Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 238075 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Raya Adhani
"Syarat sahnya suatu perjanjian yang berlaku di Indonesia diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sehingga, segala perjanjian yang dibuat di antara para pihak baru dinyatakan sah apabila telah memenuhi semua syarat yang tertera dalam Pasal tersebut. Namun demikian, dapat diketahui bahwa terdapat banyak jenis-jenis perjanjian yang terdapat dalam praktiknya, Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, diatur mengenai perjanjian yang dilarang yaitu salah satunya perjanjian penetapan harga. Di Indonesia, Komisi Pengawas Persaingan Usaha seringkali menjatuhkan sanksi kepada pelaku usaha yang diduga telah melakukan perjanjian penetapan harga. Dalam hal ini, perjanjian penetapan harga dibuktikan berdasarkan sebuah konsep yaitu concerted action atau yang dikenal sebagai tindakan yang dilakukan secara bersama oleh para pelaku usaha. Namun demikian, Undang-Undang tidak mengatur secara jelas apa yang dimaksud dengan concerted action itu sendiri, sehingga menimbulkan kerancuan dalam praktiknya. Penulisan skripsi ini mencoba untuk melakukan analisa tentang concerted action, apakah concerted action dapat dikatakan sebagai perjanjian yang sah berdasarkan hukum Indonesia? Tidak hanya di Indonesia, concerted action juga diatur dan digunakan di Uni Eropa berdasarkan Treaty on The Functioning of The European Union dan Amerika Serikat berdasarkan Sherman Act. Sehingga, dalam penulisan ini juga akan dilakukan perbandingan dasar hukum serta penerapan concerted action dalam beberapa studi putusan antara Indonesia, Uni Eropa, dan Amerika Serikat.

The validity of agreement that applies in Indonesia is regulated in Article 1320 Indonesian Civil Code. Therefore, every agreement made between parties is only valid if it fulfils the requirements based on such Article. However, there are many kinds of agreements that occur in real life. Based on Law Number 5 of 1999 on Prohibition of Monopoly and Unfair Competition, it regulates prohibited agreements one of which is price fixing agreement. In Indonesia, The Business Competition Supervisory Commission often sanctioned business actors who allegedly have conducted price fixing agreement. In this case, price fixing agreement is proofed based on the concept of concerted action or known as actions that are done by business actors in a similar manner. However, Indonesian Law does not specifically regulate or define what concerted action is, this cause ambiguity. This writing will analyze on the concerted action, whether or not concerted action can be classified as valid agreement based on Indonesian Law? Not only in Indonesia, concerted action is also regulated and used in European Union based on Treaty on The Functioning of The European Union and United States of America based on Sherman Act. Therefore, this writing will also compare the legal basis and the implementation of concerted action based on court decision between Indonesia, European Union, and United States of America."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risa Ayuta Naomi
"

Tesis ini membahas mengenai tanggungjawab direksi dalam konteks terjadinya concerted action pada kasus kartel kenaikan harga dan hal-hal apa saja yang harus ditempuh guna menemukan bukti indikasi terjadinya penetapan kenaikan harga dengan mengacu pada Putusan KPPU No. 04/KPPU-I/2016 jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 163/Pdt.G/KPPU/2017/PN. Jkt.Utr. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan data sekunder sebagai sumber datanya, yang diperoleh melalui studi dokumen. Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa: Pertama, concerted action dapat dibuktikan dengan bukti komunikasi secara langsung dengan didukung bukti elektronik sebagai bukti yang sah dalam pengadilan. Kedua, pemeriksaan untuk membuktikan penetapan kenaikan harga melalui concerted action yang dilakukan tidak cukup sebatas dengan pendekatan per se illegal, melainkan membutuhkan pendekatan rule of reason. Ketiga, adapun tindakan concerted action yang dilakukan oleh direksi Yamaha tersebut merupakan perbuatan melawan hukum karena telah tidak mengindahkan fiduciary duty sehingga direksi dapat dikenakan pertanggungjawaban pribadi.

 

Kata kunci : Concerted Action; Rule Of Reason; Tanggung Jawab Direksi


This thesis discuss about the responsibilities of director in the context of the occurrence of a concerted action in case of price fixing and what must be taken to find evidences of an indication of the price fixing with reference to KPPU Decision No. 04 / KPPU-I / 2016 jo. North Jakarta District Court Decision No. 163 / Pdt.G / KPPU / 2017 / PN. Jkt.Utr. This study used normative juridical research methods with secondary data as the source of the data, obtained through document studies. From the results of the research, it can be concluded that: First, concerted action can be proven by evidence of direct communication supported by electronic evidence as a valid evidence in the court. Second, the examination to prove the determination of price fixing through concerted action is not enough to be limited to the per se illegal approach, but requires a rule of reason approach. Third, the concerted action carried out by Yamaha directors is an act against the law because it has not applied fiduciary duty so that directors can be subject to personal liability.

 

Keywords: Concerted Action; Rule Of Reason; Directors Responsibility

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jorgy Yanala Karim
"Tesis ini membahas perbandingan perjanjian waralaba yang berlaku di Indonesia Indonesia, di mana aturannya tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 42 dari 2007 tentang Waralaba, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 57/MDAG/PER/9/2014 tentang Implementasi Waralaba dan terkait lainnya peraturan, dibandingkan dengan hukum waralaba yang berlaku di Amerika Serikat dan Jepang. Masalah ini ditinjau dari perbandingan hukum dengan yuridis normatif metode penelitian dan penulisan deskriptif. Data dalam penelitian ini diperoleh dari studi dokumen sebagai data utama dari penelitian kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia, Amerika Serikat dan Jepang memiliki karakteristik sendiri dan ada persamaan dan perbedaan dalam peraturan hukum tentang waralaba perjanjian. Dalam tesis ini, penulis akan mencari keberlakuan pengaturan mengenai perjanjian waralaba di Indonesia, Amerika Serikat dan Indonesia Jepang dan perbandingannya antara ketiga negara. Ini dilakukan untuk berkembang hukum Indonesia saat ini tentang perjanjian waralaba untuk mengikuti keuntungan dari hukum perjanjian waralaba yang berlaku di Amerika Serikat dan Indonesia Jepang.

This thesis discusses the comparison of franchise agreements that apply in Indonesia Indonesia, where the rules are listed in Government Regulation No. 42 of 2007 concerning Franchising, Regulation of the Minister of Trade No. 57/MDAG/PER/9/2014 concerning Implementation of Franchising and other related regulations, compared to franchising laws in force in the United States and Japan. This problem is seen from the comparison of legal and juridical normative research methods and descriptive writing. The data in this study were obtained from Study documents as the main data from qualitative research.
The results show that Indonesia, the United States and Japan have their own characteristics and there are similarities and differences in the legal regulations regarding franchise agreements. In this thesis, the writer will look for the validity of the regulation regarding franchise agreements in Indonesia, the United States and Indonesia, Japan and the comparison between the three countries. This is done to develop current Indonesian law regarding franchise agreements to follow the benefits of franchise agreement laws in force in the United States and Indonesia Japan.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Janice Fitri Piekarsa
"Di Indonesia, istilah yang bersifat deskriptif tidak dapat didaftarkan sebagai merek yang dilindungi oleh hukum merek di Indonesia. Meskipun demikian, pada kenyataannya banyak merek yang bersifat deskriptif berhasil didaftarkan. Hal ini menimbulkan ketidakselarasan antara hukum tertulis dan prakteknya. Larangan untuk mendaftarkan istilah deskriptif sebagai merek ini memiliki alasannya tersendiri. Istilah deskriptif tidak dapat didaftarkan sebagai merek karena adanya kemungkinan terjadinya persaingan usaha tidak sehat apabila istilah umum yang bersifat deskriptif dimiliki secara eksklusif oleh satu pihak. Sebagai akibat dari banyaknya merek deskriptif yang berhasil didaftarkan di Indonesia, dibutuhkan ketentuan yang dapat mengatur pendaftaran merek deskriptif agar tetap dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Dalam skripsi ini, Penulis akan menganalisa ketentuan di Amerika Serikat dan Uni Eropa yang mengatur terkait merek deskriptif yang dapat didaftarkan karena telah memiliki daya pembeda yang kuat. Analisis ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pengaturan di Indonesia.

In Indonesia, descriptive terms cannot be registered as a trademark protected by Indonesian trademark law. However, in reality, many descriptive terms have been successfully registered as a trademark. This creates a discrepancy between written law and its practice. This prohibition to register descriptive terms as trademarks has its own reasons. Descriptive terms cannot be registered as trademarks because of the possibility of unfair business competition if general descriptive terms are owned exclusively by one party. As a result of the large number of descriptive marks that have been successfully registered in Indonesia, provisions are needed to regulate the registration of descriptive marks to minimize the potential of unfair business competition occuring. In this thesis, the author will analyze the provisions in the United States and the European Union that regulate the registration of descriptive trademarks based on their distinguishing power. This analysis is expected to provide input for regulation in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shara Nur Fitria
"Di zaman modern ini para pelaku usaha berlomba-lomba untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi konsumen mereka. Salah satu bentuk layanan kepada konsumen adalah dengan cara mengakomodir permintaan konsumen ataupun pengaduan konsumen yang dicatatkan dalam bentuk formulir, yaitu Formulir Layanan Pelanggan. Dalam Putusan Kasasi No. 2995/K/Pdt/2012 telah terjadi suatu perkara gugatan perdata wanprestasi antara konsumen dengan pelaku usaha yang bergerak di bidang jasa atas suatu Formulir Pelayanan Pelanggan, dimana konsumen mengajukan suatu permintaan perubahan bentuk pembayaran yang dituliskan dalam Formulir Layanan Pelanggan dan ditandatangani oleh kedua belah pihak, yang dianggap oleh konsumen tersebut sebagai suatu bentuk perjanjian. Kemudian, setelah pelaku usaha tersebut menghentikan jasa nya kepada konsumen karena menganggap konsumen tidak melakukan kewajiban pembayarannya, konsumen tersebut balik menyatakan bahwa pelaku usaha telah wanprestasi karena tidak mematuhi apa yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dalam Formulir Layanan Pelanggan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara formulir dengan perjanjian baku, apakah formulir layanan pelanggan dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian atau tidak, dan benar atau tidaknya pertimbangan hakim mengenai formulir layanan pelanggan dalam putusan no. 2995/k/pdt/2012.

In this modern era, business actors are competing to give the best services for their consumers. One of their services to the consumer is to accommodate consumer?s demand or consumer?s complaint by means of a form ? a Customer Service Form. On Court Judgment No. 2995/K/Pdt/2012, a contractual civil lawsuit happened between a consumer and a business actor of a service industry regarding a Customer Service Form, which the consumer requested a change in payment form on the Customer Service Form and signed by both parties, which was assumed by the customer as a form of agreement. After the business actor stopped its service to the consumer by a reason of a default, the said customer responded back declaring the business actor was having a default of not obeying what signed back then by both parties on the Customer Service Form.
This research is to determine the correlation(s) between a form and a Standardized Contract, whether a Customer Service Form can be regarded as an agreement or not, and the accuracy of court consideration regarding the Customer Service Form on Court Judgment No. 2995/K/Pdt/2012.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2015
S58991
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meithy Tamara
"Skripsi ini membahas mengenai status hukum The Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) sebagai perjanjian internasional ditinjau dari perspektif hukum internasional. Untuk menganalisis dan menjawab pertanyaan ini, penulis menggunakan metode deskriptif dengan menguji permasalahan dengan metode yuridis normatif. Tujuan dari penilitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan perjanjian internasional berdasarkan hukum internasional, bagaimana kekuatan mengikat resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta mengenai status hukum dari kesepakatan The Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) sebagai perjanjian internasional. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dilihat dari pemenuhan unsur-unsur dari definisi perjanjian internasional berdasarkan Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional dan fakta dikeluarkannya Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 2231 yang mendukung JCPOA dengan mendasarkan pada Pasal 25 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengikat, kesepakatan JCPOA adalah perjanjian internasional yang di dalamnya terdapat komitmen-komitmen yang menciptakan hak dan kewajiban internasional.

The focus of this study is the legal status of the Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) as a treaty from the international law perspective. To analyze and answer this question, researcher used descriptive method by examining the problem with the legal approach of juridical normative. The purpose of this study is to know how the regulation of treaty is, how legally binding a United Nations Security Council resolution is, as well as the legal status of The Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) as a treaty. The result shows that based on the fulfillment of the elements constituting a treaty according to the Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 and the fact that Security Council adopted Resolution 2231 endorsing the agreement with Article 25 of the Charter of the United Nations, which has the notion of legal bindingness, as a legal basis, the JCPOA is in fact a treaty establishing commitments and as a consequence, it creates internasional rights and obligations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Letezia Sihol Cynthia
"Penelitian ini menganalisis keabsahan akta jual beli yang dibuat berdasarkan perjanjian pengikatan jual beli sebagai perjanjian simulasi yang dibuat secara notariil. Penelitian ini mengidentifikasi keabsahan perjanjian pengikatan jual beli dilihat dari terpenuhi atau tidaknya syarat sah perjanjian serta akibat dari perjanjian simulasi bagi akta jual beli yang didasarkan pada perjanjian pengikatan jual beli dengan dihubungkan dengan kasus dalam Putusan Mahkamah Agung No. 785 K/Pdt/2012. Penelitian ini menggunakan metode penelitian preskriptif kualitatif yang melakukan analisis terhadap suatu masalah dihubungkan dengan norma-norma hukum yang ada dan berlaku dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran yang utuh atas permasalahan yang diteliti, dengan merujuk kepada peraturan terkait, serta untuk memberikan saran atas permasalahan yang diteliti.
Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat sebagai bagian dari perjanjian simulasi tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian sehingga tidak sah dan tidak mengikat para pihak. Perjanjian pengikatan jual beli ini tidak memenuhi syarat objektif perjanjian yaitu sebab (kausa) yang halal karena dalam perjanjian simulasi yang tercipta adalah kausa yang palsu karena adanya perbedaan kausa antara apa yang sebenarnya diinginkan oleh para pihak dengan apa yang dituangkan oleh para pihak dalam bentuk perjanjian. Selain itu dalam kasus pada Putusan Mahkamah Agung No. 785 K/Pdt/2012 ini, perjanjian simulasi juga dibuat atas dasar keadaan memaksa dan penipuan, sehingga perjanjian simulasi ini juga tidak memenuhi syarat subjektif perjanjian yaitu adanya cacat terkait kata sepakat yang diberikan oleh para pihak. Hal ini mengakibatkan akta jual beli yang dibuat berdasarkan perjanjian pengikatan jual beli ini juga menjadi tidak sah dan tidak mengikat para pihak.

This research analyzes the legality of a sale purchase deed, which is executed based on a sale purchase committment agreement as a simulation agreement made in public form or notary deed. This research identifies the validity of a sale purchase committment agreement, whether it satisfies the requirements of the legality of an agreement, as well as the impact of simulation agreement to sale purchase agreement executed based on a sale purchase committment agreement, related to Supreme Court Decision No. 785 K/Pdt/2012. This research is using prescriptive qualitative research method, which is analyzing a problem by using the applicable and existing legal norms, aiming to obtain a comprehensive description of a problem, by referring to related laws and regulations, and also to give an advice for such problem.
This research concludes that a sale purchase committment agreement, which is made as a part of a simulation agreement, does not satisfy the requirements of an agreement, and as a result it is not valid and is not binding the parties to the agreement. The sale purchase committment agreement does not satisfy the objective requirement of an agreement, which is the permitted cause (kausa yang halal), because a simulation agreement leads to a fictitious cause, as there will be a difference between what is intended by the parties and what is actually written under the agreement. In addition, pursuant to Supreme Court Decision No. 785 K/Pdt/2012, the simulation agreement under this decision is made under a fraudulent condition, and therefore this simulation agreement does not satisfy the subjective requirement of an agreement, which is consent of the individuals who are bound thereby. Consequently, the sale purchase deed executed based on the sale purchase committment agreement, will be invalid and not bind the related parties.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43044
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutia Ramadina
"Hingga tahun 2020, upaya untuk memperoleh ganti rugi para Investor atas kerugian yang dialami karena terjadinya pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan dapat ditempuh melalui gugatan perdata. Namun diakhir 2020, OJK mengeluarkan aturan mengenai disgorgement dan disgorgement fund yaitu Peraturan OJK Nomor 65/POJK.04/2020 guna memberikan aksi remedial dan langkah perlindungan bagi investor melalui pemberian dana kompensasi atas kerugian yang dideritanya. Penelitian ini akan meninjau mekanisme dan aturan mengenai disgorgement dan disgorgement yang diterbitkan oleh OJK, guna memastikan potensi keberhasilan dari upaya tersebut. Dalam skripsi ini, Penulis telah menganalisis peraturan terkait dengan peraturan di Amerika Serikat. Penulis juga telah menganalisis kasus di pasar modal Amerika Serikat yang diberikan penetapan disgorgement dan melakukan disgorgement fund. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis-normatif dengan data yang diperoleh dari kepustakaan melalui studi dokumen dan wawancara dengan terkait yaitu Otoritas Jasa Keuangan. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengaturan disgorgement dan disgorgement fund di Indonesia dapat mempermudah investor yang mengalami kerugian di pasar modal untuk memperoleh dana kompensasi, namun penetapan disgorgement tanpa adanya bunga dapat berpotensi tidak terpenuhinya efek jera bagi pelaku. Disamping itu, pengaturan di Indonesia yang mengadopsi dari Amerika Serikat belum memasukkan secara jelas mekanisme dan unsur-unsur besaran penetapan disgorgement sehingga hal ini perlu menjadi perhatian khusus agar dapat diterbitkan peraturan tambahan lainnya.

Until 2020, actions to obtain compensation of investors for losses suffered due to violations of laws and regulations can be taken through civil lawsuits. At the end of 2020, OJK issued regulations of disgorgement and disgorgement funds, namely POJK Number 65/POJK.04/2020 to provide the remedial actions and as protect action for investors through the provision of compensation funds for the losses suffered. This research will review the methods and rules regarding disgorgement and disgorgement fund issued by OJK to ensure the potential success of these rules. In this thesis, the Author has compared the regulations related to the regulations in the United States. The Author has also analyzed the case in the United States capital market which was given a disgorgement and disgorgement fund. This research was conducted with a juridical-normative research method with data obtained from the literature through document studies and interviews with OJK. The results of the study show that the regulation of disgorgement and disgorgement funds in Indonesia can protect the investor and help the investor to get the compensation funds or disgorgement funds. However, the provision of disgorgement without interest has potential not fulfill a deterrent effect for the respondent. In addition, the regulation in Indonesia that adopted from the United States has not clearly included the mechanism and elements of the amount of disgorgement, so this need special attention for additional regulations that will be issued. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dealita Tiara Oktaviani
"Advance Pricing Agreement (APA) merupakan salah satu instrumen untuk meminimalisir sengketa transfer pricing. Di Indonesia ketentuan mengenai APA pertama kali diadopsi dalam UU Nomor 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan dalam pasal 18 ayat (3a) kemudian dikeluarkannya peraturan pelaksana melalui PER Nomot 69/PJ/2010. Namun selama masa itu, perkembangan APA di Indonesia masih lambat dan sampai dengan tahun 2015 Direktorat Jenderal Pajak (DJP) belum dapat menyepakati satu pun APA. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan studi lapangan dengan melakukan wawancara dengan pihak-pihak terkait.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa perkembangan pelaksanaan APA di Indonesia pasca penerbitan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 memilki peningkatan. Berdasarkan statistik APA setelah tahun 2016 terjadi peningkatan pengajuan APA dan adanya beberapa APA yang dapat disepakati oleh DJP dan pelaksanaan APA di Indonesia berdasarkan rekomendasri BEPS Action Plan 14 telah menerapkan best practice 4 dan best practice 11. Namun, disamping itu dalam pelaksanaan APA di Indoensia masih memiliki beberapa kendala antara lain permasalahan mengenai transparansi dan kepastian mengenai penyelesaian APA. Menanggapi hal tersebut pemerintah telah melakukan beberapa upaya antara lain, peningkatan sumber daya manusia dan penyempurnaan peraturan.

Advance Pricing Agreement (APA) is one of the fiscal instruments for minimizing transfer pricing disputes. In Indonesia, the regulation of APA first adopted in UU Nomor 17 tahun 2000 about Income Tax, provision 18 (3a) and later issued implementation regulation through PER Number 69/PJ/2010. However, during that period the development of APA in Indonesia still passive. In 2015 Directorate General of Taxation (DGT) has not able to agree on any APA. This thesis is descriptive qualitative reasearch with data collection techniques through literature study and field study conducted by interviews with relevant parties.
The result of this research shows that the development of APA implementation after the issuance of Minister of Finance Regulation No 7/PMK.03/2015 has increased. Based on statistics of APA in Indonesia after 2016 there was an increase in the APA submissions and the DGT has sucsessfully conclude some APAs and the APA implementation in Indonesia based on BEPS Action Plan 14 shows that Indonesia has applied best practice 4 and best practice 11. However, there are problems that still occured in the implementations of APA such as transparency and certainty regarding the APA process. Responding to these matters DGT has made several attempts such as, improving human resources and strengthening the regulatory.
"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Difa Marsya Meirina
"Perjanjian perkawinan belum diketahui secara luas oleh masyarakat Indonesia. Meskipun demikian, perjanjian perkawinan dapat dianggap penting terutama dalam perkawinan campuran mengingat dampak yang dihasilkan dari perkawinan itu sendiri cukup besar. Skripsi ini membahas mengenai pengaturan perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran di Indonesia yakni dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan membandingkan pengaturan di Texas, Amerika Serikat yakni Texas Family Code dan Uniform Premarital Agreement Act. Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian doktrinal untuk melakukan perbandingan pengaturan antara Indonesia dan Texas, Amerika Serikat. Adapun hasil dari penelitian ini adalah pengaturan mengenai perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran di Indonesia diperlukan adanya kepastian hukum karena dalam prakteknya masih terdapat ketidaksesuaian berkaitan dengan pengaturan perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran. Hal ini dapat dilakukan dengan pemerintah sebagai lembaga yang berwenang untuk lebih memperhatikan pengaturan mengenai perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran agar prosedur, akibat hukum, serta legalitas dari perjanjian perkawinan itu sendiri memiliki kepastian.

Prenuptial agreement is still not widely known by the Indonesian people. However, marriage agreements can be considered important, especially in mixed marriages, considering the significant impact of the marriage itself. This thesis discusses the regulation of prenuptial agreement in mixed marriages in Indonesia namely in the Indonesian Civil Code and the Marriage Law No. 1 of 1974 and compares the with those in Texas, United States namely Texas Family Code and Uniform Premarital Agreement Act. The research used in this thesis is doctrinal research to compare the regulations between Indonesia and Texas, United States. The results of this study are that the regulation of prenuptial agreement in mixed marriages in Indonesia requires legal certainty because in practice there are still inconsistencies related to the regulation of prenuptial agreement in mixed marriages. This can be done by the government as the authorized institution to pay more attention to the regulation of prenuptial agreement in mixed marriages so that the procedures, legal consequences, and legality of the prenuptial agreement themselves have certainty."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>