Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 164240 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lubis, Anggi Mariatulkubtia
"Tulisan ini mengkaji tahapan diplomasi ekonomi Indonesia terkait aktifnya ekspansi PT Wijaya Karya Tbk. (WIKA) sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ke Afrika. Dalam mengkaji fenomena tersebut, studi ini menggunakan konsep kapitalisme negara dan tipologi diplomasi ekonomi (traditional, niche-focused, evolving, inovatif) yang ditawarkan oleh Kishan Rana (2007). Adapun metodologi yang digunakan adalah metode kualitatif melalui studi literatur dan wawancara. Keaktifan ekspansi WIKA dapat dikaji sebagai bagian dari praktik kapitalisme negara di Indonesia. Berdasarkan studi literatur yang dilakukan tulisan ini mengidentifikasi tiga praktik kapitalisme negara dibawah pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pertama, perencanaan tersentral dalam menentukan tujuan dan lokasi ekspansi. Kedua, bantuan permodalan, mengingat posisi pemerintah sebagai pemegang saham terbesar. Ketiga, diplomasi ekonomi untuk membuka akses pasar dan menjaga hubungan dengan pemerintah di negara tujuan. Berdasarkan temuan tersebut, tulisan ini berargumen bahwa internasionalisasi WIKA tidaklah semata-mata dilakukan dalam upaya mencari keuntungan, namun juga dipengaruhi oleh faktor politik dan dorongan negara untuk memenuhi kepentingan nasional, termasuk perluasan pengaruh ke pasar baru dan kepentingan elektoral. WIKA menjadi ujung tombak bagi sektor konstruksi dan infrastruktur yang dianggap sebagai sektor unggulan bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo. Lebih jauh, terkait tahapan diplomasi ekonomi sebagai bagian penting dari praktik kapitalisme negara, penulis menyimpulkan bahwa diplomasi ekonomi Indonesia dalam ekspansi WIKA ke Afrika berada dalam tahap transisi dari evolving menuju inovatif. Atas dasar tersebut, penulis mengusulkan terminologi departing atau tinggal landas untuk menyebut tahap transisi ini.

This study analyses the state’s application of economic diplomacy phases in the active expansion of PT Wijaya Karya Tbk. (WIKA), a state-owned enterprise, to Africa as a part of Indonesia’s practice of state capitalism. Based on literature reviews, this study has identified the concept of state capitalism practiced by the Joko Widodo regime, i.e., (1) Centralized planning for the determination of expansion objectives and locations, (2) Economic diplomacy to open markets and maintain relations with destination countries, and (3) Capital assistance, considering the government’s status as the majority shareholder. Based on these findings, this thesis argues that the internationalization of WIKA is not driven exclusively by profit, but also influenced by political factors as well as the state’s push to meeting national interests, which includes influence expansion to new markets and electoral interests. WIKA has become the spearhead of the construction and infrastructure sectors, the champion sectors for the Widodo regime. Further, this thesis explores Indonesia’s economic diplomacy phases—a vital part of state capitalism—through qualitative method, utilizing the developing countries’ economic diplomacy typology offered by Kishan Rana (2007): traditional, niche-focused, evolving and innovative. Based on these case studies, this thesis has determined that Indonesia’s economic diplomacy in the WIKA expansion to Africa is a transition from the evolving to inovatif phases. This thesis recommends the use of the term ―departing‖ or ―taking off‖ to define this transition phase."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stephanie Lidya Nashirah Suprapto
"Tidak semua duta besar yang diangkat oleh suatu negara merupakan seorang diplomat karier. Di Indonesia, pengangkatan duta besar dari kalangan diplomat non-karier kerap hadir dari masa ke masa. Meskipun agenda reformasi telah menghadirkan kriteria duta besar dengan landasan hukum yang jelas, di era Presiden Joko Widodo, tetap terdapat peningkatan persentase duta besar Republik Indonesia yang merupakan diplomat non-karier daripada pemerintahan sebelumnya. Selain itu, Presiden Joko Widodo mengangkat orang-orang yang pengalamannya tidak relevan dengan diplomasi secara umum maupun diplomasi ekonomi secara khusus sebagai fokus yang ia tekankan. Fenomena-fenomena tersebut memunculkan pertanyaan tentang pola pengangkatan duta besar Republik Indonesia di era Presiden Joko Widodo. Penelitian kuantitatif ini memanfaatkan teori patronase untuk menjawab pertanyaan tersebut. Penelitian menggunakan data 170 pengangkatan duta besar di era Presiden Joko Widodo dari tahun 2014 hingga 2024. Penelitian ini menemukan bahwa patronase dalam bentuk duta besar Republik Indonesia dengan latar belakang bisnis lebih mungkin ditempatkan di negara yang derajat hubungannya lebih tinggi dengan Indonesia dan lebih strategis secara ekonomi bagi Indonesia. Penelitian juga menemukan bahwa duta besar Republik Indonesia dari TNI dan Polri lebih mungkin ditempatkan di negara yang lebih tidak damai. Pola pengangkatan ini tampak paralel dengan visi diplomasi ekonomi, tetapi tidak dapat dikatakan menguntungkan kepentingan nasional semata mengingat pertimbangan politik domestik Presiden Joko Widodo dalam mengangkat pebisnis. Alhasil, sesuai dengan pemahaman bahwa Presiden merupakan aktor sentral dalam kebijakan luar negeri, pola pengangkatan ini juga mencerminkan sentralitas peran Presiden yang determinan sekaligus keterbatasan peran birokratik Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Republik Indonesia dalam pengangkatan duta besar. Kemlu menjadi tempat bagi Presiden Joko Widodo untuk menyisipkan kepentingan politiknya. Dengan demikian, selama masa pemerintahannya, Presiden Joko Widodo melakukan patronase melalui pengangkatan duta besar Republik Indonesia.

Not all ambassadors appointed by a state are career diplomats. In Indonesia, ambassadorial appointments from non-career diplomats often exist from time to time. While the reformasi agenda has given a clear legal basis of ambassadorial criteria, in the era of President Joko Widodo, there is still an increase from the previous government in the percentage of ambassadors who are non-career diplomats. Moreover, President Joko Widodo appointed ambassadors with no relevant experience in diplomacy in general and economic diplomacy in particular as the focus that he emphasized. These phenomena raise the question of the pattern of ambassadorial appointment in the era of President Joko Widodo. This quantitative research utilizes the patronage theory to answer that question. This study uses the data of 170 ambassadorial appointments in the era of President Joko Widodo from 2014 to 2024. The result of this study showed that patronage in the form of ambassadors with a business background are more likely to receive appointments to countries with higher degree of relations with Indonesia as well as countries economically more strategic for Indonesia. This study also found that ambassadors from TNI and Polri are more likely to be appointed to less peaceful countries. While this pattern appears parallel to the economic diplomacy vision, it cannot be said that it is solely for the benefit of Indonesia’s national interest, bearing the President’s domestic politics considerations in appointing businessmen. Therefore, in accordance with the understanding that the President is a central actor in foreign policy, this pattern also reflects the centrality of the President’s determinant role and the limited bureaucratic role of the Ministry of Foreign Affairs (MoFA) of the Republic of Indonesia. MoFA becomes an arena for President Joko Widodo to insert his political interests. Thus, during his reign, President Joko Widodo carried out patronage through the appointment of ambassadors of Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karin Aramitha Iswari
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang kebijakan pertahanan Indonesia dalam
menghadapi destabilisasi kawasan di sekitar Natuna. Tesis ini adalah tesis
kualitatif yaitu menjelaskan mengapa fenomena itu terjadi. Hasil dari tesis ini
akan menyimpulkan bahwa selain Indonesia mempersiapkan diri dari ancaman di
sekitar kawasan, Indonesia juga menganggap bahwa Natuna adalah salah satu titik
strategis yang dapat mengamankan wilayah kedaulatan Indonesia. Indonesia
meningkatkan pertahanannya untuk menggapai impiannya yaitu sebagai negara
maritim serta untuk mencapai kerjasama yang dapat menguntungkan Indonesia.
Teori yang digunakan dalam tesis ini adalah teori decision making dengan model
rasionalitas Graham T. Allison. Hal ini dikarenakan hanya negara yang dapat
membuat kebijakan pertahanan dan keamanan negara. Tesis ini juga
mempertimbangkan faktor geopolitik wilayah Natuna dan Laut China Selatan;
bentuk maritime security yang ingin dicapai oleh Indonesia; serta hubungan
Indonesia dengan negara tetangga, Tiongkok, Amerika Serikat terkait
permasalahan Laut China Selatan.

ABSTRACT
This thesis explains about Indonesia?s defence policy in managing the
destabilization area around Natuna. This thesis is a qualitative study that explains
why the phenomenon happens. The thesis concludes that besides preparing itself
from threats that comes from around the region, Indonesia enhances its military
forces is also because Indonesia considers Natuna as one of the strategic points
that could guard the safety of Indonesia?s sovereign territory. Indonesia enhances
its military forces to reach its goal as a maritime country also to gain cooperations
that give benefits to Indonesia. The theory that is used in this thesis is the rational
model of decision making theory by Graham T. Allison. This model is used
because only state has the right to create the state?s defense and security policy.
This thesis also considers the geopolitical factors in Natuna region and South
China Sea; the characteristics of maritime security that Indonesia wants to gain;
also the relationship between Indonesia and its neighbouring countries, China,
United States of America that relates to the South China Sea Conflict.;"
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deka Komanda Yogyantara
"Penelitian ini membahas upaya Presiden Joko Widodo memperkuat posisi eksekutif dengan menggalang dukungan partai di luar koalisi pemerintah pasca pemilihan umum untuk menghindari potensi kebuntuan antara eksekutif dan legislatif. Fokus studi kasus yang diangkat adalah upaya yang dilakukan Presiden Joko Widodo menarik Partai Golkar ke dalam koalisi pemerintahan. Asumsi penelitian ini adalah Presiden Joko Widodo menggunakan ldquo;kotak alat eksekutif rdquo; yaitu seperangkat kewenangan yang dimiliki eksekutif untuk menarik Partai Golkar bergabung ke dalam koalisi pemerintah tahun 2016 untuk menjadikan koalisi pemerintah mayoritas di legislatif dan mencegah terjadinya kebuntuan antara eksekutif dan legislatif. Dengan menggunakan teori presidensialisme multipartai dan konsep presiden koalisional, penelitian ini membuktikan Presiden Joko Widodo menggunakan ldquo;kotak alat eksekutif rdquo; dalam menarik partai Golkar begabung ke dalam koalisi pemerintah, alasannya karena dengan jumlah kursi Partai Golkar di legislatif yang berjumlah 91 kursi berhasil mengubah posisi koalisi pemerintah yang awalnya 37.1 menjadi mayoritas yakni 68.9 . Kotak alat eksekutif yang digunakan berupa coalition goods yakni pembagian kursi menteri, serta porks yakni kebijakan-kebijakan seperti dana talangan Lapindo, SK Menkumham terkait pengesahan kubu Agung Laksono, dukungan terhadap calon ketua partai di dalam Musyawarah Luar Biasa Partai Golkar, serta dukungaan pengembalian kursi Ketua DPR untuk Setya Novanto.

This study discusses the efforts of President Joko Widodo to strengthen the executive position by raising party support beyond the post election government coalition to avoid potential deadlock between the executive and legislative. The focus of the case study is the efforts by President Joko Widodo to draw the Golkar Party into the government coalition. The assumption of this research is that President Joko Widodo use the executive toolbox , a set of executive owned powers, to draw the Golkar Party into the 2016 government coalition to make the government 39 s coalition majority in the legislative and prevent deadlocks between the executive and the legislative. Using the theory of multiparty presidentialism and the concept of coalitional president, this study proves that President Joko Widodo use an executive tool box to draw Golkar parties into the coalition of government, the reason is that the number of seats in Golkar Party in legislative is 91 seat managed to change the position of the government coalition which originally 37.1 to the majority of which is 68.9 . The executive tool box used in the form of coalition goods is the act of giving ministerial seats, as well as porks such policies such as Lapindo bailout, SK Menkumham related to endorse Agung Laksono administrator, support for candidate party chairman in Musyawarah Luar Biasa Golkar Party, as well as support for Setya Novanto as the chairman of Indonesian legislative body."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sindy Yulia Putri
"ABSTRAK
Isu ketenagakerjaan menjadi isu yang hangat pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Peningkatan daya saing tenaga kerja Indonesia menjadi perhatian khusus dari Pemerintah Indonesia. Hal ini berkontribusi terhadap pengembangan kompetensi SDM Indonesia untuk mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional. Tulisan ini bertujuan untuk melakukan analisis terhadap kebijakan Pemerintah Indonesia di era pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam meningkatkan daya saing sektor ketenagakerjaan. Sektor ketenagakerjaan masih menghadapi berbagai polemik dalam operasionalisasinya. Tenaga kerja Indonesia masih memiliki berbagai masalah, seperti kompetensi, latar belakang pendidikan, standar nasional tenaga kerja, teknologi, serta masih minimnya sarana dan prasarana. Dalam menganalisis isu ketenagakerjaan, tulisan ini mengimplementasikan konsep daya saing. Melalui konsep tersebut ditemukan, bahwa upaya peningkatan daya saing dapat dimulai dari substansi sektor tenaga kerja seperti keterampilan (skill) dan infrastruktur yakni kegiatan transfer teknologi untuk memajukan produktivitas tenaga kerja Indonesia. Kemudian, peningkatan daya saing juga membutuhkan reformasi sistem ketenagakerjaan yang diatur sedemikian rupa oleh pemerintah demi membangun kapasitas SDM yang jauh lebih baik di masa depan."
Jakarta: Biro humas settama lemhanas RI, 2018
321 JKLHN 35 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muthia Kartika Dewi
"Penelitian ini bertujuan untuk meneliti ada atau tidaknya pengaruh pengelolaan piutang
terhadap profitabilitas suatu perusahaan. Dalam penelitian ini menggunkan riset
dekriptif dengan metode pengumpulan data melalui data sekunder yang diperoleh dari
database aplikasi Thomson Reuters Eikon dan laporan keuangan perusahaan dengan 67
sampel perusahaan yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan pada tahun 2009 dan
2014. Olah data kemudian dilakukan dengan menggunakan Eviews 9 dan IBM SPSS
Statistics 22. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa terjadi perbedaan pada masingmasing
variabel pada awal dan akhir tahun periode pertama Presiden Joko Widodo.
Serta perputaran piutang berpengaruh positif signifikan sedangkan periode penagihan
rata-rata dan rasio piutang tak tertagih berpengaruh negatif signifikan terhadap
profitabilitas.

The study examines whether account receivable management influence the company’s
profitability. This study used descriptive research method and secondary data collected
through Thomson Reuters Eikon database and company’s financial report conducted on
67 companies which met the determined criteria on period 2014 and 2019. The data
was processed and carried out using Eviews 9 and IBM SPSS Statistics 22. The study’s
results indicate that there are differences in each variable at the beginning and end of
President Joko Widodo’s first term. Account receivable turnover has a positively
significant effect, while the average collection period and bad debts to account
receivable has a negatively significant effect on profitability.
"
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fachri Pramuja
"Globalisasi ekonomi merupakan titik kritis bagi perkembangan ekonomi politik internasional. Makalah ini mengkaji gambaran besar globalisasi ekonomi pada kebijakan negara dalam negeri, yang dalam hal ini adalah pembangunan infrastruktur maritim di era Presiden Joko Widodo (2014-2019). Menggunakan konsep kapasitas negara sebagai pisau analisis, makalah ini mengeksplorasi alasan baru untuk memprioritaskan pembangunan infrastruktur kelautan Indonesia yang dilaksanakan secara masif di bawah pemerintahan Joko Widodo. Di dalam Dalam tulisan ini, globalisasi ekonomi dilihat melalui kemampuan negara untuk menyediakan fasilitas dasar dalam pembangunan infrastruktur maritim dengan tujuan: efisiensi dan inovasi dalam menciptakan tingkat persaingan yang berkelanjutan daya saing) bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Apalagi konteks globalisasi Perekonomian juga ditinjau melalui dinamika regional yang menghasilkan narasi kekuatan maritim dan kehadiran investasi asing sebagai penggerak pembangunan infrastruktur. Dengan menggunakan metodologi kualitatif, penelitian ini menggunakan tiga metode: pengumpulan dan analisis data, yaitu analisis isi, studi pustaka, dan wawancara dalam. Ketiga metode ini digunakan untuk memahami sudut pandang dalam artikel ilmiah, analisis kebijakan, dan situasi strategis kasus. Temuan dalam penelitian ini menjelaskan bahwa [1] realisasi pembangunan infrastruktur maritim di Indonesia masih banyak yang dalam tahap perencanaan sehingga menyebabkan biaya tidak turun logistik antara wilayah barat dan timur Indonesia secara signifikan, [2] ada perbedaan retorika pemerintah untuk mencapai pembangunan infrastruktur maritim dengan implementasinya, [3] pembangunan infrastruktur maritim di Indonesia masih minim pendanaan asing.

Economic globalization is a critical point for the development of international political economy. This paper examines the big picture of economic globalization in domestic state policies, which in this case is the development of maritime infrastructure in the era of President Joko Widodo (2014-2019). Using the concept of state capacity as an analytical knife, this paper explores new reasons for prioritizing the massive development of Indonesia's marine infrastructure under the Joko Widodo administration. In this paper, economic globalization is seen through the ability of the state to provide basic facilities in maritime infrastructure development with the aim of: efficiency and innovation in creating a sustainable level of competition (competitiveness) for Indonesia's economic growth. Moreover, the context of economic globalization is also reviewed through regional dynamics that produce a narrative of maritime power and the presence of foreign investment as a driver of infrastructure development. Using a qualitative methodology, this research uses three methods: data collection and analysis, namely content analysis, literature study, and internal interviews. These three methods are used to understand the point of view in scientific articles, policy analysis, and case strategic situations. The findings in this study explain that [1] the realization of maritime infrastructure development in Indonesia is still in the planning stage, causing logistics costs to not decrease significantly between the western and eastern regions of Indonesia, [2] there are differences in the government's rhetoric to achieve maritime infrastructure development with its implementation. , [3] the development of maritime infrastructure in Indonesia is still minimal in foreign funding."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suca Nur Alam
"Feminisasi migrasi merupakan salah satu fenomena yang telah menjadi isu global. Pergerakan migrasi yang dilakukan oleh perempuan didorong oleh berbagai faktor, salah satunya kemiskinan. Sebagian besar perempuan yang bermigrasi memilih untuk bekerja menjadi pekerja rumah tangga (PRT). Posisi pekerjaannya yang berada dalam ranah perseorangan membuat PRT migran sulit untuk diawasi dan rentan mengalami berbagai permasalahan. Permasalahan yang dialami pekerja perempuan migran merupakan bentuk kekerasan berbasis gender. Kondisi tersebut yang seharusnya dapat menjadi catatan bagi setiap negara agar memberikan perlindungan terhadap pekerja perempuan migran. Hal ini dapat diwujudkan melalui pembuatan kebijakan yang bersifat responsif gender. Kebijakan responsif gender menunjukan adanya kesadaran bahwa terdapat perbedaan kondisi yang dialami oleh pekerja perempuan dan laki-laki di lapangan. Indonesia dalam hal ini merupakan salah satu negara yang mengalami sejumlah dinamika dalam upaya perlindungan pekerja migran Indonesia (PMI). Perubahan dan perkembangan sumber hukum terus terjadi hingga masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo di tahun 2014-2019. Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo mengeluarkan beberapa kebijakan sebagai respon dan upaya perlindungan terhadap PMI. Termasuk upaya perlindungan bagi PMI yang mengalami berbagai permasalahan di Arab Saudi sebagai salah satu negara penempatan. Berdasarkan pemahaman dengan menggunakan kerangka feminisme sosialis, menunjukan bahwa opresi yang terjadi masih dilandasi oleh pengaruh sistem kapitalisme. Serta, pendekatan What’s The Problem (WPR) juga menunjukan bahwa kebijakan yang dibuat masih bersifat netral gender. Kondisi ini ditunjukan melalui belum adanya sejumlah pasal dan/atau peraturan yang membahas secara khusus perlindungan bagi pekerja perempuan, khususnya PRT migran. Realitas feminisasi migrasi cenderung masih diabaikan karena kebijakan yang dihasilkan masih belum merepresentasikan permasalahan di lapangan
.....Feminization of migration is one of the phenomena that has become a global issue. The movement of migration carried out by women is driven by various factors, one of them is poverty. Most of women who migrate choose to work as domestic workers. However, their job position makes migrant domestic workers difficult to monitor and increase their potential to experience various problems. The problems experienced by women migrant workers are a form of gender-based violence. This kind of condition should be a priority for every country in order to provide protection for women migrant domestic workers. Each government should be able to make gender responsive policies related to migrant workers, especially domestic workers. Gender responsive policies shows an awareness that there are different conditions experienced by male and female workers in the field. Indonesia is one of the countries that experiences a number of dynamics in the protection of Indonesian migrant workers. Changes and developments in legal sources continued to occur until the presidency of President Joko Widodo in 2014-2019. During the administration of President Joko Widodo, numbers of policies were made in response to and efforts to protect PMI. Including protection for PMI who experiences various problems in Saudi Arabia as one of the placement countries. Based on the understanding using the framework of socialist feminism, it shows that the oppression that occurs is still based on the influence of the capitalist system. What's The Problem (WPR) approach also shows that the policies made are still gender neutral. This condition is because there are several specific issues that have not been addressed in the policy, especially about migrant domestic workers.The reality of the feminization of migration tends to be neglected because the policies produced do not represent problems in the field."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Esthi Maharani
"Ujaran kebencian (hate speech) adalah tindakan komunikasi yang dilakukan seorang individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, atau hinaan terhadap individu atau kelompok lain terkait berbagai aspek, di antaranya yaitu warna kulit, etnis, gender, orientasi seksual, agama atau lainnya. Di Indonesia, ujaran kebencian semakin masif terjadi terutama di tahun 2017 yang disebut sebagai tahun ujaran kebencian. Di tahun yang sama, aparat pemerintah pun semakin serius untuk menangani ujaran kebencian, terutama di media sosial Facebook yang menjadikan Presiden Joko Widodo sebagai sasaran utama. Oleh karena itu, penelitian ini fokus pada penanganan ujaran kebencian terhadap Presiden Joko Widodo di Facebook pada 2017 berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Penelitian ini menggunakan teori implementasi kebijakan publik Merilee S Grindle yang menekankan bahwa keberhasilan implementasi dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan konteks implementasi (context of implementations). Dengan metode kualitatif, penelitian ini fokus pada sepak terjang kelompok Saracen yakni kelompok yang merupakan sindikat penyebar ujaran kebencian dan hoaks. Ada tiga kasus ujaran kebencian terkait kelompok Saracen yang diteliti. Ketiga kasus tersebut menggambarkan implementasi UU 19/2016 tentang ITE lewat regulasi turunan yang dibuat oleh Polri dan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dari penelitian ini dapat diketahui adanya persoalan teknis dalam penanganan ujaran kebencian di 2017. Selain itu, penelitian ini memperlihatkan adanya pesan politis lebih besar yakni memberikan peringatan sekaligus rasa takut pada para pengunggah ujaran kebencian tetapi disaat yang sama justru memunculkan ancaman terhadap hak kebebasan berpendapat. 

Hate speech is speech which attacks others on grounds of their race, nationally, religious identity, gender, sexual orientation or other group membership, where this group membership is a morally arbitrary distinguishing characteristic. In Indonesia, hate speech is increasingly massive occurring especially in 2017. The year even referred to as the year of hate speech. In the same year, government officials become more serious to tackle hate speech. Especially in social media such as Facebook who targeting President Joko Widodo. Thus, this study focuses on the managing of hate speech against Joko Widodo on Facebook in 2017 under Law No. 19 of 2016 on Electronic Information and Transactions (UU ITE). With qualitative methods, this study focuses on Saracens group who had known as a syndicate of hate speech and hoax in Indonesia. There are three cases of hate speech related to the Saracen group being researched with politic of policy implementations theory. It described how Law 19/2016 of the ITE is implemented through derivative regulations created by the National Police and the Ministry of Communication and Informatics. This study also described technical issues about how government officials mistreated hate speech in 2017. Moreover, it showed bigger political messages about how government officials can be threatening freedom of expression.                                                                                                         "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T55266
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad
"Skripsi ini membahas fenomena presidentialized party yang terjadi di Indonesia pasca adanya perubahan landasan konstitusional yakni amandemen UUD 1945. Dalam amandemen tersebut, Indonesia mulai mempertegas sistem presidensialismenya dengan melaksanakan pemilihan umum secara langsung presiden dan wakil presiden. Mekanisme ini mendorong partai politik untuk memilih kandidat yang paling populer sekalipun ia merupakan outsider partai. Hal ini memiliki resiko yakni partai atau ketua umumnya selaku principal akan kesulitan mengontrol dan mengendalikan agent atau outsider yang mereka usung. Presidensialisme setidaknya merubah perilaku partai politik dalam hal penominasian nominating , pemilihan electing , dan pemerintahan governing. Melalui metode kualitatif dan tipe penelitian eksplanatif, penelitian ini mengangkat studi kasus perilaku Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PDI-P dalam pencalonan Joko Widodo sebagai Calon Presiden Republik Indonesia di Pemilu 2014. Dengan mengombinasikan model presidentialized party Samuels-Shugart 2010 dan Kawamura 2013 sebagai teori utama, ditambah dengan perspektif dari Poguntke-Webb 2005, skripsi ini menghasilkan beberapa temuan. Pertama, PDI-P walaupun tetap didominasi peran Megawati Soekarnoputri dalam keputusan partai, namun memanfaatkan popularitas sosok outsider, Joko Widodo, untuk memenangkan Pemilu 2014. Kedua, dalam kasus PDI-P ini, relasi principal-agent cukup unik karena principalnya hanya Megawati seorang mengingat peran sentralnya dalam partai. Adapun untuk agent terdapat dua pihak yaitu pertama para pengurus partai yang tunduk dengan Megawati, dan sejak Pemilu 2014, muncul agent kedua yaitu Joko Widodo yang mendapat mandat untuk mengelola eksekutif. Ketiga, terdapat beberapa dinamika konflik internal yang didominasi antar agent yang berbeda kepentingan. Keempat, Megawati selaku principal cukup kesulitan memegang/mengontrol agentnya yaitu Jokowi sehingga Megawati kerap mengingatkan dengan istilah ldquo;petugas partai';. Penelitian ini menyimpulkan bahwa PDI-P mengalami presidensialisasi walaupun tetap memiliki karakter personalized party.

This thesis discusses the phenomenon of presidentialized party that occurred in Indonesia after the change of constitutional basis namely amendment of UUD 1945. In the amendment, Indonesia began to emphasize its presidential system by conducting direct election of president and vice president. This mechanism encourages the political party to choose the most popular candidate even though he she is a party outsider. It has a risk that the party or the general chairperson as 'principal' will have difficulty controlling the 'agent' or outsider that they have nominated. Presidentialism at least changes the behavior of political parties in terms of nominating, electing, and governing. Through the qualitative method and explanative research type, this research raises the case study of the Indonesian Democratic Party of Struggle PDI P behavior in the nomination of Joko Widodo as the Presidential Candidate of the Republic of Indonesia in the 2014 Election. By combining Samuels Shugart 39 s model of presidentialized party 2010 and Kawamura 2013 as the main theory, coupled with the perspective of Poguntke Webb 2005 , this research produced several findings. First, PDI P, although it was still dominated by Megawati Soekarnoputri role in the party 39 s decision, but exploited the popularity of outsider figure, Joko Widodo, to win the 2014 Election. Second, in the case of PDI P, the principal agent relation is unique because its principal is Megawati only, remembering her central role in the party. As for the agents, there are two parties, first, the party administrators who obedient to Megawati, and since the 2014 election, came the second agent namely Joko Widodo who got the mandate to manage the executive. Third, there are several internal conflict dynamics dominated by conflict between different interests of agents. Fourth, Megawati as principal was having difficulty in controlling her agent, Jokowi, so Megawati was often reminded him with the term party officer . This study concludes that PDI P was presidentialized although it still had a personalized party character."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>