Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 199969 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Raden Gitawati Purwana
"Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 telah memperluas Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya. Namun, mengenai maksud perjanjian lainnya tidak dijelaskan lebih lanjut dalam putusan ini. Permasalahan timbul karena tidak adanya batasan yang jelas terkait isi yang dapat dituangkan ke dalam perjanjian perkawinan dan adanya kekeliruan menafsirkan perjanjian perkawinan yang menyebabkan esensi perkawinan itu hilang. Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya memberikan batasan bahwa perjanjian perkawinan tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan, serta tidak boleh merugikan pihak ketiga. Skripsi ini membahas mengenai batasan dan praktik pembuatan perjanjian perkawinan di hadapan Notaris yang mengatur selain harta benda perkawinan. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif dengan memfokuskan penelitian berdasarkan norma-norma hukum yang ada dan didukung wawancara dengan Notaris untuk mengetahui praktiknya. Hasil penelitan menunjukkan bahwa perjanjian perkawinan dapat mengatur selain harta benda perkawinan sebagai klausul tambahan, asalkan sesuai dengan hukum positif Indonesia, prinsip-prinsip agama, dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Selain itu, pihak ketiga harus dilindungi dengan mendaftarkan dan mengumumkan perjanjian perkawinan. Akan tetapi, ada juga Notaris yang berpendapat bahwa perjanjian perkawian yang mengatur selain harta benda perkawinan bertentangan dengan Pasal 1337 KUHPerdata. Oleh karena itu, diperlukan suatu peraturan yang lebih jelas mengenai batasan isi perjanjian perkawinan yang tidak melanggar hukum, agama, kesusilaan, serta tidak merugikan pihak ketiga untuk menyatukan pemahaman dalam praktiknya. Sementara itu, Notaris dapat mempergunakan subjektivitasnya berdasarkan pengetahuan dan pengalaman dalam membuat perjanjian perkawinan yang mengatur selain harta benda perkawinan.

The issuance of the Constitutional Court Decision Number 69/PUU-XIII/2015 has expanded Article 29 of Law Number 1 of 1974 on Marriage that the nuptial agreement can arrange marital property or other agreements. However, regarding the other agreement do not go further in this ruling. Problems arise because there are no clear boundaries regarding the contents that can be arranged into the nuptial agreement and there is a mistake in interpreting the nuptial agreement which causes the essence of marriage to be lost. Article 29 of Law Number 1 of 1974 on Marriage only provides a limitation that a nuptial agreement may not conflict with law, religion and morals, and may not harm third parties. This thesis discusses the limitations and practices of making nuptial agreements attested by a notary who regulating other than those marital property. The method used is juridical normative with a focus on research based on existing legal norms and supported by interviews with notaries to see the practice. The research results show that the nuptial agreement can include other than marital property as an additional clause, as long as it is in accordance with Indonesian positive law, religious principles and norms that apply in society. In addition, third parties must be protected by registering and announcing a nuptial agreement. However, there are also notaries who believe that a nuptial agreement that regulate other than marital property is contrary to Article 1337 of the Civil Code. Therefore, a clearer regulation regarding the content of the nuptial agreement is needed that does not violate legal, religious, moral boundaries and does not harm third parties to unify understanding in practice. Meanwhile, notaries can use their subjectivity based on their knowledge and experience in making nuptial agreements that regulate other than marital property."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Gitawati Purwana
"Semestinya perjanjian perkawinan memuat harta benda perkawinan saja. Namun, dalam kasus Putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta No. 62/PDT/2022/PT DKI, perjanjian perkawinan yang dibuat oleh para pihak mengatur mengenai akibat hukum putusnya perkawinan karena perceraian. Sementara itu, di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 69/PUU-XIII/2015 terdapat frasa “disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan atau Notaris” dan frasa “harta perkawinan atau perjanjian lainnya” yang selanjutnya menimbulkan ketidakpastian. Untuk itu, penelitian ini mengangkat permasalahan terkait keabsahan perjanjian perkawinan yang tidak disahkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) dan akibat hukum pembuatan perjanjian perkawinan yang mengatur akibat putusnya perkawinan karena perceraian dalam Putusan a quo dari PT DKI Jakarta dengan mempertimbangkan kedua frasa dalam Putusan a quo dari MK. Penelitian ini berbentuk yuridis-normatif. Data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum dikumpulkan melalui studi dokumen yang dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis dapat dijelaskan bahwa perjanjian perkawinan hanya sah terhadap para pihak yang membuatnya saja, tetapi tidak berlaku terhadap pihak ketiga apabila belum dicatatkan di Disdukcapil. Hal ini karena yang dapat mencatatkan perjanjian perkawinan hanyalah Disdukcapil sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 dan Surat Edaran Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri No. 472.2/5876/DUKCAPIL. Sedangkan Notaris hanya mengakomodir keinginan para pihak ke dalam Akta Perjanjian Perkawinan. Adapun akibat hukum pembuatan perjanjian perkawinan yang mengatur akibat putusnya perkawinan karena perceraian tidak dapat berlaku secara langsung karena tidak sesuai dengan esensi tujuan perkawinan dan harus diputuskan melalui pengadilan. Begitu pula klausul yang dimuat dalam perjanjian perkawinan yakni hanya mengatur harta perkawinan. Adapun sebab dan akibat hukum putusnya perkawinan karena perceraian telah diatur secara limitatif dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

The postnuptial agreement should only contain marital assets. However, in the case of DKI Jakarta High Court (HC) Verdict No. 62/PDT/2022/PT DKI, the postnuptial agreement made by the parties regulate the legal consequences of breaking up a marriage due to divorce. Meanwhile, in the Verdict of the Constitutional Court (CC) No. 69/PUU-XIII/2015 there is the phrase "ratified by a Marriage Registrar or Notary" and the phrase "marital asset or other agreement." For this reason, this study raises issues related to the validity of postnuptial agreements that were not ratified by the Population and Civil Registry Service (Disdukcapil) and the legal consequences of making a postnuptial agreement that regulates the consequences of marriage breakup due to divorce in the a quo verdict from HC DKI Jakarta by considering the two phrases in the a quo verdict from CC. This research is in the form of juridical-normative. Secondary data in the form of legal materials were collected through document studies which were analyzed qualitatively. From the analysis results, it can be explained that the postnuptial agreement is only valid for the parties who made it, but does not apply to third parties if it has not been registered at Disdukcapil. This is because only Disdukcapil can register postnuptial agreements as referred to in the Presidential Regulation No. 96 of 2018 and Circular Letter of the Directorate General of Population and Civil Registration of the Ministry of Home Affairs No. 472.2/5876/DUKCAPIL.  Meanwhile, the Notary only accommodates the parties' desires in the Deed of Postnuptial Agreement. As for the legal consequences of making a postnuptial agreement that regulates the consequences of breaking up a marriage due to divorce, it cannot apply directly because it is not in accordance with the essence of the purpose of marriage and must be decided through a court. Likewise, the clause contained in the postnuptial agreement only regulates marital assets. As for the legal causes and consequences of breaking up a marriage due to divorce, it has been regulated in a limited manner in Law No. 1 of 1974 concerning Marriage."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Haura Irawan
"Pembuatan suatu perjanjian harus memenuhi syarat sah perjanjian sesuai Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Akibat hukum tidak dipenuhinya syarat sah perjanjian dapat membuat perjanjian tersebut menjadi batal, baik karena batal demi hukum maupun dapat dibatalkan. Penelitian ini mengadaptasi salah satu kasus di Kabupaten Magelang mengenai pembuatan perjanjian sewa menyewa di hadapan notaris dengan objek sewa menyewa harta warisan yang beluzm dibagi. Tidak dipungkiri bahwa dalam pembuatan perjanjian tidak dipenuhi syarat sah perjanjian, meskipun sudah dibuat di hadapan notaris. Permasalahan dalam penelitian ini mengenai akibat hukum adanya cacat kehendak dalam perjanjian sewa menyewa dan terdapat pihak selaku ahli waris yang tidak diikutsertakan dalam perjanjian serta tindakan preventif yang biasanya dilakukan oleh notaris dalam menghadapi permasalahan tersebut. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian doktrinal dengan menggunakan data primer berupa wawancara dan data sekunder berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Hasil analisis dalam penelitian ini adalah adanya cacat kehendak melanggar syarat subjektif perjanjian dan ahli waris yang tidak diikutsertakan dalam perjanjian melanggar syarat objektif perjanjian. Akibat hukum terhadap perjanjian sewa menyewa adalah batal demi hukum. Notaris dapat menentukan sendiri tindakan preventif yang ingin dilakukan meskipun tidak diatur dalam Kode Etik Notaris, sepanjang tindakan tersebut tidak melanggar aturan yang berlaku dan memudahkan notaris.

The making of an agreement must meet the legal requirements for an agreement in accordance with Article 1320 of the Civil Code. The legal consequences of not fulfilling the legal conditions of an agreement can make the agreement void, either because it is null and void or can be cancelled. This research adapts a case in Magelang Regency regarding the making of a rental agreement before a notary with the object of leasing inherited assets that have not been divided. It cannot be denied that when making an agreement the legal requirements for the agreement are not fulfilled, even though it has been made before a notary. The problem in this research concerns the legal consequences of a defective will in the rental agreement and there are parties as heirs who are not included in the agreement as well as preventive measures that are usually taken by notaries in dealing with these problems. The research method used in this research is doctrinal research using primary data in the form of interviews and secondary data in the form of primary legal materials and secondary legal materials. The results of the analysis in this research are that there is a defect in the will that violates the subjective terms of the agreement and heirs who are not included in the agreement violate the objective terms of the agreement. The legal consequences of the rental agreement are null and void. Notaries can determine for themselves what preventive actions they want to take, even if they are not regulated in the Notary's Code of Ethics, as long as these actions do not violate applicable rules and make things easier for the notary."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galuh Purborini
"Tesis ini membahas mengenai pengaturan pembuatan perjanjian perkawinan yang berisi hal-hal lain yang diperjanjikan selain harta kekayaan yang dengan mengkaitkannya terhadap pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan implementasinya oleh Notaris. Permasalahan dalam penulisan ini ialah seperti apa batasan isi perjanjian perkawinan yang tidak hanya memuat tentang harta kekayaan saja dan praktek pembuatan akta perjanjian perkawinan oleh Notaris. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriptif analitis dan dianalisa dengan metode kualitatif. Batasan perjanjian perkawinan menurut pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah tidak melanggar hukum, agama dan kesusilaan. Hasil penelitian ini bahwa perjanjian perkawinan harus tidak melanggar hukum positif yang ada di Indonesia, memenuhi prinsip religious married dan civil married sesuai dengan norma-norma yang ada didalam masyarakat. Selain itu, praktek pembuatan perjanjian perkawinan yang menambahkan klausul selain harta kekayaan oleh Notaris dapat dilakukan oleh Notaris sepanjang dalam praktek pembuatan perjanjian perkawinan tetap memuat pokok utama tentang harta kekayaan (harta benda). Notaris memiliki subjektivitasnya masing-masing dalam membuat perjanjian perkawinan, hal ini didasarkan atas pengetahuan, pengalaman, latar belakang dan perspektif notaris masing-masing.

This thesis discusses the arrangements for making a marriage agreement that contains other matters that are agreed to besides the assets that relate to article 29 paragraph 2 of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage and its implementation by Public Notary. The problem in this paper is what is the limitation of the contents of the marriage agreement that does not only contain assets and the practice of making a marriage agreement by a notary. This research is a normative juridical research with descriptive analytical research type and analyzed with qualitative methods. Limitation of marriage agreements according to article 29 paragraph 2 of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage is not against the law, religion and morality. The results of this study that marriage agreements must be relate with the positive laws that exist in Indonesia, also relate with the principles of religious married and civil married in accordance with existing norms in society. In addition, the practice of making marriage agreements that add clauses other than assets by a notary can be carried out by a notary as long as in practice the marriage agreement is still made to contain the main points of assets (property). Notary public has their own subjectivity in making marriage agreements, this is based on their notary knowledge, experience, background and perspective.
"
2019
T54771
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Muhammad Aryadi
"Perkawinan lahir dari kesepakatan untuk terikat dalam suatu perjanjian suci antara calon suami-istri yang terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita dan akan menimbulkan ikatan lahir batin, sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga  yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Antara suami-istri memiliki hubungan hukum yang terjadi, tidak hanya mengatur mengenai hak dan kewajiban suami-istri, tetapi juga mengatur mengenai hubungan hukum antara orang tua dan anak, hibah, pewarisan, perceraian dan juga perjanjian kawin yang mengatur mengenai harta benda dalam perkawinan. Perjanjian kawin merupakan suatu bentuk penyimpangan terhadap perundangan yang berlaku dan pada umumnya dimaksudkan untuk mengatur hak-hak suami istri serta mengenai harta kekayaan suami dan istri, baik terhadap harta yang dibawa sebelum perkawinan maupun harta yang diperoleh selama perkawinan, lazimnya perjanjian perkawinan mengatur mengenai pemisahan harta, menjadi pertanyaan ketika adanya ambiguitas mengenai suatu ketentuan mengenai pembagian harta di dalamnya. Penelitian ini mengkaji mengenai hal apa yang dapat atau tidak dapat dibuat dalam pembuatan perjanjian perkawinan. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Dalam kaitannya dengan penelitian yuridis normatif, di sini digunakan tipologi penelitian berdasarkan sifatnya yaitu penelitian deskriptif, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data sekunder dengan menggunakan analisis kualitatif. Hasil penelitian diharapkan mampu meningkatkan pemahaman mengenai unsur-unsur yang terdapat di dalam perjanjian perkawinan dan juga mengenai isi yang dapat dibuat di dalamnya menurut ketentuan perundang-undangan yang ada.

Marriage is born from an agreement to be bound in a sacred agreement between a prospective husband and wife that occurs between a man and a woman and will lead to an inner and outer bond, as a husband and wife with the aim of forming a happy and eternal family based on the One Godhead. Between husband and wife has a legal relationship that occurs, not only regulates the rights and obligations of husband and wife, but also regulates the legal relationship between parents and children, grants, inheritance, divorce and also  marriage agreements governing property in marriage. Marriage agreements are a form of deviation from applicable legislation and are generally intended to regulate the rights of husband and wife as well as regarding the property of husband and wife, both the assets brought before marriage and the assets acquired during marriage, the marriage agreement usually regulates the separation of assets , becomes a question when there is an ambiguity regarding a provision regarding the distribution of assets in it. This study examines what can or cannot be made in making marriage agreements. The author uses a normative juridical research method. In relation to normative juridical research, here used a research typology based on its nature, namely descriptive research, this study aims to obtain secondary data using qualitative analysis. The results of the study are expected to be able to increase understanding of the elements contained in the marriage agreement and also about the content that can be made in it according to the existing statutory provisions."
Depok: Universitas Indonesia, 2019
T51808
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochilla Shakina
"ABSTRAK
Perjanjian kawin merupakan perjanjian yang dilakukan oleh calon suami dan calon isteri sebelum melangsungkan perkawinan.Substansi dari perjanjian perkawinan salah satunya dapat berupapengaturan harta perkawinan.Perjanjian perkawinan dibuat secara tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Pernikahan. Permasalahan yang dibahas yaitu bagaimana ketentuan mengenai perjanjian perkawinan menurut peraturan perundang-undangan serta bagaimana penyelesaian sengketa harta benda perkawinan yang memakai nama bersama yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1358K/Pdt/2012 . Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriftif analitis. Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam ketentuan perundang-undangan tidak diatur secara rinci tentang definisi dan isi mengenai perjanjian kawin. Ketentuan perundang-undangan yang berisi tentang perjanjian kawin terdapat dalam Pasal 139 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam sengketa harta perkawinan yang memakai nama bersama yang berkaitan dengan perjanjian kawin tersebut Majelis Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia menyatakan bahwa Saudari Budiati sebagai pihak yang berhak atas harta benda objek sengketa karena Saudari Budiati dapat menunjukkan bahwa seluruh harta benda objek sengketa adalah hasil pembeliannya. Namun seharusnya Saudara Ruddy Tri Santoso juga berhak atas seluruh harta benda objek sengketa karena nama Saudara Ruddy Tri Santoso tercantum di dalam bukti kepemilikan seluruh harta benda objek sengketa. Kata Kunci : perjanjian kawin, harta perkawinan, nama bersama.

ABSTRACT
Prenuptial agreement is an agreement made by a prospective husband and a future wife before marriage. The substance of the prenuptial agreement may be the arrangement of marriage property. The prenuptial agreement is made in writing and authorized by the Registrar. The issues discussed are how the provisions concerning prenuptial agreement under the laws and regulations on how to settle dispute on joint matrimony that use share name in connection with a prenuptial agreement analysis of Supreme Court Decision Number 1358K Pdt 2012 . This research is a normative juridical research with analytical descriptive research type. Based on the results of the study can be concluded that in the provisions of legislation is not regulated in detail about the definition and contents of the prenuptial agreement. The provisions of legislation containing the marriage agreement are contained in Article 139 of the Civil Code and Article 29 of Act Number 1 1974 regarding Marriage. In a dispute on joint matrimony that use share name in connection with a prenuptial agreement the Supreme Court of Justice of the Republic of Indonesia declares that Budiati as the party entitled to the property of the disputed object because Budiati can show that all property of the disputed object is the result of her purchase. However, Ruddy Tri Santoso should also be entitled to the entire property of the disputed object because the name of Ruddy Tri Santoso is contained in the proof of ownership of all objects of disputed property. Keywords Prenuptial agreement, joint matrimony, share name. "
2018
T49699
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bella Fabiola
"Pembuatan Perjanjian Perkawinan Sepanjang Perkawinan (Postnuptial Agreement) yang isinya mengatur mengenai pembagian dan pemisahan atas harta campur bulat yang telah ada, selain harus dibuat dengan diikuti pencatatan pada Instansi yang berwenang, Postnuptial Agreement tersebut pun harus mendapatkan pengesahan melalui Penetapan Pengadilan. Hal ini dilakukan agar tidak menimbulkan batalnya Postnuptial Agreement tersebut serta memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada pihak ketiga. Perubahan isi Pasal 29 UU Perkawinan, menyebabkan banyak dibuatnya Postnuptial Agreement. Pada praktiknya, ditemukan adanya Postnuptial Agreement bermasalah, dikarenakan isinya mengatur mengenai pembagian dan pemisahan harta campur bulat yang telah ada, dan Postnuptial Agreement tersebut hanya dilakukan pencatatan kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil tanpa diikuti dengan Penetapan Pengadilan. Salah satu Postnuptial Agreement yang bermasalah yaitu, akta Perjanjian Perkawinan Nomor 00 yang dibuat di hadapan IM Notaris di KB.
Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini adalah mengenai (1) keabsahan Postnuptial Agreement yang telah dicatatkan tanpa diikuti dengan Penetapan Pengadilan yang isinya mengatur mengenai pembagian dan pemisahan harta campur bulat dan (2) keabsahan transaksi jual beli tanpa persetujuan pasangan pihak penjual dan perlindungan terhadap kepentingan pihak ketiga selaku kreditur yang menerima jaminan harta campur bulat dikarenakan adanya pembagian dan pemisahan harta campur bulat pada Postnuptial Agreement yang telah dicatatkan tanpa diikuti dengan Penetapan Pengadilan. Untuk menjawab permasalahan tersebut, pada penelitian ini telah digunakan metode penelitian yuridis-normatif dengan tipologi penelitian preskriptif. Data yang digunakan ialah data sekunder serta wawancara sebagai data pendukung, dengan metode analisis data kualitatif.
Hasil analisis, (1) keabsahan Postnuptial Agreement yang telah dicatatkan tanpa diikuti dengan Penetapan Pengadilan yang isinya mengatur mengenai pembagian dan pemisahan harta campur bulat adalah tidak sah atau batal demi hukum jika yang dilakukan yaitu, pembagian dan pemisahan terhadap harta yang telah ada. Agar Postnuptial Agreement ini dapat sah dan mengikat, maka harus dilakukan permohonan pengesahan pada Pengadilan Negeri. (2) Keabsahan transaksi jual beli yang dilakukan tanpa adanya persetujuan pasangan pihak penjual dikarenakan adanya pembagian dan pemisahan harta campur bulat yang telah ada pada Postnuptial Agreement yang telah dicatatkan tanpa diikuti dengan penetapan pengadilan adalah tidak sah atau batal demi hukum, akan tetapi pembeli beriktikad baik dilindungi. Adapun kepentingan pihak ketiga selaku kreditur yang menerima jaminan harta campur bulat dikarenakan adanya pembagian dan pemisahan harta campur bulat yang telah ada pada Postnuptial Agreement telah dilindungi oleh hukum baik dalam bentuk perlindungan hukum preventif maupun represif.

The drawing up of a Postnuptial Agreement setting out terms regarding the distribution and separation of existing community property, other than having to be registered to the regulatory authorities, such Postnuptial Agreement must acquire validation through a Court Order. This is done so as not to cause the voiding of the Postnuptial Agreement and to provide legal certainty to third parties. The existence of Article 29 of Marriage Law, has caused the creation of many Postnuptial Agreements. In practice, the existence of Postnuptial Agreements is problematic, as the contents set out terms regarding the distribution and separation of existing community property, and towards such Postnuptial Agreement a simple registration is done to the Department of Population and Civil Registration without being followed by a Court Order. An example of a problematic Postnuptial Agreement is Deed of Marriage Agreement Number 00 made before IM, Notary in KB.
The problem raised within this research is on (1) the validity of a Postnuptial Agreement containing terms on the distribution and separation of existing community property that is registered without being followed by a Court Order and (2) the validity of a sale purchase transaction without the spousal consent of the seller and the protection towards third party interests as a creditor receiving collateral in the form of community property due to the distribution and separation of community property within the Postnuptial Agreement that has been registered but is not followed by a Court Order. To address such problem, this research uses a judicial-normative method through prescriptive research typology. The data used is secondary data with interviews as supporting data, with a qualitative data analysis method.
The result of such analysis is that, (1) the validity of the Postnuptial Agreement that has been registered but is not followed by a Court Order that sets out terms related to the distribution and separation of joint marital property is that it is not valid or should be null and void if what is set out is the distribution and separation of existing community property. In order for the Postnuptial Agreement to be valid and binding, an application for the validation by a District Court. (2) the Validity of the sale purchase transaction conducted without the spousal consent of the seller due to the existence of distribution and separation of existing community property within a Postnuptial Agreement that has been registered but is not followed by a court order is invalid or null and void, however a buyer in good faith is protected. Third party interests as a creditor receiving collateral in the form of community property due to the existence of separation and division of existing joint marital property within a Postnuptial Agreement is also protected by law, whether through preventive or repressive legal protection.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prilly Wiashari
"Sejak keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 terjadi perubahan terhadap ketentuan mengenai perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan yang semula hanya dapat dibuat sebelum atau pada waktu perkawinan berlangsung, kini selama perkawinan pasangan suami istri dapat membuat perjanjian perkawinan. Hal ini pasti akan berpengaruh terhadap keadaan harta benda perkawinan, karena pada umumnya perjanjian perkawinan dibuat untuk menyimpangi bentuk dasar harta perkawinan yang bercampur. Bukan hanya tentang harta benda perkawinan yang terpengaruh namun juga terhadap pihak ketiga. Dalam Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan yang telah diubah maupun belum sepakat bahwa perjanjian perkawinan dapat berlaku pula bagi pihak ketiga tersangkut. Maka perjanjian perkawinan yang dibuat selama perkawinan, khususnya yang mengatur tentang harta benda perkawinan suami istri akan berakibat hukum pada pihak ketiga. Pengaruh yang ditimbulkan dapat berupa kerugian bagi pihak ketiga, namun hingga sekarang tidak ada batas yang jelas untuk menentukan kerugian bagi pihak ketiga tersebut. Maka dari itu dalam skripsi ini penulis akan membahas akibat hukum yang timbul dari dibuatnya perjanjian perkawinan selama perkawinan terhadap harta benda perkawinan dan pihak ketiga. Metode yang digunakan untuk meneliti permasalahan tersebut adalah yuridis normatif. Beberapa hal yang dapat disimpulkan adalah pembuatan perjanjanjian selama perkawinan ini akan menimbulkan akibat terhadap harta pribadi maupun harta bersama tergantung bentuk perjanjian yang digunakan. Untuk pihak ketiga akibat hukum yang timbul setelah pencatatan perjanjian dilakukan. Batas kerugian dapat dilihat apakah dengan perjanjian tersebut jaminan pihak ketiga berkurang atau tidak, namun tetap harus dibuktikan melalui Pengadilan. Dengan demikian pemerintah perlu segera memperbaruhi peraturan yang ada dan mengeluarkan pengaturan teknis terkait perjanjian perkawinan.

Since the issuance of Constitutional Court Decision Number 69 PUU XIII 2015 there has been changes on the provisions of nuptial agreement. The original nuptial agreemet can only be made before or at the time of marriage, now during the marriage a couple may enter into a nuptial agreement. This will affect the stage of marital property, since a nuptial agreement usually made to derogate the basic stage of marital property which is community property. Not only about the marital property that can be affected but also third parties rsquo interest. Article 29 Law Number 1 1974, both the origin and the change agreed that the nuptial agreement may invoke the third parties are involved. Thus, nuptial agreement made during marriage, especially those which regulate about marital property will arise legal consequences to third parties. The impact can be a loss to third parties, but until now there is no clear limit to determine the loss. Therefore this thesis will discuss the legal consequences arising from the making of marital property agreement during marriage to the marital property and third parties. The method used to examined the problem is juridical normative. Based on the research the author can concluded that nuptial agreement made during marriage can both affected to private property and community property depending on what kind of nuptial agreement applied. There must be a registration of the nuptial agreement to make the third parties invoked. The limit of losses can be seen wheter the third parties rsquo bail of payments are reduced or not. But it must be proven through the Court. Thus the government needs to revise the existing regulation and issue a technical regulation over nuptial agreement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69670
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michael Chen
"Perkawinan campuran antara WNI dan WNA bukan merupakan suatu hal baru yang terjadi di Indonesia. Pada tahun 2015, terdapat 1.200 perkawinan campuran yang diyakini dapat meningkat seiring waktu dengan kemudahan komunikasi serta mobilitas sosial. Perkawinan campuran pada dasarnya tunduk pada dua atau lebih hukum karena adanya perbedaan kewarganegaraan diantara pasangan. Keberlakuan hukum ini tidak hanya meliputi perkawinan tetapi juga harta benda perkawinan. Bila suatu perkawinan dinyatakan putus karena perceraian maka timbul persoalan berapa besaran harta yang diperoleh masing-masing pihak dan atas dasar apa pembagian tersebut dilangsungkan. Keberlakuan dari dua atau lebih hukum membuat Majelis Hakim di Indonesia memiliki kebijaksanaan tersendiri guna memilah dan menentukan besaran harta yang diperoleh oleh setiap pihak. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menentukan bagaimana Majelis Hakim di Indonesia menentukan hukum yang berlaku terhadap pembagian harta benda perkawinan dari perceraian perkawinan campuran. Penulisan ini membandingkan keberlakuan hukum Indonesia maupun negara lain dalam pengaturan terhadap perkawinan hingga pembagian harta benda perkawinan itu sendiri. Lebih lanjut, penulisan ini juga bermaksud untuk menganalisa penerapan dari kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional pada tiga studi kasus pembagian harta benda perkawinan dalam perceraian perkawinan campuran di Indonesia. Penulisan ini dikemas menggunakan penelitian yang bermetode yuridis normatif terhadap beberapa peraturan perundang-undangan baik di Indonesia maupun negara lain.

Mixed marriage between Indonesian citizens and foreigners is not a new thing that has happened in Indonesia. In 2015, there were 1,200 mixed marriages which are believed to increase over time with ease of communication and social mobility. Mixed marriages are subject to two or more laws due to differences in nationality between the partners. The enactment of this law does not only cover marriage but also marital property. If a marriage is declared to have been broken up due to divorce, the question arises of how much property each party has acquired and on what basis the division takes place. The enforceability of two or more laws makes the Panel of Judges in Indonesia have its own discretion to sort and determine the amount of assets acquired by each party. The purpose of this paper is to determine how the Panel of Judges in Indonesia determines the law that applies to the distribution of marital assets from mixed marriage divorces. This writing compares the application of Indonesian law and other countries in regulating marriage to the division of the marital property itself. Furthermore, this paper also intends to analyze the application of the principles of Private International Law in three case studies of the division of marital property in the divorce of mixed marriages in Indonesia. This writing is packaged using normative juridical research on several laws and regulations both in Indonesia and other countries."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Khalisah
"ABSTRAK
Salah satu cara mencegah konflik dalam perkawinan adalah membuat perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh suami dan istri untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta perkawinan mereka. Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan memberikan batasan dalam membuat perjanjian tersebut, yakni batasan hukum, agama, dan kesusilaan. Namun tidak ada penjelasan lebih lanjut hukum mana yang menjadi rujukan, begitu pula untuk agama dan kesusilaannya. Skripsi ini merupakan penelitian yang bertujuan mengetahui tiga batasan perjanjian perkawinan tersebut di Indonesia. Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang didukung hasil wawancara dengan narasumber terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perjanjian perkawinan di Indonesia, yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kompilasi Hukum Islam, dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dibatasi oleh hukum hanya tentang harta kekayaan perkawinan saja, dan tidak boleh melanggar ajaran agama dan kesusilaan di daerah masing-masing.

ABSTRACT
One of the ways to prevent conflict in a marriage is to make a marriage agreement. A marriage agreement is an agreement made by a husband and wife to regulate the effect of marriage on their marital property. Article 29 of the Marriage Law provides restrictions on making the agreement, namely legal, religious and moral boundaries. However, there is no further explanation of which law is the reference, as well as for religion and morality. This thesis is a research which aims to find out the three limits of the marriage agreement in Indonesia. The method used in this thesis is juridical normative by examining library materials or secondary data which is supported by interviews with related sources. The results showed that the marriage agreement in Indonesia, which is regulated in the Civil Code, Islamic Law Compilation, and Law No. 1 of 1974 concerning Marriage, is limited by law to only marital assets, and may not violate religious and moral teachings in their respective regions. "
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>