Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 205975 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bianca Shakila
"Dengan tingginya risiko sistem keamanan yang ditimbulkan perusahaan financial technology membuat diperlukannya proses manajemen risiko dari pihak regulator untuk mengurangi mengurangi potensi fallibility/kerawanan sistem keamanan pada perusahaan financial technology bidang peer to peer lending di Indonesia. Dalam proses pelaksanaannya diperlukan kerjasama antara Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian Komunikasi dan Informasi serta Asosiasi Fintech Pendanaan bersama Indonesia (AFPI). Penelitian ini mengacu pada teori risk management in public sector dan dalam menganalisis digunakan framework COSO ERM. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan post- positivist dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam dengan beberapa aktor yang terlibat dan studi kepustakaan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa manajemen risiko yang dilakukan pemerintah yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) terbukti dapat mengurangi potensi fallibility security system pada perusahaan fintech peer to peer lending karena sudah memenuhi enam dari tujuh indikator, yakni pengawasan dan tata kelola risiko, struktur operasional, identifikasi risiko, tingkat keparahan risiko, prioritas riisiko, dan respons risiko. Namun terdapat satu indikator yang tidak terpeuhi yaitu komitmen dalam nilai inti entitas. Selain itu, penyebab dari kerawanan sistem keamanan perusahaan fintech peer to peer lending dapat dipengaruhi oleh faktor internal yaitu penerapan standar pengamanan data perusahaan, sumber daya perusahaan, serta ketersediaan roadmap manajemen risiko. Sedangkan, faktor eksternal yang mempengaruhi adalah ketidakpastian peraturan pemerintah, dalam kasus ini peraturan pemerintah sangat penting dalam melakukan proses pelaksanaan manajemen risiko.

The high risk of the security system posed by financial technology companies requires a risk management process from the regulator to reduce the potential fallibility of security systems in financial technology companies in the peer to peer lending sector in Indonesia. In the implementation process, cooperation between the Financial Services Authority, the Ministry of Communication and Information and the Indonesian Joint Funding Fintech Association (AFPI) is required. This research refers to the theory of risk management in the public sector and in analyzing the COSO ERM framework is used. The approach in this study uses a post-positivist approach with data collection techniques through in-depth interviews with several actors involved and literature study. The results of this study indicate that risk management carried out by the government, namely the Financial Services Authority (OJK) and the Ministry of Communication and Information (Kominfo), is proven to reduce the potential fallibility of the security system in peer to peer lending fintech companies because it fulfills six of the seven indicators, namely supervision. and risk governance, operational structure, risk identification, risk severity, risk priority, and risk response. However, there is one indicator that is not fulfilled, namely commitment in the core values of the entity. In addition, the cause of the security system vulnerabilities of peer to peer lending fintech companies can be influenced by internal factors, namely the implementation of standards for securing company data, company resources, and the availability of risk management roadmaps. Meanwhile, the external factor that affects is the uncertainty of government regulations, in this case government regulations are very important in carrying out the process of implementing risk management."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inesya Zeahira
"ABSTRAK
Kemajuan teknologi keuangan telah melahirkan konsep peer-peer lending (P2P Online lending yang membuka akses pinjaman tanpa peran lembaga keuangan seperti bank. Namun, perannya sebagai perantara membawa beberapa ancaman bagi pemberi pinjaman, yang mana mereka tidak selalu bisa mengharapkan jaminan keamanan seperti layanan bank konvensional, sehingga kredibilitas platform itu sendiri menjadi faktor penentu dan membuat pelapor memilih platform berdasarkan reputasi dan kepercayaannya. Penelitian ini mencoba untuk memahami persepsi investor terhadap platform P2P lending dan bagaimana reputasi tersebut. mempengaruhi kepercayaan pemberi pinjaman, dan apakah kepercayaan dapat menilai hubungan tersebut.Menggunakan 160 pemberi pinjaman Sebagai responden, penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Moderated Regression Analysis (Linear Regression) dengan bantuan SPSS 23 untuk pengujian model yang diusulkan.Hasil penelitian menunjukkan bahwa keamanan dan perlindungan memiliki pengaruh terbesar pada reputasi platform. Reputasi itu sendiri ditemukan memiliki efek positif pada kesediaan untuk memberikan pinjaman. Sedangkan kepercayaan ternyata tidak memiliki efek moderasi, melainkan pengaruh positif terhadap keputusan investasi pemberi pinjaman sebagai variabel independen.

ABSTRACT
The advancement of financial technology has given birth to the concept of peer-peer lending (P2P Online lending that opens access to loans without the role of an institution finance like a bank. However, its role as intermediary carries some threats to lenders, which they cannot always expect security guarantees like conventional bank services. So that credibility the platform itself becomes a determining factor and makes the informer choose a platform based on their reputation and trustworthiness. This research trying to understand investors' perceptions of P2P lending platforms and how that reputation affects lenders' confidence, and whether trust can judge the relationship. Using 160 lenders As respondents, this research was conducted using the Moderated Regression method Analysis (Linear Regression) with the help of SPSS 23 for model testing The proposed. The results show that security and protection have the biggest influence on a platform's reputation. Reputation itself was found to have a positive effect on willingness to provide loans. While trust It was found to have no moderating effect, but rather a positive influence on lenders' investment decisions as an independent variable."
2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niko Muhammad Iskandar
"

Dalam beberapa waktu terakhir financial technology atau biasa disebut fintech mengalami pertumbuhan yang amat pesat.  Salah satu kategori fintech yang sedang marak perkembangannya ialah peer to peer lending. Peer to peer lending menghubungkan akses pinjam dan meminjam dana berbasis online tanpa harus bertatap muka antara peminjam  (borrower) dan pendana (lender). Pada negara Indonesia peer to peer lending memiliki pertumbuhan jauh lebih pesat ketimbang pertumbuhan bank bila dilihat dari sisi akumulasi dana yang dipinjamkan kepada nasabah, dimana dalam dua tahun beroperasi akumulasi pinjaman yang telah disalurkan peer to peer lending mencapai 25 Triliun Rupiah. Karena terkenal dengan berbagai risiko serta kejahatan dari peer to peer lending di negara lain, banyak masyarakat masih terbilang ragu untuk berinvestasi pada peer to peer lending. Maka dari itu, para perusahaan peer to peer lending yang beroperasi di Indonesia membutuhkan strategi yang untuk meningkatkan keinginan meminjamkan dana (willingness to lend) pada masyarakat. Dalam pembuatan strategi tersebut, akan diteliti pengaruh faktor faktor yang signifikan dalam mempengaruhi keinginan meminjamkan dana (willingness to lend). Setelah didapatkan faktor tesebut, penelitian ini akan menggunakan importance-satisfacion analysis berdasarkan diskusi dengan expert dalam menentukan strategi mana yang tepat untuk dilakukan perusahaan peer to peer lending dalam meningkatkan keinginan meminjamkan dana (willingness to lend) serta meningkatkan satisfaction pada masyarakat Indonesia.


In recent years, financial technology or commonly called fintech experienced very rapid growth. One of the categories of fintech that is booming is peer to peer lending. Peer to peer lending connects online loan access and borrowing funds without having to meet face to face between the borrower and lenders. In Indonesia, peer to peer lending has a much faster growth than bank growth when viewed from the side of accumulated funds lent to customers, where in the two years of operation accumulated loans that have been channeled reached 25 Trillions Rupiah. Because it has known for its various risks and crimes from peer to peer lending in other countries, many people are still fairly hesitant to invest in peer to peer lending. Therefore, peer to peer lending companies which operated in Indonesia need a strategy to increase willingness to lend to the community. In making this strategy, the effect of factors that are significant in influencing willingness to lend will be examined. After obtaining these factors, this study will use importance-satisfacion analysis based on discussion with expert in determining which strategy is right for the company to increasing the willingness to lend as well as increasing satisfaction in Indonesian society

"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Safira Ramadhani
"Skripsi ini membahas mengenai penerapan manajemen risiko dalam Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI), dengan studi kasus penerapan manajemen risiko pada UangTeman sebagai salah satu Penyelenggara LPMUBTI. Pada studi kasus UangTeman, Penulis meneliti penerapan manajemen berdasarkan POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, POJK Nomor 1/POJK.05/2015 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank, serta SEOJK Nomor 18/SEOJK.02/2017 tentang Tata Kelola dan Manajemen Risiko Teknologi Informasi Pada Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimanakah pengaturan mengenai manajemen risiko pada LPMUBTI menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia dan bagaimanakah penerapan manajemen risiko di UangTeman terkait dengan perlindungan hukum bagi UangTeman dan Penggunanya. Bentuk penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, serta tipologi penelitian yang digunakan bersifat deskriptif analitis. Data yang digunakan adalah data sekunder, yang didukung dengan hasil wawancara. Hasil penelitian yang didapat adalah penerapan manajemen risiko di LPMUBTI masih mengacu pada manajemen risiko di industri perbankan. Oleh karena itu, OJK perlu membuat peraturan khusus yang mengatur mengenai manajemen risiko pada LPMUBTI, serta perlu dilakukan pengembangan terhadap manajemen risiko yang dilakukan oleh Penyelenggara untuk melindungi Penyelenggara serta Pengguna layanan.

This thesis discusses the implementation of risk management in financial technology types of Peer-to-Peer Lending, with case studies about implementation of risk management at UangTeman as one of the P2P Lending company. In the case study at UangTeman, the author examines the implementation of risk management at UangTeman based on POJK Number 77/POJK.01/2016 on Peer-to-Peer Lending service, POJK Number 1/ POJK.05/2015 on Implementation of Risk Management for Non-Bank Financial Services Institutions, and SEOJK Number 18/SEOJK.02/2017 on Information Technology Governance and Risk Management of Information Technology in Peer-to-Peer Lending. The formulation of the problem of this research are, how regulations are related regarding the risk management in Peer-to-Peer Lending according to Indonesian laws, and how about the implementation of risk management at UangTeman related to legal protection for UangTeman and the users. The research method is analytical description. The data used is secondary data, which is supported by the results of interview. The results of the research obtained that the implementation of risk management in P2P Lending is still referring to risk management in the banking industry. Therefore, OJK need to make a specific regulation regarding risk management at Peer-to-Peer Lending, it is also necessary to develop risk management in Peer-to-Peer Lending company to protect the company, lenders, and borrowers.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tadjoedin Saman
"Layanan pinjam meminjam berbasis teknologi informasi atau yang saat ini kita kenal sebagai salah satu layanan financial teknology peer to peer lending merupakan salah satu bentuk perkembangan teknologi informasi dibidang sektor jasa keuangan yang pada saat ini diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan melalui POJK No.77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Penelitian ini hendak membahas mengenai peran Otoritas Jasa Keuangan dalam mengatur dan melindungi konsumen yang menggunakan layanan pada sektor jasa keuangan di Indonesia dan bentuk perlindungan konsumen sektor jasa keuangan berupa mekanisme penyelesaian sengketa yang menggunakan jasa layanan peer to peer lending (pinjaman online) ilegal oleh Otoritas Jasa Keuangan menurut Peraturan Perundang-Undang. Metode penelitian yang digunaan adalah dengan menggunakan penelitian yuridis normatif yang menghasilkan tipologi penelitian deskriptif. Kesimpulan pertama dalam penelitian ini adalah dalam perlindungan konsumen yang menggunakan layanan pada sektor jasa keuangan di Indonesia, prinsip perlindungan konsumen mengacu pada POJK No.1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Kedua, terhadap konsumen yang menggunakan layanan jasa pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi berpedoman pada POJK No.77/POJK.01/2016, namun POJK ini hanya melindungi konsumen yang menggunakan layanan pinjam meminjam yang sudah terdaftar dan berizin resmi di OJK. Sehingga, terhadap konsumen yang menggunakan layanan pinjam meminjam yang tidak terdaftar resmi atau ilegal tidak mendapatkan perlindungan oleh OJK. Namun seharusnya OJK tidak serta merta lepas tangan dalam memberikan perlindungan kepada konsumen yang menggunakan peer to peer lending ilegal karena OJK memiliki concern dalam memberikan perlindungan konsumen sektor jasa keuangan di Indonesia, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK.

Peer to Peer Lending is a form development of information technology in financial services sector, which is currently regulated by Indonesian Financial Services Authority Regulation No. 77/POJK.01/2016 on Information Technology-based Loans and Lending Services. This thesis will analyze the role of the Indonesian Financial Services Authority in regulating and protecting consumers’ rights and their usage of financial services and other consumers protection effort, especially in regards to financial services dispute resolution mechanisms. This research will analytically describe principles of consumers protection who have used financial services under the Financial Services Authority Regulation No. 1/POJK.07/2013 on Consumer Protection in Financial Services Sector. Furthermore, consumers who used Peer to Peer Lending services based on Financial Services Authority Regulation No. 77/POJK.01/2016 will find that this regulation only protects consumers who used loans and lending services which have been officially registered and authorized by the Indonesian Financial Services Authority. Other legal consequences which include, but not limited to, leakage of personal information, financial default, or any other legal actions beyond the regulations’ limit remains unprotected. But, OJK should not able to say that OJK cannot provide protection to consumers who use illegal peer to peer lending because OJK has concern in providing consumer protection in the financial services sector in Indonesia, as stipulated in article 28 of law No. 21 Year 2011 on OJK."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bima Shazi Rajendra Kirana
"Teknologi finansial berbasis Peer to Peer Lending mengalami perkembangan pesat di Indonesia. Data Statistik Fintech Periode Desember 2020 milik OJK
menunjukkan bahwa seiring pesatnya pertumbuhan pengguna layanan Peer to Peer Lending, angka Tingkat Keberhasilan Bayar 90 Hari (TKB90) justru mengalami
penurunan yang artinya semakin banyaknya kasus gagal bayar pada aktivitas Peer to Peer Lending. Akan tetapi AFPI melalui Pedoman Perilaku Pemberian Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Secara Bertanggung Jawab justru mewajibkan seluruh penyelenggara Peer to Peer Lending untuk menyatakan bahwa risiko gagal bayar ditanggung sepenuhnya oleh pemberi pinjaman kecuali diatur lebih lanjut mengenai pertanggungan. Platform x sebagai penyelenggara inovasi keuangan digital dalam klaster aggregator dengan Peer to Peer Lending sebagai
salah satu layanannya hadir dengan mengusung inovasi berupa dana proteksi guna melindungi pemberi pinjaman ketika mengalami gagal bayar. Akan tetapi pada laman surat pembaca masih ditemukan adanya aduan dari pengguna platform x terkait gagal bayar. Oleh karena itu, Penulis mengangkat dua pokok permasalahan yaitu bagaimana pengaturan perlindungan hukum bagi pemberi pinjaman pada penyelenggaraan teknologi finansial berbasis Peer to Peer Lending di Indonesia dan implementasinya oleh platform x dalam kasus gagal bayar. Bentuk penelitian pada skripsi ini bersifat yuridis-normatif dengan tipologi penelitian deskriptif yang didukung oleh alat pengumpulan data berupa bahan pustaka dan wawancara.
Kesimpulan yang didapat ialah pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi pemberi pinjaman terhadap kasus gagal bayar dalam penyelenggaraan teknologi
finansial berbasis Peer to Peer Lending di Indonesia sudah cukup beragam untuk menjamin kepastian hukum, akan tetapi pengaturan itu masih bersifat umum dan
tidak ada pengaturan khusus mengenai kasus gagal bayar, platform x telah mengimplementasikan pengaturan tersebut dalam kasus gagal bayar dengan cukup baik akan tetapi masih terdapat beberapa kewajiban yang belum sepenuhnya platform x laksanakan.

Financial technology based on Peer to Peer Lending is experiencing rapid development in Indonesia. OJK's December 2020 Fintech Statistical Data shows that along with the rapid growth of Peer to Peer Lending service users, the 90-Day Payment Success Rate (TKB90) has actually decreased, which means that there are more cases of default in Peer to Peer Lending activities. However, AFPI through its Code of Conduct for Responsible Financial Technology Based on Peer to Peer Services requires all Peer to Peer Lending providers to state that the risk of default is fully suffered by the lender unless further regulated regarding coverage. Platform x as the provider of digital financial innovation in the aggregator cluster with Peer
to Peer Lending as one of its services comes by bringing innovation in the form of protection funds to protect lenders when they against the case of default. However, on the reader's letter page, there are still complaints from platform x users regarding
default case. Therefore, the author raises two main issues, namely how to regulate legal protection for lenders in the implementation of financial technology based on Peer to Peer Lending in Indonesia and its implementation by platform x in case of default. The form of research in this thesis is juridical-normative with a descriptive
research typology supported by data collection tools in the form of library materials and interviews. The conclusion obtained is that the regulation regarding legal protection for lenders against default cases in the implementation of Peer to Peer Lending-based financial technology in Indonesia is diverse enough to ensure legal certainty, but the arrangement is too general and there are no special arrangements
regarding default cases. Platform x has implemented these arrangements in the case of default quite well but there are still some obligations that platform x has not fully implemented.
"
Depok: Fakultas Hukum, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilham Satria Kurniawan
"Perkembangan pesat layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi juga membawa risiko tinggi seperti masalah kredit macet. Tidak adanya sistem pertukaran data yang wajib untuk layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi telah mengakibatkan peningkatan risiko gagal bayar dari peminjam, berbeda dengan sektor perbankan. Sistem pertukaran data konsumen akan membantu Perusahaan Fintech untuk mendeteksi debitur macet, dan untuk mengurangi risiko kredit macet. Adapun dengan demikian mengenai rumusan masalah dari penelitian ini adalah: (1) bagaimana pertukaran data konsumen di sektor jasa keuangan, (2) bagaimana implementasi pertukaran data konsumen antara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi. (3) pertukaran data konsumen yang tepat bagi layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi. Metode Peneilitan yang digunakan adalah pendekatan yuridis-normatif. Alat pengumpulan data adalah data sekunder berupa studi kepustakaan dengan didukung oleh wawancara. Dengan menerapkan penelitian hukum menggunakan pendekatan normatif, dan komparatif. Hasil penelitian yang dilakukan adalah sektor jasa keuangan memiliki dua adalah dua entitas pertukaran konsumen yang diatur oleh Otoritas Jasa. Meskipun ada dua entitas pertukaran data, pada praktiknya mayoritas layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi menggunakan entitias swasta..Dengan demikian pertukaran data konsumen yang paling cocok untuk pinjaman adalah LIPIP

The rapid development of Peer-to-Peer Lending Fintech also brings problem such as the high risk of the nonperforming loan. The absence of mandatory data exchange system has resulted in an increased risk of default from borrowers. Unlike the banking sector, where there are mandatory, there is no mandatory exchange information of consumer data between peer-to-peer lending Fintech companies. The consumer data exchange system would help Fintech Company to detect bad debtor, and to mitigate the risk of the nonperforming loan. This undergraduate thesis explores there main issues: (1) how consumer data sharing in Financial sector especially for Peer-to-Peer Lending Financial Technology consumer is regulated, and (2) how the implementation of consumer data exchange. (3) which is consumer data sharing is suitable for peer-to-peer lending Fintech companies.  By applying the normative legal research using the statute, and comparative approach and support by interview this undergraduate conclude that are two consumer exchange entities : (1) sistem Layanan Informasi Kreditur (SLIK), under Financial Service Authority (OJK). (2) Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP), under private entities, and consumer data exchange is regulated in several provision such as the Financial Service Authority (OJK) Law, Banking law, and also financial regulation. Even though there are two data exchange entities, in practice the majority of Peer-to-Peer Lending Financial Technology are using LPIP and non-using SLIK. The reason is SLIK seen as more tightly regulated, that can hinder growth or even losing business edge from other financial industry. Thus the most suitable consumer data exchange for lending is LPIP
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Feby Aditya Hadisukmana
"Upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum ialah melalui peningkatan ekonomi nasional, dimana salah satunya ialah pemanfaatan teknologi. Semakin pesatnya perkembangan teknologi, terutama teknologi pada sektor ekonomi memberikan dampak positif bagi suatu negara. Pemanfaatan teknologi pada sektor ekonomi pun membuka peluang bisnis terbarukan yaitu bisnis keuangan dengan mendirikan perusahaan finansial teknologi dengan berbagai macam layanan. Terutama layanan investasi dalam bentuk pinjam meminjam (Peer to Peer (P2P) Lending), yang mudah diakses oleh masyarakat secara umum. Masyarakat cenderung tidak peduli dengan perusahaan penyelenggara yang mana dirinya terikat, sehingga cukup banyak kasus masyarakat terikat pada perusahaan finansial teknologi ilegal, dimana dirinya tidak terdaftar dan berizin Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun tidak menutup kemungkinan perusahaan finansial teknologi yang terdaftar dan berizin Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak memiliki masalah. Masalah yang sering terjadi oleh perusahaan finansial teknologi penyelenggara layanan pinjam meminjam ialah kondisi gagal bayar, sehingga akibat dari gagal bayar perusahaan penyelenggara berdampak pada timbulnya kerugian bagi investor (pemberi pinjaman) yang terikat pada perjanjian investasi atas proyek yang disediakan oleh perusahaan finansial teknologi penyelenggara layanan pinjam meminjam. Sehingga pertanggungjawaban atas perlindungan hak investor (pemberi pinjaman) dalam aktivitas investasi pada proyek yang diselenggarakan oleh perusahaan finansial teknologi layanan pinjam meminjam seringkali tidak terlaksana.

An effort to improve the welfare of society in general are through improving the national economy, one of which is the use of technology. Rapid development of technology, especially technology in the economic sector, has a positive impact on a country. The use of technology in the economic sector also opens up renewable business opportunities, that is financial businesses by establishing financial technology companies which has many services options. Especially investment services in the form of lending and borrowing (Peer to Peer (P2P) Lending), which are easily accessible to public. Public tend not to care about the company to which they are bind, so that there are quite a lot of cases of people being binded to illegal financial technology companies, where they are not registered and licensed by the Otoritas Jasa Keuangan (OJK). However, it does not mean that financial technology companies registered and licensed by the Financial Services Authority will not have problems. The problem that often occurs by financial technology companies providing lending and borrowing services is failure to pay, so that the result of failure to pay by the providing company has an impact on the emergence of losses for investors (lenders) who are bound by investment agreements for projects provided by financial technology companies providing lending services. borrow. So that accountability for protecting the rights of investors (lenders) in investment activities in projects organized by financial technology companies lending and borrowing services is often not implemented."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Putra Salman
"Penggunaan teknologi digital akhirnya melahirkan apa yang disebut Peer to Peer Lending sebagai bagian dari teknologi keuangan. Jangkauan luas dari komunitas yang tidak memiliki bank dan tidak terlayani membuat Peer to Peer Lending mendapatkan momentumnya di Indonesia. Dalam kondisi ini, OJK menetapkan peraturan khusus untuk Peer to Peer Lending di bawah Peraturan OJK No. 77 Tahun 2016.
Skripsi ini mencoba membahas tentang apa saja hukum dan peraturan yang terkait dengan Peer to Peer Lending di Indonesia, apa persamaan dan perbedaan sistem kredit antara bank komersial dan teknologi keuangan dan sejauh mana implementasi Peer to Peer lending yang disediakan oleh Findaya sebagai Pembayaran Gojek 'PayLater' sesuai dengan Hukum Indonesia.
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder.
Sebagai kesimpulan, masih ada banyak ketentuan penting yang belum diatur dalam peraturan Peer to Peer Lending dan dapat menciptakan risiko hukum dan risiko keuangan yang besar, baik untuk perusahaan dan untuk masyarakat secara umum. Meskipun secara hukum Gojek PayLater telah sesuai dengan peraturan, masih ada banyak lagi yang harus ditingkatkan untuk keselamatan industri jasa keuangan.
The use of digital technology eventually gave birth to so-called Peer to Peer Lending as a part of financial technology. Its wide-reaching of the unbankable and underserved community makes Peer to Peer Lending gains its momentum in Indonesia. Under this condition, OJK stipulated a regulation specifically for Peer to Peer Lending under OJK Regulation No. 77 of 2016.
This thesis is trying to discuss on what is the laws and regulation related to Peer to Peer Lending in Indonesia, what are the similarities and differences of credit systems between commercial bank and financial technology and to what extentthe implementation of Peer to Peer lending provided by Findaya as Gojek’s Payment ‘PayLater’ in accordance with Indonesian Law.
The method of research used by the author in this thesis research is normative juridical research method.The type of data used in this study is secondary data that consisting of primary and secondary legal materials.
In conclusion, there are still many important provisions that have not been regulated in Peer to Peer Lending regulation and can create large legal risks and financial risks, both for the loan Company company and for the community in general. Even though by law Gojek PayLater has in accordance with the regulation, there are still a lot more to improve for the safety of financial services industry."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuri Oktaviani
"Peer-to-peer P2P lending merupakan salah satu solusi alternatif pembiayaan bagi kelompok usaha yang tidak bankable, termasuk di antaranya usaha pertanian. Akan tetapi, usaha pertanian yang berisiko membuat P2P lending harus melakukan manajemen risiko untuk meminimalisasi atau bahkan menghilangkan risiko yang ada.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis proses manajemen risiko operasional pada AgriFin, perusahaan P2P lending yang membiayai usaha pertanian. Proses tersebut dimulai dari menganalisis persepsi mengenai definisi risiko operasional pada P2P lending, identifikasi risiko, analisis dan evaluasi risiko, hingga membahas cara memitigasi risiko tersebut. Selain itu, penelitian ini juga menganalisis praktik pengendalian internal pada AgriFin dengan menggunakan pendekatan lima komponen pengendalian internal pada COSO integrated framework.
Penelitian ini menggunakan metode in-depth interview dengan narasumber dari berbagai stakeholder AgriFin, termasuk manajemen, operator, surveyor, dan Otoritas Jasa Keuangan OJK sebagai regulator P2P lending di Indonesia.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa risiko operasional pada perusahaan P2P lending yang bergerak di bidang pertanian tidak hanya berasal dari internal namun juga berasal dari pihak eksternal perusahaan termasuk dari operator petani atau perusahaan pertanian yang dibiayai serta masyarakat sekitar lahan pertanian. Selain itu, AgriFin telah menerapkan manajemen risiko berupa identifikasi dan mitigasi risiko. Sementara pengendalian internal pada AgriFin masih perlu penguatan dan perbaikan.

Peer to peer P2P lending is one of the alternative financing solutions for non bankable business groups, including agriculture sector. However, risks exposed to agricultural sector put P2P lending companies under requirements to perform risk management to minimize or even eliminate any of those inherent risks.
This study aims to analyze the operational risk management process in AgriFin, one of Indonesian well known P2P lending company that finances agricultural sector. The process begins with analyzing perceptions of the definition of operational risk on P2P lending, risk identification, analysis, and evaluation, to discuss how to mitigate those risks. Besides, this study also analyzed the internal control practices of AgriFin by using the five internal control components of the COSO integrated framework.
This study uses in depth interview method with interviewees from various AgriFin stakeholders, including management, operators, surveyors and Financial Service Authority OJK as the regulator for P2P lending companies in Indonesia.
The results of this study indicate that operational risks in P2P lending companies engaged in agriculture not only come from both internal and external parties, including from the operators financed farmers or agricultural companies as well as communities around the financed agricultural land. In addition, AgriFin has applied risk identification and mitigation. While the internal controls on AgriFin still need reinforcement and improvement.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>