Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 61544 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adhariana Hk
"Prematuritas merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas neonatus tertinggi. Sebagian besar prematur mendapat transfusi PRC berulang selama perawatan. Sementara itu, transfusi PRC berulang dapat meningkatkan kadar zat besi. Namun, hingga saat ini belum ada konsensus mengenai suplementasi besi pada prematur yang telah mendapat transfusi PRC berulang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status besi pada bayi prematur usia gestasi 28-32 minggu yang telah mendapat transfusi PRC berulang dan membuat rekomendasi mengenai pemberian suplementasi besi. Penelitian ini adalah penelitian kohort prospektif terhadap 70 bayi prematur yang lahir di RSCM bulan Maret 2021 – Mei 2021. Profil besi diperiksa usia kronologis 1, 2 dan 3 bulan. Hasil penelitian menunjukkan profil besi bayi prematur yang mendapat transfusi PRC > 2 kali lebih tinggi secara signifikan dibandingkan ≤ 2 kali (p<0,05). Titik potong total volume transfusi PRC yang menyebabkan status besi berlebih adalah PRC ≥ 50 mL/kgBB. Median feritin serum pada usia kronologis 1 bulan adalah 498,11 µg/L (358-885,62 µg/L), dua bulan adalah 232,66 µg/L (60,85-538,44 µg/L), tiga bulan adalah 42 µg/L (40,1-168,63 µg/L). Faktor risiko yang memengaruhi status besi berlebih pada bayi prematur adalah riwayat sepsis (OR 5,918 (IK 95%: 2,027-17,277)). Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa bayi prematur yang mendapat transfusi PRC >2 kali memiliki profil besi yang lebih tinggi dibandingkan ≤ 2 kali pada usia kronologis 1 bulan. Bayi premtur yang mendapat transfusi PRC ≥ 50 mL/kgBB memiliki status besi berlebih di usia kronologis 1 bulan sehingga suplementasi besi sebaiknya diberikan pada usia kronologis 2 bulan.

Prematurity is the most common cause of neonatal mortality and morbidity. Most of the preterm infants received multiple PRC transfusions during hospitalization. Meanwhile, multiple PRC transfusions can increase iron levels. However, to date there is no consensus regarding iron supplementation in preterm who have received multiple PRC transfusions. The objective of this study are to determine iron status in premature infants aged 28-32 weeks who have received multiple PRC transfusions and make recommendations regarding iron supplementation. This study is a prospective cohort study of 70 preterm infants born at the Cipto Mangunkusumo Hospital in March 2021 – May 2021. Iron profiles were examined chronologically age at 1, 2 and 3 months of age. The result are the iron profile of preterm infants who received PRC transfusion was > 2 times significantly higher than ≤ 2 times (p<0.05). The cut-off point for the total volume of PRC transfusion that causes iron overload status is ≥ 50 mL/kgBW. The median serum ferritin at 1 month of age was 498.11 g/L (358-885.62 g/L), two months was 232.66 g/L (60.85-538.44 g/L), three months is 42 g/L (40.1-168.63 g/L). The risk factor influencing iron overload status in preterm infants was a history of neonatal sepsis (OR 5.918 (95% CI: 2.027-17.277)). The conclusion of this study are preterm infants who received PRC transfusion >2 times had a higher iron profile than ≤ 2 times at 1 month chronological age. Preterm infants who received PRC transfusions ≥ 50 mL/kgBW had iron overload status at 1 month of chronological age and therefore iron supplementation should be given at 2 months of chronological age."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hima Liliani
"ABSTRAK
Darah merupakan sumber daya yang tidak tergantikan. Menurut Hall (2013), di
University Hospitals of Leicester UK, dari 507 unit darah yang di-crossmatch
hanya 283 unit darah yang ditransfusikan. Terdapat 25% darah terbuang pada
Rumah Sakit Publik Guyana (Kurup, 2016). Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif dengan metode kualitatif. Berdasarkan analisis diperoleh hasil, yaitu
35.79% unit darah yang tidak ditransfusikan, capaian CT Ratio 2.12 (dari 3536
unit darah yang dicrossmatch, hanya 1670 unit darah yang ditransfusikan),
Penyebab darah terbuang adalah kadaluarsa 98.4%, selang habis, kantong bocor,
darah rusak dll. Penggunaan MSBOS dapat menurunkan angka ketidakterpakaian
darah pada pasien operasi elektif sebesar 35.64%.

ABSTRACT
Blood is an irreplaceable resource. According to Hall (2013), at University
Hospitals of Leicester UK, from 507 units of crossmatched blood, only 283 units
were used. There is 25% discharge blood at Guyana Public Hospital (Kurup,
2016). This research is a descriptive case study with qualitative method. Based on
the analysis, 35.79% of the blood units were not transfused, the CT ratio was 2.12
(from 3536 unit of crossmatched blood, only 1670 unit were transfused). The
cause of blood wastage is expired 98.4%, blood tube runs out, blood bag leak,
blood damaged and unidentified causes. The use of MSBOS may decrease the rate
of blood units wastage in elective surgery patients by 35.64%."
2017
T47757
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reni Wigati
"Latar Belakang. Transfusi packed red cell (PRC) sering ditemui pada anak sakit kritis, dengan kemungkinan efek samping yang tidak sedikit. Beberapa laporan terakhir merekomendasikan ambang batas transfusi yang lebih rendah yaitu hemoglobin (Hb) 7 g/dL, namun data karakteristik serta pedoman transfusi PRC anak sakit kritis di Indonesia belum diketahui.
Metode. Studi dilakukan terhadap pasien yang dirawat di unit perawatan intensif anak (PICU) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan diputuskan untuk mendapat transfusi PRC. Kadar Hb, saturasi vena sentral (ScvO2), rasio ekstraksi oksigen (O2ER), oxygen delivery (DO2), indeks kardiak (CI), dan indeks inotropik (INO) diukur/dihitung sebelum dan sesudah transfusi.
Hasil. Dari 92 pasien yang masuk perawatan PICU, 25 anak (27,5%) menjalani transfusi PRC dengan total 38 episode transfusi selama bulan Oktober hingga Desember 2015. Tiga episode dieksklusi dari penelitian sehingga 35 episode transfusi PRC diikutsertakan dalam analisis. Sebagian besar pasien adalah anak lelaki (77,1%) berusia 1 bulan hingga 1 tahun (45,7%), dengan median usia 2,1 (rentang 0,2 ? 16,2) tahun. Rerata Hb pre- dan pascatransfusi adalah 7,7 + 1,46 dan 10,2 + 1,97 g/dL. Rerata ScvO2 dan O2ER pretransfusi normal, yaitu 73,8 + 6,46 % dan 0,25 + 0,070, dengan rerata pascatransfusi tidak berbeda bermakna untuk keduanya, yaitu 79,0 + 5,92 % dan 0,19 + 0,056. Perbedaan rerata DO2, CI, dan INO pre- dan pascatransfusi juga tidak bermakna secara klinis maupun statistik. Analisis subgrup yang menunjukkan perbedaan bermakna secara klinis adalah pada anak dengan ScvO2 pretransfusi < 70%. Subgrup ini menunjukkan rerata Hb pretransfusi 7,2 + 1,69 g/dL, dengan nilai ScvO2 pre- dan pascatransfusi sebesar 64,1 + 4,71 % (nilai p 0,181) serta O2ER pre- dan pascatransfusi 0,34 + 0,055 dan 0,21 + 0,080 (nilai p 0,152).
Simpulan. Studi terhadap praktek transfusi PRC di PICU RSCM tidak menunjukkan perubahan hemodinamik yang bermakna. Analisis lebih lanjut pada anak sakit kritis dengan nilai ScvO2 < 70% sebelum mendapatkan transfusi PRC cenderung menunjukkan perbaikan hemodinamik. Penelitian lebih lanjut mengenai ambang batas Hb atau ScvO2 untuk memutuskan pemberian transfusi PRC perlu dilakukan.

Background. Transfusion of packed red cells (PRC) often found in critically ill children, with the possibility of side effects is not uncommon. Later reports recommended a lower hemoglobin (Hb) for transfusion threshold, nevertheless the characteristics and transfusion guidelines PRC critically ill children in Indonesia is yet unknown.
Methods. This study was conducted on patients admitted to the pediatric intensive care unit (PICU) Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) and underwent PRC transfusion. Hemoglobin level, central venous saturation (ScvO2), oxygen extraction ratio (O2ER), oxygen delivery (DO2), cardiac index (CI), and inotropic index (INO) were measured/calculated before and after transfusion.
Results Of the 92 patients admitted to the PICU, 25 children (27.5%) were given PRC transfusion with a total of 38 episodes of transfusion during October to December 2015. Three episodes were excluded from the study that 35 episodes of PRC transfusion were included in the analysis. Most patients were boys (77.1%) aged 1 month to 1 year (45.7%), with a median of age 2.1 (range 0.2 to 16.2) yearold. Mean Hb pre- and post transfusion were 7.7 + 1.46 and 10.2 + 1.97 g/dL. The average ScvO2 and O2ER before transfusion were still in normal range, i.e. 73.8 + 6.46 % and 0.25 + 0.070, without significantly different levels after transfusion, i.e. 79.0 + 5.92% and 0.19 + 0.056. The mean differences of DO2, CI, and INO pre- and post transfusion were neither clinically nor statistically significant. Subgroup analysis that revealed clinically significant difference was children with pretransfusion ScvO2 <70%. This subgroup mean pretransfusion Hb was 7.2 + 1.69 g/dL, with pre/post transfusion ScvO2 values of 64.1 + 4.71% (p-value 0.181) and pre/post post transfusion O2ER 0.34 + 0.055 and 0.21 + 0.080 (p-value 0.152).
Conclusions. Study on PRC transfusion practice in PICU RSCM showed no significant hemodynamic changes. Subgroup analysis of critically ill children with ScvO2 <70% before PRC transfusion indicated hemodynamic improvement. Further research on optimal transfusion thresholds, e.g. hemoglobin level or ScvO2, for PRC transfusion decision-making need to be done.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosita Saumi Imanta Putri
"Latar Belakang: Transfusi darah masih sering dilakakukan sekarang. Transfusi darah yang aman dan steril seharusnya dilakukan untuk mencegah reaksi yang tidak diinginkan untuk ada. Transfusi sel darah merah mempunyai insiden yang paling rendah. Walaupun dorongan dan praktik untuk memeriksa darah sebelum donor sudah dilakukan, reaksi transfusi tetap menunjukan angka kejadian yang tinggi terutama di negara dengan berpenghasilan rendah. Walaupun sebagian besar reaksi transfusi tidak mengancam, namun reaksi transfusi tetap menambah ketidaknyamanan pasien.
Metode: cross-sectional digunakan dalam riset ini. Data diambil secara primer dengan kuesioner yang diberikan kepada pasien anak berumur 0-18 tahun yang sedang di transfusi dengan sel darah merah. Kuesioner tersebut di isi sendiri oleh orang tua atau wali pasien. Kuesioner mencakupi ada atau tidaknya reaksi transfusi, diagnosis pasien, dan frekuensi transfusi pasien dalam satu bulan. Dibutuhkan 81 subyek untuk riset ini.
Result: Dari 83 pasien, ditemukan prevalensi reaksi transfusi di RSCM Kiara adalah 39.8%. Data yang diperolah sebagian besar adalah perempuan dan umur paling tinggi adalah 5-10 tahun. Hubungan signifikan antara diagnosis pasien dengan kemunculan reaksi transfusi ditemukan. Namun, signifikansi antara frekuensi transfusi dan reaksi transfusi tidak ditemukan di riset ini.
Kesimpulan: reaksi transfusi yang paling sering terjadi adalah gatal, kemerahan, dan nyeri. Dari penelitian, ditemukan bahwa pasien dengan diagnosis keganasan 6 kali lebih mungkin untuk mengidap reaksi transfusi dikarenakan keadaan kesehatan pasien tersebut. Frekuensi transfusi tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan reaksi transfusi.

Background: Blood transfusion is a common practice done nowadays. Safe and sterile practice should be done to avoid any unwanted reaction that could happen. Red blood cell transfusion has the lowest incidence of transfusion reaction compared to other blood product. However, transfusion reaction is still happening despite the endorsement and practice of blood screening especially in some low income countries. The most common transfusion reactions are usually benign, however, it still adds to the patient’s discomfort.
Methode: This is a cross-sectional study. Primary data by a questionnaire given to pediatric patient undergoing RBC transfusion between 0-18 years old in RSCM Kiara transfusion ward. The questioner was completed by the parents or guardian of the patient. The questionare include the presence of transfusion recation, patient’s diagnosis, and the frequention of transfusion in one month. 81 subjects are needed for this research.
Results: From 83 patients that was included in this research, it was found that prevalence of transfusion reaction in pediatric patient is 39.8%. Most of the data was taken from female and most were between age 5-10 years old. There is a significant correlation between the recepient underlying diagnosis and the presence of transfusion reaction. However, there is no significant results in transfusion frequency.
Conclusion: The most common transfusion reactions found in this study are urticarial, rash, and pain. From this research, it was proven that patient with malignancy is 6 times more prone to transfusion reaction due to the patient’s condition. The frequency of transfusion does not significantly effect the possibility of developing transfusion reaction.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afiffa Mardhotillah
"Latar belakang: Enterokolitis nekrotikans merupakan salah satu komplikasi pada bayi prematur dengan angka mortalitas tinggi. Patogenesis terjadinya enterokolitis nekrotikans hingga kini belum dipahami namun bersifat multifaktorial. Berbagai penelitian mengaitkan enterokolitis nekrotikans dengan transfusi sel darah merah. Salah satu upaya untuk mencegahnya adalah dengan melakukan puasa saat transfusi, namun hingga kini masih bersifat kontroversial. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan puasa saat menjalani transfusi sel darah merah dengan kejadian enterokolitis nekrotikans pada bayi prematur. Metode: Penelitian menggunakan desain studi kohort retrospektif dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menggunakan data rekam medis. Bayi prematur yang dirawat di Unit Perinatologi RSCM dalam periode Januari 2019 hingga Desember 2023 dan menjalani transfusi sel darah merah, serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diikutsertakan dalam penelitian. Subyek kemudian dikelompokkan berdasarkan puasa atau tidak puasa saat menjalani transfusi sel darah merah. Diagnosis enterokolitis nekrotikan ditegakkan melalui hasil foto polos abdomen. Dilakukan pula pencatatan terhadap status maternal, usia gestasi, data antropometri saat lahir, skor APGAR usia 5 menit, jenis nutrisi enteral saat dilakukan transfusi sel darah merah. Hasil: Sebanyak 240 bayi prematur yang menjalani transfusi sel darah merah diikutsertakan dalam analisis. Seratus empat puluh empat bayi lelaki (60,0%), dengan rerata usia gestasi 31 (SD 2,69) minggu dan median berat lahir 1.256 (RIK 1.005-1.653) gram. Enterokolitis nekrotikans ditemukan pada 23,75% subyek dan EKN awitan dini lebih banyak ditemukan yaitu sebanyak 54,39% subyek. Proporsi bayi yang dipuasakan mengalami EKN lebih rendah dibandingkan yang tidak dipuasakan (22,09% dan 27,94%). Tidak ditemukan hubungan bermakna secara statistik antara kejadian EKN pada kelompok puasa dibandingkan kelompok tidak puasa saat menjalani transfusi sel darah merah (RR 1,081 (IK 95% 0,913-1,279). Kesimpulan: Puasa saat transfusi sel darah merah tidak memiliki hubungan bermakna secara statistik menurunkan kejadian enterokolitis nekrotikans.

Background: Complications due to prematurity are major problems for premature infants. Necrotizing enterocolitis has been one of the most considered complication with high mortality rate. Pathogenesis of necrotizing enterocolitis yet to be fully understood, however multiple factors were proven to be associated. Transfusion associated necrotizing enterocolitis has been studied in many researches. Withholding feeds during red blood cell transfusion were postulated to decrease the rate of necrotizing enterocolitis in premature infants, however controversy still found among the research published. Objective: This study aimed to evaluate the association between withholding feeds during red blood cell transfusion and incidence of necrotizing enterocolitis in premature infants. Method: We conducted a retrospective cohort study in Cipto Mangunkusumo Hospital. Premature infants admitted from January 2019 to December 2023 who received red blood cell transfusion were selected according to inclusion and exclusion criteria. Subjects were divided into two group by looking at withholding feeds status during transfusion or fed during transfusion. Necrotizing enterocolitis was diagnosed by radiologist using abdominal radiograph. Maternal status, gestational age, birth anthropometric measurement, 5-minutes APGAR score, and type of enteral nutrition (breast milk or formula) while receiving red blood cell transfusion were recorded. Results: Two hundred and forty subjects included in this study. Among all subjects, male infants 144 (60%), mean gestational age was 31 (SD 2,26) weeks, and median birthweight was 1.256 (IQR 1,005-1.653) grams. Necrotizing enterocolitis were slightly lower in withholding feeds during transfusion group compared to fed group (22,09% and 27,94%, respectively). No association was found between withholding feeds during red blood cell transfusion compared to fed during transfusion with incidence of necrotizing enterocolitis (RR 1,081 (95% CI 0,913-1,279). Conclusion: Withholding feeds during red blood cell transfusion did not significantly decrease the incident of necrotizing enterocolitis in this study."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Eko Astarini
"Latar belakang: Transfusi komponen Packed Red Cell (PRC) dengan metode pengurangan sel darah putih (PRC leukodepleted) mulai banyak digunakan untuk terapi pasien karena mampu mengurangi kejadian pasca transfusi yang tidak diinginkan. Jumlah perokok aktif di Indonesia yang cukup tinggi sehingga berpotensi besar menjadi pendonor darah karena belum ada regulasi yang mengaturnya. PRC leukodepleted pada perokok aktif beresiko besar mengalami kerusakan membran sel darah merah dan hemolisis akibat stres oksidatif yang terjadi karena akumulasi radikal bebas pada perokok aktif.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh stres oksidatif terhadap ketahanan membran PRC leukodepleted donor perokok aktif selama penyimpanan.
Metode: PRC leukodepleted diproduksi dari pendonor yang dikelompokkan menjadi kelompok pendonor non perokok (NP), pendonor perokok ringan (PR) dan pendonor perokok sedang (PS). Sampel penelitian dibagi menjadi 6 aliquot untuk diperiksa kadar malondialdehid (MDA), aktivitas enzim superoksida dismutase (SOD), uji fragilitas osmotik (osmotic fragility test, OFT) dan hemolisis pada hari ke 0, 7, 14, 21, 28 dan 35.
Hasil: Berdasarkan uji Kruskal Wallis ketiga kelompok menunjukkan perbedaan bermakna antara H0, H7, H14, H21, H28 dan H35 pada parameter MDA, SOD, OFT dan hemolisis yaitu dengan p<0,05. Dalam larutan NaCl 0,54 % pada uji OFT, terjadi hemolisis kelompok NP sebesar 17,53+12,16% pada H35; kelompok PR sebesar 34,10+7,92% pada H28; dan kelompok PS sebesar 30,92+5,98% pada H0.
Kesimpulan: Penyimpanan PRC leukodepleted selama 35 hari meningkatkan stres oksidatif. Stres oksidatif paling tinggi terjadi pada kelompok perokok sedang. Terdapat korelasi antara stres oksidatif dengan ketahanan membran sel darah merah.

Background: Packed Red Cell (PRC) transfusion without the leukocyte (leukodepleted PRC) method has begun to be widely used for patient therapy because it can reduce unexpected post-transfusion effects. The number of active smokers in Indonesia is quite high so they have a great opportunity to become blood donors, since there is no regulation yet. Leukodepleted PRC in active smokers are at great risk for red blood cell membran damage and hemolysis due to oxidative stress that occurs caused by accumulation of free radicals in active smokers. Objective: This study aim to determine the effect of oxidative stress on red blood cells membrane resistance of leukodepleted PRC in active smokers donors during storage. Methods: Leukodepleted PRC was produced from donors who were grouped into non-smoker donors (NP), light smoker donors (PR) and moderate smoking donors (PS). The research sample was divided into 6 aliquots to be examined for the malondialdehyde (MDA) level, activity of superoxide dismutase (SOD) enzyme, osmotic fragility test (OFT) and hemolysis on 0, 7, 14, 21, 28 and 35 days of storage. Results: The three groups showed significant differences between D0, D7, D14, D21, D28 and D35 on the parameters of MDA, SOD, OFT and hemolysis (p<0.05, Kruskal-Wallis test). In 0.54% NaCl solution of OFT test, NP group hemolysis was 17.53+12.16% on D35; PR group was 34.10+7.92% on D28; and the PS group was 30.92+5.98% on D0. Conclusion: Storage for 35 days increased the oxidative stress of leukodepleted PRC. The highest oxidative stress occurred in the moderate smoker (PS) group. Oxidative stress has correlation with red blood cell membrane resistance."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sheila Kadir
"[ABSTRAK
Latar belakang. Pemberian transfusi darah merupakan salah satu tindakan medis untuk penyelamatan nyawa (live saving) dan penyembuhan penyakit, tetapi disisi lain tindakan ini juga memiliki risiko atau komplikasi. Salah satu komplikasiyang dikenal adalah Transfusion-Associated Graft-vs-Host Disease (TAGVHD). TAGVHD ini akan menyebabkan berproliferasinya limfosit T yangkemudian akan diikuti oleh proses engraft (tertanam) didalam tubuh resipien yang umumnya berada dalam kondisi imunokompeten. Kondisi ini umumnya dialami oleh pasien-pasien dengan gangguan sistem imunologi seperti pada pasien kanker atau penyakit-penyakit autoimun. Saat ini, satu ? satunya metode yang dapat diterima untuk mencegah komplikasi itu dengan cara melakukan iradiasi darah. Bervariasinya rekomendasi tentang dosis iradiasi dan waktu penyinaran untukmenurunkan jumlah CD 3+ dan CD 4+ sebagai penyebab terjadinya TAGVHD, menjadi latar belakang dilakukannya penelitian ini. Hasil penelitian ini akan dijadikan rekomendasi untuk prosedur iradiasi terhadap komponen sel darah merah pekatyang akan diberikan pada pasien-pasien imunokompeten di RS Kanker Dharmais Jakarta.
Metodologi. Penelitian ini menggunakan disain penelitian eksperimental dengan pemeriksaan time series yang dilakukan terhadap 54 kantong komponen sel darah merah pekat yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi yang ditetapkan oleh peneliti. Dilakukan pengujian terhadap jumlah CD 3+ dan CD 4+ dalam tiga dosis dengan tiga serial waktu berbeda.
Hasil. Terjadi penurunan jumlah CD 3+ dan CD 4+ pada komponen sel darah merah pekat yang dilakukan iradiasi pada dosis iradiasi dan waktu penyinaran yang berbeda.
Simpulan. Penurunan jumlah CD 3+ bermakna atau signifikan pada dosis 2500 pada waktu 5 jam setelah penyinaran.

ABSTRACT
Background Blood transfusion is a medical treatment for a life saving and cure the disease On the other hand these treatment also have risks or complications one of which is known with Transfusion Associated Graft vs Host Disease TAGVHD This will cause proliferation T lymphocytes and then will be followed by a process engraft embedded in the recipient 39 s body is in a state of immunocompetent This condition is commonly experienced by patients with impaired immunological systems such as cancer patients or autoimmune diseases Currently one the only acceptable method to prevent such complications by way of blood irradiation Variations recommendation on irradiation dose and exposure time in reducing the amount of CD 3 and CD 4 which is the cause of the TAGVHD be doing background research The results of this study will be a recommendation for action to the irradiation of packedred cell that will be given in immunocompetent patients in Jakarta Dharmais Cancer Hospital Methodology This study used an experimental research design time series with the examination conducted on 54 bags of packed red cell that meet the inclusion and exclusion criteria set by the researcher Conducted tests on the number of CD 3 and CD 4 in three doses with three different time series Results A decline in the number of CD 3 and CD 4 in packed red cell irradiation at certain doses of irradiation and different irradiation times Conclusion The decrease in CD 3 meaningful or significant at doses of 2500 in 5 hours after irradiation.; ABSTRACTBackground Blood transfusion is a medical treatment for a life saving and cure the disease On the other hand these treatment also have risks or complications one of which is known with Transfusion Associated Graft vs Host Disease TAGVHD This will cause proliferation T lymphocytes and then will be followed by a process engraft embedded in the recipient 39 s body is in a state of immunocompetent This condition is commonly experienced by patients with impaired immunological systems such as cancer patients or autoimmune diseases Currently one the only acceptable method to prevent such complications by way of blood irradiation Variations recommendation on irradiation dose and exposure time in reducing the amount of CD 3 and CD 4 which is the cause of the TAGVHD be doing background research The results of this study will be a recommendation for action to the irradiation of packedred cell that will be given in immunocompetent patients in Jakarta Dharmais Cancer Hospital Methodology This study used an experimental research design time series with the examination conducted on 54 bags of packed red cell that meet the inclusion and exclusion criteria set by the researcher Conducted tests on the number of CD 3 and CD 4 in three doses with three different time series Results A decline in the number of CD 3 and CD 4 in packed red cell irradiation at certain doses of irradiation and different irradiation times Conclusion The decrease in CD 3 meaningful or significant at doses of 2500 in 5 hours after irradiation.; ABSTRACTBackground Blood transfusion is a medical treatment for a life saving and cure the disease On the other hand these treatment also have risks or complications one of which is known with Transfusion Associated Graft vs Host Disease TAGVHD This will cause proliferation T lymphocytes and then will be followed by a process engraft embedded in the recipient 39 s body is in a state of immunocompetent This condition is commonly experienced by patients with impaired immunological systems such as cancer patients or autoimmune diseases Currently one the only acceptable method to prevent such complications by way of blood irradiation Variations recommendation on irradiation dose and exposure time in reducing the amount of CD 3 and CD 4 which is the cause of the TAGVHD be doing background research The results of this study will be a recommendation for action to the irradiation of packedred cell that will be given in immunocompetent patients in Jakarta Dharmais Cancer Hospital Methodology This study used an experimental research design time series with the examination conducted on 54 bags of packed red cell that meet the inclusion and exclusion criteria set by the researcher Conducted tests on the number of CD 3 and CD 4 in three doses with three different time series Results A decline in the number of CD 3 and CD 4 in packed red cell irradiation at certain doses of irradiation and different irradiation times Conclusion The decrease in CD 3 meaningful or significant at doses of 2500 in 5 hours after irradiation., ABSTRACTBackground Blood transfusion is a medical treatment for a life saving and cure the disease On the other hand these treatment also have risks or complications one of which is known with Transfusion Associated Graft vs Host Disease TAGVHD This will cause proliferation T lymphocytes and then will be followed by a process engraft embedded in the recipient 39 s body is in a state of immunocompetent This condition is commonly experienced by patients with impaired immunological systems such as cancer patients or autoimmune diseases Currently one the only acceptable method to prevent such complications by way of blood irradiation Variations recommendation on irradiation dose and exposure time in reducing the amount of CD 3 and CD 4 which is the cause of the TAGVHD be doing background research The results of this study will be a recommendation for action to the irradiation of packedred cell that will be given in immunocompetent patients in Jakarta Dharmais Cancer Hospital Methodology This study used an experimental research design time series with the examination conducted on 54 bags of packed red cell that meet the inclusion and exclusion criteria set by the researcher Conducted tests on the number of CD 3 and CD 4 in three doses with three different time series Results A decline in the number of CD 3 and CD 4 in packed red cell irradiation at certain doses of irradiation and different irradiation times Conclusion The decrease in CD 3 meaningful or significant at doses of 2500 in 5 hours after irradiation.]"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T58748
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Srihartaty
"ABSTRAK
Latar belakang. Pelayanan transfusi darah merupakan penunjang pelayanan kesehatan yang sangat penting, karena hingga saat ini masih terdapat beberapa kondisi kesehatan yang hanya dapat diatasi dengan pemberian transfusi darah. Salah satu strategi World Health Organization (WHO) dalam pelayanan darah yang aman adalah transfusi darah atas indikasi medis secara rasional. Febrile non-haemolytic transfusion reaction (FNHTR) telah dilaporkan sebagai reaksi transfusi yang paling umum terjadi dengan insidensi 6,8% setelah transfusi produk komponen packed red cell (PRC). Data di Pusat Thalassemia Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, dari 73% pasien yang mendapat PRC leucoreduction, 15% di antaranya mengalami reaksi transfusi, sedangkan dari 14% pasien yang mendapat PRC biasa, 65% di antaranya mengalami reaksi transfusi. Di Indonesia, PRC yang tersedia umumnya adalah produk PRC leucoreduction dengan metoda buffy-coat depleted. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas penurunan jumlah leukosit dan sitokin pada produk PRC dari metoda buffy-coat depleted dibandingkan dengan metoda modifikasi bed-side leucocyte filtration. Metodologi. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada subjek berupa 30 produk PRC yang dibuat dengan metoda buffy-coat depleted dan 30 produk PRC yang dibuat dengan metoda modifikasi bed-side leucocyte filtration pada <48 jam masa penyimpanan. Pada semua produk dilakukan pemeriksaan hematologi dan pemeriksaan sitokin pirogen IL-6 dan TNF-α. Hasil. Satu (3,33%) subjek kantong komponen PRC yang dibuat dengan metoda buffy-coat depleted memenuhi standar leukoreduction (<5x108 leukosit/unit), dan 29 (96,7%) subjek kantong komponen PRC yang dibuat dengan metoda modifikasi bed-side leucocyte filtration pada waktu < 48 jam penyimpanan memenuhi standar leukodepleted (<5x106 leukosit/unit). Pada penelitian ini tidak didapatkan perbedaan bermakna kadar IL-6 dan TNF-α pada kedua kelompok komponen PRC ( p > 0,05 ). Simpulan. Terdapat penurunan jumlah leukosit komponen PRC yang dibuat dengan metoda modifikasi bed-side leucocyte filtration pada < 48 jam masa penyimpanan PRC sangat signifikan dibandingkan dengan metoda buffy-coat depleted. Hal ini disebabkan oleh peranan filter polyurethane yang selektif menyaring leukosit sedangkan penurunan jumlah leukosit pada metoda buffy-coat depleted dipengaruhi oleh kecepatan dan waktu putaran sentrifus serta pemisahan lapisan buffy coat dari komponen PRC. Tidak bermaknanya perbedaan kadar sitokin pirogenik IL-6 dan TNF α pada kedua kelompok PRC dikarenakan masa penyimpanan PRC < 48 jam tidak menyebabkan akumulasi sitokin pirogenik IL-6 dan dan TNF-α.

ABSTRACT
Background. Blood transfusion is an essential part of health services, that can safe lifes. One of the World Health Organization (WHO) strategy on safe blood. White blood cells/leukocytes are present in all cellular blood components that are prepared by standard technique. Febrile non-haemolytic transfusion reaction (FNHTR) has been reported as a common transfusion reaction with the incidence of 6,8% after Packed Red Cell (PRC) transfusion. Data in Thalassemia Center DR. Cipto Mangunkusumo Hospital in Jakarta, from 73% of patients who received PRC leucoreduced component, 15% of them had a transfusion reaction, whereas 14% of patients who received PRC component, 65% of them had a transfusion reaction. In Indonesia, the common PRC component available is a leucoreduced PRC developed by buffy-coat depleted method. The study is aim to evaluate the effectiveness of leucocyte reduction and cytokine on the PRC components developed by buffy-coat depleted method compare to the PRC products developed by modified bed-side leucocyte filtration method. Methodology. The study is a cross sectional study on the subject of 30 PRC components developed by buffy-coat depleted method and 30 PRC component developed by modified bed-side leucocyte filtration method in < 48 hour of storage. Haematology testing and pyrogenic cytokine of IL-6 and TNF-α titer was analyzed on all subjects.
Result. There was only one (3.33%) subject of PRC developed by buffy-coat depleted method showed to be leucoreduced (<5x108 leucocyte/unit), mean while there was 29 (96,7%) subject of PRC developed by modified bed-side leucocyte filtration method showed to be leukodepleted (<5x106 leucocyte/unit).No significant difference of IL-6 and TNF-α titer on both of PRC components. (p > 0,05 ).
Conclusion. Reduction of leucocyte on the PRC components developed by modified bed-side leucocyte filtration is more effective compare to that on the PRC components developed by buffy-coat depleted method. The adhesion principle of leucocyte into polyurethane filter was more effective in reducing the number of leucocyte compare to centrifugation principle. The leucocyte filtration that was run on the PRC components with the storage time of < 48 hour did not caused the accumulation of pyrogenic cytokine such as IL-6 and TNF-α."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novi Elis Khumaesa
"Latar Belakang: Pemberian radiasi pada kantong darah transfusi adalah sebuah tindakan profilaksis terjadinya transfusion-associated graft-versus-host disease (TA-GvHD) atau komplikasi yang dapat timbul pada saat transfusi darah dari donor kepada host atau resipien. Pemberian radiasi biasanya menggunakan alat Blood Irradiator, namun jika pada suau institusi tidak memiliki alat tersebut dapat menggunakan pesawat radiasi LINAC. Tujuan: Menilai efektivitas dari pesawat LINAC sebagai alternatif jika tidak memiliki alat Blood Irradiator dalam meradiasi kantong darah PRC untuk mencegah terjadinya komplikasi TA-GvHD. Metode: Penelitian berupa penelitian eksperimen dengan menggunakan 5 kantong darah PRC biasa yang diberikan radiasi dengan dosis 25 Gy menggunakan alat LINAC. Dilakukan pemeriksaan jumlah limfosit T helper, kadar kalium dan LDH untuk luaran dari penelitian tersebut.Hasil: Terdapat penurunan jumlah leukosit CD45+ serta limfosit T Helper (CD3+dan CD4+) 5 jam pasca radiasi serta adanya peningkatan bermakna nilai median pada kadar kalium dan LDH pasca radiasi, hari ke 8 hingga 14 penyimpanan dibandingkan pre radiasi setelah dilakukan radiasi dengan LINAC dosis 25 Gy dan energi 6MV.Kesimpulan: Terdapat penurunan jumlah leukosit CD45+ serta limfosit T Helper (CD3+dan CD4+) 5 jam pasca radiasi dan terdapat peningkatkan yang bermakna pada kadar kalium serta LDH yang progresif pasca radiasi.

Background: Blood irradiation is prophylactic for transfusion-associated graft-versus-host disease (TA-GvHD) or complications that can arise during blood transfusions from donors to recipients. Giving radiation usually uses blood irradiator device, but if an institution does not have this device, can use LINAC. Objectives: Assessing the effectiveness of LINAC as alternative if it does not have blood irradiator for irradiating PRC blood bags to prevent TA-GvHD complications. Methods: This is experimental research using 5 bags of PRC, which were given radiation at dose 25 Gy using LINAC. The number of T helper lymphocytes, potassium and LDH levels were examined for the results of the study. Results: There was a decrease in the number of CD45+ leukocytes and T helper lymphocytes (CD3+ and CD4+) 5 hours after radiation, as well as a significant increase in the median value of potassium and LDH levels post-radiation, days 8 to 14 of storage, compared to pre-radiation after radiation with a LINAC dose of 25 Gy and 6MV energy. Conclusion: There was a decrease in the number of CD45+ leukocytes and T helper lymphocytes (CD3+ and CD4+) 5 hours after radiation, and there was a significant increase in potassium and LDH levels, which was progressive after radiation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soenardi Moeslichan
"Rasa syukur kita ini akan bertambah nikmat manakala kita menyadari eksistensi diri di alam jagat raya ini. Manusia adalah salah satu dari sejumlah makhluk bumi, dan seorang manusia adalah seorang warga penduduk bumi yang diperkirakan akan mencapai 6,2 milyard pada tahun 2000 nanti. Mereka saling berinteraksi dan saling merindukan kedamaian (walaupun masih terjadi peperangan antar manusia disana-sini yang masih sulit untuk didamaikan).
Menyadari betapa kecil kehadiran manusia di bumi ini, manusia akan lebih merasakan betapa kecilnya lagi manakala dianugerahi kemampuan berfikir, bahwa bumipun hanya merupakan sebagian kecil eksistensinya dalam tata surya alam ini. Allahu Akbar.
Dengan manusia sebagai titik tumpu setelah teropong megamakro digunakan untuk mengagumi kebesaran jagad raya dalam makrokosmos berbalik teropong itu diarahkan ke dalam dunia mikro terhadap komposisi tubuh manusia. Kita akan dapat temukan berbagai fenomena menakjubkan yang dapat dilihat dan dipelajari. Salah satu diantaranya adalah darah.
Benda cair yang berwarna merah ini tersusun dari berbagai materi biologis yang juga saling berinteraksi. Interaksi yang serasi diperankan oleh masing-masing unsur untuk mempertahankan homeostasis tubuh agar terpelihara tubuh yang sehat. Mereka diproduksi .di dalam sumsum tulang. Sumsum tulang ini seakan-akan suatu pabrik yang memproduksi berbagai jenis sel darah, setiap hari tiada hentinya. Diperhitungkan sekitar 200 bilion sel darah merah, 10 bilion sel darah putih dan 400 bilion butir trombosit diproduksi setiap hari. Betapa besar kapasitas pabrik dalam tubuh kita ini. Keindahan semakin dirasakan karena terbukti masing-masing materi bioiogis ini saling berinteraksi yang sangat unik di dalam dunianya. Apabila karena sesuatu hal interaksi dan produksi tersebut terganggu maka terjadilah penyakit yang mengancam kehidupan individu tersebut.
Darah masih merupakan materi biologis yang belum dapat di sintesis di luar tubuh, atas dasar itu apabila pada suatu saat terjadi kekurangan darah atau komponennya, biasanya seseorang memerlukan bantuan darah dari orang lain yang disebut transfusi darah. Tetapi dalam transfusi darah yang bertujuan menyelamatkan jiwa sesama manusia tersebut, dapat mengundang pula berbagai risiko yang merugikan kesehatan tubuh, bahkan dapat berakibat kematian. Atas dasar itu praktek transfusi darah yang benar haruslah dilandasi oleh suatu disiplin ilmu yang disebut Ilmu Transfusi Darah (Transfusion Medicine).
Berbagai keindahan dan pesona darah yang mendasari ilmu ini mengundang kekaguman, dan kadang-kadang enak dinikmati, karena itu saya ingin berbagi rasa dengan para hadirin dengan menyajikan sekelumit tentang transfusi darah yang berkaitan dengan profesi saya sebagai dokter anak, kemudian ikut memikirkan kemungkinan permasalahannya dalam suatu sajian yang berjudul Kajian Pediatrik Terhadap Transfusi Darah.
Para hadirin yang berbahagia,
Seperti dikemukakan sebelumnya darah adalah materi biologis, berbentuk cair berwarna merah. Didalamnya terkandung bagian yang bersifat korpuskuler dan sebagian lainnya bersifat tarutan. Bagian korpuskuler ini disebut sebagai butiran darah yang terdiri dari sel darah merah (erythrocyte), sel darah putih (leukocyte) dan butir trombosit (platelet), Ketiga jenis butiran darah ini terutama dibuat di dalam sumsum tulang dari sejenis sel yang disebut sel stem. Sel stem ini seolah-olah suatu benih yang mampu terus-menerus bertahan dengan memperbanyak diri serta berdeferensiasi. Hal ini dimungkinkan karena di dalam sumsum tulang terdapat strama yang memberkan lingkungan mikro (micraenvironment) seakan-akan suatu lahan tanah yang subur bagi pertumbuhan sel stem.
Katau diperhatikan lebih seksama, sel darah merah itu berbentuk diskus bikonkaf yang fleksibel, diameternya 8 um, dan didalamnya berisi cairan hemoglobin. Hemoglobin inilah yang memberi warna merah darah kita. Bentuk sel darah merah yang fleksibel memungkinkan sel darah merah melalui saluran sirkulasi mikro yang berdiameter lebih kecil."
Jakarta: UI-Press, 1995
PGB 0121
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>