Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 130530 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rivaldo
"Latar Belakang: Kejang demam adalah jenis kejang tersering pada anak-anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merumuskan Rekomendasi Tata Laksana Kejang Demam pada tahun 2016 demi tercapainya tata laksana yang adekuat.
Tujuan:Mengevaluasi implementasi Rekomendasi Tata Laksana Kejang Demam IDAI 2016 dan variabilitas tata laksana kejang demam oleh dokter spesialis anak di Indonesia serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan instrumen kuesioner secara daring selama September-Oktober 2020. Responden penelitian ini adalah dokter spesialis anak anggota IDAI. Jawaban terkait kejang demam sesuai dengan rekomendasi diberikan nilai 1 dan jawaban tidak sesuai diberikan nilai 0 dengan rentang nilai yang mungkin 0-34,00.
Hasil : Didapatkan 181 responden dengan rerata skor 22,6 ± 7,12 dengan median 21,00 dan rentang 7,00-34,00. Komparatif median skor kelompok usia <60 tahun adalah 22,00 dan >60 tahun adalah 17,50 (p=0,007), kelompok yang lulus ≤10 adalah 22,00 dan >10 tahun adalah 20,00 (p=0,078), lokasi praktik RS adalah 21,00 dan klinik/praktik pribadi adalah 19,00 (p=0,250), jumlah pasien kejang demam perbulan 0-5 (20,00), 6-10 (22,00), >10 (23,00) (p=0,187), pernah kuliah/sosialisasi rekomendasi adalah 22,00 dan tidak pernah adalah 20,00 (p=0,109), dan lokasi kerja kabupaten adalah 22,00 dan kotamadya 21,00 (p=0,853).
Simpulan: Terdapat perbedaan tatalaksana yang signifikan antara responden kelompok usia <60 tahun dan >60 tahun, tetapi tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok lainnya.

Background: Febrile seizure is the most common type of seizure in children. The Indonesian Pediatric Association (IDAI) formulated Recommendations for Fever Seizure Management in 2016 in order to achieve adequate management.
Objective: To evaluate the implementation of the 2016 IDAI Fever Seizure Management Recommendations and the variability in the management of febrile seizures by pediatricians in Indonesia and the factors that influence it.
Methods: This study was a cross-sectional study using an online questionnaire instrument during September-October 2020. The respondents of this study were IDAI member pediatricians. Answers regarding management of febrile seizsures in accordance with the recommendations are given a value of 1 and inappropriate answers are given a value of 0 with a possible value range of 0-34.00.
Results: There were 181 respondents with a mean score of 22.6 ± 7.12 with a median of 21.00 and a range of 7.00-34.00. The comparative median score for the age group <60 years was 22.00 and> 60 years was 17.50 (p = 0.007), the group passing ≤10 was 22.00 and> 10 years was 20.00 (p = 0.078), location Hospital practice is 21.00 and clinic / private practice is 19.00 (p = 0.250), the number of patients with febrile seizures per month is 0-5 (20.00), 6-10 (22.00),> 10 (23.00). ) (p = 0.187), the time to study / socialization of recommendations was 22.00 and never was 20.00 (p = 0.109), and the regency work location was 22.00 and the municipality was 21.00 (p = 0.853).
Conclusion: There are significant differences in treatment between respondents in the age group <60 years and> 60 years, but there is no significant difference between other groups.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jemirda Sundari Y.
"Karya ilmiah akhir ini bertujuan untuk memberikan gambaran asuhan keperawatan pada anak kejang demam dengan menerapkan model konservasi Levine. Kejang demam merupakan bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh yang disebabkan oleh adanya infeksi luar susunan saraf pusat. Pada anak kejang demam diperlukan intervensi keperawatan yang menunjukkan prognosis baik dengan penurunan suhu tubuh menjadi normal (36,5-37,5°C). Tepid sponge merupakan tindakan keperawatan yang tepat dalam penurunan suhu tubuh anak. Pemberian tepid sponge dapat memberikan sinyal ke hipotalamus dan memacu terjadinya vasodilatasi pembuluh darah perifer. Hal ini menyebabkan pembuangan panas melalui kulit meningkat sehingga terjadi penurunan suhu tubuh menjadi normal kembali. Pada kondisi demam intervensi keperawatan yang juga dilakukan adalah mempertahankan lingkungan tetap nyaman, meningkatkan istirahat, mempertahankan asupan nutrisi yang adekuat. Hasil dari penerapan intervensi yang telah dilakukan pada anak kejang demam selama 4 hari dengan diagnosa keperawatan hipertermi dapat diatasi yang dibuktikan dengan adanya penurunan suhu tubuh dari 38,8°C hingga 37,7°C.

This paper aimed to describe nursing care in children with febrile seizures by applying Levine’s conservation model. Febrile seizures is seizures that occur due to increasing of body temperature caused by extracranial infection. Children with febrile seizures need for nursing interventions to obtain good prognosis by decreasing body temperature to be normal (36,5-37,5°C). Tepid sponge is a nursing intervention to deacreasing body temperature. Giving tepid sponge can provide a signal to hypothalamus and stimulates the peripheral vasodilatation. This leads to increased heat dissipation through the skin till decreasing body temperature to be normal. Intervention of fever condition was to maintain comfortable environment, increase relaxation, and maintain adequate nutrition. The results of interventions application to children with febrile seizures during 4 days with hyperthermia can be solved and proven by decreasing of body temperature from 38,8°C to 37,7°C."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Djap Hadi Susanto
"Insidens kejang demam pada anak-anak cukup tinggi yaitu antara 2,2%-9,8% dan sekitar 3% anak-anak sebelum umur 5 tahun akan mengalami paling sedikit satu kali serangan kejang demam. Penyebab pasti terjadinya kejang demam pada anak sampai saat ini belum diketahui. Kejang demam pada anak dapat menimbulkan komplikasi antara lain paralisis, penurunan kecerdasan maupun kerusakan sel-sel neuron otak yang permanen.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya masalah kejang demam dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian kejang demam pada anak umur 1-72 bulan di RS Husada periode Januari Desember 1999. Melalui studi potong lintang (cross sectional) didapatkan sebanyak 418 orang pasien yang berumur 1 bulan s/d 72 bulan yang mempunyai gejala demam (suhu rektal ≥38°C).
Hasil studi memperlihatkan faktor jenis kelamin dengan OR= 1, 7946 (95% CI; 1,0011-3,2170) dan riwayat kejang dalam keluarga dengan OR=3,6509 (95% CI; 1,9438-6,8575) berhubungan secara bermakna. Faktor-faktor yang tidak bermakna adalah umur, berat badan lahir, umur kehamilan (prematuritas) dan cara persalinan. Dengan pertimbangan epidemiologis faktor umur kehamilan dimasukkan pada model akhir karena faktor ini sangat penting dalam memprediksi terjadinya kejang demam pada anak-anak.
Disarankan kepada para orang tua pasien yang anaknya mempunyai faktor risiko yaitu jenis kelamin laki-laki, lahir prematur serta mempunyai riwayat kejang dalam keluarga agar melakukan konsultasi dengan dokter untuk mencegah terjadinya kejang demam di kemudian hari. Kepada para peneliti agar dapat dilakukan penelitian lebih lanjut tentang tingginya angka kejadian kejang demam dan faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kejadian kejang demam dengan disain lain dan jumlah sampel yang lebih besar. Kepada pemerintah disarankan agar jenis kelamin anak, prematuritas dan riwayat kejang keluarga dapat dijadikan sebagai indikator dalam program screening terhadap penyakit kejang demam."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tanjung, M. F. Conny
"Hingga saat ini kejang demam masih merupakan tipe kejang yang paling sering ditemukan pada masa kanak-kanak Dua sampai 5% anak pernah mengalami suatu serangan kejang demam sebelum usia 5 tahun. Meskipun serangan kejang tersebut biasanya hanya berlangsung beberapa menit namun serangan tersebut amat menakutkan dan mengkhawatirkan orangtua. Setelah kejang dapat teratasi akan timbul pertanyaan apakah kejang dapat berulang, apakah akan terjadi epilepsi di kemudian hari, bagaimana dengan perkembangan dan kecerdasan anak tersebut? Tidaklah mengherankan kejang demam merupakan fokus penelitian yang intensif.
Secara umum kejang demam diklasifikasikan dalam dua kelompok yakni kejang demam sederhana (KDS) dan kejang demam kompleks (KDK). Kejang demam diklasifikasikan sebagai KDK bila kejang demam berakhir lebih dari 15 menit atau bersifat fokal atau terjadi kembali dalam 24 jam. Di luar kriteria tersebut, ia diklasifikasikan dalam KDS. Data-data dari penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa KDS, bentuk terbanyak dari kejang demam, umummya mempunyai perjalanan alamiah yang benign sehingga tampaknya tidak dibutuhkan usaha-usaha preventif untuk mencegah dampak jangka panjangnya. Hal yang serupa tidak berlaku untuk KDK yang memiliki insidens sebesar 27 - 37% dari seluruh kejang demam. Dari berbagai penelitian diketahui bahwa KDK mempunyai hubungan erat dengan berulangnya kejang demam dan timbulnya epilepsi. Pengobatan profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang demam dan epilepsi pasca-KDK juga masih menjadi kontroversi hingga saat ini, meskipun profilaksis harian jangka panjang tidak lagi direkomendasikan untuk diguna kan secara rutin.
Mengingat kedua implikasi tersebut, penting bagi kita untuk dapat mengidentifikasi faktor-faktor prognosis yang mempengaruhi berulangnya kejang. Sepanjang pengetahuan kami, hingga kini belum didapatkan penelitian terpublikasi yang membahas tentang faktor-faktor prognosis untuk berulangnya kejang demam setelah kejang demam kompleks pertama. Penelitian yang ada saat ini menggabungkan faktor-faktor prognosis untuk berulangnya kejang demam pasca-KDS dan KDK.
Untuk memperoleh data yang disebutkan di atas diperlukan pengamatan terhadap sejumlah besar subyek dalam waktu yang lama. Sebagai langkah awal, penelitian ini akan mengumpulkan berbagai karakteristik pasien KDK serta faktor-faktor prognosis untuk berulangnya kejang demam atau timbulnya epilepsi pasca-KDK.
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a) Bagaimanakah karakteristik demografis (usia, jenis kelamin) dan klinis (jenis kejang, lama kejang, frekuensi kejang, riwayat kejang demam dalam keluarga, riwayat epilepsi dalam keluarga, durasi antara demam hingga timbulnya kejang, suhu saat KDK I, adanya gangguan perkembangan atau kelainan neurologis sebelum kejang) dari pasien KDK pertama di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) ?
b) Berapakah angka kejadian berulangnya kejang demam setelah KDK pertama dalam penelitian ini?
c) Berapakah angka kejadian epilepsi setelah KDK pertama dalam penelitian ini?
d) Apa sajakah yang menjadi faktor prognosis untuk berulangnya kejang demam berdasarkan karakteristik yang tersebut dalam butir a) tersebut?
Pasien KDK pertama yang memiliki gangguan perkembangan, usia awitan sebelum dua tahun, suhu yang rendah saat KDK pertama, riwayat kejang demam dalam keluarga, riwayat epilepsi dalam keluarga, dan durasi yang singkat antara demam hingga timbulnya KDK pertama mempunyai kemungkinan berulangnya kejang demam yang lebih besar dibandingkan dengan pasien KDK pertama yang tidak memiliki faktor prognosis tersebut di atas.
Tujuan umum penelitian untuk mengetahui faktor-faktor prognosis untuk berulangnya kejang demam pasca-KDK. Tujuan khusus penelitian mendapatkan karakteristik demografis dan klinis dari pasien yang mengalami KDK pertama yang berobat di R.SCM, mendapatkan angka kejadian berulangnya kejang demam setelah KDK pertama, mendapatkan angka kejadian epilepsi setelah KDK pertama, mengetahui faktor-faktor prognosis untuk berulangnya kejang demam."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanifa Aulia Qurotaayun
"Latar Belakang Status epileptikus adalah kondisi kegawatdaruratan Neurologi yang dapat terjadi pada anak. UKK Neurologi IDAI menerbitkan Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus IDAI 2016 agar terdapat keseragaman tata laksana serta menghindari over dan underteatment. Tujuan Mengkaji dan mengevaluasi penerapan Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus UKK Neurologi IDAI 2016 dan variabel yang memengaruhi tata laksana status epileptikus oleh dokter spesialis anak di Indonesia. Metode Metode penelitian menggunakan studi potong lintang dengan instrumen penelitian berupa kuesioener daring yang berisi 16 pertanyaan kesesuaian tata laksana, dengan total skor 21. Penelitian dilakukan selama bulan Oktober 2023. Respondens merupakan dokter spesialis anak di Indonesia yang tergabung dalam Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Hasil Rerata skor kesuaian tata laksana status epileptikus dari 129 subjek adalah 11,68 dari 21,00. Rentang skor subjek adalah 2,00 hingga 19,00. Proporsi dokter spesialis anak yang mengetahui rekomendasi adalah 97,3% dan yang pernah mendapatkan sosialisasi adalah 82,9%. Signifikansi uji komparatif rerata skor kesesuaian kategori usia <41 tahun, 41-60 tahun, >60 tahun adalah p=0,071, kategori tahun kelulusan ≤10 tahun dan >10 tahun p=0,04, kategori tempat kerja klinik/praktik pribadi, rumah sakit tipe B/A dan rumah sakit tipe C/D adalah 0,309, kategori lokasi kerja kota madya dan kabupaten adalah p=0.279, serta kategori riwayat sosialisasi dan tidak p=0,139. Terdapat perbedaan kemampulaksanaan rekomendasi tata laksana antara lokasi kerja praktik/klinik pribadi dan rumah sakit sebesar p=0,287 dan rumah sakit tipe B/A dan rumah sakit tipe C/D sebesar p=0,013, serta berdasarkan tempat kerja sebesar p=0,798. Kesimpulan Terdapat perbedaan rerata skor kesesuaian rekomendasi tata laksana yang secara statistik bermakna pada kategori tahun kelulusan ≤10 tahun dan >10 (p=0,04), serta perbedaan kemampulaksanaan rekomendasi di rumah sakit tipe B/A dan rumah sakit tipe C/D (p=0,013).

Introduction Status epilepticus is a neurological emergency condition that can occur in children. Indonesian Pediatric Society (UKK Neurologi IDAI) issued the IDAI 2016 Recommendations for the Management of Status Epilepticus to ensure consistent management of status epilepticus. Objective To assess and evaluate the implementation of the UKK Neurologi IDAI 2016 Recommendations for the Management of Status Epilepticus and the variables influencing the management of status epilepticus by pediatric specialists in Indonesia. Method The research methodology used a cross-sectional study design with an online questionnaire as the research instrument, consisting of 16 questions on the appropriateness of management, with a total score of 21. The research was conducted in October 2023. The respondents were pediatric specialists in Indonesia who are members of the Indonesian Pediatric Society (IDAI). Results The mean score of compliance with the managementguuidelines recommendations based on workplace in hospital type B/A and hospital type C/D (p=0.013). guidelines for status epilepticus from 129 subjects is 11.68 out of 21.00. The range of subject scores is from 2.00 to 19.00. The proportion of pediatric specialists who are aware of the recommendations is 97.3%, and those who have received training is 82.9%. The significance of the comparative test for the mean scores of compliance in the age categories <41 years, 41-60 years, and >60 years is p=0.071. p=0.04 For the categories of years since graduation ≤10 years and >10 years, p=0.309. for the categories of workplace in clinics/private practice, hospital type B/A, and hospital type C/D, p=0.795 for the categories of working location in rural and urban area, and p=0.139 for the categories of history of training and no training. The difference in the implementation of management guideline recommendations based on working location with a significance of p=0.287 in clinic/private practice and hospitals, and p=0.013 in hospital type B/A and hospital type C/D. The difference in the implementation of management guideline recommendations based on workplace with a significance of p=0.798 in rural and urban area. Conclusion There is a statistically significant difference in the mean scores of compliance with the management guideline recommendations in the categories of years since graduation ≤10 years and >10 years (p=0.04), and difference in the implementations of management."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tendean, Susiana
"Kejang adalah suatu gejala yang disebabkan oleh gangguan paroksismal involunter akibat lepasnya muatan listrik di neuron otak. Manifestasi klinis kejang dapat berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik dan otonom. Penanganan kejang ditujukan untuk menghentikan kejang secepatnya dan mencari faktor penyebab yang melatarbelakangi timbulnya serangan. Penghentian kejang secepatnya diperlukan untuk mencegah terjadinya status epileptikus namun penatalaksanaan kejang sering kali tidak dilakukan secara adekuat. Pemakaian obat yang tidak tepat dapat mengakibatkan kejang sulk terkontrol.
Penggunaan obat golongan benzodiazepin masih menjadi pilihan utama dalam mengatasi kejang termasuk status epileptikus karena awitan kerja obat cepat dan mempunyai efek samping yang relatif kecil. Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM digunakan diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk pasien dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk pasien dengan berat badan lebih dari 10 kg atau diazepam intravena dengan dosis 0,3 - 0,5 mg/kgBB.
Penggunaan diazepam rektal mempunyai beberapa kelemahan antara lain adalah obat sering keluar kembali bersamaan dengan feses, memerlukan teknik tertentu dalam pemberian obat tersebut dan rasa enggan orangtua jika memberikan obat melalui jalur ini terutama jika pasien sudah menginjak usia remaja. Hal ini membuat dipikirkannya pemberian obat melalul jalur lain yang lebih nyaman, efektif dan tidak melibatkan akses vena. Jalur pemberian obat tersebut adalah melalui mukosa bukal. Keunggulan pemberian obat melalui mukosa bukal disebabkan oleh karena pada daerah tersebut mengandung banyak vaskularisasi dan pemberian obat melalui mukosa bukal menyebabkan obat terhindar dari first-pass effect sehingga obat cepat memasuki sirkulasi sistemik. Pemberian obat melalui mukosa bukal/sublingual disebut juga dengan oral transmucosal administration.
Beberapa kepustakaan merekomendasikan lorazepam untuk mengatasi kejang karena awitannya cepat, mempunyai waktu paruh distribusi lebih panjang sehingga efek antikonvulsan lebih lama dan mempunyai efek samping depresi pernapasan lebih kecil dibandingkan diazepam.
Penggunaan lorazepam bukal dapat digunakan sebagai alternatif dalam mengatasi kejang dan menurut penelitian dikatakan bahwa pemberian antikonvulsan secara bukal lebih dapat diterima dibandingkan pemberian secara rektal karena seringkali baik orangtua, perawat maupun dokter yang memberikan pertolongan enggan dalam melakukan pemberian secara rektal.
Berdasarkan alasan tersebut maka perlu dilakukan penelitian yang membandingkan pemberian lorazepam bukal dan diazepam rektal dalam tata laksana kejang pada anak. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka diajukan permasalahan dalam penelitian ini yaitu :
Apakah efekfivitas lorazepam bukal dalam mengatasi kejang lebih baik dibandingkan dengan diazepam rectal.
Hipotesis: pemberian lorazepam bukal lebih efektif dibandingkan diazepam rektal dalam mengatasi kejang. Tujuan umum untuk mendapatkan alternatif obat antikonvulsan yang bekerja efektif, aman dan pemberiannya mudah dilakukan. Tujuan khusus membandingkan proporsi kejang yang terkontrol dengan lorazepam bukal dan diazepam rectal, membandingkan waktu yang diperlukan oleh lorazepam bukal dan diazepam rektal dalam mengatasi kejang, menilai efek samping secara klinis yang terjadi pada subyek penelitian setelah pemberian masing-masing obat."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T58465
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amrina Rasyada
"Latar Belakang: Infeksi sitomegalovirus (CMV) telah menjadi masalah besar secara global dengan prevalens yang tinggi. Demam neutropenia merupakan kegawatdaruratan anak di bidang onkologi karena dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas, salah satu penyebabnya yaitu infeksi CMV. Mengingat tingginya seroprevalens CMV di Indonesia yang dapat meningkatkan angka kematian pasien keganasan, maka penting untuk memahami profil klinis, laboratoris, dan tata laksana infeksi CMV pada demam neutropenia. Tujuan: Untuk mengetahui prevalens, karakteristik klinis, laboratoris dan tata laksana infeksi CMV pada pasien anak dengan demam neutropenia karena keganasan. Metode: Penelitian ini merupakan uji observasional secara prospektif. Subyek yang diteliti adalah seluruh pasien demam neutropenia usia 1 bulan-18 tahun yang dirawat di bangsal anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada bulan Januari sampai dengan Mei 2024. Hasil: Terdapat 89 episode demam neutropenia yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, yang terjadi pada 71 pasien anak dengan median usia 6 tahun (5 bulan-16 tahun), lelaki 56,3%, dan tumor padat 53,5%. Kultur steril terbanyak yaitu darah (78,3%) dan urin (65,2%), dengan kultur positif terbanyak yaitu feses (100%), darah (21,7%), urin (34,8%), dan sputum (100%). Dari kultur yang positif, proporsi kuman terbanyak adalah Klebsiella pneumoniae (29%) dengan sensitivitas antibiotik tertinggi yaitu lini 1 gentamisin (50%), lini 2 sefoperazon sulbaktam (55,5%), dan lini 3 imipenem (72,2%). Terdapat 2 subyek dengan infeksi CMV berdasarkan PCR CMV dan peningkatan IgG 4 kali lipat dalam 4 minggu. Karekteristik klinis yang ditemukan yaitu demam neutropenia episode kedua, durasi demam 1,5 hari, suhu puncak demam 39,45oC, diare, muntah, pucat, dan perdarahan. Kedua subyek dengan status gizi baik. Karakteristik laboratoris yang ditemukan yaitu pansitopenia, peningkatan CRP, dan kultur yang negatif. Karakteristik tata laksana yang ditemukan yaitu pemberian antibiotik empiris, antijamur, dan antivirus valgansiklovir selama 14 hari. Kesimpulan: Prevalens infeksi CMV pada anak dengan demam neutropenia karena keganasan di RSCM sebesar 2,2%, dengan karakteristik klinis demam neutropenia episode kedua, durasi demam 1,5 hari, suhu puncak 39,45oC, gejala diare, muntah, pucat, dan perdarahan. Tidak terdapat karakteristik laboratoris dan tata laksana, tetapi ditemukan pansitopenia, peningkatan CRP, kultur negatif, dan pemberian valgansiklovir selama 14 hari. Hasil tambahan berupa proporsi kuman tertinggi pada pasien demam neutropenia yaitu Klebsiella pneumoniae dengan sensitivitas antibiotik tertinggi yaitu sefoperazon sulbaktam.

Background: Cytomegalovirus (CMV) infection has become a major problem globally with high prevalence. Neutropenic fever is a pediatric oncology emergency, increasing morbidity and mortality. CMV infection should be considered as a cause of neutropenic fever. Given the high CMV seroprevalence in Indonesia, which can increase cancer patient mortality, it is crucial to understand the clinical profile, laboratory findings, and management of CMV infection in neutropenic fever. Objective: To determine the prevalence, clinical, laboratory, and management characteristics of cytomegalovirus infection in pediatric patients with neutropenic fever due to malignancy. Methods: This research was an observational study prospectively. The subjects were all neutropenic fever patients aged 1 month-18 years who were hospitalized in the Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH) pediatric wards from January to Mei 2024. Results: There were 89 episodes of neutropenic fever that met the inclusion and exclusion criteria, found in 71 pediatric patients, with median age was 6 years old (5 months-16 years old), male 56.3%, and solid tumor 53.5%. Sterile results were found in blood (78.3%) and urine (65.2%) cultures. Positive cultures were found in feces (100%), blood (21.7%), urine (34.8%), and sputum (100%). Klebsiella pneumoniae (29%) was the highest proportion of positive cultures with the highest sensitivity antibiotic in the first line was gentamicin (50%), second line cefoperazone sulbactam (55.5%), and third line imipenem (72.2%). Two subjects were CMV infection based on PCR CMV and IgG increasing 4 times in 4 weeks. Clinical characteristics were second episode of neutropenic fever, duration of fever 1.5 days, peak temperature 39.45oC, diarrhea, vomiting, pale, bleeding, and both had good nutritional status. Laboratory characteristics showed pancytopenia, increasing CRP, and negative culture. Management characteristics included empirical antibiotic, antifungal, and antiviral valganciclovir for 14 days. Conclusion: The prevalence of CMV infection in neutropenic fever at CMH was 2.2%. Clinical characteristics were second episode of neutropenic fever, duration of fever 1.5 days, peak temperature 39.45oC, diarrhea, vomiting, pale, and bleeding. There is no laboratory and management characteristics, but found pancytopenia, increased CRP, negative culture, and administering valganciclovir for 14 days. The additional result was Klebsiella pneumoniae as the highest microbe with the highest antibiotic sensitivity was cefoperazone sulbactam."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Prinnisa A. Jonardi
"Kejang demam, riwayat keluarga dan pencitraan merupakan faktor-faktor yang dapat memengaruhi klasifikasi epilepsi berdasarkan ILAE 1989. Penentuan jenis klasifikasi berguna untuk penatalaksanaan pasien. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data rekam medis tahun 1995-2010 Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain cross-sectional. Data diolah dengan multivariat regresi logistik. Dari hasil penelitian ini, didapat sampel sebanyak 99 orang dengan rincian laki-laki 53,4%, perempuan 46,5%. Pasien terbanyak pada kelompok umur 0-2 tahun 12 bulan (37,4%). Terdapat kebermaknaan yang signifikan pada hubungan antara pencitraan dengan klasifikasi epilepsi (p < 0,001). Tidak terdapat kebermaknaan yang signifikan terhadap hubungan antara riwayat epilepsi keluarga (p = 0,393) dan riwayat kejang demam ( p = 0,161) dengan klasifikasi epilepsi. Pencitraan merupakan faktor yang berpengaruh paling besar (OR = 16,725) terhadap penentuan jenis klasifikasi epilepsi bila dibandingkan dengan riwayat epilepsi keluarga dan riwayat kejang demam.

Febrile seizure, family history, and imaging are factors that determine the classification of epilepsy based on ILAE 1989. The classification is important to patient's treatment.This study used medical record from Pediatric Department of RSCM in 1995-2010. This study is a cross-sectional analytic. The data was proceed with multivariate logistic regression. There are 99 sample, 53.4% are male and 46.5% female. The most distribution of patient's age is in 0-3 years (37.4%). There is significant results in correlation between imaging with epilepsy classification (p<0.001) and there are less significant results between family history (p=0.393) and febrile seizure (p=0.161) with epilepsy classification. Imaging is the most powerful factor (OR = 16.725) that contribute to determine classification of epilepsy compared to family history and febrile seizure."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
616.845 PEN
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007
616.994 PAN
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>