Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 54612 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Razio Rahmatdana Rizal
"Tenki no Ko adalah film animasi drama romantis Jepang yang dirilis pada tahun 2019 dan disutradarai oleh Makoto Shinkai. Film tersebut dipilih sebagai objek penelitian karena Makoto Shinkai banyak menggunakan folklor Jepang yang terkait dengan bencana alam dalam narasi film tersebut. Penelitian ini membahas bentuk penggambaran folklor Jepang serta kaitannya dengan bencana alam yang terjadi di Jepang. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu dengan menganalisis teks dan visual dalam film yang mengandung unsur folklor. Dalam analisis tersebut, penulis menggunakan konsep folklor C. Scott Littleton, konsep intertekstualitas Gillian Rose, konsep bencana alam Satou dkk., dan mise-en-scène David Bordwell, dkk. Berdasararkan analisis yang telah dilakukan, Tenki no Ko banyak menggunakan folklor Jepang dalam narasinya. Folklor-folklor tersebut mengandung tema yang bervariasi, yaitu pengorbanan, hubungan timbal balik antara keputusan dan konsekuensi, serta tema iyashikei (memberikan rasa tentram ketika menontonnya). Selain sesuai dengan dua dari tiga fungsi folklor menurut Littleton (2002), ditemukan juga bahwa folklor dalam Tenki no Ko dapat berfungsi sebagai “pelarian” dalam bentuk pengalihan tanggung jawab dan optimisme.

Tenki no Ko is a Japanese animated romantic fantasy film that released in 2019 and directed by Makoto Shinkai. This film uses Japanese folklore a lot in its narrative. This research will discuss the form of depiction of Japanese folklore as well as the relationship between folklore and natural disasters that occurred in Japan. The research used analytical descriptive method by analyzing texts and visuals containing folklore elements using the folklore concept by C. Scott Littleton, intertextuality concept by Gillian Rose, the natural disaster concept by Satou, et al., and the mise-en-scène concept by David Bordwell, et al. Based on the analysis, Tenki no Ko uses many Japanese folklore in its narrative. These folklores contain various themes, namely sacrifice, hope, the reciprocal relationship between decisions and consequences; and iyashikei theme (gives a sense of peace when watching it). In addition to conforming to two of the three functions of folklore according to Littleton (2002), it is also found that folklore in Tenki no Ko can function as an "escape" in the form of shifting responsibility and optimism."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
McCarthy, Helen
Woodstock, N.Y. : Overlook Press, 1996
791.433 MCC a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Napier, Susan Jolliffe
New York: Palgrave, 2001
791.433 NAP a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia Nadine Kuswardono
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana ayah direpresentasikan dalam film animasi Jepang Mirai (2018) dan makna yang hendak disampaikan melalui representasi tersebut. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori representasi oleh Stuart Hall (1997) sebagai teori dasar. Metode penelitian yang digunakan dalam film ini adalah metode analisis film oleh Petrie dan Boggs (2012) yang menganalisis suatu tokoh melalui teknik karakterisasi. Adapun karakterisasi yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi: karakterisasi penampilan tokoh, karakterisasi penamaan tokoh, karakterisasi tindakan tokoh, karakterisasi dialog dan karakterisasi hubungan antar tokoh. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, peneliti menemukan bahwa tokoh ayah dalam film ini digambarkan sebagai sosok ayah rumah tangga yang penyayang dan dapat diandalkan. Film ini juga merepresentasikan fenomena ayah rumah tangga dalam masyarakat Jepang yang dapat dilihat sebagai bentuk perubahan peran gender dalam keluarga Jepang.

This study aims to see how fathers are represented in the Japanese animation film Mirai (2018) and the meaning to be conveyed through the representation. The theory used in this research is the representation theory by Stuart Hall (1997) as the basic theory. The research method used in this film is the film analysis by Petrie and Boggs (2012) which analyzes a character through characterization techniques. The characterizations carried out in this study include: characterization of character appearances, characterization of character names, characterization of character actions, characterization of dialogue and characterization of relationships with other characters. Based on the analysis that has been done, the researcher found that the father character in this film is described as a loving and reliable househusband. This film also represents the phenomenon of househusband in Japanese society which can be seen as a form of changing gender roles in Japanese families."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rafly
"Penelitian ini menganalisis praktik-praktik patriarki, khususnya melalui tokoh Shigure terhadap tokoh Akito dalam anime shoujo berjudul Fruits Basket (2019) karya Natsuki Takaya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis dengan patriarchy theory dari Barbara Smuts didukung oleh konsep gender identity oleh Judith Butler sebagai pilar utama teori studi ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Akito sebagai seorang tokoh perempuan pada awalnya digambarkan sebagai “laki-laki” dengan identitas gender maskulin (masculine-female). Namun, dalam perjalanan romansanya dengan Shigure, banyak tekanan dan dominasi yang dilakukan oleh Shigure kepada Akito, yang menunjukkan bagaimana budaya patriarki terwujud dalam anime ini. Sejalan dengan patriarchy theory Barbara Smuts, berbagai praktik patriarki Shigure antara lain adalah kontrol Shigure terhadap Akito melalui sumber daya dan bahasa, strategi Akito yang justru menciptakan dominasi Shigure dan formasi hirarki antara Shigure dan tokoh lain, serta berkurangnya sekutu Akito yang memudahkan dominasi dan kendali Shigure. Dengan berbagai praktik patriarki di atas, Akito pada akhirnya menyerah pada tekanan dan dominasi Shigure, dan Akito pun dengan sukarela merubah identitas gendernya menjadi seorang “perempuan” yang feminin (feminine-female). Temuan ini sangat menarik karena melalui anime Fruits Basket dapat dilihat bagaimana budaya patriarki dan relasi gender tradisional Jepang masih bertahan dalam masyarakat Jepang dewasa ini.

This study analyzes patriarchal practices, especially through the character of Shigure and Akito in the shoujo anime Fruits Basket (2019) by Natsuki Takaya. The method used in this study is a descriptive analysis method with the patriarchy theory of Barbara Smuts and supported by the concept of gender identity by Judith Butler as the main theory of this study. The results showed that Akito as a female character was initially described as "male" with masculine gender identity (masculine-female). However, in the course of his romance with Shigure, Shigure puts a lot of pressure and domination on Akito, which shows how patriarchal culture is manifested in this anime. In line with Barbara Smuts's theory of patriarchy, Shigure's various patriarchal practices include Shigure's control of Akito through resources and language, Akito's strategy which creates Shigure's domination and hierarchical formation between Shigure and other figures, and the reduction of Akito's allies which facilitates Shigure's domination and control. With the various patriarchal practices above, Akito finally succumbed to Shigure's pressure and domination, and Akito changed his gender identity to become a "feminine-female". This finding is very interesting because through Fruits Basket, it can be seen how patriarchal culture and traditional Japanese gender relations still persist in Japanese society today."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Syadza Muthia
"Skripsi ini membahas stage mother sebagai pelaku kekerasan terhadap anak dalam anime Shigatsu wa Kimi no Uso. Skripsi ini menggunakan metode deskriptif analisis dan teori sosiologi sastra, konsep representasi Stuart Hall, serta teknik sinematografi. Hasil analisis menunjukkan bahwa bentuk kekerasan terhadap anak oleh ibu dalam anime Shigatsu wa Kimi no Uso didominasi oleh kekerasan mental. Selain itu, ditemukan bahwa pelaku kekerasan terhadap anak dalam anime ini merupakan seorang stage mother yang menaruh ekspektasi berlebihan kepada anaknya. Hal ini disebabkan impian ibu yang tidak tercapai sehingga ia mengharapkan anaknya untuk menggantikannya dalam meraih mimpinya tersebut.

The focus of this research is to analyze how stage mother become a perpetrator of child abuse in Shigatsu wa Kimi no Uso anime. This research uses descriptive analysis method and uses sociology of literature theory, Stuart Hall rsquo s representation concept, and cinematographic technique. The analysis result shows that psychological abuse is the most frequently happened in Shigatsu wa Kimi no Uso anime. The analysis result also discovers that the perpetrator of child abuse in this anime is a stage mother that caused by her failed attempt to achieve her dream. Because of that, she has exaggerated expectation towards her child to replace her achieving her dream.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2017
S69402
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deanita Adharani
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan dari film Kaguya Hime no Monogatari yang diadaptasi dari cerita rakyat Taketori Monogatari. Sebagaimana yang dipaparkan Linda Hutcheon dalam teorinya mengenai adaptasi, tidak ada karya adaptasi yang dibuat sama persis dengan karya yang menjadi rujukan adaptasinya. Penelitian ini menggunakan metode Feminist Reading dan kualitatif deskriptif. Dari hasil penelitian, ditemukan dua perbedaan besar antara cerita rakyat dan film. Poin pertama adalah relasi tokoh kakek dan kaisar yang menggambarkan relasi kuasa patriarki terhadap tokoh Kaguya Hime. Relasi kuasa pada cerita rakyat digambarkan dengan baik-baik saja, sementara di dalam film, relasi kuasa digambarkan sebagai antagonis terhadap tokoh utama. Poin kedua adalah penggambaran tokoh Kaguya Hime di dalam cerita. Tokoh Kaguya Hime diceritakan dengan berafiliasi pada kecantikan penampilannya dalam versi cerita rakyat, sementara di dalam film, ia diafiliasikan dengan kebebasan dalam berekspresi. Kedua perbedaan tersebut mengerucut ke dalam sebuah gagasan bahwa dalam cerita rakyat, sistem patriarki seolah terlihat baik-baik saja sementara di dalam film, sistem patriarki adalah sesuatu yang bermasalah. Berangkat dari gagasan ini, apabila karya adaptasi dikaitkan dengan keadaan sosial masyarakat Jepang pada saat film ini diproduksi, yaitu tahun 2010an, film ini dapat diinterpretasikan sebagai sebuah refleksi keadaan masyarakat patriarki di Jepang yang didominasi oleh laki-laki dan mendiskriminasi perempuan dalam berbagai institusi.

ABSTRACT
This research is meant to seek for infidelity of Kaguya Hime no Monogatari film adaptation owards the folktale of Taketori Monogatari. As Linda Hutcheon explained in her theory of adaptation, that there is no adaptation work that is made exactly as the reference work. This research uses feminist reading approach with qualitative descriptive method. The difference lies in two big points, first, the relationship between the figure of grandfather and emperor who describes the patriarchal power relation to the character of Kaguya Hime. This patriarchal power are shown as something proper and common in the folktale version, meanwhile, in the film version, the patriarchal power are shown as the antagonist of the main character. The second point is the portrayal of Kaguya Hime's character in the story. Kaguya Hime in the folktale version is affiliated with beauty and beautiful appearance, meanwhile, in the film version, she is affiliated with freedom and expression. Based on this finding, it can be simplified that, patriarchy in the folktale version is shown as if nothing was wrong, while in the film, it is shown as a problem. Departing from this findings, the film can be interpretedas a reflection of patriarchal hegemony in Japan that dominated by males and discriminates females in many institution."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Wilyan
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas tentang perilaku konsumsi dan produksi anime otaku dalam novel ringan Saenai Heroine no Sodatekata yang berbeda dari perilaku produksi dan konsumsi sebagaimana dipahami oleh masyarakat pada umumnya. Menggunakan teori narration-driven consumption oleh Eiji Otsuka dan database-driven consumption oleh Azuma Hiroki, penulis mengkaji novel ringan ini dengan metode deskriptif analisis, membandingkan bagaimana perilaku anime otaku ditampilkan dalam novel ini dengan anime otaku dalam dunia nyata dan bagaimana perilaku mereka berbeda dari masyarakat pada umumnya.

ABSTRACT
This thesis explains about consumption and production behaviour of anime otaku in light novel series Saenai Heroine no Sodatekata. The writer analyses the consumption and production behaviour of Japanese geek and its differences from normal form of consumption and production. Utilising narration driven consumption theory by Eiji Otsuka and database driven consumption theory by Azuma Hiroki, the writer applies these theories to the light novel and compared it with real life anime otaku behaviour, furthermore shows the differences of consumption behaviour between casual people compared with anime otaku. "
2017
S68115
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nanda Sopiyan
"Film Ne Zha (2019) merupakah salah satu film animasi dari Cina yang mengisahkan mengenai seorang anak laki-laki bernama Ne Zha yang terlahir sebagai seorang iblis karena mutiara iblis. Akibat mutiara iblis berdampak pada kehidupan Ne Zha yang memiliki karakter anti-hero namun berakhir menjadi hero. Objek yang diteliti pada penelitian berfokus pada karakter hero dan karakter anti-hero pada tokoh utama Ne Zha pada film tersebut. Karakter hero dan anti-hero tercipta karena adanya beberapa aspek yang mempengaruhinya. Penelitian ini dilakukan dengan cara metode kualitatif dan studi dokumen serta mengumpulkan data melalui online browsing. Artikel ini menyimpulkan bahwa karakter hero dan anti-hero pada tokoh Nezha menghasilkan keunikan, menggambarkan karakteristik budaya Cina yang cenderung mencari keseimbangan antara kekuatan positif dan negatif dalam mencapai sebuah kondisi ideal.

Ne Zha Movie (2019) is one of the animated films from China that tells the story of a boy named Ne Zha who was born as a demon because of the demon pearl. The result of the demon's pearl has an impact on Ne Zha's life who has an anti-hero character but ends up becoming a hero. The object studied in the research afocuses on the hero character and anti-hero aspects of the main character Ne Zha in the movie. Hero and anti-hero characters are created because of several aspects that influence them. This research was conducted by qualitative methods and document studies and collecting data through online browsing. This research concludes that Nezha's hero and anti-hero characters produce uniqueness, reflecting the characteristics of Chinese culture which tend to seek a balance between positive and negative forces in achieving an ideal condition."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Rangga Ferizky Fadli
"Dalam dunia perfilman saat ini dikenal istilah sulih suara atau dubbing, sebuah istilah yang merujuk pada kegiatan mengubah audio percakapan dalam sebuah film menjadi bahasa lain sehingga bahasa film tersebut dapat dimengerti oleh masyarakat luas. Analisis dilakukan pada sebuah film animasi karya Hayao Miyazaki yang berjudul Spirited Away. Bahasa yang digunakan dalam film ini adalah bahasa Jepang, namun setelah ditayangkan di Netflix, memiliki beberapa opsi pilihan sulih suara dalam bahasa lain, salah satunya yaitu bahasa Arab. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana tindak tutur ekspresif berbahasa Arab digunakan dalam film Spirited Away yang telah disulih suara berbahasa Arab. Dalam proses analisis data, data dianalisis berdasarkan teori tindak tutur ekspresif yang dikemukakan oleh Searle (1976), dan Guiraud, et al. (2011) serta teori tindak tutur ekspresif milik Austin (1962). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif deskrpitif dengan pendekatan pragmatik. Setelah dilakukan analisis, ditemukan tindak tutur ekspresif sebanyak 53 data dalam film Spirited Away. Tuturan tersebut terdiri atas: (1) Thanking (terima kasih) sebanyak 15 data; (2) Disapproving (ketidaksetujuan) sebanyak 8 data; (3) Praising (memuji) sebanyak 5 data; (4) Accusing (menuduh) sebanyak 5 data; (5) Welcoming (ungkapan menyambut atau selamat datang) sebanyak 5 data; (6) Approving (menyetujui) sebanyak 3 data; (7) Sadness (kesedihan) sebanyak 3 data; (8) Protesting (memprotes) sebanyak 3 data; (9) Guilt (rasa bersalah) sebanyak 2 data; (10) blaming (menyalahkan) sebanyak 2 data; (11) Apologizing (meminta maaf) sebanyak 2 data. Hasil analisis menunjukkan bahwa sulih suara bahasa Arab dalam film ini memadukan dua budaya, yaitu Jepang dan Arab, dalam aspek keramahtamahan dan kesopanan dalam interaksi sosial.

In the world of filmmaking today, the term dubbing is well known. It refers to the activity of changing the audio conversations in a film into another language so that the film's language can be understood by a wider audience. An analysis is conducted on an animated film by Hayao Miyazaki titled "Spirited Away." The language used in this film is Japanese, but after being broadcasted on Netflix, it offers several dubbing options in other languages, including Arabic. The aim of this research is to analyze how expressive speech acts in the Arabic language are used in the film "Spirited Away" after being dubbed in Arabic.During the process of data analysis, the data is analyzed based on the theory of expressive speech acts proposed by Searle (1976) and Guiraud, et al. (2011), as well as Austin's (1962) theory of expressive speech acts. The method used in this research is qualitative-descriptive research with a pragmatic approach. After the analysis, a total of 53 instances of expressive speech acts were found in the film "Spirited Away." These expressions consist of: (1) Thanking with 15 instances; (2) Disapproving with 8 instances; (3) Praising with 5 instances; (4) Accusing with 5 instances; (5) Welcoming with 5 instances; (6) Approving with 3 instances; (7) Sadness with 3 instances; (8) Protesting with 3 instances; (9) Guilt with 2 instances; (10) Blaming with 2 instances; (11) Apologizing with 2 instances. The analysis results indicate that the Arabic dubbing in this film combines two cultures, Japanese and Arab, in terms of hospitality and politeness in social interactions."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>