Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 152423 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ahmad Farhan
"Organisasi kriminal sering diceritakan melakukan kejahatan terselubung dalam kerahasiaan dan melanggar sesuatu yang sudah diatur oleh aturan hukum yang telah lama ditetapkan. Salah satu dari organisasi kriminal tersebut adalah Yakuza. Yakuza adalah nama yang digunakan untuk menyebut sindikat kejahatan terorganisir di Jepang. Bisnis utama Yakuza pada dasarnya sama dengan organisasi kejahatan pada umumnya: perdagangan narkoba, penyelundupan, pelacuran, perjudian, dan pemerasan. Pada tahun 1992, kebijakan Anti-Boryokudan atau Botaiho membuat arus bisnis Yakuza menjadi lebih sulit dan mengurangi pendapatan mereka, sehingga mengurangi kegiatan ilegal yang biasa mereka lakukan. Hal ini akhirnya membuat kedudukan mereka semakin tersingkir dalam tatanan masyarakat Jepang.

Criminal organizations are often committing crimes hidden in secrecy and violate something that has been regulated by long-established legal rules. One of these criminal organizations is the Yakuza. Yakuza is a name used to refer to the organized crime syndicates in Japan. The Yakuza's main business is basically the same as the general crime organizations: drug trafficking, smuggling, prostitution, gambling, and extortion. In 1992, the Anti-Boryokudan or Botaiho policy made the Yakuza business flow more difficult and reduced their income, thereby reducing the illegal activities they used to do. This eventually made their position more and more marginalized in the fabric of Japanese society."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wagimin Wirawijaya
"Penelitian mengenai Perlakuan Terhadap Tersangka Pelaku Pencurian dengan Kekerasan Selama Proses Pemeriksaan di Pokes Metro Jakarta Selatan, bertujuan menunjukkan tentang perlakuan para penyidik terhadap para tersangka khususnya pelaku pencurian dengan kekerasan selama dalam proses pemeriksaan. Adapun perrnasalahan yang diteliti adalah (1) apakah selama tersangka menjalani proses pemeriksaan terjadi pelanggaran hak tersangka, berupa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para penyidik/penyidik pembantu terhadap tersangka, (2) apabila terjadi pelanggaran hak tersangka, yang berupa kekerasan, (3) apa bentuk atau pola-pola kekerasan yang dilakukan dan (4) mengapa tindakan kekerasan tersebut dilakukan, serta (5) faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya tindakan kekerasan tersebut.
Untuk membuktikan ada atau tidaknya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para penyidik/penyidik pembantu dalam proses perneriksaan tersangka pelaku curas, maka saya telah melakukan penelitian di Polres Metro Jakarta Selatan, pada Unit Kejahatan Kekerasan, selama tiga bulan, dengan obyek penelitian para penyidik/penyidik pembantu yang menangani empat kasus pencurian dengan kekerasan, dengan menggunakan metode kualitatif.
Pemeriksaan tersangka merupakan bagian dari penyidikan suatu tindak pidana, yang terkait dengan hak asasi manusia, oleh karenanya pemeriksaan tersangka harus dilakukan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, yaitu hukum acara pidana (KUHAP) yang menjadi dasar atau pedoman bagi aparat penegak hukum. Sebagai penjabaran KUHAP, khususnya mengenai proses pemeriksaan, Kapolri telah mengeluarkan Petunjuk Tehnis tentang Pemeriksaan Tersangka dan Saksi (Juknis/07/11/1982), yang berisi syarat-syarat dan prosedur pemeriksaan, meliputi persiapan, pelaksanaan dan evaluasi hasil pemeriksaan.
Meskipun telah ada undang-undang dan petunjuk tehnis yang mengatur tatacara pemeriksaan tersangka dan Saksi, ternyata masih sering terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya, sebagaimana terungkap dari berbagai pemberitaan media masa, baik melalui media cetak maupun media elektronik, sebagai kekurangmampuan Polri dalam melaksanakan profesinya.
Berbagai faktor dapat mempengaruhi individu dalam proses pemeriksaan tersangka, yaitu motif dan tujuan, status dan peranan masing-masing serta budaya atau sistem nilai yang dianut maupun norma yang berlaku. Proses interaksi dalam pemeriksaan tersangka, tidak selalu sesuai dengan harapan masing-masing pihak, yaitu pemeriksa mengharapkan tersangka akan berterus terang dalam menjawab setiap pertanyaan pemeriksa, sedangkan tersangka ingin diperlakukan secara wajar sesuai hak-haknya yang diatur dalam ketentuan hukum acara pidana dan berusaha menutupi kesalahanya agar Jobs dari jeratan hukum, sehingga dalam proses interaksi tersebut terjadi pertentangan keinginan. Apabila pemeriksa tidak mampu menunjukkan bukti-bukti tentang keterlibatan tersangka dalam suatu peristiwa pidana yang dipersangkakan, karena kurangnya bukti yang mendukung, sedangkan pemeriksa berdasarkan persepsi, intuisi, pengetahuan dan pengalamannya, berkeyakinan bahwa tersangka adalah pelakunya, maka dapat menimbulkan ketegangan pada diri pemeriksa. Sebagai pelampiasannya adalah menunjukkan sikap-sikap, perilaku dan tindakan yang cenderung melakukan kekerasan terhadap tersangka, baik berupa penyiiksaan fisiik, penyiiksaan psiikologis maupun penyiksaan hukum.
Pola-pola perilaku dan tindakan kekerasan terhadap tersangka tersebut cenderung sering dilakukan karena pemeriksa menganggap sangat efektif digunakan dalam mengungkap kasus pidana. Disamping itu para pemeriksa menganggap hal tersebut diperbolehkan dan dibenarkan, sehingga cenderung membentuk pola-pola perilaku tertentu yang secara langsung atau tidak langsung disepakti sebagai pola perilaku yang diterima dan dianggap biasa, meskipun sebenarnya menyimpang dari ketentan hukum yang berlaku serta merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
Berdasarkan pengetahuan dan pengalamanya penyidik/penyidik pembantu selama bertugas melakukan pemeriksaan tersangka harus menghadapi tersangka yang berasal dari berbagai latar belakang ekonomi, status sosial dan budaya yang berbeda, maka pemeriksa berusaha mengolong-golongkan berdasarkan latar belakangnya itu. Penggolongan yang berisikan sangkaan-sangkaan buruk terhadap tersangka, merupakan prasangka yang dapat menimbulkan diskriminasi serta dijadikan acuan bertindak dalam melakukan pemeriksaan tersangka.
Dalam tesis ini telah ditunjukkan bahwa penyidik/penyidik pembantu yang ditunjuk sebagai pemeriksa tersangka pelaku curas di Polres Metro Jakarta Selatan mempedomani aturan formal yaitu KUHAP dan Petunjuk Tennis Pemeriksaan Tersangka dan Saksi, aturan-aturan tidak tertulis yang ditetapkan oleh Kapolres maupun berdasarkan pengetahuan dan pengalaman serta keyakinan mereka dalam menggolong-golongkan tersangka, terungkap adanya berbagai pola tindakan penyidik/penyidik pembantu dalam mencapai tujuan pemeriksaan, yang berimplikasi terjadinya penyalahgunaan wewenang berupa penyimpangan berbentuk penyiksaan fisik, penyiksaan psikologis maupun penyiksaan hukum, sehingga terbukti telah melanggar hak asasi tersangka dalam proses pemeriksaan."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T9852
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Donny Ardyanto
"Tembak di tempat terhadap tersangka pelaku kejahatan sudah menjadi fenomena yang biasa bagi masyarakat. Masyarakat mendukung praktek tembak tersebut sebagai instrumen pencegahan kejahatan. Namun pengetahuan masyarakat mengenai tembak di tempat hanya diperoleh dari media massa. Penerimaan masyarakat terhadap praktek tembak di tempat yang jelas melanggar hukum dan hak asasi manusia tersebut, dibangun oleh media. Media massa dalam pemberitaannya mengenai tembak di tempat ternyata sepenuhnya membawa wacana negara. Dalam pemberitaannya, polisi diposisikan sebagai aparat yang sah melakukan penghukuman dan bahkan pembunuhan/sementara penjahat sebagai korban penembakan semakin dipinggirkan dan dianggap layak untuk dihukum dengan hukuman mati tanpa pengadilan sekalipun, Dengan menggunakan metode framing analysis, pemberitaan mengenai kasus tembak di tempat di dua media massa, yaitu Kompas dan Pos Kota, dibongkar dalam tulisan ini. Terlihat bagaimana media massa mengusung kepentingan negara dalam tulisan-tulisannya mengenai tembak di tempat dan membangun konstruksi sosial yang menyesatkan mengenai penjahat dan praktek tembak di tempat. Hal tersebut tidak lepas dari posisi subordinat media massa terhadap negara dan juga dominasi negara terhadap masyarakat sipil."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tika Suhertika
"ABSTRAK
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif, yang pengumpulan
datanya dilakukan melalui studi kepustakaan dan wawancara dengan beberapa
narasumber yang berkompetensi. Mengingat bahwa rumusan Pasal 244 KUHAP,
terhadap putusan bebas tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi, artinya Upaya
hukum kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas adalah sebagai
terobosan hukum dalam upaya memperoleh keadilan dan kebenaran. Demi
keadilan dan kepastian hukum, putusan hakim harus dapat dikoreksi untuk
diperbaiki atau dibatalkan apabila dalam putusannya terdapat kekeliruan atau
kekhilafan hakim. Hukum menyediakan sarana untuk mengoreksi suatu putusan
hakim apabila ada kekhilafan atau kekeliruan melalui upaya hukumnya. KUHAP
telah menetapkan larangan berkaitan dengan kewenangan untuk mengajukan
upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas. Jaksa Penuntut Umum mengajukan
upaya hukum terhadap putusan bebas, berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Kehakiman RI Nomor: M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983
tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP), dalam butir
ke-19 lampiran keputusan tersebut pada pokoknya dinyatakan bahwa “terhadap
putusan bebas tidak dapat dimintakan banding, tetapi berdasarkan situasi dan
kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran terhadap putusan bebas dapat
dimintakan kasasi”. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi. Dalam praktek
peradilan pidana, dikenal adanya Putusan Bebas Murni dan Putusan Bebas Tidak
Murni. Dalam hal kasasi terhadap putusan bebas, dalam memori kasasinya,
Penuntut Umum harus dapat membuktikan bahwa putusan yang dijatuhkan oleh
Pengadilan Negeri merupakan putusan bebas tidak murni dengan menjelaskan
alasan-alasan yang dijadikan dasar pertimbangan dimana letak sifat tidak murni
dari suatu putusan bebas tersebut yang mengacu pada ketentuan Pasal 253 ayat (1)
KUHAP yaitu apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau
diterapkan tidak sebagaimana mestinya, apakah benar cara mengadili tidak
dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang dan apakah benar pengadilan
telah melampaui batas wewenangnya. Terdapat korelasi antara pembuktian bebas
tidak murni Penuntut Umum terhadap putusan bebas dengan pertimbangan hukum
Hakim kasasi yang menerima kasasi Penuntut Umum, karena yang berwenang
menilai putusan bebas murni atau bebas tidak murni adalah Mahkamah Agung
sebagai pengadilan tertinggi (judex juris).

ABSTRACT
This Study uses normative legal research, which collecting of data is by library
research and interview with several competent resource persons. Considering that
draft Article 244 of Criminal Code Procedures (KUHAP), the Acquittal is unable
to be filed for legal effort of cassation, this means Legal Effort of Cassation By
Public Prosecutor Towards Acquittal is as legal penetration in the effort to have a
justice and truth. In the name of justice and legal certainty, the decision of judge
shall be able to correct for improvement or cancellation in case in its decision
contains error or mistake of the judge. The law provides facility to correct a
decision of the judge in case it has error or mistake through its legal effort.
KUHAP has stipulated a prohibition related to the authority to submit the Legal
Effort of Cassation By Public Prosecutor Towards Free Verdict. Public Prosecutor
submits the legal effort towards free verdict, based on the Decree of the Minister
of Justice of RI Number: M.14-PW.07.03 Tahun 1983 dated the 10th of December
1983 regarding Supplement to Implementing Guidance of KUHAP (TPP
KUHAP), in point 19 of the attachment of its decree that principally states that
“toward Acquittal is unable to request an appeal, but based on the situation and
condition, in the name of law, justice and truth, the acquittal can be requested for
cassation”. This matter will be based on the jurisprudence. In the criminal
judicature practices, it is known Absolute Acquittal and Non-absolute Free
Verdict. N the case of cassation towards free verdict, in memory of its cassation,
the Public Prosecutor shall be able to prove that the decision punished by the
District Court is non-absolute acquittal by mentioning the reasons as the
consideration basis, in which the nature of non-absolute of a acquittal referring to
the provision in Article 253 paragraph (1) KUHAP namely is it correct the law
and regulation is not applied or improperly applied, is it correct the way to trial is
not carried out in accordance with the provision of the Law and is it correct the
court has over authority limit. There is correlation between proof of non-absolute
free by Public Prosecutor towards acquittal by legal consideration of Cassation
Judge who receive the cassation of Public Prosecutor, because the competent
authority to decide the absolute acquittal or non-absolute acquittal in the Supreme
Court as the highest court (judex juris)."
2013
T35419
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Talitha Agatha
"Berdasarkan data statistika terkait banyaknya tindak pidana terhadap tubuh dan nyawa yang terjadi di Indonesia, masyarakat kerap kali menjadi korban tindak pidana berupa kejahatan yang dilakukan oleh orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Saat seseorang merasa dirinya sedang terancam akan tindak pidana yang mungkin menimpanya, maka orang tersebut tentu akan berusaha untuk membela diri. Pembelaan ini disebut dengan pembelaan terpaksa (noodweer) yang diatur dalam Pasal 49 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Lantas, dalam praktiknya tidak terdapat kejelasan terkait batasan yang menjadi tolok ukur dalam unsur-unsur pada perbuatan pembelaan terpaksa dan menimbulkan pertanyaan terkait bagaimana pertimbangan hakim dalam menerima ataupun menolak upaya pembelaan terpaksa yang mengakibatkan kematian dalam putusan-putusan pengadilan. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif, yang menganalisis penerapan pembelaan terpaksa (noodweer) yang menyebabkan kematian berdasarkan hukum positif Indonesia dalam beberapa putusan dengan amar putusan yang berbeda. Hasil penelitian ini adalah hakim-hakim pada pengadilan tingkat pertama mayoritas tidak memuat batasan pembelaan terpaksa terhadap kejahatan tubuh dan nyawa yang mengakibatkan kematian dalam pertimbangan yang tertuang dalam putusan.

Based on statistical data regarding the number of crimes against bodies and lives that have occurred in Indonesia, people often become victims of crimes in the form of crimes committed by other people in everyday life. When a person feels that he is being threatened by a crime that might happen to him, then that person will certainly try to defend himself. This defense is called forced defense (noodweer) which is regulated in Article 49 paragraph (1) of the Indonesian Criminal Code. Then, in practice there is no clarity regarding the boundaries that become benchmarks in the elements of forced defense and raises questions regarding how the judge considers in accepting or rejecting forced defense efforts that result in death in court decisions. This research was conducted using a normative juridical approach, which analyzed the application of forced defense (noodweer) which caused death based on Indonesian positive law in several decisions with different verdicts. The results of this study are that the majority of judges at the court of first instance do not include limitations on forced defense against crimes of body and life resulting in death in the considerations contained in the decision."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The robbery cases which being occurred in Indonesia currently are not just usual type such as house robbery with sharp weapon, but armed robbery with bank as target, jewelry stores, vehicle dealers, and pawnshop. There are many kind of robberies, each typology has a different approach how to overcome it. Therefore, to find a strategy which more responsive and accurate, demand a good comprehension concerning the typology of robbery. The purpose of this study is to find out about typology of robbery in Indonesia. This is a library research, which means more more deeply analyze secondary data collected. The data which being search is about general typologies of robbery as well as news and information concerning robbery cases that taken place in Indonesia. Based on the result of the research which had been done, researcher concluding that; First; Typology Based on the Occasion, namely robbery based on the target and robbery based on the tactics of the execution all things occurred in Indonesia. Second, Typology Based on the Offender, namely four general typology of robbery (professional robbers, opportunist robbers, addict robbers, and alcoholic robbers), all types of the robbers are exist in Indonesia. From the investigation concerning robbery cases in Indonesia, researcher discover another classifications which is not exist in general typologies of robbery, namely: recidivist robbers type, amateur robbers type, aggravated robbers type, and impostor robbers type."
NGRHKM 1:1 (2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Wilson, James Q.
New York: A Touchstone Book, 1985
364.2 WIL c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Paradox of criminal law enforcement in Indonesia on the Criminology perspective in Indonesia actually happened because it is contrast and opposed one another among the legal upholders in upholding and not understanding enough the legislation and legal theories comprehensively, because the legislation and legal theories essentially as a analysis knife in upholding the criminal law in Indonesia. Paradox of criminal law enforcement in Indonesia generally because of being less the legal apparatus? knowledge themselves in understanding the legislation and legal theories so in enforcing the criminal law often produced some mistakes, whereas the legal theories are the legal
resource to solve the events that are being happened in legal process and in the society noussays. Causes factors that happened and invited the paradox of criminal law enforcement on the criminology perspective in Indonesia are the legal factor itself, the law enforcement factor, means factor, community factor and cultural factor. The effort of paradox criminal law enforcement on the criminology perspective could be done by having improvement of system, the moralistic improvement and the ethics of legal
upholders, improvement of legal education and the realization of religion."
[Departemen Kriminologi. FISIP UI, Universitas Indonesia], 2012
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>