Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 124405 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anastasia Audrey
"Periodontitis merupakan penyakit keradangan yang disebabkan oleh bakteri yang membentuk biofilm pada permukaan gigi. Calcitonin gene related peptide (CGRP) merupakan agen anti-inflamasi yang dapat menghambat aktivitas osteoklas. Tujuan: Membandingkan kadar CGRP dalam cairan krevicular gingiva (CKG) antara penderita periodontitis usia dewasa dengan lanjut usia. Metode: Sampel klinis diperoleh dari CKG yang berasal dari 70 subjek yang terdiri dari subjek pria dan wanita dengan penyakit periodontal, berusia 60-75 tahun (n = 42) dan pasien dewasa usia 25-55 tahun (n = 28). Pengukuran parameter klinis, termasuk kedalaman poket, indeks plak, indeks kalkulus, indeks kebersihan mulut, dan indeks pendarahan papila, dinilai sebagai kriteria diagnostik. Pasien yang diambil sebagai sampel jika memiliki kedalaman poket 3-4 mm. Uji ELISA dilakukan untuk mengukur kadar CGRP. Hasil: Kadar CGRP dalam CKG sedikit lebih tinggi pada pasien dewasa (43,26 ± 69,5 pg/μg) dibandingkan pada pasien usia lanjut (25,59 ± 36,7 pg/μg), namun hasil tersebut tidak signifikan secara statistik (p>0,05). Kesimpulan: Kadar CGRP dalam CKG pasien periodontitis tidak tergantung pada usia meskipun kadarnya cenderung lebih rendah pada pasien usia lanjut.

Periodontitis is an inflammatory disease caused by bacteria that forms a dental biofilm. Calcitonin gene-related peptide (CGRP) is an anti-inflammatory agent that inhibits osteoclast activity. Aim: To compared the CGRP levels in the gingival crevicular fluid (GCF) from adult and elderly periodontitis patients. Methods: Clinical samples were obtained from the GCF of 70 subjects with periodontal diseases, including male and female subjects 60–75 years old (n=42) and adult patients 25–55 years old (n=28). Measurements of clinical parameters, including the probing pocket depth (PPD) and bleeding on probing, were assessed as diagnostic criteria. A pocket depth was defined as being present if the PPD was 3-4 mm. An enzyme-linked immunosorbent assay was performed to measure the CGRP levels. Result: The level of CGRP in the GCF was slightly higher in adult patients (43.26 ± 69.5 pg/μg) than in elderly patients (25.59 ± 36.7 pg/μg); however, this result was not statistically significant (p >.05). Conclusion: The level of CGRP in the GCF of periodontitis patients was not dependent on age and was lower in elderly patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Johanes Halim
"Latar Belakang: Dalam perawatan ortodonti, rasa nyeri merupakan salah satu hal yang mengurangi kenyamanan pasien. Rasa nyeri disebabkan karena gaya ortodonti yang diaplikasikan pada gigi oleh alat ortodonti cekat. Persepsi nyeri pasien dapat diketahui menggunakan pain assessment analysis yaitu visual analog scale (VAS), numerical rating scale (NRS) dan verbal rating scale (VRS). Diketahui bahwa VAS merupakan metode analisis rasa nyeri yang paling terpercaya. Perawatan ortodonti pada pasien menggunakan beberapa jenis bracket yaitu pre-adjusted bracket yang metode ligasinya menggunakan modul elastomer dan self-ligating bracket yang metode ligasinya menggunakan pintu pada braces. Self-ligating ini dibagi menjadi dua jenis yaitu active self-ligating dan passive self-ligating. Perkembangan Passive Self-Ligating bracket memberikan gaya dan friksi yang lebih ringan sehingga diperkirakan bahwa perawatan dengan dengan menggunakan bracket jenis ini dapat mengurangi rasa nyeri. Salah satu biomarker rasa nyeri pada perawatan gigi ortodonti adalah neuropeptida calcitonin gene-related peptide. Konsentrasi neuropeptida CGRP akan meningkat pada daerah inflamasi yang disebabkan oeh gaya ortodonti.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara persepsi nyeri pasien dengan konsentrasi neuropeptida CGRP pada fase aligning awal perawatan ortodonti menggunakan pre-adjusted edgewise (PE) bracket dan sistem passive self-ligating (PSL) bracket.
Metode: Total sampel 15 orang dibagi menjadi 3 kelompok (kelompok kontrol, kelompok percobaan braket passive self-ligating dan kelompok braket pre-adjusted. Untuk sampel CGRP diambil dari GCF pada interdental 6 gigi anterior bawah dengan waktu pengambilan sampel: sebelum pemasangan braket kemudian 2 jam, 24 jam dan 1 minggu setelah pemasangan archwire. Konsentrasi CGRP diukur menggunakan ELISa. Nilai persepsi nyeri dinilai dari hasil pengisian VAS.
Hasil: Hasil dari penelitian ini menunjukan pada kelompok braket PE terdapat perbedaan signifikan nilai rerata skor VAS antara T0-T1, T0-T2, T1-T2 dan T2-T3. Sedangkan pada kelompok braket PSL terdapat perbedaan signifikan nilai rerata skor VAS antara T0-T2 dan T2-T3. Terdapat perbedaan bermakna rerata skor VAS di T2 antara kelompok braket PE dan PSL. Tidak terdapat perbedaan konsentrasi CGRP antara kelompok pasien yang menggunakan braket PE dan PSL pada tiap waktu pengamatan. Tidak terdapat perbedaan konsentrasi CGRP antara kelompok pasien yang menggunakan braket PE, PSL dan kontrol sebelum pemasangan archwire pada tiap kelompok waktu pengamatan. Terdapat korelasi positif antara persepsi nyeri dan konsentrasi CGRP namun tidak berbeda bermakna.

Background: Orthodontic tooth movement takes place after applied force on the tooth stimulates inflammation and remodeling of the alveolar bone. Friction in Passive Self-Ligating (PSL) bracket is lower than Preadjusted Edgewise (PE) bracket, therefore it is assumed that pain resulted from PSL is lower than PE bracket. One of the neuropeptides that can be used as pain biomarkers in orthodontic tooth movement is calcitonin gene-related peptide (CGRP). Pain perception can be subjectively evaluated using Visual Analog Scale (VAS).
Objective: This study aims to analyze pain perception by using VAS, CGRP level in patients isolated from GCF, and the correlation between VAS score, and CGRP level.
Method: 15 patients were included in the study (passive self-ligating group, pre-adjusted group and control group). The GCF was collected from six lower anterior teeth interproximal sites before bracket insertion, 2 hours after lower archwire engagement, 24 hours after lower archwire engagement, and 1 week after lower archwire engagement. Pain perception is recorded using VAS. CGRP concentration was analyzed using enzyme-linked immunosorbent assay.
Result: VAS score on PE and PSL group increased from 2 hours, peaked on 24 hours and returned to baseline on 168 hours with PE group were higher compared with PSL and the highest score was on 24 hour time point. CGRP concentration was highest on 24 hours compared with other time point.
Conclusion: These result show that VAS score and CGRP concentration increased during initial orthodontic tooth aligment using a self-ligating and preadjusted bracket system. Pain perception and CGRP concentration have positive weak correlation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zahrotunisa
"Kemajuan pada bidang bioteknologi saat ini telah banyak memanfaatkan protein dan peptida sebagai agen terapeutik untuk berbagai macam penyakit. Salah satu protein peptida terapeutik yaitu kalsitonin salmon yang digunakan untuk mengobati hiperkalsemia pada penderita hiperparatiroid. Namun, dalam penghantarannya kalsitonin salmon masih memiliki kekurangan, seperti mudah terdegradasi oleh enzim pencernaan saat diberikan secara peroral dan ketidaknyamanan saat menggunakan kalsitonin injeksi maupun intranasal. Penghantaran transdermal menjadi salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk menghantarkan kalsitonin salmon secara efektif. Pada penghantaran transdermal, kalsitonin salmon memiliki hambatan penetrasi seperti bobot molekul yang besar dan sifatnya yang hidrofilik, sehingga diperlukan formula yang tepat untuk menghantarkan kalsitonin salmon melalui rute transdermal seperti memformulasikannya dalam pembawa Nanostructured Lipid Carrier (NLC). Tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan sediaan transdermal kalsitonin dalam pembawa NLC yang dapat meningkatkan penetrasi kalsitonin dan memenuhi persyaratan stabilitas. Enam formula NLC (F1-F6) dibuat dengan metode emulsi ganda dengan penguapan. Formula dikarakterisasi pada ukuran partikel, indeks polidispersitas, zeta potensial, efisiensi penjerapan, dan morfologi partikel. Kemudian, NLC kalsitonin salmon diformulasikan dalam pembawa emulgel. Emulgel NLC kalsitonin salmon dilakukan uji penetrasi in vitro dan studi stabilitas. Hasil penelitian ini menunjukan formula NLC rasio 75:25 lipid padat dan lipid cair dengan konsentrasi kalsitonin salmon 0,04% (F3) merupakan formula optimal, dengan karakteristik ukuran partikel 135,6 nm, indeks polidispersitas 0,1, potensial zeta 34,7 mV, efisiensi penjerapan 99,6%, dan morfologi menunjukkan vesikel berbentuk speris. Berdasarkan hasil uji penetrasi, emulgel NLC kalsitonin menghasilkan peningkatan lima kali lipat dibandingkan dengan emulgel kalsitonin non-NLC. Selain itu, studi stabilitas menggambarkan kadar kalsitonin setelah enam bulan masing-masing 46,09-68,59% dan 43,45-60,59% pada kondisi penyimpanan 5º±3ºC dan 25º±2ºC dengan kelembaban relatif 60%±5%.

Currently advances in biotechnology has been using proteins and peptides as therapeutic agents. One of therapeutics protein peptide is salmon calcitonin that is used to treat hypercalcemia in hyperparathyroid. However, calcitonin still has limitations in its delivery, such as being easily degraded by digestive enzymes when using perorally, and causing discomfort when using injectable or intranasal. Transdermal delivery is one of the alternative methods that can effectively deliver salmon calcitonin. In transdermal delivery, salmon calcitonin has obstacles to penetration such as hydrophilic and large molecular weight, thus an appropriate formula is needed to deliver through the transdermal route such as formulating in a Nanostructured Lipid Carrier (NLC) carrier system. The aim of this study was to produce calcitonin transdermal in NLC system that can increase the penetration and met the stability requirements. Six formulas of calcitonin NLC were prepared by the double emulsion-evaporation method, then all formulas were characterized in terms of particle size, polydispersity index, zeta potential, entrapment efficiency, and morphology. Salmon Calcitonin NLC were then formulated into NLC-based emulgel. Further, in vitro penetration and stability of NLC calcitonin emulgel studies were conducted. The result showed that formula NLC using 75:25 ratio of solid lipid to liquid lipid with 0.04% drug concentration (F3) was optimal, with a particle size of 135.6 nm, an polydispersity index 0.1, the zeta potential of -34.7 mV, entrapment efficiency of 99.6%, and spherical vesicle morphology. According to the percutaneous penetration study, the NLC salmon calcitonin emulgel resulted in a fivefold enhancement compared to the non-NLC salmon calcitonin emulgel. Moreover, the stability study illustrated salmon calcitonin levels after six months were 46.09-60.95% and 43.45-68.59% at storage conditions of 5º±3ºC and 25º±2ºC with relative humidity 60%±5%, respectively."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Ernawati
"Banyak senyawa protein, peptida dan peptidomimetik yang ditemukan akhir-akhir ini memiliki potensi terapeutik yang besar, namun terhambat aplikasinya sebagai obat karena mengalami masalah penghantaran ke situs sasarannya (drug delivery).
Dalam beberapa tahun belakangan ini telah dikembangkan satu metode baru dalam modulasi junction antar sel menggunakan senyawa-senyawa peptida kadherin, yaitu peptida yang sekuensnya diturunkan dari sekuens fragmen peptida yang terdapat pada situs pengikatan kadherin. Dalam penelitian ini telah dievaluasi aktivitas beberapa peptida kadherin dalam memodulasi junction antar sel. Hasilnya menunjukan bahwa peptida-peptida Ac-LFSHAVSSNG-NH2 (HAV-10), Ac-SHAVSS-NH2 (HAV-6), Ac-QGADTPPVGV-NH2 (ADT-10), dan Ac-ADTPPV-NH2 (ADT-6) memiliki aktivitas yang cukup tinggi dalam memodulasi junction antar sel-sel MDCK (Madin Darby Canine Kidney). Hasil penelitian ini telah memberikan sumbangan yang berarti dalam pemantapan suatu metoda baru dalam penghantaran obat melalui modulasi junction antar sel menggunakan senyawa-senyawa peptida kadherin.

Modulation of Intercellular Junction by Utilization of Cadherin Peptides as an Effort to Improve Drug Delivery. Rapid advances in combinatorial chemistry and molecular biology has influenced the discovery of many proteins, peptides and peptidomimetics as potential therapeutic agents. Unfortunately, the practical application of these potential drugs is often restricted by the difficulties of delivering them to target site(s) due to the presence of biological barriers.
Recently, a new method to improve the drug delivery, that is by modulating the intercellular junction, has been evaluated. Modulation of intercellular junction could be achieved by modulating the proteins which play important role in establishing the intercellular junction, one of which is cadherin. In the present work we have demonstrated the ability of several cadherin peptides, i.e. Ac-LFSHAVSSNG-NH2 (HAV-10), Ac-SHAVSS-NH2 (HAV-6), Ac-QGADTPPVGV-NH2 (ADT-10), and Ac-ADTPPV-NH2 (ADT-6) to modulate the intercellular junction of MDCK (Madin Darby Canine Kidney) cells, this finding is a contribution to the establishment of a new method to improve the drug delivery by utilization of cadherin peptides by modulating the intercellular junction.
"
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2004
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Irwansyah
"Tujuh peptida ampifil berhasil disintesis dengan metode sintesis peptida fasa padat. Karakterisasi peptida ampifil dilakukan dengan matrix assisted laser desorption/ionization Time-of-Flight Mass Spectrometer (MALDI-TOF MS). Studi dengan atomic force microscopy (AFM) menunjukkan bahwa peptida ampifil dengan linker glisin, valin dan prolin melakukan self-assembly dalam pelarut air membentuk struktur nanofiber berukuran 100-200 nm. Berdasarkan penelitian, peptida ampifil yang bermuatan positif atau negatif memiliki kemampuan self-assembly yang sama. Uji pembentukan hidrogel memperlihatkan peptida ampifil memiliki kemampuan sebagai material low molecular weight gelator (LMWG). Peptida ampifil yang memiliki alkil C-12 dan C-16 memiliki kemampuan hidrogelasi yang lebih baik dibandingkan C-8. Lima dari tujuh peptida ampifil memiliki nilai minimum gelation concentration (MGC) kurang dari 1% (w/v).

Seven peptide amphiphiles were successfully synthesized using solid phase peptide synthesis method. Peptide amphiphiles were characterized using Matrix-assisted Laser Desorption/Ionization Time-of-Flight Mass Spectrometer (MALDI-TOF MS). Atomic force microscopy (AFM) study showed that peptide amphiphiles having glycine, valine, or proline as linker, self-assembled into 100-200 nm nanofibers structure. According to our research, both peptide amphiphile with positive and negative charges bear similar self-assembly properties. Peptide amphiphile also showed its capability as low molecular weight gelator (LMWG). Peptide amphiphiles bearing C-16 and C-12 as alkyl showed better hydrogelation properties than C-8 alkyl. Five out of seven peptide amphiphiles have minimum gelation concentration (MGC) lower than 1% (w/v)."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
J-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sugiharto Wijaya
"Latar Belakang: Kerusakan jaringan periodontal terjadi karena inflamasi terhadap invasi bakteri. Human beta defensin-1 adalah peptida antimikroba dan pertahanan pertama terhadap infeksi.
Tujuan Penelitian: Membandingkan kadar ekspresi HBD-1 antara kelompok periodontitis kronis, periodontitis agresif dan normal
Bahan dan Metode: Kadar HBD-1 dari 94 sampel CKG subjek periodontitis kronis, periodontitis agresif dan normal diukur dengan ELISA
Hasil: Analisis Mann-Whitney menunjukkan perbedaan kadar HBD-1 antara periodontitis kronis dengan normal (p<0,05) dan tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0,05) antara periodontitis agresif dengan normal, dan antara periodontitis kronis dengan periodontitis agresif.
Kesimpulan: Kadar HBD-1 pada CKG menurun pada kondisi periodontitis kronis dan periodontitis agresif.

Background: Periodontal disease is happened because inflammation reaction ro bacterial invasion. Human beta defensin-1 (HBD-1) is antimicroba peptide which regulate the first defense mechanism.
Objectives: To compare level of HBD-1 between chronic periodontitis, aggressive periodontitis, and normal group.
Material and Methods: Level of HBD-1 from GCF sample of chronic periodontitis, aggressive periodontitis, and normal group were assessed with ELISA.
Results: Mann-Whitney analysis show different level of HBD-1 expression between chronic periodontitis and normal (p<0,05) and there was no significant difference (p>0,05) between aggressive periodontitis and normal, and between chronic periodontitis and aggressive periodontitis.
Conclusion: Level of HBD-1 in GCF decreased in chronic periodontitis and aggressive periodontitis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winfield
"Latar belakang: Periodontitis merupakan interaksi kompleks antara sitokin pro-inflamasi dan sitokin anti-inflamasi. Sitokin anti-inflamasi seperti IL-4 pada cairan krevikular gingiva (CKG) dapat menjadi biomarker penyakit periodontal.
Tujuan Penelitian: Menganalisis perbedaan kadar IL-4 dalam CKG penderita periodontitis kronis dan periodontitis agresif.
Metode dan Bahan: Sampel CKG dikumpulkan dari pasien normal (n=21), periodontitis kronis (n=38) dan periodontitis agresif (n=35) dan dilakukan analisis kadar IL-4 dengan menggunakan ELISA.
Hasil: Terdapat perbedaan kadar IL-4 antara periodontitis kronis dengan normal dan antara periodontitis agresif dengan normal (p=0,000). Tidak ada perbedaan kadar IL-4 (p=0,729) antara periodontitis kronis (14,73±0,32 pg/ml) periodontitis agresif (20,58±23,00 pg/ml).
Kesimpulan: Kadar IL-4 menurun pada kondisi inflamasi, baik pada periodontitis kronis ataupun periodontitis agresif.

Background: Periodontitis is a complex interaction between pro-inflammatory and anti-inflammatory cytokine. IL-4 is an anti-inflammatory cytokine in GCF that can be used as a periodontal biomarker.
Objectives: To compare level of IL-4 in GCF of chronic periodontitis and aggressive periodontitis.
Material and Methods: GCF sample were collected from normal (n=21), periodontitis chronic (n=38) and aggressive periodontitis (n=35) group and analysis of level IL-4 was performed with ELISA.
Results: There was a difference level of IL-4 between chronic periodontitis with normal and between aggressive periodontitis with normal (p=0,000). There was no difference level of IL-4 (p=0,729) between chronic periodontitis (14,73±0,32 pg/ml) and aggressive periodontitits (20,58±23,00 pg/ml).
Kesimpulan: Level of IL-4 was decreased in inflammation condition, either chronic periodontitis or aggressive periodontitis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fonny Kurniati
"Latar Belakang: Periodontitis merupakan penyakit keradangan kronis yang ditandai dengan adanya kerusakan jaringan periodontal. Seiring bertambahnya usia, terdapat perubahan respon inflamasi tubuh, yaitu meningkatnya aktivitas mediator proinflamasi. Salah satu penyakit kronis yang paling sering ditemui pada lansia adalah diabetes melitus (DM). Diabetes melitus memiliki hubungan dua arah dengan penyakit periodontal. Salah satu yang berperan dalam proses proinflamasi ini adalah tumor necrosis factor alpha (TNF-α). Tujuan: Untuk memperoleh perbedaan kadar TNF-α dan parameter klinis pada pasien periodontitis lanjut usia antara DM dan non-DM. Metode: Subjek terdiri dari 49 pasien periodontitis usia lanjut dengan DM dan non-DM. Data klinis (kedalaman poket, indeks pendarahan, kehilangan perlekatan klinis, dan OHI) dicatat dan sampel cairan krevikular gingiva serta sampel darah diambil. ELISA kit digunakan untuk menganalisa kadar TNF-α. Hasil: Terdapat perbedaan signifikan pada kedalaman poket, OHI, dan kadar TNF-α antara pasien periodontitis lanjut usia dengan DM dan non-DM (p ≥ 0.05). Kesimpulan: Pasien DM memiliki kadar TNF-α lebih tinggi secara signifikan dibandingkan non-DM, sehingga penggunaan TNF-α sebagai biomarker memiliki potensial besar.

ackground: Periodontitis is a chronic inflammatory disease characterized by periodontal tissue damage. As we get older, there are changes in how our bodies response to inflammation, such as increase in activity of proinflammatory mediator. One of the most common chronic diseases found in the elderly is diabetes mellitus. Diabetes mellitus has a two-way relationship with periodontal disease. One of those involved in the proinflammatory process is tumor necrosis factor alpha (TNF-α). Objective: To obtain differences in TNF-α levels and clinical parameters in elderly periodontitis patients between diabetes mellitus and without diabetes mellitus. Methods: The subjects consisted of 49 elderly periodontitis patients with diabetes and without diabetes. Clinical data (bleeding index, clinical attachment loss, and OHI) were recorded and gingival crevicular fluid samples and blood samples were taken. ELISA kit was used to analyze TNF-α levels. Results: Significant differences in pocket depth, OHI, and TNF-α levels between elderly periodontitis patients with diabetes and without diabetes (p ≥ 0.05). Conclusion: Diabetic patients have higher TNF-α levels compared to non-diabetics, so using TNF-α as a biomarker has great potential, but further studies are needed with more samples.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edmond Pradipta Andrianus
"Pendahuluan: Periodontitis merupakan penyakit keradangan pada jaringan periodontal yang memiliki multifaktor risiko dan dapat memperparah progresifitas periodontitis. Salah satu faktor risiko periodontitis adalahi menopause yaitu kondisi sistemik pada wanita. Keadaan menopause mengacu pada wanita yang telah berhenti menstruasi selama lebih dari setahun. Menopause dapat mempengaruhi kesehatan mulut termasuk sistem kekebalan tubuh, sehingga dapat mempengaruhi pertahanan jaringan periodontal. Penelitian ini dilakukan untuk mengukur tingkat imunoglobulin G dalam cairan crevicular gingiva yang merupakan salah satu bagian dari sistem imun jaringan periodontal. Tujuan: Mendapatkan perbedaan kadar imunoglobulin G pada penderita periodontitis dengan menopause dan tanpa menopause. Metode: Sebanyak total 158 pasien diperiksa untuk diagnosis periodontitis dan diwawancarai untuk status menopause. Setelah diseleksi, studi cross-sectional dilakukan pada 63 subjek (44 subjek pasien menopause dan 19 subjek non-menopause) yang masing-masing kelompok akan diambil sampel CKG nya. Sampel diuji menggunakan ELISA kit untuk imunoglobulin G. Hasil: Rerata kadar IgG pada penderita periodontitis dengan menopause lebih rendah daripada kelompok tanpa menopause, namun pada uji statistik tidak terdapat perbedaan signifikan pada kedua kelompok. Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan kadar imunoglobulin G pada penderita periodontitis antara menopause dengan tanpa menopause.

Introduction: Periodontitis is an inflammatory disease of periodontal tissue that has multifactorial risk and can worsen the progression of periodontitis. One of the risk factors for periodontitis is menopause, which is a systemic condition in women. Menopause refers to women who have stopped menstruating for more than a year. Menopause can affect oral health including the immune system so that it can affect the defense of periodontal tissue. This research was conducted to measure the level of immunoglobulin G in the gingival crevicular fluid which is one part of the immune system of the periodontal tissue. Objective: To find out the difference in immunoglobulin G levels in periodontitis patients with menopause and without menopause. Methods: A total of 158 patients were examined for a diagnosis of periodontitis and interviewed for menopause status. After being selected, a cross-sectional study was carried out on 63 subjects with 44 subjects including menopause patients and 19 non-menopausal subjects for which each group would be sampled from CGK. The sample was tested using an ELISA kit for immunoglobulin G. Results: The mean IgG level in periodontitis patients with menopause was lower than the group without menopause, but in the statistical test there were no significant differences in the two groups. Conclusion: There is no relationship immunoglobulin G levels in periodontitis patients between menopause with no menopause."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Astri Sulandari Arymami
"Latar belakang: Suatu biomarker imunologis diperlukan untuk kasus yang berbatasan antara periodontitis kronis dan periodontitis agresif. Matrix Metalloproteinase-8 (MMP-8) merupakan suatu biomarker penentu risiko dan derajat keparahan penyakit periodonal serta evaluasi hasil perawatan periodontal.
Tujuan: Menganalisis kadar MMP-8 pada cairan krevikular gingiva penderita periodontitis kronis dan periodontitis agresif.
Metode: Penelitian ini mencakup 12 pasien periodontitis agresif, 17 pasien periodontitis kronis dan 6 subjek sehat. Kadar MMP-8 diukur dengan teknik ELISA.
Hasil: Kadar MMP-8 pada periodonitits kronis tidak berbeda bermakna dengan periodontitis agresif (p>0,05).
Kesimpulan: MMP-8 tidak dapat digunakan sebagai acuan diagnosis.

Background: An immunologic biomarker is needed to distinguish between borderline cases between chronic periodontitis and agressive periodontitis. Matrix Metalloproteinase-8 (MMP-8) can be a risk profile of periodontal disease, disease progression and evaluation of periodontal treatment.
Aim: Analyze MMP-8 levels in gingival crevicular fluid of chronic and aggressive periodontitis patients.
Method: Sampel was collected from 6 healthy subjects, 12 subjects aggressive periodontitis and 17 chronic periodontitis subjects. MMP-8 levels were measured with ELISA.
Result:MMP-8 levels in chronic periodontitis did not show any difference to the MMP-8levels in aggressive periodonitits (p>0,05).
Conclusion: MMP-8 can not serve as a diagnostic parameter.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>