetes melitus 29,4. sedangkan terkait terapi atau tata laksana yang diberikan adalah penggunaan antibiotik spektrum luas 99. kateter vena sentral 77,5. serta pemberian nutrisi parenteral 70,6. Dari uji multivariat regresi logistik diperoleh data faktor yang paling berpengaruh terhadap mortalitas 30 hari adalah sepsis berat. 0,001, OR 7,7, IK95 2,4 ndash; 24,6. Charlson Index ge;. p 0,022, OR 3,5, IK95 1,2 ndash; 10,2. dan gagal nafas. 0,066, OR 2,7, IK95 0,9 ndash; 8,0.
Simpulan: Pada pasien sakit kritis dengan kandidiasis invasif yang dirawat di RSCM laki laki lebih banyak dari perempuan, dengan median usia 53 tahun, dengan angka mortalitas 68,6. Spesies candida terbanyak penyebab infeksi adalah Candida Tropicalis dan Candida Parapsilosis. Faktor risiko kandidiasis invasif terkait penyakit dasar adalah sepsis, sedangkan terkait tata laksana perawatan yang terbanyak adalah penggunaan antibiotik spektrum luas. Sedangkan faktor faktor yang berhubungan dengan mortalitas 30 hari adalah kondisi sepsis berat, dan Charlson index ge;3.

Background: Mortality rate candidiasis invasive is still high, approximately 30 70. Every study has. variety mortality rate depend on study design and sample. There is no data in Indonesia about profile and mortality factors analysis in critically ill patients with candidiasis invasive.
Objectives: To give information about candidiasis invasive profile and to evaluate some factors relate to 30 days mortality in critically ill patients with candidiasis invasive in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta.
Method: The Study design was Cross Sectional. We studied 102 hospitalized critically ill patients with candidiasis invasive. The demographic, clinical and laboratory data, the risk factors for candidiasis invasive and the outcome of each patient in 30 days were recorded. An analysis bivariate with chi square or Fisher's test was carried out to analyse some factors such as age 60 years old, severe sepsis, APACHE score 20, respiratory failure, renal failure, delayed antifungal treatment 72 hours after positive culture, Charlson index score, and ICU or Non ICU patients. The logistic regression of multivariate analysis was carried out to identify the most influence of all mortality factors.
Result; Among 102 identified sample, the majority was male 52.9. the median age was 53 years old and the mortality rate was 68,6. Laboratory candida findings came from blood sample candidemia 98,03. liquor cerebrospinal 1,5 and retina exudat 1,5. The most common candida species was Candida Non Albicans especially Candida Tropicalis 34,3 and Candida Parapsilosis 34,3. The risk factors for Candidiasis invasive from this study, relate to underlying disease were sepsis 78,9. malignancy 42,15. diabetes mellitus 29,4 and relate to therapy or treatment were the usage of broad spectrum antibiotic 99. catheter vena central 77,5. and parenteral nutrition 70,6. The result from multivariate analysis, severe sepsis. 0,001, OR 7,7, IK95 2,4 ndash 24,7. Charlson Index ge. p 0,022, OR 3,5, IK95 1,2 ndash 10,2. and respiratory failure. 0,066, OR 2,7 IK95 0,9 ndash 8,0 were independently asscociated with mortality.
Conclusion: Critically ill patients with candidiasis invasive in Cipto Mangunkusumo hospital, male was predominan than female, median age was 53 years old, and mortality rate was 68,6. The two most species candida caused infection were Candida Tropicalis and Candida Parapsilosis. The most risk factors of candidiasis invasive from underlying disease was sepsis and the one from the treatment was the usage of broad spectrum antibiotic. Severe sepsis, and Charlson index ge. were associated with. 30 day mortality in critically ill patients with candidiasis invasive.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Martin Susanto
"ABSTRAK
Trauma merupakan penyebab kematian tertinggi pada populasi manusia berusia kurang dari 40 tahun. Adapun cedera kepala merupakan penyumbang kematian yang cukup besar, yaitu mencakup 30% di mana apabila disertai dengan kelainan koagulasi/koagulopati maka mortalitas pada cedera kepala dapat lebih tinggi lagi. Koagulopati dapat menyebabkan lesi perdarahan baru atau penambahan lesi perdarahan yang sudah ada (pada kasus hipokoagulopati) ataupun iskemia/thrombosis intravaskular (pada kasus hiperkoagulopati). Studi mengenai koagulopati pada cedera kepala telah banyak dilakukan tapi sampai saat ini belum dapat dengan jelas dipaparkan.
Evaluasi status koagulasi secara konvensional dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan trombosit, PT. dan APTT. Namun saat ini, terdapat pemeriksaan yang menilai koagulasi secara menyeluruh dengan melihat viskoelastisitas bekuan darah, yaitu thromboelastografi (TEG).
Penelitian ini merupakan studi pilot pertama yang bersifat prospektif untuk mengevaluasi adanya gangguan koagulasi pada pasien cedera kepala sedang di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo menggunakan TEG dan pemeriksaan hemostasis konvensional dan hubungannya dengan luaran klinis pasien berupa lama rawat inap dan mortalitas.
Dua puluh pasien dengan cedera kepala sedang yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dilakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan hemostasis konvensional rutin dan dari sampel darah tersebut, diambil sebanyak 0,3 mL untuk pemeriksaan dengan TEG. Dari hasil pemeriksaan, didapatkan bahwa terdapat 60% pasien dengan status koagulasi yang tidak normal dari pemeriksaan TEG, sedangkan dari pemeriksaan hemostasis konvensional hanya didapatkan 5% pasien yang sama dengan status koagulasi yang tidak normal. Selain itu dari hasil TEG, diketahui bahwa mayoritas koagulopati yang terjadi adalah hiperkoagulopati. Lalu dari sisi luaran yang dinilai dari lama rawat inap (LOS) dan mortalitas, didapatkan tidak adanya mortalitas dalam studi ini. Lalu didapatkan perbedaan antara pasien dengan status TEG yang tidak normal dengan yang normal (7 hari berbanding dengan 5,5 hari). Namun setelah dilakukan uji statistik dari masing-masing variabel yang ada, tidak didapatkan kemaknaan secara statistik. Dalam prosesnya, didapatkan data sekunder berupa hasil CT scan kepala yang setelah dilakukan analisa dengan komponen TEG, ternyata didapatkan parameter R time dan alpha angle memiliki kemaknaan statistik dengan temuan CT scan (p<0,001 dan p=0,028).
Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa hiperkoagulopati merupakan kelainan status koagulasi tersering yang didapatkan pada cedera kepala sedang. Adapun terdapat perbedaan hasil pemeriksaan status koagulasi dengan TEG dan pemeriksaan konvensional serta perbedaan LOS antara pasien dengan status TEG yang normal dan tidak normal, meksipun tidak didapatkan adanya kemaknaan secara statistik. Hal ini dapat dianalisa dengan lebih baik nantinya dengan menambahkan jumlah sampel yang lebih banyak. Selain itu, dapat dipertimbangkan penggunaan data CT scan sebagai salah satu variabel penelitian yang ikut diteliti.

ABSTRACT
Trauma is the leading cause of death in population with age less than 40 year old. Traumatic brain injury (TBI) contribute to 30% in overall mortality that is caused by traumatic event. Traumatic brain injury that is accompanied by coagulopathy is known to have higher mortality rate. Coagulopathy in TBI could cause rebleeding or new bleeding lesion in hypocoagulopathy cases or could cause ischemia or intravascular thrombosis in hypercoagulopathy cases. Many studies have been done regarding coagulopathy in TBI but up until now it is still now clear enough. Platelet count, PT. and APTT test are usually used in the evaluation of coagulation status, but currently, it can be done with viscoelastisity test using thromboelastography (TEG).
This is the first prospective pilot study that try to evaluate coagulation status in moderate TBI and it's outcome (length of stay and mortality) in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital using TEG and conventional hemostasis test using platelet count, PT. and APTT.
Twenty patients with moderate TBI that is enrolled in this study has passed the inclusion and exclusion criteria. We collect 0,3 mL of their blood sample that is being used initially for conventional hemostasis test. We found that 60% patient with abnormal coagulation status from TEG, but from the same patient using conventional test, we only got 5% with abnormal result. Majority of abnormal coagulation status are hypercoagulopathy. From the outcome that is measured by LOS and mortality, we found zero mortality and that there is difference in LOS between patient with normal and abnormal TEG test (7 days compare with 5,5 days). From the statistical analysis we got the result that are not statistically significant. We also got secondary data, which is CT scan of the patient and after we tried to do the statistical analysis we found that there are 2 parameters of TEG (R time and alpha angle) that is highly significant with abnormality on CT scan (p<0,001 dan p=0,028).
From this study, we can conclude that hypercoagulopathy is the most common coagulopathy that can be found in moderate TBI. We also found that there is a difference result between TEG test and conventional hemostasis test. From the outcome's perspective, we also found a difference between LOS of the patient that has abnormal TEG and normal TEG results. Higher sample in future study might be helpful in the analysis of the statistical test's result in this study and CT scan could also be a better additional variable to be studied."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adrian Ridski Harsono
"Latar belakang: Status epileptikus konvulsivus (SEK) merupakan kegawatdaruratan epilepsi dengan angka mortalitas yang tinggi dengan berbagai faktor yang memengaruhi. Keluaran pasien dengan SEK di Indonesia belum banyak diteliti, namun berdasarkan studi pendahuluan, didapatkan angka mortalitas yang cukup tinggi dibandingkan studi lainnya.
Metode penelitian: Penelitian ini dilakukan disain kohort prospektif untuk mengentahui keluaran kesintasan pasien SEK selama 30 hari yang dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo pada bulan Januari 2019-Oktober 2020. Penyajian data kesintasan dilakukan dengan menggunakan kurva Kaplan-meier dan dilanjutkan dengan analisis kesintasan menggunakan analisis cox-regression baik univariat maupun multivariat.
Hasil: Terdapat 196 pasien dengan 200 episode SEK, dengan 61,5% disebabkan oleh etiologi intrakranial, 28,5% oleh etiologi ekstrakranial, dan 10% oleh putus/kurang dosis OAE. Tingkat kesintasan 30 hari pasien SEK di RSCM secara umum adalah 56%. Kesintasan pada kelompok etiologi ekstrakranial (43,8%) lebih buruk dibandingkan etiologi intrakranial (55,3%) (p=0,220; HR=1,303(0,843 – 2,016)). Berdasarkan analisis univariat, faktor-faktor yang memengaruhi kesintasan adalah jenis kelamin, frekuensi bangkitan kejang, tingkat kesadaran dan SKG selama periode SEK, perubahan dari SEK menjadi SENK, riwayat epilepsi, jumlah komorbid, jumlah obat anti epilepsi (OAE) yang diberikan, penggunaan agen anestesi, terjadinya SER dan SESR, adanya komplikasi dan jumlah komplikasi, terjadinya komplikasi hipotensi dan/atau gagal nafas, serta lama perawatan di rumah sakit. Sedangkan berdasarkan analisis multivariat, faktor yang memengaruhi kesintasan adalah riwayat epilepsi, jumlah komorbid, ada tidaknya komplikasi, dan adanya komplikasi gagal nafas atau penggunaan ventilator.
Kesimpulan: Tingkat keisntasan 30 hari pasien SEK pada penelitian ini rendah. Etiologi ekstrakranial memiliki tingkat kesintasan yang lebih buruk. terdapat 15 faktor lain yang memengaruhi kesintasan pasien dengan SEK.

Background: Covulsive status epilepticus (CSE) is an epileptic emergency with high mortality rate and has various influencing factors. The outcome of patient with CSE in indonesia has not been widely studied, and based on pre-eliminary study, the mortality rate was quite high compared to previous studies.
Methods: This prospective cohort study determine 30 days outcome of CSE patients that admitted to Cipto Mangunkusumo Hospital in January 2019–October 2020. Overall survival rates for CSE and between 2 groups are presented by Kaplan-meier curve, then continued with a survival analysis using univariate and multivariate cox-regression analysis.
Results: A total of 196 patient with 200 episode of CSE, with 61,5% due to intracranial etiology, 28,5% by extracranial etiology, and 10% by OAE withdrawal. Overall 30 days survival rate for CSE patients at RSCM are 56%. The survival rate in extracranial etiology group (43,8%) was worse than intracranial etiology group (55,3%) (p=0,220; HR=1,303(0,843 – 2,016)). In univariate analysis, factors that influence survival are gender, seizure frequency, level of consciousness and GCS, evolution from CSE to NCSE, epilepsy history, number of comorbids and anti-epileptic drugs (AED), use of anesthetics agents, the occurrence of refractory status epilepticus and super refractory status epilepticus, the presence and number of complications, the occurrence of hypotension and/or respiratory failure, and the hospital length of stay. Whereas in multivariate analysis, factors that influenced survival rate were history of epilepsy, number of comorbidities, the presence of complications, and the presence of respiratory failure or ventilator use.
Conclusion: Thirty days survival rates of CSE patients in this study was low. Extraxranial etiology has lower survival rates. There are 15 factors that influence survival rates in patient with CSE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dipdo Petrus Widjaya
"Latar Belakang : Pneumotoraks merupakan kasus kegawat daruratan yang harus ditatalaksana segera. Penilaian berbagai penyakit paru dan faktor-faktor penyebab secara tepat sangat penting diketahui sebagai panduan dalam kerjasama antardisiplin ilmu dan untuk meningkatkan penatalaksanaan pneumotoraks secara menyeluruh. Faktor risiko yang mempengaruhi kesintasan pasien pneumotoraks adalah usia dan infeksi HIV, namun data di Indonesia masih belum ada.
Tujuan : Untuk mengetahui karakteristik pasien pneumotoraks dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesintasannya selama perawatan di RSCM.
Metode : Penelitian desain kohort retrospektif, dilakukan terhadap pasien pneumotoraks yang dirawat inap di RSCM pada kurun waktu Januari 2000 sampai Desember 2011. Kesintasan kumulatif selama 8 hari perawatan dan faktor yang mempengaruhi dianalisis secara bivariat dengan metode Kaplan Meier dan uji Log-rank serta analisis multivariat dengan Cox proportional hazard regression model untuk menghitung hazard ratio (HR) dan interval kepercayaan 95%.
Hasil : Seratus empat pasien pneumotoraks yang memenuhi kriteria penelitian ditemukan lebih banyak pada laki-laki 78(73,1%) dengan rerata usia 39,7(simpang baku[SB],16,2) tahun. Keluhan respirasi terbanyak berupa sesak napas 103(99%) dan kelainan pada pemeriksaan fisik hipersonor 101(97,1%). Foto polos toraks menunjukkan hiperlusen avaskular 95(91,4%). Faktor penyebab kejadian yang didapatkan adalah merokok 43(41,3%), pneumonia 42(40,3%), tuberkulosis 37(35,5%), trauma dada 13(12,5%), kejadian iatrogenik 6(5,7%), keganasan paru 6(5,7%), PPOK 5(4,8%), asma bronkiale 5(4,8%) dan artritis reumatoid 1(1%). Jenis pneumotoraks terbanyak adalah pneumotoraks spontan sekunder 49(47,1%). Tatalaksana sebagian besar dengan pemasangan WSD 98(94,2%). Keluaran pasien pneumotoraks hidup 69(66,3%), meninggal 35(33,7%). Penyebab kematian terbanyak pada pasien pneumotoraks saat perawatan adalah gagal napas 16(45,8%). Faktor-faktor yang memperburuk kesintasan pasien pneumotoraks adalah trauma dada (HR=3,49 (IK 95% 1,52;8,04)) dan tuberkulosis paru (HR=3,33 (IK 95% 1,39;7,99)).
Kesimpulan : Adanya tuberkulosis paru dan trauma dada memperburuk kesintasan pasien pneumotoraks selama perawatan di RSCM.

Background : Pneumothorax is an emergency case should be managed immediately. Assessment of lung diseases and the factors that cause pneumothorax is very important to know the proper guidelines in cooperation an interdisciplinary medical science and to improve the overall management of pneumothorax. Risk factors affecting the survival rate of pneumothorax patients are age and HIV infection, but there is no data in Indonesia.
Objective : The purpose of this study was to determine the characteristics of pneumothorax patients and factors affecting survival during hospitalization in RSCM.
Methods : Retrospective cohort study design conducted on pneumothorax patients who were admitted in RSCM in the period January 2000 to December 2011. Cumulative survival rate for 8 days of hospitalization and the factors affecting analyzed by bivariate with Kaplan Meier method and log-rank test and multivariate analysis by cox proportional hazard regression model to calculate hazard ratio (HR) and 95% confidence intervals.
Results : A total of 104 pneumothorax patients were reviewed. Their mean age was 39.7 years (SD ± 16.2 years) with a male to female ratio of 3:1. Commonest symtoms was shortness of breath 103(99%) and abnormalities on physical examination was hypersonor 101(97.1%). Plain chest X-ray showed hyperlucent avascular 95(91.4%).
Etiologic factors for the incidence of secondary pneumothorax were smoking 43(41.3%), pneumonia 42(40.3%), tuberculosis 37(35.5%), chest trauma 13(12.5%), iatrogenic 6(5.7%), lung malignancy 6(5.7%), COPD 5(4.8%), asthma 5(4.8%) and rheumatoid arthritis 1(1%). Commonest type of pneumothorax was secondary spontaneous pneumothorax 49(47.1%). Most of pneumothorax patients were successfully managed by chest thoracoscopy 98(94.2%). Outcome of pneumothorax patients were live 69(66.3%), died 35(33.7%). Causes of death in pneumothorax patients was respiratory failure 16(45.8%). Factors that worsen the survival rate of pneumothorax patients were chest trauma (HR = 3.49 (95% CI 1.52 to 8.04)) and pulmonary tuberculosis (HR = 3.33 (95% CI 1.39 to 7.99 )).
Conclusions : Factors that worsen the survival rate of pneumothorax patients were pulmonary tuberculosis and chest trauma that hospitalized in RSCM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jeffri Harisman
"Latar belakang: Status epileptikus non konvulsif (SENK) dapat ditemukan pada
cedera kepala sedang-berat (CKS-B). Timbulnya kejang pascatrauma dapat
memperberat cedera otak yang sudah terjadi, sehingga dapat mempengaruhi luaran.
Gejala klinis SENK tidak spesifik, sehingga membutuhkan pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG) dalam penegakkan diagnosis. Penelitian ini bertujuan
mengetahui angka kejadian SENK, faktor yang mempengaruhi, gambaran demografi
(usia, jenis kelamin dan luaran), gejala klinis, gambaran pencitraan dan EEG pada
pasien CKS-B dengan SENK.
Metode penelitian: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan sampel
terdiri dari data primer, yaitu semua CKS-B dari bulan Juli-Desember 2019 secara
consecutive sampling dan data sekunder, yaitu subjek CKS-B dengan klinis kecurigaan
SENK dari bulan Januari 2017-Juni 2019 di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto
Mangunkusumo (RSUPNCM), Jakarta. Penegakkan diagnosis SENK dilakukan melalui
kriteria modified salzburg consensus criteria for non convulsive status epilepticus
(mSCNC).
Hasil penelitian: Sebanyak 39 sampel CKS-B masuk ke dalam penelitian yang terdiri
dari 14 data primer dan 25 data sekunder. Sebanyak 19 dari 39 sampel terdiagnosis
SENK. Proporsi insiden SENK pada CKS-B dari Juli-Desember 2019 sebesar 21,4% (3
dari 14 sampel). Pada kelompok SENK didapatkan usia lebih tua, laki-laki lebih banyak
dari perempuan (3:1) dan kecelakaan lalu lintas sebagai mekanisme utama. Manifestasi
klinis SENK, antara lain penurunan kesadaran (23,1%), agitasi psikomotor (12,8%),
delirium (5,1%) dan gangguan persepsi (5,1%). Lobus frontal dan SAH merupakan
daerah lokasi cedera dan patologi terbanyak. Hanya didapatkan 2 sampel dengan kriteria
definit SENK dan selebihnya possible SENK. Sebagian besar bangkitan SENK berasal
dari lobus temporal. Analisis multivariat menunjukkan lokasi cedera lobus temporal
bermakna berhubungan dengan kejadian SENK (p = 0,036, OR 11,45 (95% IK 1,17-
111,6).
Kesimpulan: Proporsi insiden SENK pada CKS-B di RSUPNCM sebesar 21,4%.
Penurunan kesadaran merupakan gejala klinis SENK terbanyak. Lobus temporal
merupakan faktor yang berhubungan terhadap kejadian SENK.

Background: Non convulsive status epilepticus (NCSE) can be accounted by moderatesevere
traumatic brain injury (TBI). Posttraumatic seizure can aggravate the previous
injury and produce poor outcome. Electroecephalography (EEG) was employed as
diagnostic tool because unspecified clinical symptoms. This study was aimed to find
incidence proportion, associated risk factors, demographic profiles (age, gender,
outcome), clinical symptoms, imaging and EEG patterns of NCSE in moderate-severe
TBI patients.
Method: Cross-sectional design was applied ini this study. Data is consist of primary
data which include all moderate-severe TBI since July-December 2019 by consecutive
sampling and secondary data which include moderate-severe TBI since January 2017-
June 2019 with highly suspicious NCSE symptoms in Cipto Mangunkusumo Hospital,
Jakarta. EEG was employed as diagnostic tool by using modified salzburg consensus
criteria for non convulsive status epilepticus (mSCNC) as a criteria.
Result: Of 39 samples, 19 moderate-severe TBI samples (14 primary data, 25
secondary data) were diagnosed as NCSE. Incidence proportion of NCSE from July-
December 2019 is 21,4% (3 from 14 samples). Older age, man gender, traffic accident
and worse outcome are the most common NCSE demographic profiles. Loss of
consciousness (23,1%) is a main symptom, followed by psychomotor agitation (12,8%),
delirium (5,1%) dan perception disturbance (5,1%). Frontal lobe and SAH are
consecutively as the most common injury location and pathologic finding. Only 2
samples have definite NCSE diagnosis and the remaining as possible NCSE. Most of
NCSE discharges were originated from temporal lobe. Temporal lobe injury location
has significance relation toward SENK occurance (p = 0,036, OR 11,45 (95% CI 1,17-
111,6).
Conclusion: Incidence proportion of NCSE in moderate-severe TBI is 21,4%. Loss of
consciousness is the most finding symptoms. Temporal lobe is a factor relates to NCSE
occurance."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>