Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 98552 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Giovano Andika Pradana
"Tujuan: Menilai kesintasan hidup (OS) dan kesintasan bebas progresivitas (PFS) pasien meningioma intrakranial yang menjalani radioterapi di RSCM dan mengetahui faktor klinis yang dapat dijadikan faktor prognostik.
Metode: Dilakukan studi kohort retrospektif yang menyertakan 61 subjek meningioma intrakranial yang terdiagnosis secara radiologis maupun histopatologis yang menjalani radioterapi di IPTOR RSCM pada Januari 2014 – Desember 2019.
Hasil: OS 1, 2, dan 3 tahun adalah 98,1%, 87,8%, dan 77,1%. PFS 1, 2, dan 3 tahun adalah 84%; 72,4%; dan 58,2%. Faktor yang memperburuk OS adalah jenis kelamin laki-laki (p <0,001), KPS <70 (p <0,001), lokasi tumor di konveksitas/falx/parasagittal (p <0,016), tumor derajat II dan III (p <0,001) dan BED ≥85,74 Gy3,7. Faktor yang memperburuk PFS adalah jenis kelamin laki-laki (p = 0,027), KPS <70 (p <0,001), lokasi tumor konveksitas/falx/parasagittal (p = 0,002), tumor derajat III (p <0,001), volume GTV ≥46,35 cm3 (p = 0,026), dan BED ≥85,74 Gy3,7 (p = 0,02). Pada analisis multivariat, faktor independen yang mempengaruhi OS adalah jenis kelamin, dan faktor yang mempengaruhi PFS adalah jenis kelamin dan KPS.
Kesimpulan: Jenis kelamin merupakan faktor prognostik independen terhadap OS pasien meningioma yang menjalani radioterapi.

Aims: To assess overall survival (OS) and progression-free survival (PFS) of patient with intracranial meningioma who underwent radiotherapy in RSCM and to find clinical factors that contribute as prognostic factors.
Methods: Patient with radiologically or pathologically-confirmed intracranial meningioma who underwent radiotherapy in our department from January 2014 to Decemer 2019 were retrospectively analyzed.
Results: OS in 1, 2, and 3 year were 98,1%; 87,8%; dan 77,1%; and PFS in 1, 2, dan 3 year were 84%; 72,4%; dan 58,2%. Male (p <0,001), KPS <70 (p <0,001), convexity/falx/parasagittal tumor (p <0,016), WHO grade II dan III tumor (p <0,001) and BED ≥85,74 Gy3,7 were associated with poor OS. Male (0,027), KPS <70 (p <0,001), lokasi tumor convexity/falx/parasagittal (p = 0,002), WHO grade III (p <0,001), GTV volume ≥46,35 cm3 (p = 0,026), and BED ≥85,74 Gy3,7 (p = 0,02) were associated with poor PFS. Male is independent factor associated with poor OS in multivariate analysis, wherase male and KPS <70 were associated with poor PFS.
Conclusions: Male is an independent prognostic factor affecting OS and PFS in meningioma patients underwent radiotherapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rumiati
"Pendahuluan: Meningioma merupakan tumor primer intrakranial yang paling sering ditemui, tumbuh dari membran protektif yaitu meningen, ekstraaksial, berasal dari sel araknoid yang menempel pada duramater. Karakteristik meningioma yaitu tumbuh dengan besar, cenderung menghasilkan hiperostosis, infiltrasi atau juga mengerosi tulang. Prevalensi meningioma sekitar 36% dari seluruh tumor otak dengan perkiraan rasio antara wanita dan pria adalah 2:1. Masalah yang ditimbulkan tergantung pada lokasi tumor, ukuran tumor, serta keterlibatannya dengan struktur jaringan sekitar sehingga kasus meningioma cukup menarik untuk disajikan sebagai kasus klinis dengan model rencana asuhan keperawatan. Kasus: pasien laki-laki, umur 33 tahun, dengan meningioma atipikal WHO grade II dengan keluhan nyeri kepala, kelemahan tubuh sebelah kiri, kedua mata tidak dapat melihat, mata kanan proptosis. Pasien beradaptasi dengan keluhan tersebut kurang lebih selama satu tahun dengan minum obat warung dan melakukan pengobatan alternatif. Upaya tersebut tidak membuahkan hasil. Keluhan dirasakan semakin lama malah semakin memberat kemudian pasien melakukan pengobatan ke rumah sakit dan oleh dokter dianjurkan untuk operasi craniotomy. Kami menggunakan Model Adaptasi Roy dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien. Kebutuhan utama yang kami temukan antara lain yaitu aktivitas (gangguan mobilitas fisik), sensasi dan penginderaan (gangguan persepsi sensori: penglihatan), proteksi (risiko infeksi, risiko jatuh), neurologi (penurunan kapasitas adaptif intrakranial), konsep diri (kecemasan) dan peran (ketidakefektifan performa peran). Kesimpulan: Asuhan keperawatan pada pasien meningioma dengan kebutuhan utama penurunan kapasitas adaptif intrakranial, gangguan mobilitas fisik, gangguan persepsi sensori, risiko infeksi, risiko jatuh, kecemasan dan ketidakefektifan performa peran dapat teratasi dengan menggunakan pendekatan salah satu teori keperawatan yaitu Model Adaptasi Roy. Model Adaptasi Roy berasumsi bahwa dasar ilmu keperawatan adalah pemahaman tentang proses adaptasi manusia dalam menghadapi situasi hidupnya. Roy memandang manusia merupakan sistem terbuka dan adaptif yang dapat merespon stimulus yang datang baik dari dalam maupun luar. Pasien mengalami perbaikan kondisi dari hari kehari, keluhan dirasakan berkurang, kecemasan tidak ada dan pasien lebih menerima peran serta kondisinya saat ini, sehingga dengan demikian tujuan dari asuhan keperawatan tercapai yaitu pasien mencapai kondisi adaptif dengan penyakitnya.

Introduction: Meningioma is the most common primary intracranial tumor, growing from a protective membrane, namely the meninges, extraaxial, originating from arachnoid cells attached to the dura mater. The characteristics of a meningioma are that it grows large, tends to cause hyperostosis, infiltrates or also erodes the bone. The prevalence of meningioma is about 36% of all brain tumors with an estimated ratio between women and men is 2:1. The problems that arise depend on the location of the tumor, the size of the tumor, and its involvement with the surrounding tissue structures so that meningioma cases are quite interesting to be presented as clinical cases with a cost-loss plan model. Case: male patient, aged 33 years, with WHO grade II atypical meningioma with complaints of headache, left side weakness, unable to see both eyes, proptosis of right eye. The patient adapted to this complaint for about a year by taking drug stalls and taking alternative treatments. These efforts did not produce results. Complaints that are felt the longer they get worse, then the patient goes to the hospital for treatment and the doctor recommends craniotomy surgery. We use the Roy Adaptation Model in providing care to patients. The main needs that we found include activity (impaired physical mobility), sensation and sensing (impaired sensory perception: vision), protection (risk of infection, risk of falling), neurology (decreased intracranial adaptive capacity), self-concept (anxiety) and role (role performance ineffectiveness). Conclusion: Caring for involvement in meningioma patients with the main need for decreased intracranial adaptive capacity, impaired physical mobility, impaired sensory perception, risk of infection, risk of falling, anxiety and ineffectiveness of role performance can be overcome by using the approach of one of the partnership theories, namely the Roy Adaptation Model. Roy's Adaptation Model assumes that the basis of expertise is an understanding of the process of human adaptation in dealing with their life situations. Roy sees humans as an open and adaptive system that can respond to stimuli that come from both inside and outside. The patient experiences an improvement from day to day, complaints are felt to decrease, anxiety is absent and the patient is more accepting of the role and condition of his current condition, so that in this way the goal of humanitarian assistance is achieved, namely the patient reaches an adaptive condition with his illness."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Wicaksono
"ABSTRAK
Di berbagai literatur, tumor meningioma sphenoid wing memiliki dua nama, yaitu meningioma en-plaque sphenoid wing dan meningioma spheno-orbita. Meningioma di regio sphenoorbita itu adalah tumor kompleks meliputi sphenoid wing, orbita, sinus cavernosus yang merupakan penyulit terhadap reseksi total. Presentasi klinis adalah klasik trias yaitu proptosis, gangguan visual, paresis okuler. Meningioma sphenoid wing ditemukan tersering adalah jenis en-plaque. Meningioma en-plaque adalah suatu subkelompok morfologis yang didefinisikan sebagai lesi tipis, menyebar luas, menyerupai karpet atau lembaran, yang menginfiltrasi dura dan terkadang menginvasi tulang dan tumbuh didalamnya sebagai tumor intraosseus sehingga menyebabkan hiperostosis. Meningioma juga memproduksi enzim yang mana diketahui secara tidak langsung menghasilkan proses penulangan. Berdasarkan literatur, dari seluruh tumor meningioma terdapat 15-20% yang ditemukan di sphenoid wing disertai hiperostosis pada regio frontotemporal-lateral orbita. Antara Januari 2010 dan Januari 2012, sebanyak 60 pasien meningioma di sphenoid wing atau sekitar 46,1% dari jumlah keseluruhan temuan meningioma intrakranial (130 pasien) menjalani operasi reseksi di departemen Bedah Saraf RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Hiperostosis merupakan perubahan pada tulang cranium yang paling banyak ditemukan yang berhubungan dengan meningioma khususnya di regio sphenoid wing. Beberapa teori mengemukakan bahwa hiperostosis ini merupakan kejadian sekunder dari proses pembentukan tumor dan timbulnya dengan atau tanpa invasi tumor ke tulang. Banyaknya kasus pasien yang dikonsulkan oleh departemen Mata dengan keluhan proptosis yang datang ke departemen Bedah Saraf FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo menjadikan hal tersebut menarik uuntuk diperhatikan dan untuk diketahui lebih jauh deskripsi datanya. Obyektif Studi ini bertujuan melakukan evaluasi lebih lanjut mengenai meningioma sphenoid wing yang disertai hiperostosis mengenai data demografisnya. Studi ini ingin melihat tentang hubungan antara banyaknya insiden dengan sebaran usia, jenis kelamin dan keterkaitan dugaan penyebabnya, jenis tumor. Selain itu, studi ini ingin mengevaluasi hubungannya dengan pemakaian kontrasepsi khususnya KB suntik, hasil operasi serta komplikasi dan angka rekurensinya.Metode Studi ini adalah studi retrospektif dilakukan berdasarkan status rekam medis berupa data riwayat penyakit pasien, manifestasi klinis yang ada, tanda-tanda neurooradiologis dan teknik operasi, pada 60 pasien yang menjalani pembedahan secara kraniotomi dan lateral orbitotomi dari Januari 2010 sampai Januari 2012. Populasi sampel diambil dari pasien di departemen Bedah Saraf RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Kriteria inklusi adalah semua pasien yang didiagnosa dengan meningioma sphenoid wing disertai hiperostosis periode Januari 2010 - Januari 2012. Kriteria ekslusi adalah tumor meningioma di luar regio sphenoid wing dan meningioma sphenoid wing tanpa adanya hiperostosis. Hasil Pada studi ini terdapat rentang usia pasien: 31-60 tahun dengan rerata usia 44 tahun, jenis kelamin diantaranya 2 (3%) laki-laki dan 58 (96,7%) perempuan. Keluhan utama adalah proptosis yang progresif, penurunan tajam penglihatan disertai hiperostosis. Seluruh pasien dilakukan pembedahan melalui lateral orbitotomi dan kraniotomi fronto-temporal disertai dekompresi orbita. Pemantauan dilakukan terhadap derajat luas reseksi tumor dan komplikasi postoperatif. Semua pasien dengan meningioma sphenoid wing disertai hiperostosis pada lateral orbita telah menjalani pembedahan dengan reseksi subtotal atau parsial. Pemeriksaan patologi menunjukkan sebanyak 33 (55%) pasien adalah meningioma meningoteliomatosa. Setelah pembedahan, proptosis dilaporkan membaik secara klinis pada 54 (90%) pasien, tajam pengihatan meningkat secara klinis pada 18 (30%) pasien, perihal paresis okuler sulit didapatkan datanya. Lama follow-up adalah 3 bulan sampai 1 tahun, didapatkan rekurensi tumor pada 4 (6,6%) pasien dan 2 (3,3%) pasien menjalani pembedahan kedua. Sebanyak 2 (3,3%) pasien tidak terpantau. Ditemukan 51 (85%) pasien dengan riwayat penggunaan kontrasepsi KB yang menahun, non pengguna 4 (6,6%), tidak diketahui 4 (6,6%) pasien. Dari jumlah 51 (85%) pasien pengguna KB, diantaranya 46 (90,2%) pasien menggunakan kontrasepsi suntik, 4 (7,8%) pasien dengan pil, 1 (1,9%) pasien dengan susuk. Sebanyak 41 (89,1%) pasien menggunakan kontrasepsi KB suntik selama lebih dari 10 tahun dan 5 (10,8%) pasien kurang dari 10 tahun. Meningioma pada sphenoid wing kebanyakan berjenis meningioma meningotelial dan neoplasma jenis ini cenderung menyebabkan hiperostosis setempat serta memiliki gambaran radiologi yang khas. Semua hiperostosis yang ditemukan pada sphenoid wing harus diangkat untuk mencegah rekurensi. Pengangkatan tumor secara luas disertai dekompresi tulang sphenoid wing memberi hasil fungsional dan kosmetik yang memadai. Tidak ada hubungan bermakna dari data meningioma sphenoid wing disertai hiperostosis dengan usia dan jenis kelamin. Terdapat hubungan bermakna antara KB dengan jenis meningioma yaitu meningoteliomatosa. Kerjasama yang baik antara dokter bedah saraf dan dokter mata adalah penting untuk kelainan ini. Riwayat penggunaan alat kontrasepsi KB suntik banyak didapat pada pasien meningioma sphenoid wing disertai hiperostosis.

ABSTRACT
Sphenoid wing meningioma has two names, such as meningioma en plaque sphenoid wing and spheno-orbital meningiomas. Meningiomas in the sphenoorbita has its complex, includes sphenoid wing, orbit, cavernous sinus, which could complicate the total resection. Clinical presentation is the classic triad of proptosis, visual disturbance, and occular paresis. The most common sphenoid wing meningioma is en-plaque meningioma. En-plaque meningioma is a morphological subgroup defined as thin lession, widely spread, like carpet or sheet, which infiltrated dura and sometimes invading bone and grows inside the tumor intraosseus thus causing hyperostosis. Meningiomas are also produce enzymes, which indirectly cause calcification. Fifteen to twenty percent of meningiomas are found in sphenoid wing with hyperostosis in frontotemporal-lateral orbital region. Fourty six percents from all of intracranial meningioma patient cases were sphenoid wing meningioma with hyperostotic during Period January 2010 to January 2012. Hyperostotic is a change in the skull bones are most commonly found associated with meningioma especially in the region of the sphenoid wing. Some theories suggest this event is secondary to the process of tumor formation and could occur with or without tumor invasion to bone. Many cases of patients with proptosis who are consulted by ophtalmologists that come into the department of Neurological Surgery School of Medicine-Cipto Mangunkusumo, makes it interesting to be observed and explored further. Objective This study is performed to conduct further evaluation of the sphenoid wing meningioma with hyperostosis, regarding the demographic data. The study wanted to see the relationship between the number of incidents with the distribution of age, sex, causes, and the type of tumor. In addition, this study evaluated the relationship between the usage of injectable contraceptives in particular family planning, operating results, and the rate of complications and recurrence. Methods This study was a retrospective study conducted by collecting medical records of patients’ medical history, clinical manifestations, the neurooradiological sign, and engineering operations, in 60 patients who underwent surgery for a craniotomy and lateral orbitotomi from January 2010 until January 2012. Population samples were taken from patients in the department of Neurosurgery Cipto Mangunkusumo. Inclusion criteria were all patients diagnosed with sphenoid wing meningioma with hyperostosis in the periods of January 2010 - January 2012. Exclusion criteria were meningioma tumor in the sphenoid wing and the outer region of the sphenoid wing meningioma without hyperostosis. In this study there were patients with age range from 31-60 years with the average age of 44 years old.There were 2 (3%) men and 58 (96.7%) female. The chief complaint is progressive proptosis and visual impairment. All of the patient undergo surgery through lateral orbitotomi and fronto-temporal craniotomy accompanied by orbital decompression. Monitoring on a wide degree of tumor resection and postoperative complications is performed. All patients with sphenoid wing meningioma with hyperostosis in lateral orbita have operated with subtotal or partial resection. Pathological examination showed 33 (55%) patients are meningothelial meningioma. After surgery, proptosis reduced in 54 (90%) patients, and increasing visus in 18 (30%) patients. Three months to one year follow-up found the tumorrecurred in 4 (6.6%) patients and 2 (3.3%) patients, who underwent a second surgery. Two (3.3%) patients were not monitored. No history of chronic use of contraception. A total of 42 (89.36%) patients using injectable contraception for more than 10 years and 5 (10.6%) patients less than 10 years. Reported contraceptive device users in52 patients (86%) patients, non-users in 4 (6.6%), and unknown in 4 (6.6%) patients. From a total of 52 (86%) patients with contraceptive users, 47 of them (90.38%) used injectable contraception, 4 (7.69%) consumed oral contraceptive pill, dan 1 (1.92%) patient with the implant contraception. Conclusion The most common type of sphenoid wing meningioma were menignothelial meningioma. This tumor is the most diversified and is tend to cause local hyperostosis and has a picture of a typical radiology. All hyperostosis found on the sphenoid wing must be removed to prevent recurrence. Wide removal of the tumor with decompression sphenoid wing bones gives the adequate functional and cosmetic results. There is no significant correlation of the data sphenoid wing meningioma with hyperostosis with age and sex. However, there was a significant relationship between the meningothelial meningioma with injecting contraception. Good cooperation between neurosurgeons and ophthalmologists is important for this disorder. History of the use of injectable contraception is obtained in patients with sphenoid wing meningioma with hyperostosis."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Diyana
"Peran reseptor progesteron pada meningioma masih diperdebatkan. Namun ekspresi reseptor ini cenderung memberikan prognosis yang baik bagi pasien. Berbagai studi telah dilakukan untuk mengidentifikasi faktor prognosis yang mempengaruhi luaran meningioma. Telaah sistematis ini mengevaluasi berbagai studi yang menilai hubungan ekspresi reseptor progesteron terhadap derajat meningioma, serta luaran klinis berupa rekurensi, recurrence free survival (RFS), progression free survival (PFS), local control (LC), dan overall survival (OS) pada pasien meningioma. Berdasarkan hasil telaah sistematis ini, ekspresi reseptor progesteron mempunyai hubungan terbalik dengan peningkatan derajat meningioma. Ekspresi reseptor progesteron positif juga memberikan luaran yang lebih baik pada pasien pasca operasi. Studi mengenai respons radiasi terkait reseptor progesteron masih sangat jarang.

The role of progesterone receptors in meningiomas is still debatable. However, the expression of these receptors tends to provide a good prognosis. Various studies have been conducted to identify progesterone receptors as a prognostic factors. This systematic review evaluates various studies assessing relation of progesterone receptor expression to the grade of meningioma and clinical outcomes in the form of recurrence, recurrence free survival (RFS), progression free survival (PFS), local control (LC), and overall survival (OS). Based on the results of this systematic review, progesterone receptor expression has an inverse relation with an increased grade. Positive progesterone receptor expression also have a better outcome in postoperative patients. Studies of the radiation response associated with progesterone receptors are rare."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fenny Tjuatja
"Tujuan: Mengetahui peran indeks proliferasi Ki-67 sebagai salah satu faktor prognosis dalam memperkirakan respons radiasi pada meningioma. Metode: Telaah sistematis berdasarkan PRISMA dari tiga pangkalan data online yaitu Pubmed, Scopus, EbscoHost/CINAHL. Dilakukan ekstraksi data secara manual dari literatur yang memenuhi eligibilitas. Hasil: 465 literatur terhimpun dari pencarian untuk dua pertanyaan studi dengan 15 literatur yang akhirnya memenuhi kriteria eligibilitas. Dua belas studi menilai hubungan Ki-67 dengan derajat meningioma melaporkan adanya korelasi Ki-67 dengan derajat meningioma. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Sedangkan satu studi lainnya tidak mendapatkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Kesimpulan: Ki-67 memiliki korelasi searah dengan derajat meningioma. Sejumlah dua dari 3 studi tentang hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada pasien meningioma melaporkan bahwa nilai Ki-67 yang lebih tinggi memberikan respons yang lebih baik terhadap radiasi.Tujuan: Mengetahui peran indeks proliferasi Ki-67 sebagai salah satu faktor prognosis dalam memperkirakan respons radiasi pada meningioma. Metode: Telaah sistematis berdasarkan PRISMA dari tiga pangkalan data online yaitu Pubmed, Scopus, EbscoHost/CINAHL. Dilakukan ekstraksi data secara manual dari literatur yang memenuhi eligibilitas. Hasil: 465 literatur terhimpun dari pencarian untuk dua pertanyaan studi dengan 15 literatur yang akhirnya memenuhi kriteria eligibilitas. Dua belas studi menilai hubungan Ki-67 dengan derajat meningioma melaporkan adanya korelasi Ki-67 dengan derajat meningioma. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Sedangkan satu studi lainnya tidak mendapatkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Kesimpulan: Ki-67 memiliki korelasi searah dengan derajat meningioma. Sejumlah dua dari 3 studi tentang hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada pasien meningioma melaporkan bahwa nilai Ki-67 yang lebih tinggi memberikan respons yang lebih baik terhadap radiasi.Tujuan: Mengetahui peran indeks proliferasi Ki-67 sebagai salah satu faktor prognosis dalam memperkirakan respons radiasi pada meningioma. Metode: Telaah sistematis berdasarkan PRISMA dari tiga pangkalan data online yaitu Pubmed, Scopus, EbscoHost/CINAHL. Dilakukan ekstraksi data secara manual dari literatur yang memenuhi eligibilitas. Hasil: 465 literatur terhimpun dari pencarian untuk dua pertanyaan studi dengan 15 literatur yang akhirnya memenuhi kriteria eligibilitas. Dua belas studi menilai hubungan Ki-67 dengan derajat meningioma melaporkan adanya korelasi Ki-67 dengan derajat meningioma. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Sedangkan satu studi lainnya tidak mendapatkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Kesimpulan: Ki-67 memiliki korelasi searah dengan derajat meningioma. Sejumlah dua dari 3 studi tentang hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada pasien meningioma melaporkan bahwa nilai Ki-67 yang lebih tinggi memberikan respons yang lebih baik terhadap radiasi.Tujuan: Mengetahui peran indeks proliferasi Ki-67 sebagai salah satu faktor prognosis dalam memperkirakan respons radiasi pada meningioma. Metode: Telaah sistematis berdasarkan PRISMA dari tiga pangkalan data online yaitu Pubmed, Scopus, EbscoHost/CINAHL. Dilakukan ekstraksi data secara manual dari literatur yang memenuhi eligibilitas. Hasil: 465 literatur terhimpun dari pencarian untuk dua pertanyaan studi dengan 15 literatur yang akhirnya memenuhi kriteria eligibilitas. Dua belas studi menilai hubungan Ki-67 dengan derajat meningioma melaporkan adanya korelasi Ki-67 dengan derajat meningioma. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Sedangkan satu studi lainnya tidak mendapatkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Kesimpulan: Ki-67 memiliki korelasi searah dengan derajat meningioma. Sejumlah dua dari 3 studi tentang hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada pasien meningioma melaporkan bahwa nilai Ki-67 yang lebih tinggi memberikan respons yang lebih baik terhadap radiasi.Tujuan: Mengetahui peran indeks proliferasi Ki-67 sebagai salah satu faktor prognosis dalam memperkirakan respons radiasi pada meningioma. Metode: Telaah sistematis berdasarkan PRISMA dari tiga pangkalan data online yaitu Pubmed, Scopus, EbscoHost/CINAHL. Dilakukan ekstraksi data secara manual dari literatur yang memenuhi eligibilitas. Hasil: 465 literatur terhimpun dari pencarian untuk dua pertanyaan studi dengan 15 literatur yang akhirnya memenuhi kriteria eligibilitas. Dua belas studi menilai hubungan Ki-67 dengan derajat meningioma melaporkan adanya korelasi Ki-67 dengan derajat meningioma. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Sedangkan satu studi lainnya tidak mendapatkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Kesimpulan: Ki-67 memiliki korelasi searah dengan derajat meningioma. Sejumlah dua dari 3 studi tentang hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada pasien meningioma melaporkan bahwa nilai Ki-67 yang lebih tinggi memberikan respons yang lebih baik terhadap radiasi.Tujuan: Mengetahui peran indeks proliferasi Ki-67 sebagai salah satu faktor prognosis dalam memperkirakan respons radiasi pada meningioma. Metode: Telaah sistematis berdasarkan PRISMA dari tiga pangkalan data online yaitu Pubmed, Scopus, EbscoHost/CINAHL. Dilakukan ekstraksi data secara manual dari literatur yang memenuhi eligibilitas. Hasil: 465 literatur terhimpun dari pencarian untuk dua pertanyaan studi dengan 15 literatur yang akhirnya memenuhi kriteria eligibilitas. Dua belas studi menilai hubungan Ki-67 dengan derajat meningioma melaporkan adanya korelasi Ki-67 dengan derajat meningioma. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Sedangkan satu studi lainnya tidak mendapatkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Kesimpulan: Ki-67 memiliki korelasi searah dengan derajat meningioma. Sejumlah dua dari 3 studi tentang hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada pasien meningioma melaporkan bahwa nilai Ki-67 yang lebih tinggi memberikan respons yang lebih baik terhadap radiasi.Tujuan: Mengetahui peran indeks proliferasi Ki-67 sebagai salah satu faktor prognosis dalam memperkirakan respons radiasi pada meningioma. Metode: Telaah sistematis berdasarkan PRISMA dari tiga pangkalan data online yaitu Pubmed, Scopus, EbscoHost/CINAHL. Dilakukan ekstraksi data secara manual dari literatur yang memenuhi eligibilitas. Hasil: 465 literatur terhimpun dari pencarian untuk dua pertanyaan studi dengan 15 literatur yang akhirnya memenuhi kriteria eligibilitas. Dua belas studi menilai hubungan Ki-67 dengan derajat meningioma melaporkan adanya korelasi Ki-67 dengan derajat meningioma. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Sedangkan satu studi lainnya tidak mendapatkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Kesimpulan: Ki-67 memiliki korelasi searah dengan derajat meningioma. Sejumlah dua dari 3 studi tentang hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada pasien meningioma melaporkan bahwa nilai Ki-67 yang lebih tinggi memberikan respons yang lebih baik terhadap radiasi.

Aims: Identifying the role of the Ki-67 proliferation index as a prognostic factor in
estimating radiation therapy response in meningiomas. Methods: A systematic review of
PubMed, Scopus, EBSCOhost/CINAHL was performed following the Preferred
Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses guideline. Data extraction
was completed manually from selected studies. Results: 465 of the literature were
compiled from a literature search for the two study questions and finally, 15 articles met
the eligibility criteria. Twelve studies demonstrated that Ki-67 proliferation index had a
significant correlation with the grade in meningiomas. Meanwhile, two studies reported
that in meningiomas treated with radiation therapy a higher Ki-67 proliferation index
would provide better local control than a lower Ki-67 proliferation index. One other study
found no correlation between Ki-67 and radiation response. Conclusion: Ki-67
proliferation index has a unidirectional correlation with the grade of meningioma. A total
of two out of 3 studies on the correlation of Ki-67 with radiation response in meningiomas
reported that higher Ki-67 responded better to radiation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Ganefianty
"Meningioma merupakan tumor intrakranial primer yang paling umum terjadi, terhitung sepertiga dari semua tumor yang menyerang sistem saraf pusat. Meningioma dapat mempengaruhi beberapa dimensi kehidupan seperti fisiologis, psikologis, dan sosial. Pembedahan adalah penatalaksanaan utama pada pasien meningioma. Kualitas hidup pasien meningioma pasca pembedahan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien meningioma dalam waktu 3 bulan hingga 1 tahun pasca pembedahan. Penelitian ini menggunakan metode cross sectional. Sebanyak 118 pasien meningioma pasca pembedahan yang dipilih menggunakan teknik purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pasien meningioma pasca pembedahan memiliki kualitass hidup kurang baik (79,7%). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien meningioma pasca pembedahan adalah usia (p=0,014), grade tumor (p=0,0001), status fungsional (p=0,0001), fatigue (p=0,001), illness perception (p=0,0001), dan dukungan sosial (p=0,001). Hasil analisis multivariat menunjukkan faktor yang paling dominan berhubungan dengan kualitas hidup pasien meningioma pasca pembedahan adalah status fungsional dengan nilai OR 6,728 (CI 95%= 1,655; 27,348). Penelitian ini diharapkan dapat menjadikan acuan bagi perawat dalam mengembangkan pengkajian keperawatan pada pasien meningioma pasca pembedahan terkait kualitas hidup.

Meningioma is the most common primary intracranial tumor, accounting for one third of all tumors that attack the central nervous system Meningioma can affect several domains of life such as physiological, psychological, and social life. Surgery is the main management in meningioma patients. The aim of this study was to investigate the factors influencing quality of life in meningioma patients after surgery. This study was a cross sectional analytic design involved. A total of 118 postoperative meningioma patients were selected by purposive sampling technique. The results of this study indicate that the majority of patients have low quality of life (79.7%). Factors related to quality of life were age (p = 0.014), tumor grade (p = 0,0001), functional status (p = 0,0001), fatigue (p = 0,001), illness perception ( p = 0,0001), and social support (p = 0,001). Multivariate analysis showed that the most dominant factor associated with the quality of life was functional status (OR 6.728). This study is to provide input to nurses as reference in developing nursing assesment in  meningioma patients after surgery related quality of life.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
T53218
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mirna Marhami Iskandar
"ABSTRAK
Latar belakang: Meningioma adalah tumor intrakranial yang paling sering ditemukan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, yang diketahui memiliki luaran baik apabila derajat keganasannya rendah dan dapat dilakukan reseksi total. Namun demikian, tingkat rekurensi masih cukup tinggi, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan risiko rekurensi.Metode penelitian: Desain penelitian adalah potong lintang, dengan populasi mencakup semua pasien di atas usia 18 tahun yang didiagnosis dengan meningioma intrakranial sejak Januari 2010 sampai Juni 2015. Faktor inklusi yaitu yang mampu dilakukan follow-up dan memberikan persetujuan untuk ikut dalam penelitian. Rekurensi pada dua tahun pascaoperasi dinilai secara klinis dan radiologis. Dilakukan pemeriksaan imunohistokimia, yaitu ekspresi progesterone receptor PR , vascular endothelial growth factor VEGF , dan Ki67. Faktor-faktor lain yang dinilai yaitu derajat WHO, derajat Simpson, dan lokasi tumor. Pengolahan data dilakukan dengan analisis bivariat dan multivariat.Hasil : Tingkat rekurensi adalah sebesar 16,1 . Derajat Simpson yang lebih tinggi dapat meningkatkan risiko terjadinya rekurensi p=0.041, OR 20,34 95 CI 1.13-367.62 . Beberapa faktor dianalisis bersama, dan didapatkan bahwa ekspresi VEGF yang sedang-kuat apabila disertai dengan ekspresi PR yang negatif juga meningkatkan risiko rekurensi p=0.027, OR 26,31, 95 CI 1.439-481.307 .Kesimpulan : Tingkat rekurensi meningioma intrakranial pada dua tahun pascaoperasi adalah sebesar 16,1 . Berdasarkan faktor-faktor yang dianalisis dalam penelitian ini, didapatkan bahwa risiko rekurensi meningkat secara signifikan pada derajat Simpson yang lebih rendah, dan juga dengan ekspresi VEGF yang lebih kuat jika disertai dengan ekspresi PR yang negatif.
ABSTRACT Background. Meningioma is the most frequently found intracranial tumor in Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital, which is known have good outcome if the tumor is benign and total resection is possible. Nevertheless, recurrence is still commonly found, warranting further investigation on other factors that may increase the risk of recurrence. Method. This is a cross sectional study. The population consists of all patients aged 18 years old, diagnosed with intracranial meningioma between January 2010 ndash June 2015, among whom follow up and informed consent are possible. Recurrence at two years post surgery is assessed by clinical and radiological presentation. Immunohistochemistry expressions, along with WHO grade, Simpson grade, and tumor location, are then analyzed with bivariate and multivariate correlation. Results. Recurrence rate at was 16,1 . The factor found to significantly increase risk for recurrence is Simpson grade p 0.041, OR 20,34 95 CI 1.13 367.62 . Some variables are analyzed together, and it is also found that moderate strong VEGF expression when found together with negative PR expression increases also significantly increases recurrence rate p 0.027, OR 26,31, 95 CI 1.439 481.307 . Conclusion. Recurrence rate of meningioma two years post surgery is 16,1 . Among the factors assessed within this study, recurrence risk is found to be increased with higher Simpson grade, and stronger VEGF expression when found together with negative PR expression."
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ryan Rhiveldi Keswani
"ABSTRAK
Pendahuluan: Meningioma Sphenoorbital merupakan massa tumor eksofitik yang infiltrat tulang di sayap sphenoid, dinding orbital lateral, atap orbital, dan memperluas ke fisura orbital superior. Triad klasik fitur klinis proptosis, penurunan ketajaman penglihatan, dan opthalmoplegia. Saat ini kami belum mengevaluasi hasil pasien setelah operasi. Dalam penelitian ini, kami ingin tahu karakterisitik klinis pasien dengan meningioma sphenoorbital sebelum dan sesudah operasi.
Pasien dan Metode: Studi cross sectional dilakukan dengan subyek adalah penderita dengan meningioma sphenoorbital yang datang ke klinik kami pada bulan Januari 2014 - Desember 2015. Semua penderita menjalani kraniektomi dan lateral orbitotomi. Kami mengevaluasi ketajaman penglihatan dan indeks proptotis sebelum dan setelah operasi dengan mengukur penonjolan mata dalam CT Scan potongan aksial.
Hasil: Ada 66 sampel dalam penelitian ini, 65 dari sampel adalah perempuan. Dengan kisaran umur 31-64 tahun . Rata-rata Indeks proptotis pra operasi adalah 18,27 dan pasca operasi adalah 16,43 . Dengan rata-rata penurunan indeks proptotis adalah 1,84 (p < 0,05) . Paska Operasi ketajaman penglihatan yang ditingkatkan hanya 3 (9,7 %) dari sampel (p = 0,0471)
Kesimpulan: Para pasien sphenoorbital setelah operasi, menunjukkan peningkatan dalam indeks proptosis. Oleh karena itu ketajaman penglihatan tidak nyata membaik setelah operasi.
Pendahuluan: Meningioma Sphenoorbital merupakan massa tumor eksofitik yang infiltrat tulang di sayap sphenoid, dinding orbital lateral, atap orbital, dan memperluas ke fisura orbital superior. Triad klasik fitur klinis proptosis, penurunan ketajaman penglihatan, dan opthalmoplegia. Saat ini kami belum mengevaluasi hasil pasien setelah operasi. Dalam penelitian ini, kami ingin tahu karakterisitik klinis pasien dengan meningioma sphenoorbital sebelum dan sesudah operasi.
Pasien dan Metode: Studi cross sectional dilakukan dengan subyek adalah penderita dengan meningioma sphenoorbital yang datang ke klinik kami pada bulan Januari 2014 - Desember 2015. Semua penderita menjalani kraniektomi dan lateral orbitotomi. Kami mengevaluasi ketajaman penglihatan dan indeks proptotis sebelum dan setelah operasi dengan mengukur penonjolan mata dalam CT Scan potongan aksial.
Hasil: Ada 66 sampel dalam penelitian ini, 65 dari sampel adalah perempuan. Dengan kisaran umur 31-64 tahun . Rata-rata Indeks proptotis pra operasi adalah 18,27 dan pasca operasi adalah 16,43 . Dengan rata-rata penurunan indeks proptotis adalah 1,84 (p < 0,05) . Paska Operasi ketajaman penglihatan yang ditingkatkan hanya 3 (9,7 %) dari sampel (p = 0,0471)
Kesimpulan: Para pasien sphenoorbital setelah operasi, menunjukkan peningkatan dalam indeks proptosis. Oleh karena itu ketajaman penglihatan tidak nyata membaik setelah operasi.
Pendahuluan: Meningioma Sphenoorbital merupakan massa tumor eksofitik yang infiltrat tulang di sayap sphenoid, dinding orbital lateral, atap orbital, dan memperluas ke fisura orbital superior. Triad klasik fitur klinis proptosis, penurunan ketajaman penglihatan, dan opthalmoplegia. Saat ini kami belum mengevaluasi hasil pasien setelah operasi. Dalam penelitian ini, kami ingin tahu karakterisitik klinis pasien dengan meningioma sphenoorbital sebelum dan sesudah operasi.
Pasien dan Metode: Studi cross sectional dilakukan dengan subyek adalah penderita dengan meningioma sphenoorbital yang datang ke klinik kami pada bulan Januari 2014 - Desember 2015. Semua penderita menjalani kraniektomi dan lateral orbitotomi. Kami mengevaluasi ketajaman penglihatan dan indeks proptotis sebelum dan setelah operasi dengan mengukur penonjolan mata dalam CT Scan potongan aksial.
Hasil: Ada 66 sampel dalam penelitian ini, 65 dari sampel adalah perempuan. Dengan kisaran umur 31-64 tahun . Rata-rata Indeks proptotis pra operasi adalah 18,27 dan pasca operasi adalah 16,43 . Dengan rata-rata penurunan indeks proptotis adalah 1,84 (p < 0,05) . Paska Operasi ketajaman penglihatan yang ditingkatkan hanya 3 (9,7 %) dari sampel (p = 0,0471)
Kesimpulan: Para pasien sphenoorbital setelah operasi, menunjukkan peningkatan dalam indeks proptosis. Oleh karena itu ketajaman penglihatan tidak nyata membaik setelah operasi.

ABSTRACT
Introduction: Sphenoorbital meningioma is an exophytic tumor mass that infiltrates rthe bone at sphenoid wing, lateral orbital wall, orbital roof, and extending to superior orbital fissure. The classic triad of clinical features are proptosis, decrease visual acquity, and opthalmoplegia. Nowadays we have not eavaluating patient?s outcome after surgery. In the research, we would like to know the clinical characterisitc of the patient with sphenoorbital menigioma before and after surgey.
Patients and Methods: The cross sectional study was performed. Subjects was the patiens with sphenoorbital meningioma who came to our clinic on January 2014 ? December 2015. All the patiens underwent craniectomy and lateral orbitotomy. We evaluated the visual acquity and proptotic index before and after surgery by measuring the protuded eye in a axial CT Scan.
Result: There were 66 samples in this study, 65 of the samples were female. With afe range 31 to 64 years. The mean proptotic index pre-operative is 18,27 and the post operative is 16,43. With mean proptotic index reduction is 1,84 (p<0,05). Post Operative visual acquity were improved only 3 (9,7%) samples (p=0,0471)
Conclusions: The sphenoorbital patients after surgery was showed markedly improvement in proptosis index. Hence the visual acquity were not markedly improved after surgery.
"
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sayyid Abdil Hakam Perkasa
"Pengantar
Matrix Metalloproteinase-9 (MMP-9) diyakini berperan dalam infiltrasi meningioma ke tulang yang mengakibatkan hiperostosis. Studi prospektif ini diharapkan dapat mempelajari biomarker tersebut dan hubungannya dengan sifat infiltratif meningioma.
Metode
Penelitian ini bersifat prospektif dengan melakukan pengambilan sampel tumor bersama dengan tulang yang berdekatan melalui operasi. Pewarnaan hematoxylin dan eosin dilakukan untuk mengidentifikasi infiltrasi tumor ke calvaria dari spesimen tulang yang berdekatan. Uji imunohistokimia (IHK) sampel tumor dilakukan untuk menentukan intensitas MMP-9, yang diklasifikasikan menjadi empat kategori: negatif, lemah, sedang, dan kuat.
Hasil
Tiga puluh kasus meningioma menjalani kraniotomi pengangkatan tumor. Terdapat 18 (60%) sampel dengan hiperostosis, dan 17 (94,4%) diantaranya menginfiltrasi tengkorak. Tidak ada sampel dengan pewarnaan IHK negatif. Enam belas (59,26%) sampel tumor memiliki intensitas ekspresi MMP-9 sedang, ekspresi lemah ditemukan pada tiga sampel (11,11%), sedangkan intensitas kuat ditemukan pada delapan kasus (29,63%). Hasil kami menunjukkan hubungan yang signifikan antara infiltrasi tumor ke tulang dengan hiperostosis, tetapi intensitas MMP-9 tidak berkorelasi signifikan dengan hiperostosis dan infiltrasi tumor.
Kesimpulan
Sebagai salah satu enzim proteolitik, kami menemukan bahwa MMP-9 bukanlah faktor yang signifikan untuk infiltrasi meningioma ke tulang.

Introduction
Matrix Metalloproteinase-9 (MMP-9) is believed to play a role in meningioma infiltration to the bone that results in hyperostosis. This prospective study is expected to learn about the biomarker and its relationship with the infiltrative nature of meningiomas
Method
A prospective analysis was conducted to retrieve meningioma samples along with adjacent bone through surgery. Hematoxylin and eosin staining was performed to identify tumoral infiltration to the calvaria from adjacent bone specimens. Immunohistochemical (IHC) tests of tumor samples were conducted to determine MMP-9 intensity, classified into four categories: negative, weak, moderate, and strong
Results
Thirty meningioma cases underwent craniotomy tumor removal. There were 18 (60%) samples with hyperostosis, and 17 (94.4%) of them infiltrated the skull. There was no sample with negative IHC staining. Sixteen (59.26%) tumor samples had moderate intensity expression of MMP-9, weak expression was found in three (11.11%) samples, while strong intensity was found in eight (29.63%) cases. Our result showed a significant relationship between tumor infiltration to the adjacent bone with hyperostosis, but the intensity of MMP-9 was not significantly correlated with hyperostosis and tumor infiltration.
Conclusion
As one of the proteolytic enzymes, we found that MMP-9 was not a significant factor for meningioma infiltration to the adjacent bone.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fransisca Kristiningsih
"Kanker merupakan penyakit genetik dimana pengaturan sel, karakteristik sel dan fungsi sel normal berubah. Penyakit kanker terus menjadi masalah kesehatan yang signifikan di masyarakat di seluruh dunia dan di Indonesia. Salah satu kanker yang berdampak pada kerusakan sistem neurologis dan menurunkan kualitas hidup adalah meningioma. Praktik asuhan keperawatan pada pasien kanker memerlukan pendekatan teori keperawatan. Karya Ilmiah Akhir merupakan laporan praktik residensi keperawatan medikal bedah peminatan onkologi di rumah sakit kanker Dharmais. Karya ilmiah ini terdiri dari: (1) penerapan theory of comfort, (2) penerapan program orientasi pasien pra kemoterapi sebagai evidence based nursing, serta (3) modified early warning score sebagai proyek inovasi kelompok. Kesimpulan theory of comfort tepat digunakan dalam perawatan pasien kanker. Intervensi pemberian program orientasi pasien pra kemoterapi dan inovasi modified early warning score dapat diaplikasikan dalam perawatan pasien kanker baik dirawat inap maupun rawat jalan.

Cancer is a genetic disease in which the composition of cells, cell characteristics and normal cell function has been changed. Cancer continues to be a significant health problem in communities throughout globally and specifically in Indonesia. Type of cancer which affects the damage of neurological system and degrade the quality of life called meningioma. The practice of nursing care in cancer patients requiring nursing theory approach. Scientific final paper is type of report of residency medical-surgical nursing practice specialization in oncology at the Dharmais Cancer Hospital. This scientific work consists of: (1) The application of comfort theory, (2) The application of pre-chemotherapy patient orientation program as evidence based nursing practice, and (3) modified early warning score as an innovation of the group project. It conclude the theory of comfort is appropriate to use in the treatment of cancer patients. The Intervention of prechemotherapy patient orientation program and modified early warning score innovation could be applied in the treatment of care for cancer patients both hospitalized and outpatients.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>