Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 92237 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Annisa Florencia Irena
"Artikel ini membahas dinamika pandangan masyarakat Prancis terhadap penggunaan nuklir sebagai sumber energi yang kemudian memengaruhi kebijakan pemerintah Prancis terhadap pemanfaatan tenaga nuklir sebagai sumber energi. Pemerintah Prancis mulai memanfaatkan tenaga nuklir sebagai sumber energi semenjak mengalami embargo minyak dari negara-negara Arab yang tergabung dalam OPEP pada 1974, sebagai akibat dari perang Arab-Israel. Prancis yang saat itu dipimpin oleh Presiden Georges Pompidou, memutuskan untuk memanfaatkan energi nuklir guna mengatasi krisis energi tersebut, sehingga pada 1977 Prancis sudah berhasil mengganti energi minyak bumi dengan energi nuklir untuk menopang sebagian besar industrinya. Namun, terjadi beberapa peristiwa besar yang mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai penggunaan tenaga nuklir. Kecelakaan reaktor tenaga nuklir di Ukraina dan Jepang menyadarkan rakyat Prancis akan bahaya yang ditimbulkan apabila terjadi ledakan reaktor nuklir. Desakan untuk mengganti energi nuklir dengan energi yang lebih aman mulai muncul, yang mengakibatkan pemerintah menyusun program untuk mulai mengurangi ketergantungannya pada energi nuklir ini. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah dan teori Dekonstruksi Jacques Derrida yang digunakan untuk menjelaskan perubahan kebijakan pemanfaatan nuklir di Prancis. Perubahan kebijakan ini, terjadi karena terutama karena kekhawatiran masyarakat Prancis akan bahaya penggunaan nuklir sehingga mendorong pemerintah Prancis untuk menyelenggarakan debat nasional mengenai pemanfaatan tenaga nuklir. Setelah penyelenggaraan Le Débat National sur la Transition Énergetique pada 2014-2015, pemerintah Prancis di bawah Presiden François Hollande yang kemudian dilanjutkan oleh Presiden Emmanuel Macron, sepakat untuk mengurangi penggunaan energi nuklir sebagai penopang energi industrinya dari 75% menjadi 50% pada 2023. Upaya untuk menggantikannya dengan energi yang terbarukan menjadi tantangan tersendiri bagi kepala negara Prancis guna merealisasikan tuntutan warganya agar dapat hidup tanpa adanya ketakutan terhadap kemungkinan meledaknya reaktor nuklir di negaranya.

This article discusses the dynamics of the French public's view of the use of nuclear as an energy source which influences the French government's policy towards the use of nuclear as an energy source. The French government began to use nuclear as an energy source since oil embargo by the Arab countries that joined OPEP in 1974, as a result of the Arab-Israeli war. France, which was led by President Georges Pompidou, decided to use nuclear energy to overcome the energy crisis, so that in 1977 France had succeeded replacing petroleum energy with nuclear energy to sustain most of its industries. However, there were several major events that affected the public's view about the use of nuclear power. Nuclear power reactor accidents in Ukraine and Japan made the French people aware of the dangers posed by a nuclear reactor explosion. The urge to replace nuclear energy with safer energy began to emerge, which resulted in the government setting up a program to start reducing its dependence on nuclear energy. This study uses historical research methods and Jacques Derrida's deconstruction theory which is used to explain changes in nuclear utilization policies in France. This policy change occurred mainly because of the French public's concern about the dangers of nuclear use, which prompted the French government to hold a national debate on the use of nuclear. After Le Débat National sur la Transition Energetique in 2014-2015, the French government with President François Hollande, which was then followed by President Emmanuel Macron, agreed to reduce the use of nuclear energy as a support for industrial energy from 75% to 50% in 2023. replacing it with renewable energy is a challenge for the head of state of France to realize the demands of its citizens to live without fear of the possibility of a nuclear reactor exploding in his country."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Florencia Irena
"Artikel ini membahas dinamika pandangan masyarakat Prancis terhadap penggunaan nuklir sebagai sumber energi yang kemudian memengaruhi kebijakan pemerintah Prancis terhadap pemanfaatan tenaga nuklir sebagai sumber energi. Pemerintah Prancis mulai memanfaatkan tenaga nuklir sebagai sumber energi semenjak mengalami embargo minyak dari negara-negara Arab yang tergabung dalam OPEP pada 1974, sebagai akibat dari perang Arab-Israel. Prancis yang saat itu dipimpin oleh Presiden Georges Pompidou, memutuskan untuk memanfaatkan energi nuklir guna mengatasi krisis energi tersebut, sehingga pada 1977 Prancis sudah berhasil mengganti energi minyak bumi dengan energi nuklir untuk menopang sebagian besar industrinya. Namun, terjadi beberapa peristiwa besar yang mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai penggunaan tenaga nuklir. Kecelakaan reaktor tenaga nuklir di Ukraina dan Jepang menyadarkan rakyat Prancis akan bahaya yang ditimbulkan apabila terjadi ledakan reaktor nuklir. Desakan untuk mengganti energi nuklir dengan energi yang lebih aman mulai muncul, yang mengakibatkan pemerintah menyusun program untuk mulai mengurangi ketergantungannya pada energi nuklir ini. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah dan teori Dekonstruksi Jacques Derrida yang digunakan untuk menjelaskan perubahan kebijakan pemanfaatan nuklir di Prancis. Perubahan kebijakan ini, terjadi karena terutama karena kekhawatiran masyarakat Prancis akan bahaya penggunaan nuklir sehingga mendorong pemerintah Prancis untuk menyelenggarakan debat nasional mengenai pemanfaatan tenaga nuklir. Setelah penyelenggaraan Le Débat National sur la Transition Énergetique pada 2014- 2015, pemerintah Prancis di bawah Presiden François Hollande yang kemudian dilanjutkan oleh Presiden Emmanuel Macron, sepakat untuk mengurangi penggunaan energi nuklir sebagai penopang energi industrinya dari 75% menjadi 50% pada 2023. Upaya untuk menggantikannya dengan energi yang terbarukan menjadi tantangan tersendiri bagi kepala negara Prancis guna merealisasikan tuntutan warganya agar dapat hidup tanpa adanya ketakutan terhadap kemungkinan meledaknya reaktor nuklir di negaranya.

This article discusses the dynamics of the French public's view of the use of nuclear as an energy source which influences the French government's policy towards the use of nuclear as an energy source. The French government began to use nuclear as an energy source since oil embargo by the Arab countries that joined OPEP in 1974, as a result of the Arab-Israeli war. France, which was led by President Georges Pompidou, decided to use nuclear energy to overcome the energy crisis, so that in 1977 France had succeeded replacing petroleum energy with nuclear energy to sustain most of its industries. However, there were several major events that affected the public's view about the use of nuclear power. Nuclear power reactor accidents in Ukraine and Japan made the French people aware of the dangers posed by a nuclear reactor explosion. The urge to replace nuclear energy with safer energy began to emerge, which resulted in the government setting up a program to start reducing its dependence on nuclear energy. This study uses historical research methods and Jacques Derrida's deconstruction theory which is used to explain changes in nuclear utilization policies in France. This policy change occurred mainly because of the French public's concern about the dangers of nuclear use, which prompted the French government to hold a national debate on the use of nuclear. After Le Débat National sur la Transition Energetique in 2014-2015, the French government with President François Hollande, which was then followed by President Emmanuel Macron, agreed to reduce the use of nuclear energy as a support for industrial energy from 75% to 50% in 2023. replacing it with renewable energy is a challenge for the head of state of France to realize the demands of its citizens to live without fear of the possibility of a nuclear reactor exploding in his country."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Langit Masaha Putra Sabawana
"Penelitian ini menganalisis kebijakan antiterorisme yang dikemukakan oleh Presiden Prancis François Hollande dan Emmanuel Macron melalui pidato kenegaraan mereka. Menggunakan pendekatan Analisis Wacana Kritis (AWK) yang dikembangkan oleh Norman Fairclough (2003), penelitian ini mengeksplorasi bagaimana kedua presiden membingkai narasi kebijakan mereka dalam konteks serangan teror yang mengguncang Prancis tahun 2015. Selain itu, penelitian ini merujuk pada konsep perbedaan pandangan politik yang diungkapkan oleh Raymond Aron dalam bukunya L’Opium des Intellectuels (1955), yang menyoroti pengaruh ideologi dan konteks sosial terhadap kebijakan publik. Hasil analisis menunjukkan bahwa Hollande, meskipun berusaha menekankan nilai-nilai kemanusiaan dan solidaritas, seringkali terjebak dalam kebijakan yang memperkuat langkah-langkah keamanan yang ketat. Sebaliknya, Macron menunjukkan pergeseran menuju pendekatan yang lebih tegas dan militaristik, terutama setelah pengesahan undang-undang kontraterorisme yang kontroversial. Penelitian ini mengungkapkan ketegangan antara retorika politik dan realitas kebijakan yang diimplementasikan, serta tantangan yang dihadapi pemerintah dalam menyeimbangkan antara keamanan dan hak asasi manusia. Dengan demikian, penelitian ini memberikan wawasan mendalam tentang dinamika kebijakan anti-terorisme di Prancis dan implikasinya terhadap masyarakat, serta pentingnya memahami hubungan antara wacana politik dan struktur kekuasaan dalam konteks global yang semakin kompleks.

This research analyzes the anti-terrorism policies articulated by French Presidents François Hollande and Emmanuel Macron through their state speeches. Utilizing the Critical Discourse Analysis (CDA) approach developed by Norman Fairclough (2003), this study explores how both presidents frame their policy narratives in the context of terrorist attacks that have shaken France in 2015. Additionally, the research references the concept of differing political perspectives articulated by Raymond Aron in his book L’Opium des Intellectuels (1955), highlighting the influence of ideology and social context on public policy. The analysis results indicate that while Hollande strives to emphasize humanitarian values and solidarity, he often becomes trapped in policies that reinforce strict security measures. Conversely, Macron demonstrates a shift towards a more assertive and militaristic approach, particularly following the controversial enactment of counter-terrorism laws. This research highlights the tension between political rhetoric and the realities of implemented policies, as well as the challenges faced by the government in balancing security and human rights. Thus, this study provides indepth insights into the dynamics of anti-terrorism policy in France and its implications for society, emphasizing the importance of understanding the relationship between political discourse and power structures in an increasingly complex global context."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Hana Chaterein Immanuela
"Laïcité merupakan konsep sekularisme yang telah berkembang dan dianut oleh Prancis sejak lama. Prinsip laïcité menekankan pemisahan secara ketat urusan agama dengan negara. Konsep ini mengatur kehidupan dan kebebasan beragama di Prancis (Kiwan, 2023). Undang-undang nomor 2004-228 tanggal 15 Maret 2004 merupakan salah satu implementasi konsep laïcité. Undang-undang ini mengatur penggunaan atau pemakaian atribut keagamaan di Prancis. Akan tetapi, semakin lama peraturan ini semakin berkembang dan terus membatasi penggunaan atribut khususnya milik umat Muslim, seperti pelarangan penggunaan jilbab, penutup wajah burqa dan niqab, pakaian renang burkini, dan pada tahun 2023 pelarangan penggunaan baju panjang abaya di institusi pendidikan Prancis oleh Gabriel Attal. Artikel ini akan membedah pernyataan-pernyataan dari Gabriel Attal dan Emmanuel Macron yang menunjukkan adanya ketakutan tertentu, serta melihat hal yang melatarbelakangi munculnya peraturan ini, dengan menggunakan metode penelitian kualitatif milik Creswell (2014) dan teori Analisis Wacana Kritis milik Van Dijk (2015). Temuan dalam penelitian ini menunjukkan adanya motif tertentu dari Gabriel Attal di balik pelarangan abaya, yang mana hal ini memberikan keuntungan politik kepadanya. Selain itu, pernyataan-pernyataan milik Gabriel Attal dan Emmanuel Macron sebagai kepala negara yang negatif terhadap kaum Muslim memengaruhi pandangan masyarakat Prancis.

Laïcité is a concept of secularism that France has developed and embraced for a long time. The principle of laïcité emphasizes the strict separation of religion from the state. This concept regulates life and religious freedom in France (Kiwan, 2023). The law number 2004-228 dated March 15, 2004 is one of the implementations of the concept of laïcité. This law regulates the use or wearing of religious attributes in France. However, over time this regulation has grown and continues to restrict the use of attributes especially belonging to Muslims, such as the ban on the use of headscarves, burqa and niqab face coverings, burkini swimsuits, and in 2023 the ban on the use of abaya long dresses in French educational institutions by Gabriel Attal. This article analyzes statements from Gabriel Attal and Emmanuel Macron that show a certain fear, and looks at the background of the emergence of this regulation, using Creswell's qualitative research method (2014) and Van Dijk's Critical Discourse Analysis theory (2015). The results of this study show that Gabriel Attal has certain motives behind the abaya ban, which gives him political benefits. In addition, Gabriel Attal's and Emmanuel Macron's statements as head of state that are negative towards Muslims influence the perception of the French people."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Bob Lestari
"Fokus penelitian ini adalah pemikiran Partai Kristen Indonesia dalam Dewan Konstituante khususnya tentang Dasar Negara dan Hak Asasi Manusia. Dimulai dari kelahirannya serta keikutsertaannya dalam Pemilu 1955, menjadi fraksi dalam Dewan Konstituante serta sikapnya dalam menanggapi anjuran pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945. Penulisan skripsi ini menggunakan metode sejarah. Periode penelitian dimulai dari tahun 1955 hingga 1959.

The focus of this study is to know how Partai Kristen Indonesia think about ideology and human right in constituante council of Indonesia. The purpose of this study is to understand about which ideology and human right that the party wanted. But it will begin with dynamic process of the party and ended by the stand of the party to face “kembali kepada UUD 1945”. This research is based on history metod. The periode of this research will begin from year 955 to 1959."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S46927
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firdania Iryanti
"Sebagai negara yang meregulasi praktik prostitusi, Prancis memiliki serangkaian kebijakan dan masalah seputar legalitas Pekerja Seks Komesial (PSK). Setelah penandatangan konvensi PBB (mengenai eksploitasi manusia) pada tahun 1949, Prancis resmi menjadi negara abolisionis yang melarang praktik muncikari dan transaksi seksual berbayar yang melibatkan pihak ketiga. Larangan ini kemudian yang menjadi dasar pembuatan kebijakan pada masa pemerintahan Nicolas Sarkozy dan François Hollande. Penelitian ini membandingkan kebijakan mengenai regulasi praktik prostitusi pada masa pemerintahan Nicolas Sarkozy dan masa pemerintahan François Hollande dengan menggunakan metode kualitatif dan teknik studi kepustakaan. Penelitian ini membuktikan bahwa keputusan Sarkozy untuk mengimplementasikan la Loi pour la Sécurité Intérieure (le délit de racolage) pada tahun 2003 menimbulkan masalah karena PSK menjadi pihak yang dikriminalisasi. Di sisi lain, keputusan Hollande untuk menghapus kebijakan Sarkozy dan menerapkan la Loi de Pénalisation de Client de Prostituée juga tidak menyelesaikan masalah karena mengkriminalisasi pelanggan jasa prostitusi. Pada akhirnya, penelitian ini membuktikan bahwa Sarkozy dan Hollande memiliki pendekatan berbeda dalam menanggulangi masalah prostitusi, namun tujuan akhir dari keduanya adalah untuk menghapus budaya prostitusi di Prancis secara bertahap.

As a state that regulates prostitution, France has a set of policies and problems on the legalities of commercial sex workers (CSWs). After ratifying a UN convention (on abolishing slavery and human trafficking) in 1949, France banned pimping activities and third-party sexual transactions, thus officially becoming an abolitionist state. This ban became the precedent for regulations made by the Nicolas Sarkozy and François Hollande administration respectively. This research compares the regulations on prostitution by both administrations using qualitative method and literature review. This research shows that Sarkozy’s decision to implement la Loi pour la Sécurité Intérieure (le délit de racolage) in 2003 was problematic as it criminalises CSWs. On the other hand, Hollande’s decision to reverse Sarkozy’s policy and enact la Loi de Pénalisation de Client de Prostituée also fails to offer a solution as it instead criminalises patrons of prostitution. Finally, this research proves that although both Sarkozy and Hollande have different approaches to curb prostitution, their goal is to gradually suppress prostitution culture in France."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Mikha Benanta
"Fokus dari penulisan karya tulis ini adalah untuk memperlihatkan bagaimana perubahan kebijakan keamanan energi nuklir Prancis pasca peristiwa Fukushima dikaji dari kajian keamanan internasional, ekonomi politik internasional, dan masyarakat transnasional. Dalam kajian keamanan internasional, perubahan kebijakan keamanan energi Prancis akan dilihat dari perubahan penggunaan kekuatan militer dan juga intervensi politik di lokasi sumber energi nuklir Prancis, kajian ekonomi politik internasional fokus pada perubahan produksi bahan baku dan juga energi nuklir siap pakai, sedangkan dalam kajian masyarakat internasional akan melihat bagaimana perubahan posisi energi nuklir di Prancis sebagai energi yang mampu digunakan dalam jangka waktu yang panjang dan memiliki dampak kerusakan lingkungan yang minim.

The following academic writing attempts to show the changing of French nuclear energy security policy after ?nuclear disaster? took place in Fukushima, Japan. To highlight the change, the study havce employed three different academic frameworks of analysis namely: international security, international political economy, and transnational society. International security focuses on the changing of French military and political intervention on location of nulear mining, in the mean time, through international political economy, the paper sees the changing of French nuclear sources and nuclear energy production, while transnational society sees how nuclear energy position altered as a perpetual and enviromentalfriendly energy secources."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Velda Leona Dewi
"Modal sosial berasal dari posisi dan status sosial seseorang, yang mampu membuat suatu individu menggerakkan kelompok atau individu lain yang memiliki sumber daya atau kewenangan modal untuk tujuan tertentu. Keberhasilan Prancis dalam menjadikan nuklir sebagai energi hijau dalam ranah Uni Eropa mempromosikan energi hijau, mengindikasikan adanya modal sosial yang dimiliki oleh Prancis. Hal tersebut menjadi pembahasan dalam penelitian ini sebab Prancis mendukung penuh cenderung tidak goyah, dan mendapatkan banyak penolakan dalam mempromosikan energi hijau di European Green Deal. Kontradiksi terjadi pada tahun 2021, saat EU Taxonomy memasukkan dan mempertimbangkan nuklir menjadi energi berkelanjutan rendah karbon dengan syarat. Penelitian ini mengulik alasan Prancis mendukung keras nuklir sebagai energi hijau serta hal apa yang membuat nuklir mampu masuk dalam bursa energi hijau. Melalui konsep kepentingan nasional Thierry de Montbrial, penelitian ini mampu menemukan alasan Prancis mendukung penuh nuklir sebagai energi hijau dan melalui teori modal sosial Bourdieu, ditemukan modal sosial yang Prancis miliki sehingga nuklir diterima sebagai energi hijau. Kedua teori ini erat kaitannya dengan identitas, maka digunakan teori indentitas Stuart Hall untuk menjadi jembatan antara keduanya. Melalui penelitian ini diketahui bahwa Prancis memiliki identitas yang kuat di masa lalu, sehingga merujuk pada kepentingan nasionalnya saat ini yaitu menjadi negara superpower beridentitas. Nuklir yang menjadi strategi Prancis membutuhkan aspek modal sosial untuk mendukung keberhasilannya. Dengan identitasnya yang kuat, modal sosial Prancis beragam di antaranya adalah pelopor Uni Eropa, pelopor energi hijau dan ekosistemnya, serta konsistensi penggunaan nuklir di negaranya. Pada akhirnya, power yang berasal dari identitas adalah modal sosial utama Prancis dalam menjadikan nuklir sebagai energi hijau.

Social capital comes from a person's position and social status, which is able to make an individual move a group or other individuals who have capital resources or authority for certain purposes. France's success in making nuclear a green energy within the realm of the European Union in promoting green energy indicates that France has social capital. This is the subject of discussion in this study because France fully supports it, tends not to falter, and receives a lot of resistance in promoting green energy in the European Green Deal. The contradiction occurs in 2021, when the EU Taxonomy includes and considers nuclear to be a low-carbon sustainable energy with conditions. This research explores the reasons why France strongly supports nuclear as green energy and what makes nuclear capable of being included in the green energy market. Through Thierry de Montbrial's concept of national interest, this research is able to find out why France fully supports nuclear as green energy and through Bourdieu's theory of social capital, French social capital is found so that nuclear is accepted as green energy. These two theories are closely related to identity, so Stuart Hall's identity theory is used to become a bridge between the two. Through this research it is known that France has had a strong identity in the past, so that it refers to its current national interest, which is to become a superpower country with an identity. Nuclear as a French strategy requires aspects of social capital to support its success. With its strong identity, France's social capital is diverse, including being a pioneer of the European Union, a pioneer of green energy and its ecosystem, as well as the consistency of the use of nuclear in the country. In the end, power that comes from identity is France's main social capital in making nuclear a green energy. "
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roestini Wulan Indrakesuma
"Dalam skripsi ini, kami membahas pemikiran Soekarno tentang rakyat Marhaen. Untuk ini skripsi kami bagi menjadi lima bab. Bab pertama: menjelaskan riwayat hidup, latar belakang pemikiran Soekarno, dan kehidupan politik selama perjuangan Soekarno sampai masa kemerdekaan. Riwayat hidup Soekarno menjelaskan bahwa ia adalah anak seorang guru Jawa dan ibu asal bangsawan Bali. Ia terpengaruh oleh kebudayaan Jawa khususnya cerita wayang. Disamping itu ia belajar di HBS Surabaya lalu melanjutkan ke THS Bandung sampai lulus. Ia menikah dengan Inggit Garnasih, Fatmawati, dan lain-lain yang tujuan perkawinannya kadang-kadang berlatar belakang politis. Masa hidup Soekarno penuh ditandai dengan perjuangan menegakkan kemerdekaan, mempersatukan bangsanya dan memberi landasan ideologis terhadap perjuangan itu. Soekarno yang lahir pada tanggal 6 Juni 1901 itu berhasil mengantarkan bangsanya menuju pintu kemerdekaan, dan ia wafat sebelum mampu menciptakan idealisasinya tentang terhentuknya rakyat Marhaen pada tanggal 21 Muni 1970. Meskipun demikian, ia telah berhasil menguraikan pemikiran tentang keberadaan rakyat Marhaen di dalam karangan-karangannya yang terdapat di dalam buku Di bawah Bendera Revolusi, Indonesia Menggugat, Amanat Proklamasi Pidato 17 Agustus, Lahirnya Pancasila, Sarinah, Mencapai Indonesia Merdeka dan lain-lainnya. Latar belakang pemikiran Soekarno ditandai dengan adanya ideologi Islam, Marxisme dan Nasionalisme. Soekarno adalah sintesa dari Nasionalisme, Islam dan Marxisme. Ideologi Islam diterima Soekarno dari Cokroaminoto, bapaknya Fatmawati dan ayahnya sendiri yang beraliran Islam Jawa. Ajaran Marxisme diterima Soekarno dari temannya yang bernama Semaun, Musa dan Alimin. Sedangkan ideologi Nasionalisme diterima Soekarno dari pengamatannya yang tajam terhadap kehidupan bangsanya sendiri yang terdiri dari berbagai suku bangsa, adat, agama tetapi mempunyai persamaan nasib. Kehidupan politik di masa perjuangan Soekarno ditandai oleh adanya berbagai gerakan yang masih terpecah belah dalam bidang ideologis sehingga akan meluntur tujuan perjuangan bangsa. Oleh karena itu, la membentuk PNI dengan landasan Marhaenisme dan membentuk PPPKI yang akan menghimpun seluruh kekuatan rakyat."
Depok: Universitas Indonesia, 1987
S16063
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andina Hapsari
"Konsep `harmonis`telah menjadi bagian dari budaya masayarat RRT sejak lama. Konsep ini tetap dipegang teguh oleh masyarakat RRT hingga sekarang khususnya setelah Hu Jintao mengangkat konsep ini sebagai target dari masa pemerintahannya dengan slogan `Membangun Masyarakat Sosialis Harmonis`. Makalah ini membahas mengenai apa yang dimaksud dengan masyarakat harmonis dan mengapa Hu Jintao menjadikannya sebagai target dari masa pemerintahannya. Penelitian dilakukan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan historis, yang mencakup tahap heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Dari hasil penelitian ini terungkap bahwa masyarakat harmonis pada masa pemerintahan Hu Jintao adalah masyarakat yang demokratis yang diatur oleh hukum, jujur dan adil, dapat dipercaya, stabil dan tertib, serta menjaga hubungan yang baik antara manusia dan lingkungan alamnya. Latar belakang Hu Jintao serta keadaan RRT pada masa perintahannya menyebabkan membangun masyarakat sosialis harmonis sebagai target masa pemerintahannya.

The concept of harmony has been part of the Chinese culture for a long time. This concept has been firmly held by the Chinese, especially after Hu Jintao promoted this concept as a target of his administration with "Building a Harmonious Socialist Society" as its slogan. This paper will discuss what does harmonious society mean and why did Hu Jintao made it as the target of his administration. The study was conducted using a qualitative method with a historical approach, which includes the stages of heuristics, criticism, interpretation, and historiography. From the research that have been gathered so far, harmonious society during Hu Jintao's administration was a society that is democratic and ruled by law; fair and just; trustworthy and fraternal; full of vitality, stable and orderly; as well as maintaining good relations between humans and their natural environment. Hu Jintao's background and the condition of the PRC at that time led him to make harmonious society as the focus in his administration."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>