Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 154036 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yasmine Syifa Nabila Budi
"Latar Belakang: Reaksi transfusi adalah reaksi yang disebabkan oleh banyak hal. Reaksi yang paling sering ditemukan adalah reaksi yang berbentuk alergi pada pasien karena ada perbedaan jenis antigen dan antibodi yang ditransfusikan kepada pasien tersebut. Hal ini dapat terjadi karena alasan seperti: kontaminasi virus, bakteri dan juga kesalahan dalam menjaga produk sampai ke tangan pasien. Selain itu faktor yang dapat membuat hal ini terjadi dapat ditemukan dari perbedaan produk pemakaian dan juga kondisi pasien yang sudah ada sebelum pasien di transfusi. Penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah perbedaan jenis dan juga penggunaan produk platelet dapat menimbulkan reaksi transfusi.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode penelitian analitik. Hal ini dilakukan dengan pemberian questionnaire kepada 82 pasien di ruang transfusi dan ruang perinatologi RSCM . Penelitian ini adalah penelitian analitik untuk melihat apa yang menimbulkan reaksi transfusi pada pasien jika ada.
Hasil: Reaksi akut adalah reaksi yang paling sering terjadi pada pasien di dalam ruang transfusi dan ruang perinatologi RSCM, dengan gejala yang paling sering terjadi adalah reaksi alergi. Insiden terbanyak adalah terkait dari pemakaian produk TC
Kesimpulan: Reaksi transfusi adalah sebuah reaksi yang mungkin terjadi pada setiap episode transfusi. Reaksi dapat terjadi karena adanya reaksi antara antigen dan antibodi pasien yang mungkin saja tidak sesuai dengan produk itu sendiri. Hal seperti kontaminasi dan kelalaian saat memberikan produk juga adalah salah satu faktor resiko adanya kejadian reaksi transfusi ini. Pada 82 pasien yang menggunakan produk platelet ditemukan reaksi akut yang terjadi kepada 59,8% dari keseluruhan pasien transfusi. Pemakaian yang paling sering menimbulkan reaksi adalah produk TC dari seluruh derivatives platelet.

Background: Transfusion reaction is one of the problems that are most commonly found in hospital setting after the process of transfusion. The occurrences are still present after several preventive measures, transfusion reaction is usually elicited because the product is contaminated by virus, bacteria and also the mismanagement of the product. Other factors that could elicit such reaction varies from the kind of blood product that the patient acquired, how many times the patient have undergone the procedure and also their own diagnosis.
Method: Use of questionnaires that are given to 82 pediatric patients in the transfusion ward and perinatologi ward. This is an analytical research that dwells into finding out the causes and also the risk factor of transfusion reaction.
Result: Acute reaction is the most common type of reaction happening after the use of platelet product, with the symptoms similar to those of allergic reaction (urticaria, pruritus and rashes). The most common type of product used in RSCM is Thrombocyte Concentrate.
Conclusion: Transfusion reaction is a reaction that may occur in every transfusion episode. The reaction could occur due to a reaction between the patient's antigen and antibodies which may not be compatible with the product. Matters such as contamination and negligence when providing products are also one of the risk factors for the occurrence of this transfusion reaction. In 82 patients using platelet products, it is found that acute reaction was the most common reaction in patients from the RSCM transfusion ward with a prevalence of 59.8% of all transfusion patients. The most common product that caused reaction was TC with prevalence causing transfusion reaction as much as 64.2% of all TC product usage. In RSCM, platelet and plasma products used are at TC = 64.6%, Pooled TC = 26.8% and Apheresis Platelet along with other products at 8.5%. In short using platelet product can be deemed as safe since the risk outweighs its benefit.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Sasmita Rany
"Latar belakang. Pandemi COVID-19 dapat menyebabkan peningkatan masalah psikososial pada remaja dari populasi umum. Talasemia merupakan penyakit kronik yang banyak ditemukan pada anak dan remaja di Indonesia. Pasien dengan penyakit kronik rmerupakan kelompok yang rentan mengalami peningkatan masalah psikososial selama pandemi COVID-19. Peningkatan masalah psikososial menyebabkan risiko peningkatan morbiditas dan penurunan kualitas hidup. Pandemi juga dapat berdampak pada praktik transfusi darah pasien talasemia. Saat ini belum diketahui gambaran masalah psikososial dan praktik transfusi darah pada remaja talasemia mayor di Indonesia selama masa pandemi COVID-19.
Tujuan. Mengetahui gambaran masalah psikososial pada remaja dengan talasemia mayor selama pandemi COVID-19 di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dan dampak pandemi COVID-19 pada praktik transfusi darah di RSCM.
Metode. Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan pada 121 pasien talasemia mayor berusia 10 sampai <18 tahun di RSCM. Penilaian psikososial dilakukan melalui pengisian Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ). Penilaian depresi dilakukan melalui pengisian Children’s Depression Inventory (CDI). Analisis komparatif kategorikal berpasangan dilakukan untuk menilai perbedaan frekuensi transfusi dan nilai rerata Hb pretransfusi sebelum dan selama pandemi COVID-19.
Hasil. Sebanyak 11,6% remaja talasemia mayor memiliki total skor SDQ abnormal dengan gambaran masalah meliputi masalah emosi (18,2%), masalah conduct (9,9%), hiperaktivitas (5%), masalah hubungan dengan teman sebaya (8.3%), dan masalah perilaku prososial (1,7%). Sebanyak 19% remaja talasemia mayor mengalami peningkatan gejala depresi berdasarkan penilaian CDI. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada frekuensi transfusi sebelum dan selama pandemi COVID-19, tetapi terdapat perbedaan bermakna pada pola interval transfusi pasien (p=0,017) dan nilai rerata Hb pretransfusi (p=0,043) sebelum dan selama pandemi COVID-19. Volume darah yang didapatkan oleh pasien talasemia mayor lebih rendah selama pandemi COVID-19 daripada volume darah yang dibutuhkan yang bermakna secara statistik (p<0,001).
Kesimpulan. Skrining masalah psikososial pada remaja talasemia mayor menunjukkan masalah yang paling banyak ditemukan selama masa pandemi COVID-19 adalah masalah emosi dan masalah conduct, dengan sejumlah pasien mengalami peningkatan gejala depresi. Pandemi COVID-19 memberikan dampak pada pola interval transfusi darah oleh pasien talasemia mayor.

Background. The COVID-19 pandemic may increase the risk of psychosocial problems in adolescents from general population. Thallasemia is highly prevalent chronic disease in children and adolescents in Indonesia. Patients with chronic disease are vulnerable to have more psychosocial problems during the COVID-19 pandemic. An increase in psychosocial problems may lead to high morbidity and the risk of decreased quality of life. The pandemic can also have an impact on the transfusion practice of thalassemia patients. The psychosocial problems and its impact on transfusion practice in adolescents with thalassemia major during the COVID-19 pandemic in Indonesia have not been established.
Objectives. To evaluate the magnitude of psychosocial problems in adolescents with thalassemia major during the COVID-19 pandemic and the impact of the COVID-19 pandemic on the transfusion practice at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta.
Methods. This is a cross-sectional study on 121 thalassemia mayor patients aged 10-<18 years old at Cipto Mangunkusumo Hospital. Psychosocial aspect was evaluated using the Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ) form. Depression was further assessed using the Children’s Depression Inventory (CDI) form. A comparative paired categorical analysis was performed to analyze the difference between before and during the COVID-19 pandemic concerning transfusion frequency and average pretransfusion haemoglobin.
Results. There are 11,6% thalassemia major adolescents with abnormal total SDQ scores including emotional problems (18,2%), conduct problems (9,9%), hiperactivity (5%), peer problems (8.3%), dan prosocial behavior problems (1,7%).  Nineteen percents thalassemia major adolescents experienced elevated number of depressive symptoms. There was no significant difference between before and during the COVID-19 pandemic concerning transfusion frequency, but there were significant difference between before and during the COVID-19 pandemic concerning blood transfusion pattern (p=0,017) and average pretransfusion haemoglobin (p=0,043). The blood volume obtained by thalassemia major patients was also lower during the COVID-19 pandemic than the required blood volume that is statiscally significant(p<0,001).
Conclusion. Psychosocial screening in adolescents with thalassemia major during the COVID-19 pandemic showed that the most common problems encountered were emotional problems and conduct problems, with a number of patients experiencing elevated symptoms of depression. The pandemic had an impact on the blood transfusion pattern for thalassemia major patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hima Liliani
"Darah merupakan sumber daya yang tidak tergantikan. Menurut Hall (2013), di University Hospitals of Leicester UK, dari 507 unit darah yang di-crossmatch hanya 283 unit darah yang ditransfusikan. Terdapat 25% darah terbuang pada Rumah Sakit Publik Guyana (Kurup, 2016). Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan metode kualitatif. Berdasarkan analisis diperoleh hasil, yaitu 35.79% unit darah yang tidak ditransfusikan, capaian CT Ratio 2.12 (dari 3536 unit darah yang dicrossmatch, hanya 1670 unit darah yang ditransfusikan), Penyebab darah terbuang adalah kadaluarsa 98.4%, selang habis, kantong bocor, darah rusak dll. Penggunaan MSBOS dapat menurunkan angka ketidakterpakaian darah pada pasien operasi elektif sebesar 35.64%.

Blood is an irreplaceable resource. According to Hall (2013), at University Hospitals of Leicester UK, from 507 units of crossmatched blood, only 283 units were used. There is 25% discharge blood at Guyana Public Hospital (Kurup, 2016). This research is a descriptive case study with qualitative method. Based on the analysis, 35.79% of the blood units were not transfused, the CT ratio was 2.12 (from 3536 unit of crossmatched blood, only 1670 unit were transfused). The cause of blood wastage is expired 98.4%, blood tube runs out, blood bag leak, blood damaged and unidentified causes. The use of MSBOS may decrease the rate of blood units wastage in elective surgery patients by 35.64%.
"
Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
T47757
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nining Ratna Ningrum
"ABSTRAK
Deteksi antibodi bertujuan untuk mendeteksi adanya antibodi ireguler terhadap sel darah merah di dalam plasma pasien. Sampai saat ini, kegiatan pelayanan transfusi darah di Indonesia masih bergantung pada uji silang serasi yang masih kemungkinan adanya antibodi ireguler yang tidak terdeteksi. Antibodi tersebut dapat menyebabkan terjadinya reaksi transfusi tipe lambat yang ditandai dengan penurunan hemoglobin dan peningkatan kadar bilirubin. Upaya keamanan pada pasien transfusi perlu ditingkatkan dengan diterapkan uji saring antibodi secara rutin pada pemeriksaan pra-transfusi. Tujuh ratus sampel pasien yang meminta darah ke laboratorium pelayanan pasien di UTD PMI DKI Jakarta dilakukan uji saring antibodi dan uji silang serasi secara otomatis dengan alat Ortho AutoVue Innova dengan Column Agglutination Technology. Untuk membuktikan kompatibel palsu dipilih 10 plasma pasien yang mengandung antibodi untuk dilakukan uji silang serasi mayor dengan 70 sampel darah donor. Hasil kompatibel dilakukan konfirmasi dengan antigen typing pada donor. Semua sampel pasien yang tidak memiliki antibodi 100 kompatibel pada uji silang serasi mayor. Dari 70 sampel dengan hasil kompatibel pada uji silang serasi mayor ditemukan 14 20 hasil negatif palsu. Dari penelitian ini disimpulkan uji saring antibodi lebih mampu mendeteksi antibodi pada plasma pasien dan aman digunakan dalam pemeriksaan pra-transfusi.

ABSTRACT
Detection of antibody aims to detection of irregular antibody on the blood cell in patient plasma. Until now, blood transfusion in Indonesia in terms still depending on the crossmatch is still risking on undetected irregular antibody. The irregular antibody may cause a delayed hemolytic transfusion with hemoglobin reduction and bilirubin increase as the symptoms. Patient with blood transfusion 39 s safety needs to be improved by routine antibody screening on pre transfusiontest. 700 samples of patients who requested blood to the patient care laboratory in UTD PMI DKI Jakarta were antibody screening and major crossmatch automatically with Ortho tool AutoVue Innova with Column Agglutination Technology. To prove false compatible, 10 patient 39 s plasma containing antibodies have been selected to be tested by major of crossmatch with 70 blood donor samples. Compatible Results were confirmed with antigen typing. All samples of patients who did not have antibodies 100 compatible on crossmatch test. from 70 samples which compatible on major crossmatch test was found 14 20 of false negative results. This study suggests the antibody screening which capable of detecting antibodies in the patient 39 s plasma and safely used in the pre transfusion test. "
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosita Saumi Imanta Putri
"Latar Belakang: Transfusi darah masih sering dilakakukan sekarang. Transfusi darah yang aman dan steril seharusnya dilakukan untuk mencegah reaksi yang tidak diinginkan untuk ada. Transfusi sel darah merah mempunyai insiden yang paling rendah. Walaupun dorongan dan praktik untuk memeriksa darah sebelum donor sudah dilakukan, reaksi transfusi tetap menunjukan angka kejadian yang tinggi terutama di negara dengan berpenghasilan rendah. Walaupun sebagian besar reaksi transfusi tidak mengancam, namun reaksi transfusi tetap menambah ketidaknyamanan pasien.
Metode: cross-sectional digunakan dalam riset ini. Data diambil secara primer dengan kuesioner yang diberikan kepada pasien anak berumur 0-18 tahun yang sedang di transfusi dengan sel darah merah. Kuesioner tersebut di isi sendiri oleh orang tua atau wali pasien. Kuesioner mencakupi ada atau tidaknya reaksi transfusi, diagnosis pasien, dan frekuensi transfusi pasien dalam satu bulan. Dibutuhkan 81 subyek untuk riset ini.
Result: Dari 83 pasien, ditemukan prevalensi reaksi transfusi di RSCM Kiara adalah 39.8%. Data yang diperolah sebagian besar adalah perempuan dan umur paling tinggi adalah 5-10 tahun. Hubungan signifikan antara diagnosis pasien dengan kemunculan reaksi transfusi ditemukan. Namun, signifikansi antara frekuensi transfusi dan reaksi transfusi tidak ditemukan di riset ini.
Kesimpulan: reaksi transfusi yang paling sering terjadi adalah gatal, kemerahan, dan nyeri. Dari penelitian, ditemukan bahwa pasien dengan diagnosis keganasan 6 kali lebih mungkin untuk mengidap reaksi transfusi dikarenakan keadaan kesehatan pasien tersebut. Frekuensi transfusi tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan reaksi transfusi.

Background: Blood transfusion is a common practice done nowadays. Safe and sterile practice should be done to avoid any unwanted reaction that could happen. Red blood cell transfusion has the lowest incidence of transfusion reaction compared to other blood product. However, transfusion reaction is still happening despite the endorsement and practice of blood screening especially in some low income countries. The most common transfusion reactions are usually benign, however, it still adds to the patient’s discomfort.
Methode: This is a cross-sectional study. Primary data by a questionnaire given to pediatric patient undergoing RBC transfusion between 0-18 years old in RSCM Kiara transfusion ward. The questioner was completed by the parents or guardian of the patient. The questionare include the presence of transfusion recation, patient’s diagnosis, and the frequention of transfusion in one month. 81 subjects are needed for this research.
Results: From 83 patients that was included in this research, it was found that prevalence of transfusion reaction in pediatric patient is 39.8%. Most of the data was taken from female and most were between age 5-10 years old. There is a significant correlation between the recepient underlying diagnosis and the presence of transfusion reaction. However, there is no significant results in transfusion frequency.
Conclusion: The most common transfusion reactions found in this study are urticarial, rash, and pain. From this research, it was proven that patient with malignancy is 6 times more prone to transfusion reaction due to the patient’s condition. The frequency of transfusion does not significantly effect the possibility of developing transfusion reaction.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reni Wigati
"Latar Belakang. Transfusi packed red cell (PRC) sering ditemui pada anak sakit kritis, dengan kemungkinan efek samping yang tidak sedikit. Beberapa laporan terakhir merekomendasikan ambang batas transfusi yang lebih rendah yaitu hemoglobin (Hb) 7 g/dL, namun data karakteristik serta pedoman transfusi PRC anak sakit kritis di Indonesia belum diketahui.
Metode. Studi dilakukan terhadap pasien yang dirawat di unit perawatan intensif anak (PICU) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan diputuskan untuk mendapat transfusi PRC. Kadar Hb, saturasi vena sentral (ScvO2), rasio ekstraksi oksigen (O2ER), oxygen delivery (DO2), indeks kardiak (CI), dan indeks inotropik (INO) diukur/dihitung sebelum dan sesudah transfusi.
Hasil. Dari 92 pasien yang masuk perawatan PICU, 25 anak (27,5%) menjalani transfusi PRC dengan total 38 episode transfusi selama bulan Oktober hingga Desember 2015. Tiga episode dieksklusi dari penelitian sehingga 35 episode transfusi PRC diikutsertakan dalam analisis. Sebagian besar pasien adalah anak lelaki (77,1%) berusia 1 bulan hingga 1 tahun (45,7%), dengan median usia 2,1 (rentang 0,2 ? 16,2) tahun. Rerata Hb pre- dan pascatransfusi adalah 7,7 + 1,46 dan 10,2 + 1,97 g/dL. Rerata ScvO2 dan O2ER pretransfusi normal, yaitu 73,8 + 6,46 % dan 0,25 + 0,070, dengan rerata pascatransfusi tidak berbeda bermakna untuk keduanya, yaitu 79,0 + 5,92 % dan 0,19 + 0,056. Perbedaan rerata DO2, CI, dan INO pre- dan pascatransfusi juga tidak bermakna secara klinis maupun statistik. Analisis subgrup yang menunjukkan perbedaan bermakna secara klinis adalah pada anak dengan ScvO2 pretransfusi < 70%. Subgrup ini menunjukkan rerata Hb pretransfusi 7,2 + 1,69 g/dL, dengan nilai ScvO2 pre- dan pascatransfusi sebesar 64,1 + 4,71 % (nilai p 0,181) serta O2ER pre- dan pascatransfusi 0,34 + 0,055 dan 0,21 + 0,080 (nilai p 0,152).
Simpulan. Studi terhadap praktek transfusi PRC di PICU RSCM tidak menunjukkan perubahan hemodinamik yang bermakna. Analisis lebih lanjut pada anak sakit kritis dengan nilai ScvO2 < 70% sebelum mendapatkan transfusi PRC cenderung menunjukkan perbaikan hemodinamik. Penelitian lebih lanjut mengenai ambang batas Hb atau ScvO2 untuk memutuskan pemberian transfusi PRC perlu dilakukan.

Background. Transfusion of packed red cells (PRC) often found in critically ill children, with the possibility of side effects is not uncommon. Later reports recommended a lower hemoglobin (Hb) for transfusion threshold, nevertheless the characteristics and transfusion guidelines PRC critically ill children in Indonesia is yet unknown.
Methods. This study was conducted on patients admitted to the pediatric intensive care unit (PICU) Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) and underwent PRC transfusion. Hemoglobin level, central venous saturation (ScvO2), oxygen extraction ratio (O2ER), oxygen delivery (DO2), cardiac index (CI), and inotropic index (INO) were measured/calculated before and after transfusion.
Results Of the 92 patients admitted to the PICU, 25 children (27.5%) were given PRC transfusion with a total of 38 episodes of transfusion during October to December 2015. Three episodes were excluded from the study that 35 episodes of PRC transfusion were included in the analysis. Most patients were boys (77.1%) aged 1 month to 1 year (45.7%), with a median of age 2.1 (range 0.2 to 16.2) yearold. Mean Hb pre- and post transfusion were 7.7 + 1.46 and 10.2 + 1.97 g/dL. The average ScvO2 and O2ER before transfusion were still in normal range, i.e. 73.8 + 6.46 % and 0.25 + 0.070, without significantly different levels after transfusion, i.e. 79.0 + 5.92% and 0.19 + 0.056. The mean differences of DO2, CI, and INO pre- and post transfusion were neither clinically nor statistically significant. Subgroup analysis that revealed clinically significant difference was children with pretransfusion ScvO2 <70%. This subgroup mean pretransfusion Hb was 7.2 + 1.69 g/dL, with pre/post transfusion ScvO2 values of 64.1 + 4.71% (p-value 0.181) and pre/post post transfusion O2ER 0.34 + 0.055 and 0.21 + 0.080 (p-value 0.152).
Conclusions. Study on PRC transfusion practice in PICU RSCM showed no significant hemodynamic changes. Subgroup analysis of critically ill children with ScvO2 <70% before PRC transfusion indicated hemodynamic improvement. Further research on optimal transfusion thresholds, e.g. hemoglobin level or ScvO2, for PRC transfusion decision-making need to be done.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Susanto
"Heparin-induced thrombocytopenia (HIT) adalah salah satu efek samping penggunaan heparin, yang dicurigai bila terdapat penurunan trombosit ≥50% pada hari ke-5 sampai ke-10 pascaheparinisasi dan dapat disertai komplikasi tromboemboli. Mekanisme HIT melibatkan pembentukan antibodi terhadap kompleks PF4-heparin (anti-PF4). Pemeriksaan diagnostik HIT terdiri dari uji fungsional dan immunoassay. Pemeriksaan immunoassay, yang mendeteksi anti- PF4 dengan metode ELISA memiliki sensitivitas tinggi dan paling sering digunakan untuk deteksi HIT. Angka kejadian HIT sangat bervariasi karena banyak faktor yang mempengaruhi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi kejadian HIT dan proporsi pasien yang memiliki anti-PF4 pada pemberian terapi heparin di RSCM. Penelitian ini melibatkan 120 pasien rawat inap yang mendapat drip heparin atas indikasi profilaksis atau pengobatan, dengan dosis minimal 10.000 U/24 jam. Pasien yang memenuhi kriteria masukan dan tolakan dilakukan pencatatan data usia, jenis kelamin, diagnosis klinis, riwayat pemakaian heparin 3 bulan terakhir, dan dosis heparin yang dipakai. Pada hari ke-7 dan ke-10 pascaheparinisasi (H7 dan H10) dilakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan hitung trombosit dan anti-PF4. Diagnosis HIT didasarkan atas penurunan hitung trombosit ≥50% pada H7 atau H10 yang disertai adanya antibodi anti-PF4.
Hasil uji ketelitian within-run dan uji ketepatan pemeriksaan anti-PF4 mendapatkan CV 7,73% dan penyimpangan (d) 2,5-17,4%. Pada 19 dari 120 subjek (15,8%) ditemukan anti-PF4, tetapi kejadian HIT tidak ditemukan. Berdasarkan klasifikasi risiko terjadinya HIT menurut American College of Chest Physician (ACCP), terdapat 46/120 subjek (38,3%) berisiko rendah, 65/120 subjek (54,2%) berisiko tinggi, 8/120 subjek (6,7%) berisiko sangat tinggi, dan 1 orang tidak terklasifikasi. Uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara temuan anti-PF4 dengan penurunan trombosit ≥50% (p=0,588). Hal ini diduga karena kurangnya jumlah subjek penelitian yang diperlukan. Antibodi anti-PF4 lebih sering ditemukan pada subjek perempuan dan dengan riwayat heparinisasi.
Proporsi ditemukannya anti-PF4 berturut-turut lebih banyak pada pasien pascabedah vaskular dan ortopedi, trombosis arteri dan vena, kemudian pasien medis yang mendapat profilaksis heparin. Tidak ada perbedaan bermakna proporsi anti-PF4 positif pada subjek dengan atau tanpa riwayat heparinisasi (p=0,293), perbedaan dosis heparin (p=0,141), dan populasi risiko HIT rendah, tinggi, dan sangat tinggi (p=0,662). Empat dari 19 subjek yang memiliki anti-PF4 positif mengalami penurunan trombosit 20-46% pada H7 dan H10.

Heparin-induced thrombocytopenia (HIT) is an adverse effect of heparin, that suspected when platelet count fall ≥50% in 5 to 10 days following heparin initiation and may be accompanied with thromboembolic complications. Mechanism of HIT is mediated by the formation of PF4-heparin complex antibody. There are 2 kind of diagnostic test for HIT, functional assay and immunoassay. Immunoassays, that detect anti-PF4 antibody using ELISA method, have high sensitivity and considered the most frequent assay for detecting HIT. The incidence of HIT varies due to many factors.
The aim of this research is to find the proportion of HIT events and also the proportion of anti-PF4-heparin antibody positive in patients with full-dose heparin in Cipto Mangunkusumo hospital. One hundred and twenty participants, who were our hospital in-patients given heparin infusion with minimal dose of 10.000U/24 h for profilactic or treatment indication, participated in this research. Patients met the inclusion and exclusion criteria were noted for age, gender, clinical diagnosis, heparin exposure in the last 3 months, and heparin dose. On day 7 and 10 after heparin initiation, blood sample were collected for platelet count and anti-PF4 antibody assay. Diagnosis of HIT was based on platelet count fall ≥50% on day 7 or 10 after heparin initiation accompanied with anti-PF4 antibody in the circulation.
Within run precision and accuracy tests for anti-PF4 assay showed a CV of 7,73% and deviations of -2,5 – 17%. Nineteen of 120 subjects (15,8%) had anti-PF4 antibodies, but HIT was not found. Based on the risk classification of HIT from American College of Chest Physician (ACCP), 46 subjects (38,3%) categorized as low risk to HIT, 65 (54,2%) high risk, 8 (6,7%) very high risk, and 1 as unclassified. Statistics showed there was no significant relationship between anti-PF4 antibodies in the circulation with platelet count fall of ≥50% (p=0,588). This was probably due to inadequate sample size for this study. Anti-PF4 antibodies were detected more frequent in females and subjects with past heparin exposure.
The proportion of positive anti-PF4 antibodies were highest in postoperative vascular or orthopedic surgery patients, followed by arterial or venous thrombosis patients, then medical patients using profilactic dose of heparin. There were no significant difference of positive anti-PF4 antibodies in subjects with vs without past heparin exposure (p=0,293), in subjects using 10.000U/24h vs >10.000U/24h heparin dose (p=0,141), and in subjects with low vs high vs very high risk of HIT (p=0,662). Four of 19 subjects having anti-PF4 antibodies had platelet count fall 20-46% on day 7 and day 10.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fitriana
"Latar Belakang : Penggunaan biomaterial graft mulai banyak dikembangkan. Namun autogenus bone graft masih merupakan pilihan utama dalam hal rekonstruksi hal ini terjadi karena pada autogenus graft tidak ada resiko terjadinya rejection atau ketidakcocokan donor dengan recipient . Pada defek mandibula, rekonstruksi autogenus yang digunakan terdapat 2 pilihan yaitu vascularized graft dan non vascularized graft. Di negara berkembang, khususnya di Indonesia, penggunaan vascularized bone graft sebagai penutupan defek belum banyak dilakukan akibat dari kurangnya alat dan keterbatasan operator. Selain itu prosedur vascularized bone graft merupakan prosedur yang rumit dan harus melibatkan tim. Pemilihan rekonstruksi defek yang lebih reliable yaitu dengan non vascularized bone graft. Non vascularized bone graft ini memiliki beberapa keunggulan yaitu morbiditas donor site lebih kecil, tidak membutuhkan alat yang lebih kompleks dan tidak membutuhkan skill operator yang lebih besar, walaupun tingkat keberhasilannya kurang. Resiko resorpsi dan infeksi pada non vascularized graft lebih besar daripada vascularized graft. Semakin panjang non vascularized bone graft yang digunakan maka semakin kecil pula tingkat kesuksesan graft tersebut
Tujuan : Mengetahui pengaruh Platelet Rich Plasma (PRP) yang dicampur dengan autogenous bone graft terhadap jumlah kolagen pada hewan model domba (Ovis aries).
Material dan Metode : Penelitian metode eksperimental analitik ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh Platelet Rich Plasma (PRP) yang dicampur dengan autogenous bone graft terhadap jumlah kolagen pada hewan model domba (Ovis aries)
Kesimpulan : area kolagen pada PRP 3 minggu dengan Non PRP 3 minggu, dari hasil rata rata terdapat perbedaan yang bermakna.
Luas area kolagen pada PRP 6 minggu dengan Non PRP 6 minggu juga didapatkan hasil statistik yang berbeda bermakna secara signifikan. Begitu pula dengan perbandingan hasil data area kolagen PRP 3 minggu dengan PRP 6 minggu. Pada analisis sampel Non PRP 3 minggu dengan Non PRP 6 minggu terdapat perbedaan walaupun secara statistik memiliki ρ value yang tidak bermakna ρ = 0.051.

Background : The use of biomaterial graft began to be widely developed. However, autogenus bone graft is still the main choice in terms of reconstruction because in autogenus graft there is no risk of rejection or donor mismatch with recipient. In mandible defects, autogenus reconstruction is used there are 2 options namely vascularized graft and non vascularized graft. In developing countries, especially in Indonesia, the use of vascularized bone graft as a closure defect has not been done much due to lack of tools and operator limitations. In addition, the vascularized bone graft procedure is a complicated procedure and should involve the team. the selection of reconstruction of more reliable defects i.e. with non vascularized bone graft. Non vascularized bone graft has several advantages namely smaller donor site morbidity, does not require more complex tools and does not require greater operator skills, although the success rate is less. The risk of resorption and infection in non vascularized graft is greater than vascularized graft The longer non vascularized bone graft is used the smaller the success rate of the graft Purpose: Knowing the influence of Platelet Rich Plasma (PRP) mixed with autogenous bone graft on the amount of collagen in sheep (Ovis aries) as animal model.
Materials and Methods: Research on this experimental analytical method was conducted to determine the influence of Platelet Rich Plasma (PRP) mixed with autogenous bone graft on the amount of collagen in sheep (Ovis aries) as animal model
Conclusion: collagen area in PRP 3 weeks with Non PRP 3 weeks, from the average result there is a meaningful difference. The area of collagen in PRP 6 weeks with Non PRP 6 weeks also obtained significantly different statistical results. Similarly, the results of the 3-week PRP collagen area data were compared to 6 weeks of PRP. In the analysis of non-PRP samples 3 weeks with Non PRP 6 weeks there was a difference although statistically no significant ρ value of ρ = 0.051.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Sepsis neonatorium merupakan sindroma klinis penyakit sistemik akibat infeksi yang terjadi pada bulan pertama kehidupan bayi baru lahir. Insidensi sepsissecara keselurahan 10-12tiap 1000 kelahiran hidup dengan angka kematian 20-30%, di negara maju (Amerika) 1-5 tiap 1000 kelahiran hidup. Berdasarkan SKRT tahun 2001 di Indonesia sepsis termasuk penyebab utama kematian pada neonatus. Angka kematian sepsis neonatorum dipengaruhi pula oleh masa gestasi bayi, organisme yang menginfeksi, dan waktu bayi mendapat infeksi apakah sebelum atau sesudah kelahiran. Pengobata sepsis neonatorum meliputi terapi kausatif (antimikroba), pengobatan suportif (hematologi, tunjangan nutrisi, susum saraf pusat, metabolic), Imunoterapi ( intravenous immunoglobulin, granulobulin, granulocyte colony stimulating faktor (GCSF) dan transfusi tukar). Immunoterapi saat ini sering digunakan sebagai terapi alternatif bila pengobatan dengan antibiotika tidak menunjukan perbaikan, Transfusi tukar tidak hanya menyediakan secara aktif granulosit, immunoglobin, faktor komplemen dan fibronektin, namun juga menghilangkan komponen-komponen yang tidak diinginkan seperti bakteri, toksin dan hasil pemecahan fibrinogen"
610 MEDI 3:7 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Syafitri Evi Gantini
"Pendahuluan: Transfusi darah pada hakekatnya adalah suatu proses pemindahan darah dari seorang donor ke resipien. Untuk memastikan bahwa transfusi darah tidak akan menimbulkan reaksi pada resipien maka sebelum pemberian transfusi darah dari donor kepada resipien, perlu dilakukan pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus serta uji silang serasi antara darah donor dan darah resipien. Walaupun golongan darah donor dan pasien sama, ternyata dapat terjadi ketidakcocokan(inkompatibilitas) pada uji silang serasi.Sehingga perlu dilakukan analisis penyebab ketidakcocokan pada uji silang serasi antara darah donor dan pasien.
Cara kerja : Hasil pemeriksaan terhadap 1.108 sampel darah pasien yang dirujuk ke laboratorium rujukan unit transfusi darah daerah (UTDD) PMI DKI dari bulan Januari-Desember 2003 dikumpulkan, kemudian dikaji penyebab terjadinya inkompatibilitas pada uji silang serasi.
Hasil dan diskusi: Dari 1.108 kasus yang dirujuk, 677 (61.10%) kasus menunjukkan adanya inkompatibilitas pada uji silang serasi. Sisanya 431 (38.90 %) menunjukan adanya kompatibilitas (kecocokan) pada uji silang serasi. Dari 677 kasus inkompatibel, 629 (92.90%) kasus disebabkan karena pemeriksaan antiglobulin langsung (DAT-Direct Antiglobulin Test) yang positif. Sisanya yaitu 48 (7.10%) kasus disebabkan karena adanya antibodi pada darah pasien yang secara klinik berpengaruh terhadap transfusi darah dari donor ke pasien. Kasus inkompatibel yang menunjukan hasil positif pada uji antiglobulin langsung (DAT=Direct Antiglobulin Test )sebanyak 629 kasus (92.90%), dengan perincian hasil positip DAT terhadap IgG pada ditemukan sebanyak 493 kasus (78.38%), hasil positip DAT terhadap komplemen C3d sebanyak 46 kasus (7.31%), dan hasil positip DAT terhadap kombinasi IgG dan C3d sebanyak 90 kasus (14.31%)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13665
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>