Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 171035 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dehty Novianty
"Pelanggaran kode etik sering terjadi selama proses pemilihan umum. Salah satu daerah yang sering terjadinya pelanggaran adalah Kabupaten Nias Barat Sumatera Utara. Penulisan ilmiah ini bertujuan untuk meneliti bagaimana kronologi pelanggaran, pihak yang terlibat serta melihat jenis putusan yang diberikan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu kepada teradu pelaku pelanggaran. Pelanggaran tersebut berupa penanganan pelaporan pengaduan dugaan adanya kecurangan pemilu berupa penggelembungan suara yang tidak sesuai Standar Operasional Prosedur karena pelaporan hanya dilakukan melalui aplikasi pesan singkat dan tanpa disertai bukti yang valid dengan penyebutan subyek, cara perbuatan dilakukan, sarana yang digunakan, tempat kejadian, serta alat bukti yang dapat dikonfirmasi secara spesifik. Hasil putusan yang diberikan sebagai bukti kesalahan adalah berupa peringatan, peringatan keras dan juga pemberhentian tetap kepada Ketua KPU Sumatera Utara dan Anggotan KPU Sumatera Utara. Proses pemberian sanksi tidak mendapat penolakan sama sekali dari pihak KPU Sumatera Utara dan dengan tegas menindaklanjuti putusan yang telah di keluarkan oleh DKPP.

Violations towards code of conduct frequently occur during the election process. One area where it often occur is West Nias Regency, North Sumatra. This scientific writing aims to examine the chronology of violations, the parties involved and to see the types of decisions given by the Honorary Council of Election Administrators (DKPP) to the alleged perpetrators of violations. The violation was in the form of handling reports of complaints about allegations of election fraud in the form of inflating votes that were not in accordance with Standard Operating Procedures because reporting was only done through the short message application and without valid evidence such as the mention of the subject, the way the act was carried out, the means used, the scene of the incident, and the tools evidence that can be specifically confirmed. The results of the decisions given as evidence of errors were in the form of warnings, stern warnings and also permanent dismissals to the chairman of the North Sumatra KPU and the North Sumatra KPU members. The process of imposing sanctions did not receive any rejection at all from the North Sumatra KPU and strictly followed up on the decisions issued by DKPP."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Fakhrul Arifin
"Kode etik merupakan suatu hal mendasar yang sangat dibutuhkan dalam berbagai hal di kehidupan, tidak terkecuali di lingkungan kerja dalam sebuah perusahaan . Tesis ini akan membahas tentang analisa singkat terhadap kode etik di Commonwealth Bank of Australia. Secara umum, saya akan menjelaskan terkait kepemilikan saham di Commonwealth Bank, pelanggaran terhadap kode etik di Commonwealth Bank dalam 5 tahun terakhir, hubungan Commonwealth Bank dengan UNGC, dan implmentasi CSR di Commonwealth Bank of Australia.

Code of Conduct and Ethics is a fundamental thing that is needed in various aspect in life, including in company’s work environment. This thesis will discuss a brief analysis on Commonwealth Bank code of conduct and ethics. Generally, i will explain the share ownership portion in Commonwealth Bank of Australia, violations of code of conduct and ethics in the last 5 years, Commonwealth Bank’s relationship with UNGC, and CSR implementation in the Commonwealth Bank of Australia."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Elfilia Angelina
"Kode Etik dan Perilaku merupakan aspek penting yang menjadi pedoman bagi perusahaan. Makalah ini mengevaluasi penerapan Kode Etik dan Perilaku di Commonwealth Bank Australia. Makalah ini akan membahas pelanggaran Kode Etik serta implikasinya terhadap bank, pentingnya inisiatif Tata Kelola Teknologi Informasi (TI) dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) terkait dengan Kode Etik dan Perilaku bank, dan peran bank sebagai salah satu penandatangan United Nation Global Compact.

Code of Conduct and Ethics is an important aspect that act as guidelines for company. This paper evaluates the application of Commonwealth Bank Australia Code of Conduct and Ethics. This paper will cover Code of Conduct and Ethics breaches as well as their implication to the bank, the importance of Information Technology (IT) Governance and Corporate Social Responsibility (CSR) initiatives related to the bank Code of Conduct and Ethics, and the bank’s role as one of the United Nation Global Compact Signatory."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Saifullah Ma`shum
Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2001
324.6 SAI k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Lury Elza Alex
"Notaris dalam prakteknya melakukan pekerjaan berdasarkan kewenangannya atau dalam ruang lingkup tugas jabatan sebagai notaris berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris. Notaris dalam membuat akta harus sesuai dengan syarat formil dan materiil, diantaranya adalah dengan dibuat secara seksama dan dibacakan dihadapan para pihak yang berkepentingan dalam akta yang dibuat. Apabila hal tersebut tidak dilakukan maka notaris sudah melanggar ketentuan yang terdapat di Pasal 4, Pasal 16 ayat (1) huruf a dan l, Pasal 44 ayat (1) dan (2), Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Pasal 9, Pasal 16 ayat (1) huruf a dan m, Pasal 44 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Pasal 3 dan 4, Pasal 6 Kode Etik Notaris, seperti pada studi kasus Putusan Majelis Pemeriksa Wilayah Notaris Jawa Barat No. 129/MPW-Jabar/2007 Tertanggal 26 Februari 2007. Metode yang digunakan adalah yuridis empiris, yaitu suatu penelitian disamping melihat aspek hukum positif juga melihat pada penerapannya atau praktek di lapangan. Teknik analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, yaitu setelah data terkumpul kemudian dituangkan dalam bentuk uraian logis dan sistematis, selanjutnya dianalisis untuk memperoleh kejelasan penyelesaian masalah, kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif, yaitu dari hal yang bersifat umum menuju hal yang bersifat khusus. Berdasarkan penelitian, maka diperoleh hasil: 1) pembacaan akta harus selalu dibacakan dengan patut agar para pihak tidak dirugikan serta tidak melanggar praturan yang berlaku. 2) Akibat hukum kepada notaris yang tidak seksama dalam membuat akte notaris, melanggar ketentuan Pasal 4 UUJN mengenai sumpah/janji, Pasal 16 huruf a dan l Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Pasal 44 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Pasal 3 dan Pasal 4 angka 14, pasal 4 angka 15 Kode Etik Notaris dan terhadap akte yang dibuatnya bisa menjadi batal demi hukum atau hanya menjadi akte di bawah tangan dalam kekuatan sebagai pembuktiannya.

In practice, Notary do the work based on the scope of their authority or office duties as a notary public by Act No. 2 of 2014 on the Amendment to Law Number 30 Year 2004 concerning Notary and Notary Code. Notary in making the deed must be in accordance with the formal requirements and materially are to be made carefully and read out in front of the interested parties in a deed made. If this is not done then the notary had violated the provisions contained in Article 4, Article 16 paragraph (1) letter a and l, Article 44 paragraph (1) and (2), Act No. 30 of 2004 concerning Notary, Article 9, Article 16 paragraph (1) letter a and m, Article 44 paragraph (1) and (2) of Act No. 2 of 2014 on the Amendment to Law Number 30 Year 2004 concerning Notary, Articles 3 and 4, Article 6 Notary Code of Ethics, as in the case study region Investigator Award of the Tribunal Notary West Java. 129/MPW-Jabar/2007 dated February 26, 2007. Juridical method used is empirical, ie a study in addition to seeing the positive aspects of the law also look at the application or practice in the field. The data analysis technique used is descriptive qualitative, ie after the data is collected and then poured in a logical and systematic description of the form, then analyzed to obtain clarity problem solving, and then drawn conclusions deductively, from the general to the specific nature of things. According to the study, the obtained results: 1) readings should always be read out with the deed that the parties should not be harmed and does not violate applicable praturan. 2) Due to the notary law is not careful in making a notarial deed, violated the provisions of Article 4 UUJN on oath / pledge, Article 16 letters a and l of Act No. 2 of 2014 on the Amendment to Law Number 30 Year 2004 concerning Notary , Article 44 paragraph (1) of Act No. 2 of 2014 on the Amendment to Law Number 30 Year 2004 concerning Notary, Article 3 and Article 4, item 14, item 15 of Article 4 of the Code and the Notary deed that could be made null and void or just become certificate under the hand of the strength as proof.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41401
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Adi Putri
"ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh keunikan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. Tingginya posisi perempuan Minang darin aspek sosial dan budaya tidak berbanding lurus dengan kedudukan dalam politik, yang terlihat dari masih sedikitnya perempuan yang memiliki powsisi menentukan dalam politik dan pemerintahan. Juga tercermin dari jumlah keterwakilan di DPRD yang masih jauh dari kuota 30 yang dinyatakan dalam undang-undang.Fokus penelitian ini adalah pada bagaimana perempuan caleg yang ada di Sumatera Barat menggunakan modal sosial yang sudah ada, untuk mendapatkan posisi politik di DPRD. Penelitian ini dilakukan terhadap tiga orang perempuan caleg yang berhasil mendapatkan kursi di DPRD Sumatera Barat dalam Pemilu 2014. Teori utama yang digunakan adalah teori modal sosial Putnam, didukung oleh teori dari ahli lain seperti Uphoff, Grootaert, Coleman dan Lawang.Metode penelitian ini adalah kualitatif dengan studi kasus, dimana data-data didapatkan dari wawancara terhadap tiga perempuan caleg yang menang, kepada anggota jaringan yang dimiliki oleh perempuan caleg yang berasal dari organisai sosial dan tokoh adat dan kepada pengurus partai Golkar dan Nasdem yang merupakan partai yang mencalonkan perempuan caleg.Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa perempuan caleg yang menang dalam Pemilu 2014 untuk DPRD SUmatera Barat, memiliki modal sosial yang terdiri dari jaringan, norma dan kepercayaan. Pola jaringan merupakan personal berbentuk duaan ganda berlapis. Norma sebagai modal sosial dikaitkan dengan peran Ninik Mamak dan bundokanduang dalam mendukung keterpilihan perempuan caleg. Kepercayaan dari anggota jaringan dan norma yang berlaku di masyarakat terhadap posisi perempuan di Minangkabau adalah modal sosial kognitif.Temuan penelitian adalah bahwa dengan cara-cara yang tepat, seperti pendekatan silaturahim dengan tokoh masyarakat dan tokoh adat, kampanye door to door maka modal sosial dapat memengaruhi kemenangan caleg perempuan di Sumatera Barat. Filosofi penggunaan modal sosial oleh perempuan caleg di Minangkabau adalah cancang aia ndak kaputuih, yang artinya bahwa hubungan yang terbangun dari kedekatan karena satu kaum, satu alumni organisasi dan satu kampung 3H: sadarah, sabagarah, sadaerah diibaratkan seperti mencincang air, yang tak akan pernah putus.

ABSTRACT
The background behind this dissertation is the unique culture of the Minangkabau people in West Sumatera. Viewed from a social and cultural aspect, women 39;s high social standing in the Minangkabau Society is incongruent to their position in politics, as women only hold a smal number of seats in the government. The number of female representatives in the Regional People 39;s Representatives Council DPRD is also far from the thirty percent quota that is written in the law.The main focus of this study is how women, as representatives in council, are able to gain gain their seats using pre-existing social capital. This study is centered around three female candidates that has managed to secure the seats in council.The main theory used in this study is Putnam 39;s social capital theory, and it is supported by theories from experts such Uphoff, Grootaert, Coleman and Lawang. This research uses qualitative method and executes it through interviews with three femal candidates who come from social organization, traditional leaders, and party officials from Golkar and Nasdem the parties which nominated these women .The principal findings of this study reveal that femal candidates who secured their seats in the 2014 regional election have one common similarity-all of these women have social capital consisting of network, norms, and trust. The network a person has is personal in nature and considered double-layared. a person 39;s belief and the norms a person upholds, if consistent with those of society 39;s, is considered as cognitive social capital.the theoretical implication of this study shows that, using the correct methods, such as personally approaching traditional leaders adn doing door to door campaign, could increase a person 39;s social capital. social capital can influence the victory of women candidates in West Sumatera. The philosophy behind the use of social capital is cancang aia dak kaputuih, which means mincing water that will never break "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
D2463
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juri Ardiantoro
"Penelitian ini secara umum berusaha menggambarkan dan menganalisis konteks perubahan politik Indonesia, khususnya pemilu yang diselenggarakan tahun 1999. Secara khusus penelitian ini menganalisis hubungan-hubungan dinamik dalam Komisi Pemilihan Umum (KPU) tahun 1999, yang menyangkut unsur-unsur negara dengan aktor-aktor dan struktur-struktur politik lain dalam penyelenggaraan pemilu di era transisi.
Penelitian mencakup empat isu utama yang tercermin dalam tujuan penelitian, yakni: (1) Pemilu'99 dalam konteks transisi politik Indonesia; (2) kelembagaan penyelenggara Pemilu di Indonesia, khususnya KPU Pemilu 1999; (3) bekerjanya unsur-unsur negara dalam struktur kelembagaan dan kinerja KPU Pemilu 1999; dan (4) peranan politik demokratik KPU'99 dalam meletakan landasan yang kokoh bagi pembaharuan (reformasi) kelembagaan politik di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan mendasarkan pada paradigma konstruktivisme. Sedangkan Iandasan teoritiknya menggunakan teori dialektika agensi-struktur dalam teori strukturasi Anthony Giddens. Dan, metode pengumpulan data yang digunakan adalah mengkombinasikan metode wawancara mendalam, studi dokumentasi dan observasi.
Penelitian ini berhasil mengajukan dun kesimpulan utama, yaitu kesimpulan praktik politik dan teoretik. Kesimpulan praktik secara umum menggambarkan bahwa perubahan politik (menuju demokrasi) selalu menghasilkan polarisasi kekuatan-kekuatan politik, baik di tingkat negara maupun di akar rumput (grass roots). Pada konteks yang lebih lanjut, perubahan ini tentu saja menyulut terjadinya ketegangan, konflik, dan tarik menarik kepentingan antara aktor-aktor politik yang bermain.
Pada lingkup yang lebih mikro di KPU, polarisasi politik tidak saja bersumber dari latar belakang ideologi, kultur dan sikap politik masa Ialu aktor-aktor tersebut. Oleh karena di era transisi politik ini terjadi ketidakpastian mengenai apa yang akan terbentuk dan terlembagakan, maka, polarisasi kekuatan politik jug bersumber dad usaha-usaha memperebutkan peluang sekaligus mengukuhkan pengaruhnya pads konstruksi politik yang akan terbentuk nantinya. Cara yang ditempuh antara lain terlibat dalam mempengaruhi pembuatan dan implementasi segala perangkat aturan. Karena, peraturan-peraturan yang akan muncul akan sangat menentukkan sumber sumber mana yang secara sah boleh dikerahkan ke arena individual dan politik, serta pelaku-pelaku mana yang diperkenankan masuk dan terlibat.
Apa yang terjadi di KPU adalah cerminan bagaimana masing-masing aktor itu menggunakan legitimasi dan kebenaran yang dimilikinya untuk memainkan peranan politik tersebut. Akibatnya, aturan yang di satu sisi memberikan dasar legitimasi bagi keberadaan dan kinerja KPU, tetapi pada sisi yang lain telah menyumbang berbagai kontroversi dan kontradiksi politik.
Pada saat negara menjadi bagian yang ikut bennain dalam pertarungan tersebut yang lebih paralel dengan arus utama (mainstream) politik publik justeru gagal meyakinkan sebagian besar politisi di KPU untuk mengambil sikap dan tindakan politik yang sejalan. Sebabnya, negara tidak sepenuhnya mampu mengontrol dinamika politik yang ada dengan sumber-sumber alokatif maupun kekuatan ototritatif dan kapasitas organisasionalnya di satu sisi, sementara itu,di pihak negara pun kekuatannya terfragmentasi, tidak utuh. Sementara pada saat yang sama, para aktor di KPU justru dengan bebasnya memainkan dan menginterpretasikan kepentingannya.
Sedangkan kesimpulan teoretik dalam penelitian ini dapat menggambarkan temuan-temuan teoretik yang pads dasarnya konfirmasi atau penguatan terhadap "kebenaran" teori tersebut. Namun demikian, modifikasi atas beroperasinya teori ini juga nampak.
Tidak adanya dominasi baik antara agen-agen politik yang bertarung, maupun struktur-struktur politik yang tersedia dan diproduksi di KPU selama penyelenggaraari Pemilu'99 membuktikan bahwa Giddens dalam hal ini besar: determinasi terhadap proses sosial (politik), bukan terletak pads salah satunya, tetapi keduanya saling mengandaikan. Sehingga kekuasaan atau power yang dapat terbentuk, diraih atau dikuasai juga terbukti pada sejauhmana para pelaku (actor) politik itu menguasai dan memproduksi struktur-struktur (baik legitimasi, dominatif, maupun signifikansi) yang ada.
Dengan memahami dinamika di KPU, apa yang disebut relasi agensi-struktur sangatlah bersifat relatif. Artinya, apa yang disebut agensi pada beberapa kasus dapat bertindak sebagai struktur; demikian juga sebaliknya. Bahkan pada saat ia bertindak pada salah satunya, dalam waktu yang bersamaan dapat secara otomatik bertindak atas yang lainnya. Agensi, termasuk negara juga seringkali bukanlah sebuah entitas yang tunggal, namun terfragmentasi sedemikian rupa, demikian juga sebaliknya.
Path pain-inilah peneliti kemudian mengajukan kritik terhadap teori Giddens. Sesungguhnya relasi agensi-struktur bukan saja bersifat komplementer sehingga dikatakan struktur dapat memediasi (mediating) tindakan agensi, tetapi masing-masing sesungguhnya saling melekatkan (embeddeding). Penyamaan aktor dalam praktik-praktik sosial tidaklah dapat diterima sepenuhnya, karena, seringkali diantara aktor- aktor itu menegasikan aktor lain (yang lebih rendah "strata"), terutama menyangkut keputusan atau kebijakan. Selain itu, teori ini belum juga memberikan penjelasan lebih detail mengenai praktik-praktik politik yang tidak tunggal atas isu yang sama, pads ruang (space) dan waktu (time) yang sama pula; padahal baik ruang maupun waktu menurutnya bukanlah arena atau panggung atau tindakan melainkan unsur konstitutif dan pengorganisasian."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, [2003;2003, 2003]
T209
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Toip Heriyanto
"Pemilihan umum yang telah dilaksanakan pada tahun 2004, sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat (1) W Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, dinyatakan bahwa pemilihan umum diselenggarakan dengan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka. Dalam sistem itu para pemilih diharuskan untuk memilih dua tanda gambar, yaitu tanda gambar partai politik dan tanda gambar orang sebagai calon anggota legislatif Selain itu, dalam sistem pemilihan umum proporsional ini, diatur juga mengenai asas yang dipergunakan yaitu asas langsung, umum, bebas dan rahasia (Luber) dan asas jujur dan adil (Jurdil). Dengan penggunaan sistem pemilihan yang proporsional dan penggunaan asas Luber dan Jurdil, maka yang menjadi pokok permasalahan adalah :
1. Apakah pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD itu telah-benar dilaksanakan secara langsung, dalam arti rakyat memilih secara langsung anggota DPR dan DPRD sesuai dengan yang diinginkan atau sesuai dengan kehendak hati nuraninya tanpa perantara ?
2. Seberapa besar sebenarnya peran partai politik dalam proses penentuan para caleg dan caleg terpilih untuk menjadi anggota DPR ? Dan, apakah ada hubungannya antara peran partai politik dalam proses penentuan para caleg dan caleg terpilih tersebut dengan penerapan sistem pemilihan umumnya itu sendiri ?"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T19787
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahsanul Minan
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang penerapan asas opovov dan proporsionalitas dalam
penghitungan suara dan perolehan kursi pada Pemilu Anggota DPR RI Tahun
2009. Penelitian ini sangat menarik karena metode penghitungan suara pada
Pemilu tahun 2009 memiliki perbedaan yang mendasar dibandingkan dengan
pemilu sebelumnya, dengan mengintrodusir penghitungan kursi dalam 4 tahap
dengan tujuan untuk mencapai proporsionalitas hasil pemilu. Di sisi lain, hingga
saat ini belum terdapat penelitian dari sisi hukum dan politik mengenai hal ini.
Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Kajian dilakukan dengan
melacak penerapan asas opovov dan proporsionalitas terhadap norma dalam UU
Pemilu, Peraturan KPU, Putusan MA mengenai uji materiil terhadap Peraturan
KPU, dan Putusan MK terkait pengujian undang-undang Pemilu, serta melakukan
kajian perbandingan terhadap sistem pemilu di Denmark yang juga menerapkan
sistem pemilu proporsional.
Hasil penelitian menemukan bahwa alih-alih menghasilkan proporsionalitas,
metode penghitungan suara tersebut justru menghasilkan terlanggarnya asas
opovov dan menyebabkan munculnya disproporsionalitas, terutama dalam
penghitungan tahap ketiga. Hasil penelitian ini menyarankan penggunaan
modified proportional systems untuk mendorong tercapainya hasil pemilu yang
proporsional, dengan membagi kursi DPR RI menjadi 2 bagian yakni kursi
konstituensi, dan kursi kompensasi. Kursi konstituensi diperebutkan di tingkat
dapil, sedangkan kursi kompensasi diperebutkan di tingkat nasional.

ABSTRACT
This thesis focuses on the application of the one person one vote one velue
(opovov) and proportionality principles at the votes counting and seats
distribution systems in the 2009 General Election. This study is very interesting
because the method of vote counting in the election of 2009 had a fundamental
difference compared with previous elections, which introduced seats distribution
systems into 4 stages with the aim of achieving proportionality of election results.
On the other hand, there has been no legal and political study on this.
This is a normative legal study. It done by tracking the implementation of the
opovov and proportionality principles and norms in the election law, KPU
regulation, the Supreme Court Decision regarding judicial review of the KPU
Regulation, and the Constitutional Court's decision related to constitutional review
on the respective election law, and also comparative studies of the electoral
system in Denmark which is also implementing the proportional system.
The results found that instead of generating proportionality, the counting method
would result in violation of the principle of opovov, and led to the disproportional
result, especially in the third stage. Results of this study suggest the use of
modified proportional systems to encourage the achievement of the proportional
election results, by dividing the House of Representatives seats into 2 parts
namely the constituency seat and the compensation seats. The constituency seats
contested at the level of constituencies, while the compensation seats contested at
the national level."
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35726
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Kuncoro
"Tesis ini menguraikan tentang proses politik di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) saat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Umum (Pemilu) yang melibatkan sembilan fraksi partai politik hasil Pemilu 2009, yakni Partai Demokrat, Partai Golongan Karya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Gerakan Indonesia Raya, dan Partai Hati Nurani Rakyat.
Permasalahannya adalah bagaimanakah proses tarik menarik kepentingan politik antarfraksi tersebut yang menghasilkan konflik dan konsensus, khususnya terkait dengan empat isu krusial yakni sistem pemilu, alokasi kursi per daerah pemilihan, ambang batas parlemen, dan metode penghitungan suara menjadi kursi. Setelah dilakukan lobi politik intensif antara Pimpinan DPR-RI dan Pimpinan Fraksi akhirnya isu sistem pemilu dan alokasi kursi per daerah pemilihan pengambilan keputusannya dilakukan secara musyawarah mufakat sehingga tercapai konsensus, sedangkan isu ambang batas parlemen dan metode penghitungan suara menjadi kursi pengambilan keputusannya dilakukan dengan pemungutan suara.
Teori yang digunakan adalah Teori Konflik dari Maurice Duverger, Teori Konsensus dari Maswadi Rauf, Teori Sistem Pemilu dari Ben Reilly, Andrew Reynolds dan Miriam Budiardjo, Teori Partai Politik dari Miriam Budiardjo, Sigmund Nuemann dan Alan Ware serta Teori Perwakilan dari Hanna Fenichel Pitkin, Miriam Budiardjo dan Bintan R. Saragih. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan teknik analisa deskriptif analitis dan wawancara mendalam dengan anggota fraksi yang terlibat dalam proses politik tersebut.
Hasil temuan penelitian ini menunjukkan bahwa konflik antarfraksi politik dalam pembahasan RUU Pemilu di DPR-RI tidak mengindikasikan adanya perjuangan ideologi politik, tetapi lebih dimotivasi oleh orientasi dan kepentingan politik praktis semata-mata yang bersifat pragmatis dalam rangka meraih kekuasaan secara demokratis melalui rekayasa UU Pemilu yang kompromistis. Teori Konflik (sebagian), Teori Konsensus, Teori Sistem Pemilu, Teori Partai Politik, dan Teori Perwakilan berimplikasi positif terhadap konflik dan konsensus antarfraksi dalam pembahasan RUU Pemilu di DPR-RI.

This thesis discusses about the political process in the House of Representatives of the Republic of Indonesia (DPR-RI) during the discussion of Election Bill, which involved nine factions of political parties from 2009 Election: Partai Demokrat (Democratic Party), Partai Golongan Karya (Working Group Party), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (Indonesian Democratic Party-Struggle), Partai Keadilan Sejahtera (Prosperous Justice Party), Partai Amanat Nasional (National Mandate Party), Partai Persatuan Pembangunan (United Development Party), Partai Kebangkitan Bangsa (National Awakening Party), Partai Gerakan Indonesia Raya (Great Indonesian Movement Party), and Partai Hati Nurani Rakyat (People's Conscience Party).
The problem was how the power interplay among these factions created conflict and consensus about four crucial issues: election system, allocation of seats for each electoral district, parliamentary threshold, and method of turning votes to seats. After an intensive political lobbying between the chairman of the House and the factions’ leader, the decision on election system and allocation of seats was made by deliberation, while the decision on parliamentary threshold and method of turning votes was reached by voting.
The theories applied in this study are Conflict Theory by Maurice Duverger, Consensus Theory by Maswadi Rauf, Election System Theory by Ben Reilly, Andrew Reynolds and Miriam Budiardjo, Political Party Theory by Miriam Budiardjo, Sigmund Nuemann and Alan Ware, and Representation Theory by Hanna Fenichel Pitkin, Miriam Budiardjo and Bintan R. Saragih. This is a qualitative study with descriptive analytical techniques and deep interviews with the factions’ members involved in that political process.
The findings of this study show that the conflict among factions in the discussion of Election Bill in the House of Representatives was not driven by a struggle for certain political ideologies, but by pragmatic, practical, political orientations and interests to gain power democratically through a compromising election bill scheme. Conflict Theory (in part), Consensus Theory, Election System Theory, Political Party Theory, and Representation Theory had a positive implication in the conflict and consensus occurring in the discussion of Election Bill in the House of Representatives of Republic of Indonesia.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T33302
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>