Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 148758 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anindita Galuh Saraswati
"Skripsi ini membahas Artemis Accords sebagai kerangka hukum internasional baru yang mengatur eksplorasi dan eksploitasi sumber daya ruang angkasa. Artemis Accords bertujuan untuk menunjang kegiatan komersial sumber daya ruang angkasa berdasarkan Outer Space Treaty. Artemis Accords tidak menggunakan Moon Agreement sebagai dasar perjanjiannya karena Moon Agreement mengatur bahwa Bulan, benda-benda ruang angkasa lain, dan sumber daya di dalamnya merupakan common heritage of mankind (CHM) yang manfaatnya harus dibagi kepada seluruh umat manusia dan tidak ada negara manapun yang dapat melakukan apropriasi atas ruang angkasa, berbeda dengan Artemis Accords yang tidak mengatur hal tersebut. Sementara itu, Outer Space Treaty mengatur bahwa ruang angkasa bebas untuk diakses dan dimanfaatkan oleh semua negara selama berlandaskan kepentingan seluruh negara dan menjadi province of all mankind (POM). Berdasarkan hal tersebut, prinsip yang lebih baik untuk mengatur eksplorasi dan eksploitasi sumber daya ruang angkasa adalah prinsip CHM. Akan tetapi, apabila implementasi prinsip CHM di ruang angkasa dibandingkan dengan wilayah berstatus CHM lainnya, terlihat bahwa hukum ruang angkasa internasional belum mengatur secara spesifik mekanisme hukum eksplorasi dan eksploitasi sumber daya ruang angkasa serta pembagian manfaat yang adil untuk semua negara. Dalam hal ini, Artemis Accords juga belum mengatur mekanisme hukum yang jelas dalam eksplorasi dan eksploitasi sumber daya ruang angkasa dan tidak memandang ruang angkasa sebagai CHM, maka dari itu terdapat kemungkinan terjadinya eksploitasi berlebih oleh negara tertentu yang dapat merugikan keberlanjutan sumber daya ruang angkasa.

This thesis discusses the Artemis Accords as a new international legal framework governing the exploration and exploitation of space resources. Artemis Accords aims to support commercial activities of space resources under the Outer Space Treaty. The Artemis Accords did not based its principles on the Moon Agreement because the Moon Agreement stipulates that the Moon, other celestial bodies, and its resources are the common heritage of mankind (CHM) which its benefits must be shared with all mankind and no other country can make appropriations over space, in contrast to the Artemis Accords which does not regulate this. Meanwhile, the Outer Space Treaty stipulates that outer space is free to be accessed and utilized by all countries as long as it is based on the interests of all countries and becomes a province of all mankind (POM). Based on this, a better principle for regulating the exploration and exploitation of space resources is the CHM principle. However, if the implementation of the CHM principle in space is compared with other CHM status areas, it appears that international space law has not specifically regulated the legal mechanism for the exploration and exploitation of space resources and equitable benefit sharing for all countries. In this case, the Artemis Accords also has not regulated a clear legal mechanism in the exploration and exploitation of space resources and does not view space as a CHM, therefore there is a possibility of overexploitation by certain countries which can harm the sustainability of space resources."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Weir, Andy
Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka utama, 2021
808.83 AND a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Alif Nurfakhri Muhammad
"Ruang Angkasa, sebagai suatu wilayah yang digolongkan sebagai common heritage of mankind dijamin kebebasan penggunaannya oleh Outer Space Treaty 1967. Namun, perjanjian internasional tersebut belumlah cukup dalam mengatur aktivitas militer di Ruang Angkasa. Hal ini dibuktikan dengan penggunaan Ruang Angkasa oleh Amerika Serikat dan Republik Rakyat Cina untuk pengujian-pengujian senjata. Kedua negara tersebut berpendapat secara konsisten dalam praktiknya bahwa Ruang Angkasa dapat digunakan untuk aktivitas-aktivitas militer yang tidak agresif terhadap negara lain. Oleh karena itu, perlu dikaji kembali peraturan-peraturan dalam perjanjian-perjanjian internasional, baik yang berkaitan langsung dengan aktivitas Ruang Angkasa, maupun pemahaman-pemahaman para ahli dalam menginterpretasikan perjanjian-perjanjian internasional yang dapat diaplikasikan kedalam masalah aktivitas-aktivitas tersebut. Skripsi ini akan berusaha menjelaskan mengenai hukum-hukum internasional secara umum mengenai aktivitas militer dan secara khusus mengenai aktivitas-aktivitas militer yang agresif di Ruang Angkasa. Lebih spesifik lagi, skripsi ini juga akan berusaha secara hukum dan kebijakan, mengeksplorasi mengenai aktivitas agresif Amerika Serikat dan Republik Rakyat Cina di Ruang Angkasa. Aktivitas ini akan dianalisis dengan membaginya kedalam tiga kategori pengaturan, dari aktivitasnya menurut Outer Space Treaty, dari sifat pelaksanaannya, serta dari dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan di Ruang Angkasa. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka akan disarankan bahwa perlu pembahasan lebih lanjut terkait perjanjian-perjanjian internasional yang lebih spesifik bagi aktivitas militer di Ruang Angkasa, yang mana dapat diawali dengan usaha-usaha pendekatan soft law dengan membuat manuals yang terfokus pada hal tersebut.

Outer Space, as a common-heritage-of-mankind territory was guaranteed the freedom of use by the Outer Space Treaty of 1967. However, this treaty alone did not cover the whole aspects of military activity in Space. Such “incompletion” was why the United States and China conducted “military testing” of antisatellite weapons. Both Nations have, consistently showed that their practice in Outer Space was “non-aggressive”, as to their understanding of the peaceful purposes stipulation under the treaty. Hence, it is within this thesis to revisit all relevant international law sources, as a way to comprehensively understand the alternative legal basis to military activities in Outer Space. This thesis will also analyze experts’ opinion on military activity in Outer Space and their understanding of the relevant international law sources. Based on this analysis it can also be advised that there is an emerging need to revisit the law to Outer Space internationally, especially on the matter of military activities.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kurnia Wamilda Putra
"Benda-benda ruang angkasa bukan hanya merupakan sarana positlp bagi kesejahteraan umat manusia, namun juga bisa ancaman potensial yang berart i bagi "negara kolong", pada saat benda-benda tersebut mengalami kerusakan dan Jatuh ke bumi. "Reglstration Convention 1975" dan "Liability Convention « a n 2 n dlbentuk untuk mengantisipasi permasalahan diatas, yaitu dengan menciptakan mekanisme identifikasi dan ganti rugi. Indones ia sejauh ini belum merati £ i kas i konvensi-konvensi tersebut karena adanya ganjalan dari undang-undang nasional di ruang angkasa, hal mana tidak selaras dengan aspirasi internasional yang tertuang dalam "Space Treaty dan konvensi-konvensi tentang ruang angkasa lainnya, tidak membenarkan adanya klaim kedaulatan di ruang angkasa. yang mengklaim kedaulatan 1967" yang Mengingat dampak positip yang timbul seandainya kita (Indonesia) meratifikasi "Registration Convention 1975" "Liability Convention 1972" dan maka wajar seandainya Indonesia segera meratifikasi kedua konvensi tersebut. Keuntungan yang dapat diambil adalah penyederhanaan proses penelitian ganti rugi melalui forum multilateral."
1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Megah
"ABSTRAK
Kegiatan wisata ruang angkasa merupakan salah satu contoh dari kegiatan komersialisasi di ruang angkasa. Saat ini, kegiatan tersebut masih dalam tahap pengembangan menuju bisnis masa depan yang sangat baik dari segi keuntungan. Sehingga, penjelasan seputar kegiatan wisata ruang angkasa adalah sebuah hal yang patut diketahui seluk-beluknya, terkait pula dengan aspek-aspek hukum internasional dan hukum nasional. Selain itu, sejauh ini sudah ada tujuh wisatawan ruang angkasa yang berangkat dalam kegiatan berwisata di ruang angkasa. Dari tujuh orang, akan dibahas tiga orang berdasarkan isu hukum penting menyangkut keberangkatan mereka dalam hal berwisata ke ruang angkasa. Dengan demikian, kegiatan wisata ruang angkasa adalah kegiatan yang paling mungkin dilakukan secara rutin di masa yang akan datang, sehingga pengaturannya secara internasional dan nasional harus ditata dengan baik, adil, dan bertanggung jawab.

ABSTRACT
Space tourism activities are one of example of commercialization activities in outer space. Currently, these activities are still in development progress to a future good business in terms of profit. Thus, the explanation about space tourism activities is thing to know the ropes and also related to aspects of international law and national law. Moreover, so far there are seven-space tourists who depart for tour to outer space. Of the seven people, will be discussed three people based on the most important legal issue in terms of their space tourism activities. Therefore, space tourism activities are activities that are most likely to be carried out routinely in the future, so that from internationally and nationally have arrangements good law with fair and responsible."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S319
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Metha Ramadita
"Sejak awal kemunculan space era, masyarakat internasional telah mendorong secara keras penggunaan ruang angkasa untuk tujuan damai (peaceful purposes). Namun, pengertian peaceful belum ada yang pasti hingga kini. Apakah kegiatan militer diperbolehkan atau tidak. Pada faktanya, sejak peluncuran Sputnik I, satelit tersebut sudah digunakan untuk tujuan militer. Sehingga, penjelasan mengenai kegiatan militer apa saja yang diperbolehkan di ruang angkasa menjadi sangatlah penting. Selain itu, mengingat semakin bergantungnya negara dengan teknologi ruang angkasa, dimulaui pengembangan teknologi anti-satellite untuk melindungi aset-aset nasional di ruang angkasa. Sejak tahun 1950an, sudah dilaksanakan uji coba anti-satellite weapons oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet yang mana banyak menimbulkan pertanyaan apakah kegiatan tersebut sesuai dengan prinsip peaceful purposes atau tidak. Oleh karena itu, juga perlu diketahui bentuk dari threat atau use of force dan pengecualiannya di ruang angkasa.

Since the dawn of space era, international community has voiced the use of outer space for peaceful purposes. However, there is no authoritative definition regard of peaceful until today. In fact, since the launced of Sputnik I, its objective was military purposes. Thus, it is important to know which one of military activity in outer space is permissible. Moreover, the increasing of national's dependency on space-based asset, make the states develope the anti-satellite to protect their national space asset. The employment of anti-satellite began since the late of 1950s by United States and Union of Soviet Socialist Republics. The test raised questions on its compliance with peaceful purposes principle. Therefore, it is also important to know the form of threat and use of force and its execptions in space."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S65247
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Istiqomah
"ABSTRAK
Pemanasan global merupakan salah satu indikator bahwa bumi ini sedang berada pada kondisi tertentu yang memerlukan perhatian lebih besar dari sebelumnya. Dalam isu pemanasan global, Arktik menjadi salah satu kawasan yang menarik perhatian dunia karena efek pemanasan global paling besar dapat dilihat di kawasan ini. Pada tahun 1996, sebuah forum kerjasama bernama Dewan Arktik dibentuk. Tujuan utama dari forum ini adalah untuk melindungi lingkungan, melestarikan sumber daya alam yang tersimpan, dan melaksanakan pembangunan berkelanjutan bagi masyarakat di kawasan Arktik. Setelah hampir 24 tahun pembentukan forum ini, kondisi Arktik justru semakin memprihatinkan. Lapisan es yang semula tebal menutupi permukaan, kini semakin menipis seiring dengan semakin bertambahnya suhu bumi. Sumber daya alam yang terkandung di dalam kawasan ini juga perlahan mulai berkurang kadarnya, dan hal ini bukan digunakan untuk kepentingan masyarakat Arktik itu sendiri. Dengan menggunakan teori regional security complex, penelitian ini akan menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan forum ini, serta alasan atas ketidakmampuan forum Dewan Arktik dalam mencapai tujuan pembentukannya. Pertanyaan yang hendak dijawab dalam peneltian ini adalah Mengapa pasca Dewan Arktik terbentuk masih terjadi eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan serta militerisasi di kawasan Arktik yang menyebabkan dampak pemanasan global tidak berkurang di kawasan ini? Pertanyaan selanjutnya adalah Mengapa negara-negara anggota Dewan Arktik tidak dapat memenuhi komitmen awal pembentukannya?

ABSTRACT
Global warming is one of the indicator that the earth, to some extent, requires greater attention than it does before. On the issue of global warming, the Arctic has become one of the regions that has attracted global attention because of the greatest global warming effect could be seen in this region. On 1996, a cooperation forum, named the Arctic Council, was created. The main purposes of this forum are to protect the environment, to conserve the stored natural resources, and to manage sustainable development for people in Arctic. After nearly 24 years of its establishment, the Arctic condition is even more alarming. The layer of ice that was originally thick has become thinner as the earth's temperature increases. The natural resources contained in this region are also starting to diminish, but not for the good of Arctic society. Using the regional security complex theory, this research will analyze the factors that influence the formation of this forum, as well as the reasons for the inability of the Arctic Council forum to achieve its goals. The question that needs to be answered in this research is: Why is it that after the Arctic Council was establish there was still natural resources excessive exploitation and the militarization in the Arctic region that caused the effects of global warming to not diminish in this region? The next question is, why can't the members of the Arctic Council meet their commitments to establish the forum?."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saiful Totona
"ABSTRAK
Disertasi ini membahas dinamika penguasaan tanah dan eksploitasi sumberdaya alam yang
berdampak pada krisis sosio-ekologi di wilayah Teluk Kao, Maluku Utara. Studi ini
menggunakan extended case method dengan teori regimes of dispossession dan metabolic rift.
Hasil studi menunjukkan, bahwa penguasaan tanah oleh negara dan perusahaan berlangsung di
bawah paksaan dan kekerasan dengan melibatkan elit adat telah menciptakan ketimpangan
penguasaan dan kepemilikan tanah, serta retaknya relasi sosial dalam masyarakat. Adapun
eksploitasi sumberdaya alam memiliki dampak negatif yang lebih luas, bukan hanya menutup
dan menghilangkan sarana produksi masyarakat terhadap tanah, tetapi telah berdampak pada
ketidakberlanjutan ekologi-pencemaran tanah, sungai dan laut yang mengakibatkan
terganggunya keberlanjutan produksi-konsumsi masyarakat, serta perubahan budaya. Studi ini
merekomendasikan agar kebijakan dan regulasi terkait penguasaan tanah untuk eksploitasi
sumberdaya alam harus ditinjau kembali dalam upaya pemulihan krisis sosio-ekologi di wilayah
Teluk Kao.

ABSTRACT
This dissertation discusses the dynamics of land control and exploitation of natural resources that
have an impact on the socio-ecological crisis in the region of Teluk Kao, North Maluku. This
study used the extended case method with the theory of regimes of dispossession and metabolic
rift. The results of the study showed that land control by the state and companies took place
under coercion and violence by involving indigenous elites which created inequalities in land
control and ownership, as well as the breakdown of social relations within the community. The
exploitation of natural resources had a wider negative impact, not only closing and eliminating
community production facilities on land, but had an impact on ecological unsustainability pollution of land, rivers and seas which resulted in disruption of the sustainability of community
production consumption, as well as cultural changes. This study recommends that policies and
regulations relating to land control for the exploitation of natural resources must be reviewed in
the context of restoring socio-ecological crisis in the Teluk Kao region."
Universitas Indonesia, 2019
D2713
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Toweula, Stefan Bonardo
"Skripsi ini membahas hal-hal apa saja yang menjadi tanggung jawab dan kewajiban sponsoring state dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di area dasar laut Internasional (Kawasan) yang dilakukan oleh subjek hukum privat yang disponsori olehnya. Kawasan merupakan wilayah dasar laut yang terletak di luar yurisdiksi negara manapun dan menyimpan kekayaan sumber daya mineral yang begitu besar. International Seabed Authority melaui Bab XI dari UNCLOS 1982 merupakan lembaga yang diberikan kewenangan untuk mengatur segala macam kegiatan eskplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral yang dilaksanakan di Kawasan. Salah satu fungsi dari International Seabed Authority adalah mempromosikan partisipasi efektif dari negara-negara berkembang untuk melakukan kegiatan di Kawasan. Akan tetapi sampai saat ini tidak banyak negara berkembang yang terlibat secara efektif dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di Kawasan. Minimnya partisipasi negara berkembang ini lebih disebabkan kepada kurang jelasnya tanggung jawab dan kewajiban negara-negara yang terlibat secara efektif dalam kegiatan di Kawasan. Kekurangjelasan ini menyebabkan banyak negara-negara berkembang tidak mampu untuk menakar apakah dirinya sanggup untuk terlibat dalam kegiatan di Kawasan. Dalam pembahasan demi pembahasan di skripsi ini, akan dijelaskan mengenai apa yang menjadi tanggung jawab dan kewajiban dari negara-negara terkhusus sponsoring state dalam melakukan kegiatan di Kawasan berdasarkan Advisory Opinion dari Seabed Disputes Chamber tahun 2011. Secara ringkas, kejelasan mengenai tanggung jawab dan kewajiban negara dalam kegiatan di Kawasan membuat partisipasi negara-negara berkembang mulai bermunculan.

This undergraduate thesis discusses the responsibilities and obligations of Sponsoring State in accordance with activities of exploration and exploitation in International Seabed Area (The Area) carried by the private subject which is sponsored by such state. The Area is area of seabed that lies outside the jurisdiction of any state which holds extremely huge amount of mineral resources. International Seabed Authority through Part XI of UNCLOS 1982 is an institution authorized to organize all sorts of activities to explore and exploit the mineral resources in the Area undertaken. One of the functions of the International Seabed Authority is to promote the effective participation of developing countries to carry out activities in the Area. But until 2011, not many developing countries engage effectively in the activities of exploration and exploitation in the Area. The lack of participation of developing countries is due to the lack of clear responsibilities and obligations of the states that effectively engage in activities in the Area. This lack of clarity led to many developing countries not to be able to measure whether they are have the capability to engage in activities in the Area. In the analysis in this paper, will be explained about what the responsibilities and obligations of states especially those sponsoring state in conducting activities in the area by the Advisory Opinion of the Seabed Disputes Chamber in 2011. In summary, the clarity regarding the responsibilities and obligations of the state in accordance with activities in The Area make the effective participation of developing countries began to appear.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S62567
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>