Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 55226 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Calysta Salma Nabilla
"Latar Belakang: Fertilisasi in vitro merupakan salah satu metode teknologi reproduksi berbantu dengan rasio keberhasilan yang rendah yang kian menurun seiring dengan bertambahnya usia pasien. Kegagalan fertilisasi in vitro disebabkan oleh beberapa etiologi, salah satunya adalah kejadian aneuploidi pada embrio pasien. Aneuploidi embrio terjadi akibat kelainan pada faktor paternal maupun maternal. Pada faktor paternal, diketahui bahwa usia tua pada ayah dapat menurunkan kualitas sperma, yang selanjutnya dapat meningkatkan risiko terjadinya aneuploidi embrio. Pada penelitian ini, penulis ingin mengetahui apakah kualitas sperma, yang dinilai berdasarkan konsentrasi serta motilitas progresifnya, dapat mempengaruhi kejadian aneuploidi embrio secara langsung. Tujuan: Mengetahui korelasi antara konsentrasi dan motilitas progresif sperma dengan kejadian aneuploidi embrio. Metode: Dikumpulkan 18 data profil sperma dari buku rekam medis pasien fertilisasi in vitro Klinik Yasmin RSCM Kencana serta 64 data hasil preimplantation genetic testing for aneuploidy (PGT-A). Kedua data dinyatakan sebagai variabel numerik. Hasil: Mean persentase aneuploidi embrio adalah sebesar 64,64% (0,00—100,00%). Uji korelasi Pearson menunjukkan nilai p = 0,065 untuk konsentrasi sperma, dengan median konsentrasi sebesar 28,00 (0,20–119,00) × 106 spermatozoa/ml, dan p = 0,642 untuk motilitas progresif sperma, dengan mean persentase motilitas progresif sebesar 53,24% (14,29–86,21%). Kesimpulan: Konsentrasi dan motilitas progresif sperma tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian aneuploidi embrio.

Background: In vitro fertilization (IVF) is an example of assisted reproductive technology (ART) with a low success rate which decreases even more as patients’ age increases. Failure in IVF can be caused by embryonic aneuploidy incidence, which occurs due to abnormalities in paternal or maternal factors. Paternally, the increase in age can reduce sperm quality, which in turn can increase the risk of embryonic aneuploidy. Aim: To determine the direct relationship between sperm concentration and sperm progressive motility on the incidence of embryonic aneuploidy. Methods: The author gathered 18 sperm profile recordings from the medical record book of Klinik Yasmin RSCM Kencana patients along with 64 PGT-A results. Both data were expressed as numeric variables. Results: The mean percentage of embryonic aneuploidy was 64.64% (0.00-100.00%). Pearson's correlation test showed p = 0.065 for sperm concentration, with a median concentration of 28.00 (0.20–119.00) × 106 spermatozoa/ ml, and p = 0.642 for sperm progressive motility, with a mean percentage of progressive motility of 53.24% (14.29–86.21%). Conclusion: Sperm concentration and sperm progressive motility is not associated with the incidence of aneuploidy in embryo."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shanty Olivia Febrianti Jasirwan
"Pengantar: Zigot tiga pronukleus (3PN) merupakan salah satu hasil dari fertilisasi abnormal yang sering yang diamati dalam teknologi fertilisasi in vitro, dan biasanya tidak dikultur dan ditransfer atas pertimbangan risiko kelainan kromosom. Namun, informasi mengenai perkembangan dan komposisi genetik embrio 3PN tersebut bermanfaat untuk mempertimbangkan apakah embrio tersebut dapat ditransfer atau tidak apabila tidak didapatkan embrio 2PN ataupun embrio yang dihasilkan sangat sedikit..
Tujuan: Untuk mengetahui status kromosom embrio 3PN dan menganalisis hubungan antara morfologi embrio 3PN dan status kromosomnya.
Hasil: Tiga puluh zigot 3PN dari 16 pasangan/siklus intracytoplasmic sperm injection (ICSI) diperoleh selama periode 6 bulan. Biopsi dilakukan pada embrio 3PN hari ke-5/6 dan selanjutnya dilakukan skrining genetik menggunakan metode Next Generation Sequencing (NGS). Dari 30 embrio 3PN tersebut, 66,7% memiliki kromosom yang abnormal. Pada tahap pembelahan, tidak didapatkan hubungan antara semua parameter morfologi embrio 3PN dengan status kromosomnya. Sebaliknya, pada tahap blastokista, derajat ekspansi blastokista <3 memiliki kelainan kromosom yang lebih tinggi secara bermakna daripada derajat ekspansi lainnya (90%, P = 0,05). Begitu pula dengan derajat intracellular mass (ICM) dan trofektoderm (TE), embrio dengan derajat ICM bukan A dan TE bukan A memiliki kelainan kromosom yang lebih tinggi secara signifikan (masing-masing 100,0%, P = 0,001 dan 93,3%, P = 0,001).
Kesimpulan: status kromosom embrio 3PN berhubungan secara bermakna dengan parameter morfologinya pada tahap blastokista, sehingga penilaian morfologi embrio 3PN pada tahap blastokista dapat digunakan bersama-sama dengan preimplantation genetic screening (PGS) dalam menyeleksi embrio yang euploid supaya dapat ditransfer apabila tidak didapatkan embrio 2PN lainnya

Introduction: Three pronuclear (3PN) zygote is one of the most frequently abnormal fertilization observed in IVF/ICSI technology, which are usually discarded as there are concerns about their abnormal chromosomal constitution. However, because in certain cases there are no other embryos available, new information would be valuable to consider transferring or discarding them.
Aim: To analyze the chromosomal constitution 3PN embryos and to investigate the relationship between its morphology and the chromosomal status.
Results: Thirty 3PN zygotes from 18 cycles were reviewed during a 6-month period. Biopsy was performed on day 5/6 which were subsequently screened for chromosomal status by Next Generation Sequencing (NGS) method. Of the 30 3PN embryos, 66.7 % were chromosomally abnormal. At the cleavage stage, there were no association between all morphological features and chromosomal status. In contrast, at blastocyst stage, a grade <3 blastocyst expansion had significantly higher chromosomal abnormality than the other grade of expansions (90%, P=0.05). As regards to intercellular mass (ICM) and trophectoderm (TE), embryos with grade non-A ICM and TE had a significantly higher chromosomal abnormality (100.0%, P=0.001 and 93.3%, P=0.001 respectively).
Conclusion: chromosomal status and 3PN embryo morphology are linked at the blastocyst stage, and thus morphology asessment of 3PN blastocysts can be used in conjunction with PGS to select which embryo should be transferred when no other embryos from 2PN ICSI zygotes are available.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pritta Ameilia Iffanolida
"ABSTRAK
Latar Belakang: Metode seleksi embrio terbaik banyak dikembangkan untuk memperoleh transfer embrio tunggal dalam siklus fertilisasi in vitro (FIV). Blastokista merupakan tahap embrio terbaik yang didapat dari embrio dengan morfologi normal atau 2 pro-nukleus (2PN) maupun morfologi abnormal atau 3 pro-nukleus (3PN). Transfer blastokista masih memberikan tingkat keberhasilan implantasi dan kehamilan yang rendah karena penilaian morfologi yang baik tidak selalu mempunyai status kromosom yang baik. Aneuploidi dan mosaik diketahui masih ditemukan dalam populasi blastokista, sehingga perlu diketahui faktor-faktor yang menyebabkan kelainan tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara morfologi dan perkembangan blastokista dengan kejadian aneuploidi dan mosaik, serta faktor yang mempengaruhinya.
Metode: Penelitian dilakukan dengan metode potong lintang. Embrio diperoleh dari siklus FIV dan dikultur sampai tahap blastokista, penilaian morfologi blastokista dilakukan menggunakan skoring Gardner dengan 3 parameter yaitu grade ekspansi blastokista, inner cell mass, dan tropektoderm. pre-implantation genetic testing for aneuploidi (PGT-A) dilakukan dengan cara biopsi blastokista pada hari ke 5 atau 6 dan analisis kromosom dilakukan menggunakan metode Next Generation Sequencing (NGS). Hubungan antara morfologi blastokista dan status kromosom serta faktor yang mempengaruhinya kemudian dianalisis.
Hasil: Didapatkan 70 embrio dari 25 pasien, dengan pembagian 45 embrio 2PN dan 25 embrio 3PN. Frekuensi aneuploidi pada sampel 2PN dan 3PN berturut turut 42% dan 4%, sedangkan mosaik 2PN 16% dan 3PN 8%, pada embrio 3PN juga didapati kromosom triploid sebesar 52%. Didapatkan hubungan bermakna antara grade tropektoderm embrio 2PN dengan status kromosom (p<0,05), sedangkan embrio 3PN tidak didapati hubungan antara parameter morfologi dengan kromosom. Blastokista dengan grade ³3AA memiliki persentase euploidi sebesar 46%. Usia maternal, usia paternal, jumlah oosit, laju fertilisasi, volume dan motilitas sperma berhubungan dengan status kromosom (p<0,05).
Kesimpulan: Grading blastokista berhubungan dengan status kromosom, dan usia maternal merupakan faktor yang paling berhubungan dengan kejadian aneuploidi dan mosaik.

ABSTRACT
Background: Several method of assessing embryo viability have been employed over these year to obtain single embryo transfer in IVF cycle. Blastocyst, known as the best morphological embryo derived from both normal or 2 pronucleus (2PN) and 3 pronucleus (3PN) still not give the best implantation and pregnancy rate. However, morphology assesment only did not properly evaluate chromosomal status of the embryos. A good morphology blastocyst still can harbour aneuploidy and mosaic, and it is needed to find factor that effect aneuploidy and mosaic. Therefore, the aim of this study was to investigate the correlation between blastocyst morphology with aneuploidy, mosaicism and other related factor.
Methods: A cross-sectional study to compare blastocyst morphology with chromosomal status. Embryo collected from IVF-ICSI cyles then cultured until blastocyst stage, Blastocyst scoring was done by Gardner scoring system with 3 parameter including blastocyst expansion, inner cell mass and tropectoderm. Preimplantation genetic testing for aneuploidi (PGT-A) was done by tropectoderm biopsy on day 5 or 6 which were the screened for chromosomal status by Next Generation Sequencing (NGS) method. The relationship between blastocyst morphology and chromosomal status and other related factor were evaluated.
Results: A total 70 blastocyst were collected, 45 derived from 2PN zygot and the other 25 from 3PN zygot. The frequency of aneuploid in 2PN and 3PN continuosly 42% and 4%, meanwhile mosaic frequency were 15% and 8%. Triploidy chromosome were found 52% in 3PN embryo. Tropectoderm grading and chromosomal status was found significally different (p<0.05), while in 3PN embryo there in no correlation between blastocyst morphology and chromosomal status. >3AA blasctocyst grading had higher euploidy percentage compare to <3AA grading. Maternal age, oocyte number, fertilization rate, sperm volume and sperm motility have correlation with chromosomal status (p<0.05).
Conclusions: Blastocyst grading had correlation with chromosomal status, and maternal age is the key factor that affect aneuploidy and mosaicism."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shanty Olivia Febrianti Jasirwan
"Pengantar: Zigot tiga pronukleus (3PN) merupakan salah satu hasil dari fertilisasi abnormal yang sering yang diamati dalam teknologi fertilisasi in vitro, dan biasanya tidak dikultur dan ditransfer atas pertimbangan risiko kelainan kromosom. Namun, informasi mengenai perkembangan dan komposisi genetik embrio 3PN tersebut bermanfaat untuk mempertimbangkan apakah embrio tersebut dapat ditransfer atau tidak apabila tidak didapatkan embrio 2PN ataupun embrio yang dihasilkan sangat sedikit.
Tujuan: Untuk mengetahui status kromosom embrio 3PN dan menganalisis hubungan antara morfologi embrio 3PN dan status kromosomnya.
Hasil: Tiga puluh zigot 3PN dari 16 pasangan/siklus intracytoplasmic sperm injection (ICSI) diperoleh selama periode 6 bulan. Biopsi dilakukan pada embrio 3PN hari ke-5/6 dan selanjutnya dilakukan skrining genetik menggunakan metode Next Generation Sequencing (NGS). Dari 30 embrio 3PN tersebut, 66,7% memiliki kromosom yang abnormal. Pada tahap pembelahan, tidak didapatkan hubungan antara semua parameter morfologi embrio 3PN dengan status kromosomnya. Sebaliknya, pada tahap blastokista, derajat ekspansi blastokista <3 memiliki kelainan kromosom yang lebih tinggi secara bermakna daripada derajat ekspansi lainnya (90%, P = 0,05). Begitu pula dengan derajat intracellular mass (ICM) dan trofektoderm (TE), embrio dengan derajat ICM bukan A dan TE bukan A memiliki kelainan kromosom yang lebih tinggi secara signifikan (masing-masing 100,0%, P = 0,001 dan 93,3%, P = 0,001).
Kesimpulan: status kromosom embrio 3PN berhubungan secara bermakna dengan parameter morfologinya pada tahap blastokista, sehingga penilaian morfologi embrio 3PN pada tahap blastokista dapat digunakan bersama-sama dengan preimplantation genetic screening (PGS) dalam menyeleksi embrio yang euploid supaya dapat ditransfer apabila tidak didapatkan embrio 2PN lainnya.

Introduction: Three pronuclear (3PN) zygote is one of the most frequently abnormal fertilization observed in IVF/ICSI technology, which are usually discarded as there are concerns about their abnormal chromosomal constitution. However, because in certain cases there are no other embryos available, new information would be valuable to consider transferring or discarding them.
Aim: To analyze the chromosomal constitution 3PN embryos and to investigate the relationship between its morphology and the chromosomal status.
Results: Thirty 3PN zygotes from 18 cycles were reviewed during a 6-month period. Biopsy was performed on day 5/6 which were subsequently screened for chromosomal status by Next Generation Sequencing (NGS) method. Of the 30 3PN embryos, 66.7 % were chromosomally abnormal. At the cleavage stage, there were no association between all morphological features and chromosomal status. In contrast, at blastocyst stage, a grade <3 blastocyst expansion had significantly higher chromosomal abnormality than the other grade of expansions (90%, P=0.05). As regards to intercellular mass (ICM) and trophectoderm (TE), embryos with grade non-A ICM and TE had a significantly higher chromosomal abnormality (100.0%, P=0.001 and 93.3%, P=0.001 respectively).
Conclusion: chromosomal status and 3PN embryo morphology are linked at the blastocyst stage, and thus morphology asessment of 3PN blastocysts can be used in conjunction with PGS to select which embryo should be transferred when no other embryos from 2PN ICSI zygotes are available.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amandanu Bramantya
"Latar Belakang: Nutrisi ibu diketahui memiliki peran dalam meningkatkan kualitas oosit yang dapat meningkatkan keberhasilan program IVF/ICSI. Kedelai (Glycine maxx (L.)Merr.) merupakan salah satu sumber nutrisi dan gizi potensial karena mengandung asam linoleat dan genistein yang dapat berperan dalam meningkatkan kualitas oosit dan perkembangan embrio.
Tujuan: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental untuk melihat efek pemberian pakan kedelai terhadap kualitas perkembangan embrio pasca fertilisasi menggunakan IVF/ICSI.
Metode: Penelitian ini menggunakan hewan uji coba berupa mencit betina galur DDY usia 6-8 minggu yang dibagi menjadi dua kelompok, kelompok diberi kedelai di samping pakan standar (K) dan kelompok kontrol yang hanya diberi pakan standar (NK), serta mencit jantan galur DDY usia 12-15 minggu. Oosit dikoleksi dan kemudian difertilisasi menggunakan metode IVF/ICSI. Embrio yang dihasilkan diamati dengan mikroskop terbalik pada hari 1-3 pasca fertilisasi.
Hasil Penelitian: Pada kelompok dengan perlakuan pakan kedelai terdapat peningkatan jumlah dan kualitas oosit sehingga terjadi peningkatan jumlah perkembangan embrio dengan kualitas baik. Pada hari pertama pasca fertilisasi didapat NK= 63,75% baik, 36,25% buruk; K= 61,08% baik, 39,92% buruk . Pada hari ketiga pasca IVF/ICSI ditemukan NK = 26,25% baik, 73,75% buruk; K= 22,17% baik, 77,83% buruk. Namun, Uji Chi Square NK vs K hari pertama (p = 0,678; OR =1,120), dan ketiga (p = 0,465; OR 1,250).
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa kedelai dapat meningkatkan jumlah embrio dengan kualitas perkembangan yang baik, namun tidak meningkatkan atau menurunkan proporsi jumlah embrio baik maupun buruk pada prosedur IVF/ICSI.

Background: Nutrition is thought to play a role to increase oocyte quality and increases the success of IVF/ICSI. One particular food, Soybean (Glycine maxx (L.)Merr) is a known source of high nutrition and potential benefit because it contains linoleic acid and genistein that it is thought to increase the quality of oocyte and therefore improves embryo development quality.
Aim: This research is an experimental study to observe the effect of soybean feed on the development quality of mice embryo post fertilization using IVF/ICSI.
Method: This research uses female DDY strain mice age 6-8 weeks which are divided into two groups, soybean fed alongside standard pellet (K) and control with only standard pellet fed (NK), and male DDY strain mice age 12-15 weeks, as animal models. The female mice are also given hormonal stimulus to induce superovulation. The oocytes are then fertilized using IVF/ICSI method and the embryo are then observed on day 1-3 post fertilization. 
Result: Result of this study shows an increase in the number and quality of oocyte in the soybean fed (K) group.  On day-1 embryo observation, NK= 63,75% good, 36,25% bad; K= 61,08% good, 39,92% bad . On day-3, NK = 26,25% good, 73,75% bad; K= 22,17% good, 77,83% bad. However, the study also shows that there is no significant difference in the percentage or proportion of good versus bad embryos in both groups on day-1 (p = 0,678; OR =1,120),  and day-3 (p = 0,465; OR 1,250).
Conclusion: This study concludes that soybean can increase the number of embryos with good development quality but does not increase nor decrease the proportion of good versus bad embryo in an IVF/ICSI procedure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zakia
"ABSTRAK
Latar Belakang: Mendapatkan satu embrio dengan potensi implantasi yang tertinggi merupakan hal penting dari teknologi fertilisasi invitro. Metode yang banyak digunakan selama ini untuk seleksi embrio adalah melalui penilaian morfologi. Namun morfologi embrio belum dapat menggambarkan potensi embrio dengan baik. Teknologi metabolomik merupakan metode yang memiliki potensi yang cukup baik karena memiliki beberapa kelebihan yaitu pengukuran yang cepat dan tidak bersifat invasif. Viabilitas hasil konsepsi dipengaruhi oleh proses biologis intrasel yang menghasilkan metabolom. Embrio dengan morfologi yang baik ternyata memiliki gambaran metabolomik yang
berbeda. Dari penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan model prediksi dari pola metabolomik medium kultur embrio untuk memprediksi kemampuan pembentukan blastokista. Jika kita dapat memprediksi potensi keberhasilan pembentukan blastokista dengan cara yang nir invasif dan cepat, diharapkan dapat meningkatkan proses pemilihan embrio dengan potensi implantasi yang tinggi, tanpa memperpanjang masa kultur embrio hingga hari kelima.
Tujuan: Mengembangkan metode nir invasive dalam memprediksi kemampuan embrio berkembang menjadi blastokista.
Metode: Penelitian kohort terhadap data spektrum FTIR medium kultur embrio hari pertama dan hari ketiga dalam memprediksi keberhasilan pembentukan blastokista, dengan membuat model prediksi dari spektrum tersebut.
Hasil: Didapatkan blastokista dengan kualitas baik sebanyak 16 dari 44 embrio yang diteliti. Didapatkan nilai AUC 0,752 pada model prediksi analisis FTIR medium kultur embrio hari pertama. dengan sensitifitas 0,727 dan akurasi 72,7%. Pada analisis spektrum hari ke 3 didapatkan model prediksi dengan AUC 0,674, dengan sensitifitas 0,614 dan akurasi 0,614.
Kesimpulan: Pola metabolomik medium kultur embrio dapat membedakan antara embrio yang berhasil menjadi blastokista kualitas baik dan tidak menjadi blastokista kualitas baik. Perbedaan ini dapat dideteksi dengan menggunakan analisis dengan FTIR yang kemudian dibuat model prediksinya.

ABSTRACT
Background: To get an embryo with the highest implantation potential is an important aspect of in vitro fertilization. The most widely used method for embryo selection is morphological assessment. However, embryo morphology has not been able to describe the potential of an embryo properly. Metabolomic technology is a method that has good
potential because it has several advantages, namely rapid measurement and not invasive. Viability of the results of conception is influenced by intracellular biological processes that produce the metabolome. Embryos with good morphology have a different metabolomic profilling. From this research it is expected to produce a predictive model of the metabolomic profilling of embryo culture medium to predict the successful of good quality blastocyst formation. If we can predict the potential success of blastocyst formation in a non-invasive and fast way, it is hoped that it can improve the process of selecting embryos with high implantation potential, without extending embryo culture to
the fifth day.
Objective: To develop a non-invasive method for predicting the ability of an embryo to develop into a good quality blastocyst.
Method: A cohort study of FTIR spectrum data of first and third day embryo culture medium in predicting the success of good quality blastocyst formation, by making a prediction model of the spectrum.
Results: There were good quality blastocysts from 16 of the 44 embryos studied. AUC value of 0.752 was obtained from the FTIR analysis model prediction for the first day of embryo culture medium. with a sensitivity of 0.727 and an accuracy of 72.7%. In the spectrum analysis of day 3was obtained predictive models with AUC of 0.674, with a sensitivity of 0.614 and an accuracy of 0.614.
Conclusion: The metabolomic profilling of embryo culture medium can distinguish between an embryo that succeeds in becoming a good quality blastocyst and not a good quality blastocyst. This difference can be detected by using analysis with FTIR."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwiyanarsi Yusuf
"Latar Belakang: Insiden infetilitas semakin meningkat setiap tahunnya. Salah satu usaha untuk menangani infertilitas adalah dengan melakukan Fertilisasi In Vitro (FIV), namun angka keberhasilan FIV saat ini khususnya di Indonesia masih rendah. Salah satu penyebab rendahnya keberhasilan FIV adalah adanya aneuploidi, sehingga menurunkan kualitas dari embrio yang dihasilkan.
Metode: Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif untuk mengetahui hubungan antara berbagai faktor risiko dengan kejadian 3PN secara morfologi dan status kromosom. Data pasien yang mengikuti FIV di Klinik Yasmin RSCM diambil dari 1 Januari 2013 sampai 31 Desember 2016, kemudian sebanyak 33 blastokista diambil untuk dilakukan pengujian preimplantasi genetic testing for aneuploidi (PGT-A). Data kemudian dianalisis menggunakan SPSS.
Hasil: Dari 1644 pasien yang melakukan FIV di Klinik Yasmin selama 4 tahun, diperoleh sebanyak 827 pasien yang memenuhi kriteria inklusi, dengan total 741 (89,6%) pasien dengan morfologi 2PN dan 86 (10,4%) pasien dengan morfologi 3PN. Nilai tengah usia maternal berturut-turut untuk 2PN dan 3PN, 36 (26-46) dan 35 (21-48). Sebanyak 55 subjek penelitian dengan usia > 35 tahun dengan morfologi 3PN (laju fertilisasi 56,1%) dan 31 dengan usia < 35 tahun (laju fertilisasi 56,5%). Didapatkan hubungan bermakna antara usia maternal dengan kejadian morfologi 3PN (p<0,05), sedangkan pada faktor pria, riwayat keguguran, riwayat gagal FIV, indikasi wanita dan indikasi pria tidak didapatkan hubungan yang bermakna. Sebanyak 33 blastokista dengan morfologi 3PN dari 15 pasien diambil dan dilakukan pengujian dengan PGT-A menggunakan metode NGS. Didapatkan 11 (33,3%) blastokista dengan hasil euploid dan 22 (66,7%) dengan hasil aneuploidi (monosomi, trisomi, mozaik dan chaotic). Dilakukan anilisi data, didapatkan hubungan antara usia maternal dengan kejadian aneuploidi pada blastokista (p<0,05), namun untuk faktor yang lainnya tidak didapatkan hubungan bermakna.
Kesimpulan: Usia maternal menjadi faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian 3PN yang dilihat secara morfologi maupun dengan teknik PGT-A.

Background: The incidence of infertility is increasing every year. One effort to deal with infertility is by conducting In Vitro Fertilization (IVF). Somehow, the current success rate of IVF especially in Indonesia is still low. One of the causes of the low success of IVF is the presence of aneuploidy, which decreases the quality of the embryo produced.
Methods: Design of this study was a retrospective cohort to determine the relationship between various risk factors with the incidence of 3PN morphologically and chromosomal status. Data on patients who took IVF at the Yasmin Clinic in RSCM were taken from January 1st, 2013 to December 31st, 2016. A total of 33 blastocysts were taken for preimplantation genetic testing for aneuploidy (PGT-A) testing. Data was analyzed using SPSS.
Results: 1644 patients who conducted FIV at Yasmin Clinic for 4 years, 827 patients met the inclusion criteria, with a total of 741 (89.6%) patients with 2PN morphology and 86 (10.4%) patients with 3PN morphology. Median of maternal age for 2PN and 3PN, 36 (26-46) and 35 (21-48) respectively. As many as 55 subjects aged more than 35 years old with the morphology of 3PN (fertilization rate was 56.1%) and 31 with age under 35 years old (with fertilization rate was 56.5%). There was a significant relationship between maternal age and 3PN morphological events (p <0.05); whereas for male factors, history of miscarriage, history of failed IVF, female and male indications had no significant relationship found. 33 blastocysts with 3PN morphology from 15 patients were taken and tested with PGT-A using NGS method. There were 11 (33.3%) blastocysts with euploidy results and 22 (66.7%) with aneuploidy results (monosomy, trisomy, mosaic and chaotic). Data was analyzed, the relationship between maternal age and the incidence of aneuploidy in the blastocyst was found (p <0.05) but for other factors no significant relationship was found
Conclusion: The maternal age is a risk factor associated with the incidence of 3PN which is seen with morphology and with the PGT-A technique."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Markus Christian Hartanto
"Frozen Embryo Transfer (FET) merupakan metode transfer embrio yang memiliki keunggulan dibandingkan dengan fresh embryo transfer (ET) karena tidak melalui proses stimulasi ovulasi. Berbagai penelitian sudah dilakukan untuk membandingkan tingkat keberhasilan FET dan ET, namun hasil yang didapat masing-masing penelitian menunjukkan angka yang berbeda, serta ada yang signifikan dan tidak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan kehamilan pasien yang menjalani FET dan dibandingkan dengan yang menjalani ET. Penelitian dilakukan dengan metode kohort retrospektif, dengan menggunaakan 288 data rekam medis Klinik Yasmin Departemen Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Kehamilan ditentukan dengan kadar hCG ≥50 mIU/mL. Data kemudian dianalisis menggunakan program SPSS 21.0 for Windows dengan uji chi-square untuk melihat hubungan jenis transfer embrio dengan tingkat keberhasilan kehamilan. Selain itu, faktorfaktor lain yang mempengaruhi tingkat keberhasilan kehamilan juga dianalisis secara multivariat dengan metode regresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan angka kehamilan FET (39,6%) lebih tinggi daripada angka kehamilan ET (38,2%) namun tidak menunjukkan hubungan yang signifikan (p=0,809). Faktor-faktor yang berhubungan secara signifikan dengan keberhasilan kehamilan adalah adanya masalah ovarium, penurunan cadangan ovarium, dan masalah infertilitas pada laki-laki.

Frozen Embryo Transfer (FET) is an embryo transfer method on in vitro fertilization that has advantage compared to fresh embryo transfer (ET) because it does not need ovulatory stimulation. Several studies have been done to compare pregnancy rate outcome of FET and ET, but the results show different number and significancy. The aim of this research was to know the pregnancy rate of FET patients compared to ET. The research was retrospective cohort study and used 288 medical record datas in Obstetry and Gynecology Department of Cipto Mangunkusumo National Hospital.
Pregnancy was measured by hcG level ≥50 mIU/mL on day 15. All results were statistically analysed by SPSS 21.0 for windows by using chi-square test to know the relation of embryo transfer method and pregnancy rate. Besides that, the other factors that affected pregnancy rate was also analyzed with multivariate logistic regression method. The result showed FET pregnancy rate (39,6%) was higher than ET (38,2%) but not statistically significant (p=0,809). Factors that had significant correlation with pregnancy rate was ovary problem, decrease of ovarian reserve, and male infertility problems.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Samuel Dominggus Chandra
"Metode In Vitro Fertilization (IVF) sudah dikenal sebagai salah satu metode reproduksi berbantu yang efektif menangani masalah infertilitas. Angka kehamilan IVF siklus baru Indonesia tahun 2013 untuk usia <35 tahun berada di angka 41,48%, masih di bawah angka kehamilan siklus IVF pada usia sama di dunia tahun 2012, yaitu 46,6%. Terdapat beberapa faktor yang dapat berpengaruh pada angka kehamilan siklus IVF, salah satunya adalah fase embrio saat transfer embrio. Berdasarkan penelitian sebelumnya ditemukan bahwa fase blastokista memiliki angka kehamilan yang lebih tinggi. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan efektivitas prosedur IVF melalui pemahaman akan faktor yang mempengaruhinya.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan data dari rekam medik Klinik Yasmin RSCM Kencana. Sampel penelitian dibagi ke dalam dua kelompok, 120 pasien grup fase pembelahan dan 120 pasien grup fase blastokista. Pemilihan sampel menggunakan metode systematic random sampling. Pada analisis didapatkan beda proporsi antara grup fase blastokista dengan grup fase pembelahan sebesar 20,8% (50,8% dan 30,0%; p= 0,002).
Pada analisis multivariat didapatkan tiga variabel perancu yang memiliki pengaruh dalam penelitian, yaitu tebal endometrium, endometriosis, dan faktor tuba. Disimpulkan bahwa transfer embrio pada fase blastokista memiliki angka kehamilan lebih tinggi bermakna dibandingkan dengan fase pembelahan.

In Vitro Fertilization (IVF) is known as one of assisted reproduction methods that effectively addresses the problem of infertility. IVF fresh cycle pregnancy rate in Indonesia for age <35 years in 2013 was at 41.48%. It was still below the pregnancy rate of fresh IVF cycles at the same age worldwide in 2012, 46.6%. There are several factors that can affect the pregnancy rate of IVF cycles, one of which is the stage when the embryo is transferred. Based on previous studies, it was found that the blastocyst stage have a higher pregnancy rate than the cleavage stage. The purpose of this study was to improve IVF effectiveness.
The study was conducted using medical records from Klinik Yasmin RSCM Kencana. Samples were divided into two groups, 120 patients in cleavage stage group and 120 patients in blastocyst stage group. The samples were selected using systematic random sampling method. In the analysis, we found 20,8% proportion difference between the blastocyst stage group to the cleavage stage group (50.8% and 30.0%; p = 0.006).
In the multivariate analysis, it was found that there were three confounding variables, endometrial thickness, endometriosis, and tubal factor, which significantly affected pregnancy rate. It was concluded that blastocyst embryo transfer have a significantly higher pregnancy rate than cleavage embryo transfer.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ericko Christopher
"ABSTRAK
Penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan asam amino glutamin dan agen pengkelat EDTA (asam etilen diamin tetraasetat) dalam larutan Tris-buffer pada integritas DNA dan morfometri kepala spermatozoa sapi Friesian Holstein (Boss taurus) pascabeku. Semen dikumpulkan seminggu sekali untuk enam minggu. Sampel semen diencerkan dengan pengencer tris-buffer dan ditambah asam amino glutamin dan EDTA. Kelompok perlakuan dibagi menjadi empat grup hanya berisi larutan penyangga Tris (KK), grup larutan penyangga Tris dengan penambahan EDTA (KP1), kelompok larutan penyangga Tris dengan penambahan asam amino glutamin (KP2), dan kelompok larutan penyangga Tris dengan penambahan EDTA dan asam amino glutamin (KP3). Hasil integritas DNA spermatozoa sapi Friesian
Holstein (Bos taurus) setelah pengeringan beku pada semua perlakuan stabil 100% dan tidak rusak. Hasil analisis varians (ANAVA) menunjukkan bahwa pemberian asam amino glutamin dan EDTA pada morfometri kepala spermatozoa Sapi Friesian Holstein (Bos taurus) pasca pengeringan beku pada semua perlakuan antara kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (P > 0,05). Hasil analisis
membran plasma utuh sperma menunjukkan penambahan kombinasi asam amino amino glutamin dan EDTA memiliki efek signifikan dalam menjaga membran membrane plasma (P < 0,05).
ABSTRACT
This study was conducted to determine the effect of adding the amino acid glutamine and the chelating agent EDTA (ethylene diamine tetraacetic acid) in Tris-buffer solution on DNA integrity and sperm head morphometry of Friesian Holstein cattle (Boss taurus) post-frozen. Semen is collected once a week for six weeks. The semen sample was diluted with tris-buffer diluent and the amino acids glutamine and EDTA were added. The treatment group was divided into four groups containing only Tris buffer solution (KK), Tris buffer solution group with the addition of EDTA (KP1), Tris buffer solution group with the addition of amino acid glutamine (KP2), and Tris buffer solution group with the addition of EDTA and amino acids. glutamine (KP3). Friesian bovine spermatozoa DNA integrity results
Holstein (Bos taurus) after freeze drying in all treatments was 100% stable and undamaged. The results of the analysis of variance (ANOVA) showed that the administration of amino acids glutamine and EDTA to the spermatozoa head morphometry of Holstein Friesian Cattle (Bos taurus) after freeze drying in all treatments between the two groups did not show a significant difference (P > 0.05). Analysis result
intact plasma membrane of sperm showed that the addition of the amino acid combination of glutamine and EDTA had a significant effect in maintaining the plasma membrane (P < 0.05)."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>