Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 62602 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tissy Fabiola
"Latar Belakang: Secara global diperkirakan terdapat 313 juta pembedahan yang dilakukan, dengan angka kematian 30 hari pascaoperasi mencapai 4.2 juta jiwa. Penilaian kondisi pasien preoperatif diperlukan untuk memprediksi morbiditas dan
mortalitas pasien pascabedah, maka modalitas yang digunakan dalam menilai risiko pembedahan sebaiknya memiliki akurasi dan objektivitas yang baik. Salah satu modalitas yang rutin digunakan di RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM) adalah skor ASA-PS. Namun skor ini sudah banyak ditinggalkan oleh negara maju dan beralih pada skor P-POSSUM yang dinilai lebih objektif, dan akurat. Studi ini menguji kesahihan skor P-POSSUM dalam memprediksi lama perawatan pasien pascabedah digestif mayor di ICU, yang mencerminkan keparahan morbiditas
pascabedah. Tujuan: Studi ini menguji kemampuan kalibrasi dan diskriminasi skor P-POSSUM dalam memprediksi lama perawatan di ICU, dan menganalisis hubungan antar variabel skor P-POSSUM dengan lama perawatan di ICU pada pasien pasabedah digestif mayor. Metode: Studi ini merupakan studi kohort retrospektif di RSUPNCM selama Januari 2017 hingga Desember 2018. Sebanyak 289 subjek yang sesuai kriteria inklusi dianalisis dari data rekam medis. Lama perawatan pascabedah di ICU dan skor P-POSSUM subjek dicatat sesuai dengan data rekam medis. Variabel PPOSSUM yang berpengaruh terhadap lama perawatan subjek dianalisis dengan analisis bivariat dan regresi logistik multivariat. Kesahihan skor dinilai menggunakan uji kalibrasi Hosmer-Lemeshow dan uji diskriminasi dengan melihat
nilai Area Under Curve. Hasil: Hasil analisis statistik menghasilkan bahwa skor P-POSSUM memiliki kemampuan kalibrasi yang baik (uji Hosmer-Lemeshow p=0.815) dan kemampuan
diskriminasi yang cukup baik (AUC 77.8%, IK 95% 0.717-0.827). Variabel PPOSSUM yang secara statistik berpengaruh signifikan (p<0.05) terhadap lama perawatan di ICU adalah kadar natrium, jumlah perdarahan, laju jantung, dan EKG.
Kesimpulan: Skor P-POSSUM sahih dalam memprediksi lama perawatan pasien pascabedah digestif mayor di ruang intensif (ICU).

Background: It was estimated that there was 313 million surgery underwent worldwide, with the 30-days postoperative mortality rate reaching 4.2 million cases. The evaluation of preoperative patients’ conditions is encouraged to predict
postoperative morbidity and mortality, thus the modality used to assess surgery risk should be accurate and objective. RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM) routinely uses ASA-PS score to assess patients’ condition. Nonetheless, ASA-PS has
been regarded as subjective. Developed countries has started to replace this score with P-POSSUM score which was considered to be more accurate and objective. This study finds out the validity of P-POSSUM Score in predicting the length of
hospital stay in the ICU in patients who underwent digestive surgery, which reflects the severity of postoperative morbidity. Goals: This study investigated the calibration and discrimination ability of PPOSSUM score in predicting the length of stay in the ICU, and also explored the relationship between variables in P-POSSUM score and the length of stay in the ICU in patients who underwent digestive surgery.
Methods: This retrospective cohort study was conducted in RSUPNCM in January 2017 to December 2018 on 289 subjects who met the inclusion criteria. P-POSSUM score and the length of stay in the ICU unit were recorded, the data was taken from
medical record. Bivariate and multivariate logistic regression was used to investigate the relationship between P-POSSUM variables and the length of stay. The validity of P-POSSUM score was assessed by Hosmer-Lemeshow calibration
test and the measurement of the Area Under Curve (AUC).
Results: Statistical analysis showed that P-POSSUM had a good calibration ability (p=0.815 for Hosmer-Lemeshow test) and moderate discrimination ability (AUC 77.8%, CI 95% 0.717-0.827). Four P-POSSUM variables were found to be significantly associated with length of stay in the ICU (p<0.05), namely natrium level, total blood loss, heart rate and ECG. Conclusion: P-POSSUM score is valid in predicting the length of stay in the ICU in patients who underwent digestive surgery.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fildza Sasri Peddyandhari
"Latar Belakang: Identifikasi risiko mortalitas pascabedah diketahui hanya pada 66 pembedahan dan 34 sisanya tidak teridentifikasi. Modalitas P-POSSUM dianggap lebih superior dibandingkan dengan modalitas ASA dalam memprediksi morbiditas dan mortalitas karena memperhitungkan beban pembedahan.
Metode: Uji kesahihan ini dilakukan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Dilakukan penelusuran data fisiologis dan operatif dari enam puluh delapan pasien bedah risiko tinggi elektif kemudian dilakukan perhitungan prediksi risiko dengan koefisien perhitungan skor P-POSSUM dalam situs internet http://www.riskprediction.org.uk dan dibandingkan dengan luaran mortalitas aktual. Kesahihan dinilai dengan penilaian kemampuan kalibrasi dan diskriminasi. Dilakukan analisis untuk mengetahui hubungan parameter-parameter P-POSSUM dengan mortalitas. Hipotesis penelitian ini adalah P-POSSUM sahih dalam memprediksi mortalitas 30 hari pasien bedah risiko tinggi dengan kemampuan prediksi lebih dari 80 .
Hasil: Kemampuan diskriminasi didapatkan dengan menghitung luas AUC yaitu sebesar 89.2 IK 95 0,756 ndash;1,000; p=0,000 . Kemampuan kalibrasi dinilai baik dari analisis Hosmer-Lemeshow p=0,23 . Pada analisis bivariat hanya hemoglobin p=0,003 , tekanan darah sistolik p=0,031 dan leukosit p=0,007 yang berhubungan dengan mortalitas. Pada analisis regresi logistik didapatkan hanya tekanan darah sistolik p=0,043 dan leukosit p=0,010 yang berhubungan dengan mortalitas.
Simpulan: P-POSSUM sahih dalam memprediksi mortalitas 30 hari pasien bedah risiko tinggi dengan kemampuan prediksi lebih dari 80 . Berdasarkan analisis bivariat didapatkan hemoglobin, tekanan darah sistolik dan leukosit yang berhubungan dengan mortalitas. Setelah analisis regresi logistik didapatkan hanya tekanan darah sistolik dan leukosit yang berhubungan dengan mortalitas. Kata Kunci: kesahihan, P-POSSUM, mortalitas, risiko tinggi

BACKGROUND Postsurgery mortality risk identified only in 66 surgery and 34 remain unknown. P POSSUM considered more superior than ASA stratification in predicting morbidity and mortality since it calculates surgical risk.
METHODS This research was performed in RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Physiological and surgical parameter of sixty eight high risk patients were taken from medical record and then risk prediction was calculated by calculation coefficient of P POSSUM scoring from http www.riskprediction.org.uk. The comparison between predicted and actual mortality was performed. Validation is assessed by calibration and discrimination ability. The researchers also analyzed the correlation between P POSSUM parameters and mortality. We hypothesized that P POSSUM valid in predicting 30 days mortality high risk surgical patients with predicting ability more than 80.
RESULTS Pada analisis regresi logistik didapatkan hanya tekanan darah sistolik p 0,043 dan leukosit p 0,010 yang berhubungan dengan mortalitas. Discrimination ability was assessed by calculating AUC area which is 89.2 CI 95 0,756 ndash 1,000 p 0,000 . Calibration ability is good based on Hosmer Lemeshow analysis p 0,23 . From bivariat analysis only hemoglobin p 0,003 , sistolic blood pressure p 0,031 and leukocyte p 0,007 have relationship with mortality. From multivariate logistic regression anylisis only sistolic blood pressure p 0,043 and leukocyte p 0,010 have relationship with mortality.
CONCLUSION P POSSUM is valid in predicting 30 days mortality high risk surgical patients with predicting ability more than 80 . From bivariat analysis only hemoglobin, sistolic blood pressure and leukocyte have relationship with mortality. From multivariate logistic regression anylisis only sistolic blood pressure and leukocyte have relationship with mortality. Keywords validation, P POSSUM, mortality, high risk "
Depok: Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Grace Widyarani
"ABSTRAK
Latar belakang: Stratifikasi risiko terhadap pembedahan sangat membantu dalam pengambilan keputusan klinis perioperatif, edukasi, evaluasi, dan audit klinis. Kraniotomi pada tumor otak sebagai tindakan pembedahan berisiko tinggi belum memiliki stratifikasi risiko yang akurat di RSUPNCM karena masih menggunakan ASA yang bersifat subjektif dan kurang informatif. P-POSSUM terbukti tepat dalam prediksi mortalitas pascabedah kraniotomi di India dan Inggris, namun belum diketahui ketepatannya di Indonesia, khususnya di RSUPNCM. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketepatan P-POSSUM dalam prediksi mortalitas pascabedah kraniotomi pada tumor otak di RSUPNCM. Metode: Disain penelitian adalah deskriptif analitik retrospektif terhadap seluruh pasien dewasa dengan tumor otak yang menjalani kraniotomi di RSUPNCM selama periode Januari 2015 - Desember 2016. Hasil: Sebanyak 196 subjek dilibatkan dalam analisis risiko mortalitas. Didapatkan rasio O:E 1,68 secara keseluruhan dengan rasio O:E 1,91 pada jangkauan risiko 0-5 dan 1,69 pada jangkauan risiko 11-20 . Hasil uji Hosmer-Lemeshow menunjukkan perbedaan yang signifikan antara angka mortalitas prediksi dan aktual p=0,006 . Simpulan: P-POSSUM tidak tepat dalam prediksi mortalitas pascabedah kraniotomi di RSUPNCM. Diperlukan kajian dan penyesuaian lebih lanjut sebelum P-POSSUM dapat digunakan pada populasi bedah saraf di RSUPNCM.

ABSTRACT
Background Risk stratification in surgery helps in perioperative clinical decision making, education, evaluation, and clinical audit. Craniotomy on brain tumor as a high risk surgery does not have an accurate risk stratification in RSUPNCM because they still use ASA, which is subjective and not informative. P POSSUM had been proven to be accurate in predicting postoperative mortality after craniotomy in India and England, but it has not been studied in Indonesia, especially in RSUPNCM. Aim This study was done to gain knowledge about the accuracy of P POSSUM for predicting mortality after craniotomy in brain tumor in RSUPNCM. Methods This was a retrospective descriptive analytic study on adults with brain tumor scheduled to have elective craniotomy in RSUPNCM between January 2015 ndash December 2016. Result 196 subjects were analyzed in this study. Overall O E ratio was 1.68 with O E ratio of 1.91 in the risk range of 0 5 and 1.69 in the risk range of 11 20 . Hosmer Lemeshow test showed significant difference between predicted and actual mortality rate p 0.006 . Conclusion P POSSUM was not accurate for predicting mortality after craniotomy in RSUPNCM. Further studies and adjustments are needed before P POSSUM can be used in neurosurgery population in RSUPNCM."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Nopriansah
"

Portsmouth Physiological and Operative Severity Score for the enUmeration of Mortality and morbidity (P-POSSUM) merupakan sistem skoring yang memprediksi morbiditas dan mortalitas berdasarkan 12 parameter fisiologis dan 6 parameter pembedahan. American Society of Anesthesiologist’s Physical Status (ASA-PS), yang terdiri dari 6 tingkatan, adalah skoring prediksi risiko pembedahan yang pertama kali dikembangkan dan paling sering digunakan saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk menilai apakah kemampuan prediksi in-hospital mortality skoring P-POSSUM lebih baik dibanding skoring ASA-PS. Penelitian kohort retrospektif di RSCM selama bulan Mei-Juli 2018. Sebanyak 230 rekam medis diambil sesuai pasien yang menjalani laparotomi emergensi pada periode 1 Januari 2016-31 Desember 2017. Penilaian status ASA dicatat sesuai rekam medis dan dilakukan penilaian P-POSSUM. Analisis data dilakukan dengan komparatif Area Under the Curve (AUC), Hosmer Lemeshow goodness of fit dan multivariat regresi logistik. Angka in-hospital mortality pasien pascalaparotomi emergensi periode Januari 2016-Desember 2017 adalah sebesar 21,3%. Nilai kalibrasi ASA-PS lebih baik dibanding dengan P-POSSUM (p 0,072 vs 0,043). Nilai diskriminasi P-POSSUM lebih baik dibanding dengan ASA-PS (AUC 87,9% vs 76,2%). Komponen P-POSSUM yang paling berhubungan dengan in-hospital mortality adalah usia, riwayat gangguan napas, GCS, hemoglobin, natrium, kontaminasi intraperitoneal dan EKG. Skor P-POSSUM lebih baik dibanding ASA-PS dalam memprediksi in-hospital mortality pasien pascalaparotomi emergensi.


Portsmouth Physiological and Operative Severity Score for the enUmeration of Mortality and morbidity (P-POSSUM) is a scoring system which predicts morbidity and mortality based on 12 physiologic and 6 operative parameters. American Society of Anesthesiologist’s Physical Status (ASA-PS), consists of 6 categories, is the first scoring system predicting risk preoperatively and mostly use to this date. Our goals are to evaluate and compare the ability of these two scores in predicting mortality. This is a retrospective cohort taken place in RSCM within May to July 2018. There was 230 medical records taken as samples based on patient who underwent emergency laparotomy within period 1 January 2016 to 31 December 2017. ASA physical status was recorded and P-POSSUM score was assessed. Data were analyzed to compare Area Under the Curve (AUC), Hosmer Lemeshow goodness of fit and multivariate of logistic regression. In-hospital mortality of patient undergoing emergency laparotomy within period January 2016 to December 2017 is 21.3%.  Calibration performance of ASA-PS is better than P-POSSUM (p 0,072 vs 0,043). Discrimination performance of P-POSSUM is better than ASA-PS (AUC 87,9% vs 76,2%). Parameters of P-POSSUM, which most related with in-hospital mortality, are age, respiratory disorder, GCS, hemoglobin, sodium, intraperitoneal contamination and ECG. P-POSSUM is better than ASA-PS in predicting in-hospital mortality of patient undergoing emergency laparotomy.

"
2018
SP-PDF
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Mansjoer
"Latar Belakang. Lama rawat intensif pasien pascabedah jantung yang memanjang mempengaruhi alur pasien bedah jantung berikutnya. Pengaturan pasien berdasarkan lama rawat diperlukan agar alur pasien lancar.
Tujuan. Membuat prediksi lama rawat intensif 48 jam berdasarkan nilai skor dari model EuroSCORE dan model yang dimodifikasi dari faktor-faktor EuroSCORE.
Metode. Penelitian restrospektif dilakukan pada Januari 2012 - Desember 2013 pada 249 pasien yang menjalani bedah jantung di Unit Pelayanan Jantung RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta. Analisis survival dan regresi Cox dilakukan untuk membuat prediksi lama rawat intensif 48 jam.
Hasil. Median kesintasan lama rawat intensif 43 jam. Nilai skor EuroSCORE tidak memenuhi asumsi hazard proporsional. Model baru telah dibuat dari 7 variabel EuroSCORE yang secara substansi berhubungan dengan lama rawat intensif (AUC 0,67).
Kesimpulan. Model baru dari tujuh faktor EuroSCORE cukup dapat memprediksi lama rawat intensif 48 jam.

Background. Prolonged intensive care unit length of stay (ICU-LOS) in a postcardiac surgery may shortage of ICU beds due to clog of patient flow. Improving ICU-LOS may lead to better patient flow.
Objectives. To predict 48-hour ICU-LOS based on EuroSCORE model and to create a modified EuroSCORE factors model.
Methods. A retrospective study was conducted from January 2012 to December 2013 among 249 patients who underwent cardiac surgery at Integrated Cardiac Services, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Survival analysis and Cox?s regression were performed to make a prediction model for 48-hour ICU-LOS.
Results. Median survival of ICU-LOS was 43-hour. The EuroSCORE model did not meet the proporsional hazard assumption. A new substantial model from 7- EuroSCORE factors was created to predict 48 hours ICU-LOS (AUC 0.67).
Conclusions. Seven EuroSCORE factors was sufficient as a new model to predict the 48-hour ICU-LOS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christophorus Simadibrata
"Latar belakang: merupakan salah satu tindakan pembedahan yang mempengaruhi motilitas gastrointestinal. Penelitian Cihoric et al menunjukkan sebanyak 12,5% pasien pasca laparotomi mengalami komplikasi disfungsi gastrointestinal. Disfungsi pada motilitas gastrointestinal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada prosedur pembedahan abdomen. Dari 100 pasien operasi laparotomi digestif, ditemukan sebanyak 40% pasien di ICU mengalami peningkatan gastric residual volume pada pasien pasca operatif laparotomi digestif. Pemberian suplementasi dengan Lactobaciillus acidophilus diketahui dapat meningkatkan motilitas gaster.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek hubungan antara pemberian probiotik Lactobacillus acidophillus dengan GRV.
Metode: Desain penelitian yang digunakan adalah eksperimental atau uji klinis acak tersamar ganda. Sebanyak 55 subjek yang mengikuti randomisasi, 54 subjek yang akan menjalani operasi laparotomi gastrointestinal dimasukkan ke dalam penelitian, 1 subjek drop out karena sepsis. Subjek penelitian diberikan kapsul probiotik Lactobacillus acidophilus 109 (kelompok probiotik) atau diberikan kapsul laktosa (kelompok plasebo) selama 3 hari sebelum operasi. Kadar GRV diukur 2 hari sesudah prosedur.
Hasil: Dari 54 subjek dengan 27 subjek tiap kelompok mengikuti penelitian hingga selesai. Pada hari pertama (24 jam), GRV 24 jam dengan pemberian probiotik dan kelompok kontrol menunjukkan hasil yang tidak signifikan (p value 0,669). Pada hari ke 2 (48 jam), GRV 48 jam dengan pemberian probiotik dan kelompok kontrol menunjukkan hasil yang tidak signifikan (p value 1,000). Hasil yang tidak signifikan pada GRV 24 jam dan 48 jam dapat dipengaruhi faktor perancu yaitu geriatri, riwayat kelainan saraf, obesitas, riwayat penggunaan vasopressor, riwayat konsumsi opioid, hiperkapnia dan hiperglikemia selama di ICU.
Simpulan: Pemberian probiotik Lactobacillus acidophilus dengan GRV tidak mempunyai efek hubungan dibandingkan dengan placebo.

Background: Laparotomy is a surgical procedure that affects gastrointestinal motility. Research by Cihoric et al showed that 12.5% ​​of post-laparotomy patients experienced complications of gastrointestinal dysfunction. Dysfunction in gastrointestinal motility is a frequent complication of abdominal surgical procedures. Out of 100 patients with digestive laparotomy surgery, it was found that as many as 40% of patients in the ICU experienced an increase in gastric residual volume in postoperative digestive laparotomy patients. Supplementation with Lactobaciillus acidophilus is known to increase gastric motility.
Aim: This study aims to determine the effect of the relationship between administration of Lactobacillus acidophillus probiotics and GRV.
Methods: The study design used was an experimental or double-blind randomized clinical trial. A total of 55 subjects who followed the randomization, 54 subjects who would undergo gastrointestinal laparotomy were included in the study, 1 subject dropped out due to sepsis. Research subjects were given probiotic capsules Lactobacillus acidophilus 109 (probiotic group) or given lactose capsules (placebo group) for 3 days before surgery. GRV levels were measured 2 days after the procedure.
Results: Of the 54 subjects with 27 subjects in each group, they followed the research to completion. On the first day (24 hours), the 24-hour GRV with the administration of probiotics and the control group showed insignificant results (p value 0.669). On day 2 (48 hours), GRV 48 hours with probiotic administration and the control group showed insignificant results (p value 1,000). Results that were not significant at GRV 24 hours and 48 hours could be influenced by confounding factors, geriatrics, history of neurological disorders, obesity, history of vasopressor use, history of consumption of opioids, hypercapnia and hyperglycemia while in the ICU.
Conclusion: Administration of Lactobacillus Acidophilus probiotics with GRV had no association effect compared to placebo.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Qolby Lazuardi
"Unit Perawatan Intensif (UPI) merupakan bagian rumah sakit yang berfungsi untuk melakukan perawatan pada pasien yang mengalami penyakit dengan potensi mengancam nyawa. Data menunjukkan angka mortalitas pasien UPI dewasa di seluruh dunia memiliki rerata sekitar 10-29%, sedangkan di RSCM berada di kisaran 28,63-33,56%. Keadaan tersebut membuat kemampuan memprediksi luaran mortalitas menjadi penting untuk menentukan perawatan yang tepat. Logistic Organ Dysfunction System (LODS) merupakan salah satu metode skoring yang dapat digunakan untuk memprediksi luaran mortalitas pasien, namun penelitian untuk menguji hal tersebut belum pernah dilakukan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kemampuan skor LODS dalam memprediksi luaran mortalitas pasien dewasa UPI RSCM. Penelitian ini menggunakan 331 sampel data rekam medik pasien UPI RSCM, didapati hasil bahwa rerata pasien meninggal memiliki skor LODS yang lebih besar daripada pasien yang hidup, yaitu rerata 5,854 (median: 6) pada pasien meninggal, dan rerata 2,551 (median: 2) pada pasien yang hidup. Pada uji kalibrasi, didapati hasil Hosmer-Lemeshow test sebesar 0,524, yang menandakan hasil uji kalibrasi yang baik (>0,05). Sedangkan pada uji diskriminasi menggunakan kurva Receiver Operating Characteristic (ROC), nilai Area Under the Curve (AUC) sebesar 79,2%, yang menandakan kemampuan diskriminasi dari skor LODS cukup (70-80%). Hasil tersebut menunjukkan bahwa skor LODS dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam memprediksi luaran mortalitas pasien UPI RSCM.

Intensive Care Unit (ICU) is the part of hospital that do the care for patients with disease that threaten their life. Data shows that the mortality rate in ICU in the whole world revolved aroung 10-29%, and in RSCM revolved around 28,63-33,56%. This condition makes the ability to predict mortality outcome become important to help decide the correct treatment. Logistic Organ Dysfunction System (LODS) is one of scoring method that is able to help predict patients mortality outcome, but there is still no study for this scoring method for adult patients in Indonesia. This study inteded to evaluate the ability of LODS scoring in predicting ICU RSCM patients mortality outcome. This study used 331 ICU RSCM patients as its samples, and the result shows that the mean LODS score of the patients that died is greater than the one that lives, the mean LODS score of the patients that died is 5,854 (median: 6), and the mean score of the patients that lives is 2,551 (median: 2). In calibration test using Hosmer-Lemeshow test, the result shows a good outcome that is 0,524 (P>0,05). While in discrimantion test using Receiver Operating Characteristic (ROC) curve, the Area Under the Curve (AUC) value is 79,2%, showing that the ability of LODS score to discriminate is sufficient. This results show that LOD score can be used as one of the refference to predict patients mortality outcome in ICU RSCM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Pranandi
"Latar Belakang. Hiperglikemia sering terjadi pada pasien pascabedah pintas arteri koroner (BPAK). Kondisi ini mempengaruhi prognosis pada pasien, sehingga dibutuhkan protokol insulin intensif yang efektif dan aman digunakan. Di Indonesia belum ada protokol standar yang terbukti efektif dan aman pada pasien pascabedah pintas arteri koroner (BPAK). Tujuan. Mengetahui persentase pasien pascabedah pintas arteri koroner (BPAK) jantung yang mencapai target glukosa darah dalam 6 jam dan insiden kejadian hipoglikemia dengan menggunakan protokol insulin PERKENI 2011.
Metode. Penelitian ini menggunakan desain retrospektif dari rekam medis pasien dewasa 318 tahun yang mengalami hiperglikemia (>200 mg/dL) pascabedah pintas arteri koroner (BPAK). Parameter yang dilihat karakteristik dari subjek, proporsi glukosa darah terkendali (150-200 mg/dL) dalam enam jam dan proporsi hipoglikemia. Proporsi pencapaian glukosa darah ditargetkan >50% dan kejadian hipoglikemia <12%.
Hasil. Penelitian ini dilakukan di Pelayanan Jantung Terpadu RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo periode Januari 2018 sampai September 2023. Sebanyak 98 subjek diikutsertakan dan didapatkan persentase pasien yang mencapai target glukosa darah dalam 6 jam sebesar 54,1% dan proporsi hipoglikemia sebesar 5,1%.
Kesimpulan. Berdasarkan penelitian ini persentase pasien yang mencapai target glukosa darah dalam 6 jam sebesar 54,1% dan proporsi hipoglikemia sebesar 5,1% dengan menggunakan protokol insulin PERKENI 2011.

Background. Hyperglycemia often occurs in patients after coronary bypass surgery. This condition affects the patient’s prognosis, so an intensive insulin protocol is needed that is effective and safe to use. In Indonesia, there is no standard protocol that has been proven to be effective and safe in patients after coronary bypass surgery.
Aim. To determine the percentage of post-coronary artery bypass surgery (CABG) patients who achieve blood glucose targets within 6 hours and the incidence of hypoglycemia using the PERKENI 2011 insulin protocol.
Methods. This study used a retrospective design from medical records of adult patients (318 years old) who experienced hyperglycemia (>200 mg/dL) after coronary bypass surgery. The parameters seen were the characteristics of the subjects, proportion of controlled blood glucose (150-200 mg/dL) within six hours and proportion of hypoglycemia. The proportion of blood glucose achieved is targeted at >50% dan the incidence of hypoglycemia <12%.
Results. This research was conducted at the Integrated Heart Service of RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo for the period January 2018 to September 2023. A total of 98 subjects were included and it was found that the percentage of patients who reach the blood glucose target within 6 hours was 54.1% and the proportion of hypoglycemia was 5.1%.
Conclusion. Based on this study, the percentage of patients who achieved the blood glucose target within 6 hours was 54.1% and the proportion of hypoglycemia was 5.1% using the PERKENI 2011 insulin protocol.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vania Roswenda
"Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).

There are still many controversies regarding the impact of obesity on morbidity and mortality of the critically ill patient. Immune dysregulation, increased cardiovascular risk, impaired wound healing and changes antimicrobial pharmacokinetics can all be attributed to increased fat mass in obese individuals. Even so, numerous studies show increased survival of obese critically ill patiens compared to normal BMI. This phenomenon is known as the obesity paradox. This study aims to see the relationship between obesity with ICU Length of Stay and nosocomial infection in critically ill patient of RSUPN Cipto Mangunkusumo. Subjects’ anthropometric measurements were taken and then grouped into obese or normal BMI group based on Asia-Pacific BMI classification. Length of stay and diagnosis of nosocomial infection were recorded during daily follow up while the subjects were still admitted in the ICU. There is a total of 79 subjects, mostly female (65%) with median age of 46 years. Most patients were admitted to the ICU following surgery (89%) with a qSOFA score of 1 (52%). 92% of patients stepdown from the ICU with the remaining 8% died. 5% of patients had nosocomial infection, all of them being ventilator associate pneumonia. There is no significant relationship between rate of nosocomial infection and obesity status (OR (95% CI): 1,03 (0,1-14,85)). The median length of stay for both subject groups is 2 days. There is no difference in ICU length of stay between obese patients and normal BMI (p=0,663)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riadin Joko Patomo
"Latar Belakang : Infeksi odontogenik telah menjadi salah satu penyakit yang paling umum terjadi di daerah oral dan maksilofasial. Tatalaksananya dapat sangat bervariasi, pada infeksi odontogenik yang parah pasien memerlukan rawat inap dan tindakan intervensi bedah dan medis yang luas. Proporsi pasien dengan infeksi odontogenik juga akan memerlukan dukungan ruang perawatan intensif (ICU) segera setelah tindakan bedah. Tingkat keparahan infeksi dan terjadinya komplikasi menyebabkan pasien tinggal di ruang perawatan intensif (ICU) lebih lama.
Tujuan : untuk mengetahui apakah ada pengaruh penyebaran infeksi odontogenik yang dikaitkan dengan tatalaksana infeksi odontogenik dengan tindakan bedah, komplikasi dan riwayat penyakit sistemik terhadap lama masa perawatan intensif (ICU) pada pasien dengan infeksi odontogenik di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Material dan Metode : Rekam medis pasien infeksi odontogenik, Bedah Mulut dan Maksilofasial RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo selama periode Januari 2014-Desember 2018 dikumpulkan dan didapatkan 84 orang. Setiap sampel di identifikasi adanya tingkat keparahan infeksi odontogenik, riwayat penyakit sistemik, tatalaksana bedah, komplikasi pasca bedah dan lama masa perawatan intensif (ICU). Data diolah dengan uji Chi Square. Uji hipotesis korelatif dilakukan dengan Uji Fishers Exact dan Uji Pearson Chi-Square .
Kesimpulan : Ditemukan hubungan yang bermakna antara penyebaran infeksi odontogenik menurut Flynn Score dengan lama masa perawatan intensif (ICU) dengan nilai α = 0.00 (α < 0.05). Tatalaksana bedah dengan α = 0.00 (α < 0.05) dan komplikasi pasca bedah dengan α = 0.03 (α < 0.05) juga memberikan hasil yang signifikan yang menunjukkan adanya hubungan dengan lama masa perawatan intensif (ICU). Selain itu didapatkan kesimpulan bahwa infeksi odontogenik tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan jenis kelamin α = 0.64 (α > 0.05), usia α = 0.34 (α > 0.05), maupun riwayat penyakit sistemik α = 0.52 (α > 0.05) dengan lama masa perawatan intensif (ICU).

Background : Odontogenic infections have become one of the most common diseases in the oral and maxillofacial regions. The treatment can be very variable, in severe odontogenic infections patients require hospitalization and extensive surgical and medical interventions. The proportion of patients with odontogenic infections will also require intensive care support (ICU) immediately after surgery. The severity of infection and the occurrence of complications causes patients longer to stay in intensive care unit (ICU).
Objective : To find out whether there is an effect of the spread of odontogenic infections associated with the management of odontogenic infections with surgical procedures, complications and a history of systemic diseases for the duration of intensive care unit (ICU) in patients with odontogenic infections in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Materials and Methods : Medical records of patients with odontogenic infections, Oral and Maxillofacial Surgery RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo during January 2014-December 2018 was collected and obtained 84 people. Each sample identified the severity of odontogenic infections, a history of systemic diseases, surgical management, postoperative complications and length of stay of intensive care unit (ICU). Data is processed by Chi Square Test. The correlative hypothesis test is carried out by Fishers Exact Test and Pearson Chi-Square Test.
Conclusion : A significant association was found between the spread of odontogenic infections according to Flynn Score with the duration of intensive care unit (ICU) with a value of α = 0.00 (α <0.05). Surgical management with α = 0.00 (α <0.05) and postoperative complications with α = 0.03 (α <0.05) also gave significant results indicating a relationship with the duration of intensive care (ICU). In addition it was concluded that odontogenic infections did not have a significant relationship with gender α = 0.64 (α> 0.05), age α = 0.34 (α> 0.05), or history of systemic disease α = 0.52 (α> 0.05) with length of treatment intensive (ICU)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>