Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 142819 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sheryl Nathania Salim
"Limfatik filariasis atau yang lebih dikenal dengan penyakit kaki gajah adalah salah satu penyakit yang endemik di wilayah Papua. Penyakit ini disebabkan oleh cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening pada manusia dan ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini disebabkan oleh tiga jenis cacing filaria, yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori yang ditularkan oleh nyamuk dengan genus Anopheles, Culex, Aedes, dan Mansonia. Pemerintah telah melakukan banyak upaya dalam menanggulangi penyakit ini, salah satunya adalah melalui pengobatan, yaitu BELKAGA (Bulan ELiminasi Kaki Gajah). Penelitian ini menggunakan model matematika untuk membahas bagaimana penanggulangan penyakit limfatik filariasis dengan mempertimbangkan beberapa intervensi, yaitu penggunaan repellent, proses screening, pengobatan bersaturasi, dan fumigasi. Model dikonstruksi dengan menggunakan pendekatan sistem persamaan diferensial nonlinier berdimensi sembilan dengan dua populasi. Populasi manusia dibagi ke dalam enam kompartemen dan populasi nyamuk dibagi ke dalam tiga kompartemen. Selanjutnya, dilakukan kajian analitik terhadap model yang telah dikonstruksi, yaitu menentukan eksistensi dan menganalisis kestabilan titik kesetimbangan, menentukan bilangan reproduksi dasar (R0), dan menyelidiki eksistensi bifurkasi dari model yang terbentuk. Kemudian, dilakukan simulasi numerik pada model yang diajukan dalam penelitian ini. Hasil-hasil kajian analitik maupun numerik pada akhirnya akan dianalisis agar diperoleh interpretasi yang dapat memberi manfaat dalam pemahaman penanggulangan penyakit limfatik filariasis.

Lymphatic filariasis or better known as elephantiasis, is a disease that is endemic to Papua. This disease is caused by filarial worms that attack the ducts and lymph nodes in humans and are transmitted by mosquitoes. Three types of filarial worms cause this disease, namely Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, and Brugia timori. Mosquitoes that transmit it are from the genus Anopheles, Culex, Aedes, and Mansonia. The government has made various efforts to overcome this disease, one of which is through treatment, namely BELKAGA (Bulan Eliminasi Kaki Gajah). This thesis use a mathematical model to discuss how to treat lymphatic filariasis by considering several interventions, namely repellents, the screening process, saturation treatment, and fumigation. The model will use a nine-dimensional nonlinear differential equation system approach with two populations. The human population will divide into six compartments, and the mosquito population divides into three compartments. Furthermore, an analytical study will be carried out on the model that has been built, namely determining the existence and analyzing the stability of the equilibrium point, determining the basic reproduction number R0, and investigating the existence of the bifurcation of the model. Then a numerical simulation will be carried out on the model proposed in this study. This thesis will analyze the results of analytical and numerical studies to obtain interpretations that can help understand the prevention of lymphatic filariasis."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arkananta Imannuelito Rahadyan
"Latar Belakang. Taenia solium merupakan parasit yang dapat mengakibatkan taeniasis dan sistiserkosis, tergantung pada fase parasit saat menginfeksi. Manusia diketahui merupakan host definitif dari parasit ini. Sebagai salah satu area endemik filariasis limfatik dan cacing yang ditularkan melalui tanah, Sumba Barat Daya memiliki kualitas sanitasi dan pola hidup higienis yang masih buruk. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh dari pemberian pengobatan masal untuk filariasis limfatik pada seroprevalensi taeniasis dan sistiserkosis. Metode. Studi ini merupakan studi pre dan post dengan menggunakan data sekunder yang sebelumnya telah diambil oleh tim peneliti filariasis, Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Terdapat 70 partisipan lokal yang terlibat pada penelitian ini. Pada tahun 2016, tim peneliti mengambil sampel darah sebelum melakukan pemberian pengobatan masal berupa albendazol (400 mg) dan dietilkarbamazine (6 mg/kg Berat Badan), dosis tunggal. Satu tahun kemudian, tim peneliti mengambil darah pada partisipan yang sama. Antibodi IgG terhadap rekombinan rES33 (untuk taeniasis) dan rT24H (untuk sistiserkosis) diukur dengan ELISA. Hasil kemudian dibandingkan diantara dua titik waktu. Usia dan jenis kelamin dianalisis sebagai faktor pemberat potensial.
Hasil. Satu tahun setelah pemberian pengobatan masal, seroprevalensi positif menurun dari 42.9% menjadi 21.4% untuk Taenia solium taeniasis (P = 0.003) dan dari 47.1% menjadi 22.9% untuk sistiserkosis (P = 0.001). Studi ini juga menemukan penurunan yang signifikan dari kasus positif pada peserta laki-laki (P < 0.0001), tetapi tidak pada perempuan. Prevalensi sistiserkosis pada anak-anak (P = 0.008) dan orang dewasa (P = 0.049) juga berkurang secara signifikan. Dalam kasus taeniasis, hanya orang dewasa yang menunjukan serokonversi yang signifikan (P = 0.021). Kesimpulan. Pemberian obat masal albendazol dan dietilkarbamazin sitrat dosis tunggal pada pasien Taenia solium taeniasis atau sistiserkosis dapat menurunkan kasus seroprevalensi positif pada kedua infeksi.

Background: Taenia solium is a parasite that can cause taeniasis and cysticercosis, depending on the stadium of the invading parasite at the time of infection. Humans are known to be the definitive and intermediate hosts of this parasite. As one of the endemic areas for lymphatic filariasis (LF) and soil-transmitted helminths, Sumba Barat Daya has poor sanitation and hygienic behavior. This study aimed to investigate the effect of mass drug administration for LF on the seroprevalence of taeniasis and cysticercosis. Metode: This study is a pre and post study using secondary data previously collected by the filariasis research team, Department of Parasitology, Faculty of Medicine, University of Indonesia. There were 70 local participants involved in this study. In 2016, the research team took blood samples before administering a single dose of albendazole (400 mg) and diethylcarbamazine (6 mg/kg body weight). One year later, the blood of the same participants were collected. IgG antibodies against recombinant antigens rES33 (for taeniasis) and rT24H (for cysticercosis) were measured by ELISA. The results were then compared between the two time points. Age and gender were analyzed as potential confounders.
Result: One year after the mass treatment, the positive seroprevalence decreased from 42.9% to 21.4% for Taenia solium taeniasis (P = 0.003) and from 47.1% to 22.9% for cysticercosis (P = 0.001). This study also found a significant reduction of positive cases in male participants (P < 0.0001), but not in females. The cysticercosis prevalence in children (P = 0.008) and adults (P = 0.049) were significantly reduced as well. In the case of taeniasis, only adults showed significant seroconversion (P = 0.021). Conclusion: Mass Drug Administration in a single dose of albendazole and diethylcarbamazine to patients with Taenia solium taeniasis or cysticercosis can reduce positive seroprevalence cases in both infections.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vira Nur Arifa
"Introduksi: Toksokariasis dilaporkan dengan prevalensi tinggi di negara-negara berpenghasilan rendah hingga menengah. Mengingat kurangnya sistem surveilans yang memadai, beban toksokariasis yang sebenarnya di Indonesia mungkin diabaikan. Sumba Barat Daya sebagai salah satu daerah endemis filariasis limfatik (LF), telah memulai pemberian obat massal (MDA) sejak tahun 2014. Namun, dampak regimen obat ini terhadap toksokariasis belum diketahui.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian prospektif, sebagai bagian dari penelitian yang lebih besar “Studi Berbasis Komunitas Terapi 2 Obat versus 3 Obat untuk Limfatik Filariasis di Indonesia Bagian Timur”. MDA diberikan kepada masyarakat dengan kombinasi dosis tunggal albendazol (400 mg) dan dietilkarbamazin sitrat (6 mg/kgBB). Sampel diambil sebelum dan sesudah MDA masing-masing pada tahun 2016 dan 2017. Antigen protein rekombinan rTc-CTL-1 IgG spesifik diukur dengan ELISA sebelum dan sesudah MDA.
Hasil: Sebanyak 70 partisipan terlibat, terdiri dari 35 subjek perempuan dan 35 subjek laki-laki dengan median usia 26 (jangkauan interkuartil:11-40) tahun. Rentang median dan IQR IgG spesifik rTc-CTL-1 terhadap toksokariasis yang diukur pada awal dan setelah MDA masing-masing adalah 0,94 (0,57 – 1,59) dan 1,11 (0,43 - 1,67). Tidak ada perubahan signifikan dalam kadar IgG spesifik rTc-CTL-1 setelah MDA. Tingkat seropositivitas IgG spesifik rTc-CTL-1 tidak mengalami penurunan yang signifikan; penurunannya hanya 1,4%, dari 94,3% sebelum MDA menjadi 92,9% setelah MDA. Analisis tambahan menunjukkan bahwa usia dan jenis kelamin tidak memiliki efek perancu pada perbedaan positif IgG antara dua titik waktu.
Konklusi: Regimen MDA untuk LF yang terdiri dari albendazol dan DEC tampaknya tidak berpengaruh signifikan terhadap seroprevalensi toksokariasis di desa Karang Indah, kabupaten Sumba Barat Daya. Di masa depan, disarankan untuk melakukan penelitian yang lebih besar dengan ukuran sampel yang lebih besar dan durasi penelitian yang lebih lama.

Introduction: Toxocariasis has been reported at high prevalences in low to middle-income countries. Given the lack of adequate surveillance systems, the actual burden of toxocariasis in Indonesia is likely to be overlooked. Sumba Barat Daya as one of endemic areas for lymphatic filariasis (LF), has started mass drug administration (MDA) since 2014. However, the impact of this drug regimen on toxocariasis is not known.
Methods: This research was a prospective study, as a part of the larger study “Community Based Study of 2-Drugs versus 3-Drugs Therapy for Lymphatic Filariasis in Eastern Indonesia”. MDA was given to the community with combination of a single dose of albendazole (400 mg) and DEC (6 mg/kgBW). Samples were taken before and after MDA in 2016 and 2017, respectively. Recombinant protein antigen rTc-CTL-1 specific IgG was measured by ELISA before and after MDA.
Results:  A total of 70 participants were involved, consisting of 35 female and 35 male subjects with median age of 26 (interquartile range: 11 – 40) years old. The median and IQR of rTc-CTL-1 specific IgG against toxocariasis measured at baseline and after MDA was 0.94 (0.57 – 1.59) and 1.11 (0.43 – 1.67), respectively. There was no significant change in levels of rTc-CTL-1 specific IgG after MDA. The seropositivity rate of rTc-CTL-1 specific IgG had no significant decrease; the decrease was only 1.4%, from 94.3% before MDA to 92.9% after MDA. Additional analysis showed that age and gender had no confounding effect on the difference of IgG positivity between the two time points.
Conclusion: The MDA regimen for LF consisting of albendazole and DEC seemed to have no significant impact on the seroprevalence of toxocariasis in Karang Indah village, Sumba Barat Daya district. In the future, it is recommended to conduct a larger study involving extended sample size and longer duration of the study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Christine Hendrie
"Filariasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing Filaria dan ditularkan melalui gigitan nyamuk. Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat diberbagai negara tropis dan subtropis termasuk di Indonesia dengan perkiraan 6 juta orang terinfeksi filariasis (2004). Pada tahun 2000 WHO mendeklarasikan "The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by 2020" dan Indonesia merupakan salah satu negara yang menyepakati kesepakatan tersebut. Strategi dari program tersebut adalah dengan pengobatan tahunan berbasis komunitas pada populasi yang berisiko menggunakan dietilkarbamazin (DEC) 6mg/kg berat badan dalam kombinasi dengan albendazol 400 mg. Oleh WHO dianjurkan untuk mengevaluasi program eliminasi karena anak-anak dengan serodiagnosis pada anak berusia 6-10 tahun untuk mengetahui apa transmisi masih berlangsung. Oleh sebab itu, peneliti ingin meneliti lebih lanjut tentang penggunaan serodiagnosis, Brugia Rapid, dalam memantau keberhasilan program eliminasi filariasis setelah 5 tahun pengobatan kombinasi DEC-abendazol di daerah endemik filariasis timori, Pulau Alor dengan mengetahui prevalensi antibodi anti filaria IgG4 pada anak-anak sekolah dasar. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder IgG4 dengan Brugia Rapid dari desain studi uji cross sectional pada Anak Sekolah Dasar setelah 5 tahun pengobatan. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya perbedaan prevalensi IgG4 pada berbagai kelompok umur dengan nilai tertinggi pada usia 10 tahun (6,78%). Terdapat perbedaan bermakna pada prevalensi IgG4 pada anak usia < 10 tahun (1,41% - 2,63%) dibandingkan dengan anak usia > 10 tahun (6,78%). Perbedaan prevalensi juga diamati antara kelompok laki-laki (4,94%) dan perempuan (3,03%) meskipun perbedaan ini tidak bermakna. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa prevalensi IgG4 pada anak Sekolah Dasar tidak dipengaruhi jenis kelamin tapi dipengaruhi oleh umur.

Filariasis is a disease caused by filarial worms and transmitted to humans through mosquito bites. The disease is still a public problem in tropical and subtropical countries including Indonesia where it is estimated that 6 million people were infected filariasis (2004). In 2000 WHO launched "The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by 2020" and Indonesia is one of the countries agreed in this agreement. The strategy of this program is an annual treatment of Diethylcarbamazine Citrate (DEC) 6mg/kg body weight in combination with 400 mg albendazol to risked population. To evaluate the success of the program, WHO recommended to use serodiagnosis in children aged 6-10 years. Therefore, this research is proposed to investigate furthur the use of serodiagnosis, Brugia rapid, in monitoring the success of the filariasis elimination program after five years treatment with a combination of DEC-Albendazole (2002-2007) in filariasis timori endemic area, Alor Island by determining the prevalence IgG4 anti-filaria antibody in primary school children. The research was conducted using secondary data of IgG4 detected by Brugia rapid from a cross sectional study in Primary School Children after 5 years treatment. The result showed that there was differences in the prevalence of various age groups with the highest prevalence at the age of 10 years (6,78%) . The differences of the prevalence between children < 10 years old (1, ...% - 2,..%) and children > 10 years old (6,78%) is significant. However, the difference of IgG4 prevalence between boys and girls is not significant. This study revealed that sex of the children did not influence the prevalence of IgG4 but it was influenced by age."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Larasati
"ABSTRAK
Filariasis bancrofti merupakan penyakit yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Culex quinquefasciatus yang tersebar luas di daerah perkotaan, seperti Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Parasit penyebab penyakit tersebut ialah jenis cacing Nematoda, Wuchereria bancrofti.
Penanggulangan dan pemberantasan penyakit tersebut dapat dilakukan dengan memberantas nyamuk Cx. quinquefasciatus. Beberapa jenis tumbuhan di Indonesia, antara lain Ageratum conyzoides diketahui mengandung zat toksik yang dapat merabunuh larva nyamuk.
Dalam penelitian ini dilakukan pengujian keefektifan ekstrak daun, batang, dan akar A. conyzoides terhadap larva Cx. quinquefasciatus. Konsentrasi yang digunakan adalah 0,5%; 0,6%; 0,7%; 0,8%; 0,9% untuk daun, 2%; 2,5%; 3%; 3,5%; 4% untuk batang, dan 2%; 2,5%; 3%; 3,5%; 4% untuk akar. Masing-masing konsentrasi dimasukkan 25 larva
dengan 10 kali ulangan. Setelah 24 jam dilakukan pengamatan dan jumlah larva yang mati dihitung. Penentuan keefektifan dilakukan dengan cara menentukan LC-50 dan LC-90 ekstrak daun, batang, dan akar A. conyzoides terhadap larva Cx. quinquefasciatus. Hasil uji analisis variansi satu faktor yang dilakukan, diketahui bahwa ekstrak daun, batang, dan akar A. conyzoides berpengaruh terhadap larva Cx. quinquefasciatus yaitu dapat mengakibatkan kematian. Analisis dengan uji beda nyata dari Tukey menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata antara ekstrak daun, batang, dan akar A. conyzoides terhadap larva Cx. quinquefasciatus."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Nasir
"ABSTRAK
Perubahan ukuran fisik penduduk terutama kelompok usia muda merupakan indikator upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Tinggi badan yang dicapai pada anak usia masuk sekolah memberikan gambaran keadaan gizi pada usia sebelumnya. Tinggi badan anak usia masuk sekolah yang berada dibawah standar pada tingkat tertentu dapat menggambarkan keadaan gizi klhususnya tingkat pertumbuhan dan kesehatan pada masa lalu.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan antara tingkat endemisitas gondok, tingkat sosial ekonomi dan pola konsumsi makanan pokok dengan tinggi badan anak usia sekolah di Propinsi Jawa Timur. Desain penelitian ini adalah kros-seksional dengan memanfaaatkan data sekunder yang telah dikumpulkan oleh berbagai instansi pemerintah.
Analisa bivariat yang digunakan adalah uji beda rata-rata dengan batas nilai alfa 5 %, dan analisa multivariat dengan menggunakan analisa regresi linier berganda untuk melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan tinggi badan rata-rata anak usia masuk sekolah.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tinggi badan rata-rata anak usia sekolah yang tinggal di daerah tidak endemik lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang tinggal di daerah endemik ringan, endemik sedang rnaupun endemik berat. Perbedaan juga terjdi antara tinggi badan rata-rata anak usia masuk sekolah yang tinggal di daerah endemik ringan dengan yang tinggal di daerah endemik sedang dan berat; demikian jugs terdapat perbedaan antara tnggi badan rata rata anak usia masuk sekolah yang tinggal di daerah endemik sedang dengan yang tinggal di daerah endemik berat.
Anak usia masuk sekolah yang tinggal di desa miskin mempunyai tinggi badan lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang tinggal di desa tidak miskin. Rata-rata tinggi badan anak usia masuk sekolah yang mempunyai pola konsumsi makanan pokok yang terdiri dari beras atau beras jagung mempunyai rata rata tinggi badan lebih tinggi dari anak usia masuk sekolah yang mempunyai vita konsumsi makanan pokok terdiri dari beras jagung umbi-umbian.
Dengan membedakan kelompok usia 6 tahun dan 7 tahun, terdapat perbedaan yang bermakna tinggi badan rata-rata anak usia masuk sekolah yang tinggal di berbagai tingkatan endemisitas gondok kecuali pada usia 7 tahun. Pada anak usia 7 tahun tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara tinggi badan rata-rata anak usia masuk sekolah yang tinggal di daerah endemik berat dengan yang tinggal di daerah endemik sedang. Tidalk terdapat perbedaan yang bermakna antara tinggi badan rata-rata anak usia masuk sekolah yang tinggal di daerah endemik ringan dengan yang tinggal di daerah tidak endemic.
Analisis regresi menunjukan bahwa pada kelompok anak usia 6 tahun, anak-anak yang tinggal di daerah tidak endemik dengan pola konsumsi makanan pokok beras atau beras jagung dan berasal dari keluarga mampu mempunyai perbedaan tinggi badan sebesar 2,8 cm dibandingkan dengan mereka yang tinggal di daerah endemik berat, dengan pola konsumsi makanan pokok beras jagung umbi-umbian.
ABSTRACT
The Relationship Of Endemicity Of The Endemic Goitre Regions, Social Economic Strata And Consumption Pattern Of Staple Food With Height Of School Age Children In The Province Of East JavaThe change of the population physical size, especialy the youth in an indicator of the efforts to increase the human resources quality. The height achieved by the school age children provide the nutrition condition of the previous age. The height of the school age children which is under certain standard provide the nutrition condition, especially the growth level and the health in the past.
This research is intended to study the relationship between the goitre endemicity, social economic strata and the consumption pattern of the staple food with height of the school age children in the Province of East Java. The research design is a crossectional by utilizing a secondary data which have been collected by various government agencies. The bivariate analysis use the average difference test with the a limit 5 %; and the multivariate analysis using the multiple tinier regretion analysis to find out the factors which are related with the average height of the school age children.
The results of the research indicate that the average height of the school age children in the non endemic goitre region, low endemic goitre region, medium endemic goitre region and high endemic goitre region, there is also difference between the heihgt of the school age children who live in the medium endemic goitre region with those who live in the high endemic goitre region
The school age children who live in the poor village have a lower height compared with those who live in relatively rich village. The average height of the school age children who have a consumption pattern of the staple food which consist of rice or rice-corn have a taller height than those who have the consumption pattern of the staple form corn rice and rhizobium.
There is significant difference of the average height of the school age children who live in various level of goitre endemicies except the age of seven years, by classifying the age group 6 and 7 years. There is no significant difference between average the school age children height who live in the high endemic goitre region with those who live in the medium endemic region for the 7 years children. There is no significant difference between the school age children who live in the low endemic goitre region with those who live in the non endemic region.
The regression analysis indicates that in the 6 years age group, the children who live in the non endemic goitre region with the staple food of rice or corn and comes from relatively wealthy family have a height difference of 2,8 cm compared with those who live the high endemic goitre region, with consumption pattern of corn rice and rhizobiunt.
"
1996
T 5214
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yunita Eka Putri
"Penyakit Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit endemis di sebagian besar wilayah Indonesia, termasuk juga di wilayah tropis lainnya. Tidak semua yang terinfeksi virus dengue akan menunjukkan manifestasi DBD berat. Status gizi erat hubungannya dengan status imunologi seseorang yang berkaitan dengan imunopatogenesis dari DBD. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan stunting dengan kejadian DBD pada balita di Kabupaten Sumbawa. Desain studi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi analitik dengan rancangan kasus control. Sampel kasus akan di ambil dari keseluruhan kasus, dan untuk sampel kontrol akan diambil dengan menggunakan tekhnik sampel acak (Simple Random Sampling). Sehingga dapat disimpulkan jumlah kasus 97 (total kasus) keluarga yang memiliki balita dengan diagnosa DBD selama tahun 2018 sampai Maret 2020 (dari 5 wilayah kerja puskesmas dengan jumlah DBD pada balita terbanyak) sedangkan kontrol 194 keluarga yang memiliki balita yang merupakan tetangga kasus. Dari hasil bivariat dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara status gizi dengan kejadian DBD pada balita di Kabupaten Sumbawa (p value = 0.0001) dengan OR = 3.269 (95% CI: 1.757-6.083). Pada analisis multivariate menunjukkan hal yang sama (p value = 0.0001) dengan OR = 3.22 (95% CI: 1.679-6.174). Hal ini menunjukkan bahwa balita dengan status gizi pendek dan sangat pendek meningkatkan risiko 3.22 kali terkena DBD.

Dengue Hemorrhagic Fever is an endemic disease in most parts of Indonesia, including in other tropical regions. Not all infected with dengue virus will show severe DHF manifestations. Nutritional status is closely related to a person's immunological status related to immunopathogenesis of DHF. The purpose of this study was to determine the relationship of stunting with the incidence of DHF in toddlers in Sumbawa Regency. The study design that will be used in this study is an analytic study with a case control design. Case samples will be taken from all cases, and for control samples will be taken by using a random sample technique (Simple Random Sampling). So it can be concluded the number of cases 97 (total cases) of families who have toddlers with DHF diagnoses from 2018 to March 2020 (from 5 working areas of puskesmas with the highest number of DHFs in toddlers) while control of 194 families who have toddlers who are neighboring cases. From the bivariate results it can be concluded that there is a significant relationship between nutritional status and the incidence of DHF in children under five in Sumbawa Regency (p value = 0.0001) with OR = 3,269 (95% CI: 1,757-6,083). In multivariate analysis showed the same thing (p value = 0.0001) with OR = 3.22 (95% CI: 1,679-6,174). This shows that toddlers with short and very short nutritional status increase the risk of 3.22 times getting DHF."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"A total of 2,310 individuals of elasmobranch fishes consisting of 60 species from 13 families were recorded from survey trips in Kalimantan were visited from September 2005 to November 2006....."
MAREIND
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Arthana Islamilova
"

Aterosklerosis adalah fenomena penyempitan arteri karena penumpukan plak di dinding arteri sebagai akibat dari suatu pola hidup tidak sehat. Menurut pendekatan ilmu sosial, pola hidup yang salah dapat ditularkan kepada orang lain disekitarnya. Bentuk penanganan pasien aterosklerosis adalah melalui operasi bypass yang harus dilakukan oleh dokter spesialis dan di rumah sakit tertentu, yang keduanya memiliki jumlah yang terbatas. Jika jumlah pasien dengan komplikasi aterosklerosis terus bertambah, itu akan berdampak pada pengobatan yang tidak lagi optimal. Penelitian ini bertujuan untuk membangun model penyebaran aterosklerosis tanpa dan dengan mempertimbangkan pengaruh keterbatasan sumber daya rumah sakit, yang dikenal sebagai efek saturasi. Kedua model dibentuk dengan membagi kompartemen manusia dalam populasi yang rentan, terinfeksi aterosklerosis, dan penderita aterosklerosis yang menjalani pengobatan. Model-model yang telah dibangun kemudian dianalisis secara analitik dan numerik. Studi analitik dilakukan untuk menemukan dan menganalisis titik keseimbangan, menentukan bilangan reproduksi dasar (R0), dan menyelidiki keberadaan bifurkasi dari model yang dibangun. Bifurkasi maju, mundur dan maju dengan hysteresis muncul dari model yang telah terbentuk. Hasil analitik didukung oleh simulasi numerik terkait elastisitas dan sensitivitas R0 serta simulasi autonomous.

 


Atherosclerosis is a narrowing of the arteries due to the buildup of plaque on the artery walls resulting from an unhealthy lifestyle. According to the social science approach, the wrong lifestyle can be ”infection” to other people. The form of treatment for atherosclerosis patients is through bypass surgery, which must be performed by specialists and in specific hospitals, both of which have a limited number. If the number of patients with atherosclerosis complications continues to increase, it will result in no longer optimal treatment. This study aims to build a model of atherosclerosis spread without and taking into account the effect of limited hospital resources, known as the saturation effect. Both models were formed by dividing the human compartment into populations susceptible, infected with atherosclerosis, and people with atherosclerosis who are undergoing treatment. The models that have built are then analyzed analytically and numerically. Analytical studies carried out to find and analyze the equilibrium point, determine the basic reproduction number (R0), and investigate the existence of a bifurcation of the built model. Forward bifurcation, backward bifurcation, and forward bifurcation with hysteresis appear from the model that has formed. The analytical results supported by numerical simulations related to elasticity and sensitivity of R0 as well as autonomous simulations.

 

"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evllyn Tamalia
"

Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit Plasmodium dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina terinfeksi. Pada umumnya, terdapat lima spesies Plasmodium yang dapat menyebabkan penyakit malaria. Dari kelima spesies tersebut, Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax adalah dua spesies Plasmodium yang dapat menyebabkan terjadinya superinfeksi malaria dalam tubuh manusia. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengendalikan malaria, di antaranya dengan menggunakan obat Artemisinin-based Combination Therapies (ACT) serta fumigasi untuk membasmi nyamuk. Pada penelitian ini, dikonstruksi model penyebaran superinfeksi malaria dengan intervensi pengobatan dan fumigasi. Lebih lanjut, kajian analitis dan numerik mengenai titik keseimbangan bebas penyakit, titik keseimbangan endemik, dan basic reproduction number (R0) dilakukan untuk memahami dinamika jangka pendek dari model yang telah dikonstruksi. (R0) merupakan ekspektasi banyaknya infeksi sekunder dalam suatu poopulasi. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa laju kematian nyamuk akibat fumigasi merupakan parameter yang paling memengaruhi nilai R0. Kemudian, hasil simulasi autonomous menunjukkan bahwa pengobatan bagi manusia yang terinfeksi, baik terinfeksi Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax, dapat menghilangkan superinfeksi malaria dari populasi.


Malaria is a disease caused by the parasite Plasmodium and transmitted by the bite of an infected female Anopheles. In general, there are five species of Plasmodium that can cause malaria. Of the five species, Plasmodium falciparum and Plasmodium vivax are two species of Plasmodium that can allow malaria superinfection in the human body. Various attempts were made by the government to control malaria, such as with the Artemisininbased Combination Therapies (ACT) and fumigation to eradicate the mosquitoes. In this study, a malaria superinfection spread model was constructed with treatment and fumigation interventions. Furthermore, analytical and numerical studies of disease-free equilibrium points, endemic equilibrium points, and basic reproduction number (R0) are carried out to understand the short-term dynamics of the constructed model. (R0) is an expectation number for the second infection in population. The results of sensitivity analysis show that fumigation is the most influence parameter respect to the value of R0. Then, autonomous simulation show that treatment for infected humans, both infected with Plasmodium falciparum and Plasmodium vivax, can eliminate malaria superinfection from the population.

"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>