Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 221512 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Priscilla
"Latar Belakang: COVID-19 telah ditetapkan WHO sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Yang Meresahkan Dunia dengan case fatality rate (CFR) di Indonesia mencapai 8,7% pada April 2020. Sampai saat ini belum ada biomarker prognosis untuk membedakan pasien yang membutuhkan perhatian segera dan menjadi prediktor mortalitas COVID-19 di ICU. Skor Simplified Acute Physiology Score 3 (SAPS 3) menilai kondisi pasien sejak pertama kali datang ke rumah sakit dan mengevaluasi data yang diperoleh saat masuk ICU dalam menentukan prediktor mortalitas 28 hari. Tujuan: Studi ini menganalisis hubungan skor SAPS 3 dengan mortalitas 28 hari pada pasien COVID-19 yang dirawat di ICU RSCM dan RSUI.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo selama bulan Maret-Agustus 2020. Sebanyak 208 subjek yang sesuai kriteria inklusi dianalisis dari data rekam medis. Data demografis dan penilaian skor SAPS 3 dicatat sesuai data rekam medis. Variabel SAPS 3 yang berpengaruh terhadap mortalitas 28 hari dilakukan analisis bivariat dan regresi logistik multivariat. Kesahihan dinilai menggunakan uji diskriminasi dengan melihat Area Under Curve (AUC) dan uji kalibrasi Hosmer Lemeshow. Titik potong optimal ditentukan secara statistik.
Hasil: Angka mortalitas 28 hari akibat COVID-19 periode Maret-Agustus sebesar 43.8%. Variabel SAPS 3 yang secara statistik berpengaruh signifikan (p<0.05) terhadap mortalitas 28 hari pasien COVID-19 di ICU adalah usia, riwayat penggunaan obat vasoaktif sebelum masuk ICU, penyebab masuk ICU (defisit neurologis fokal dan gagal napas), kadar kreatinin dan trombosit. Skor SAPS 3 menunjukkan nilai diskriminasi yang baik (AUC 80.5% Interval Kepercayaan 95% 0.747-0.862) dan kalibrasi yang baik (Hosmer-Lemeshow p=0.395). Titik potong optimal skor SAPS 3 adalah 39 dengan sensitivitas 70.3% dan spesifisitas 74.4%.
Kesimpulan: Skor SAPS 3 memiliki hubungan dengan mortalitas 28 hari pada pasien COVID-19 yang dirawat di ICU.

Background: COVID-19 has been declared as a Public Health Emergency of International Concern by WHO with case fatality rate (CFR) of 8,7% in April 2020 in Indonesia. Until now, there is no prognostic biomarker to differentiate patients who require immediate attention and be a mortality predictor for COVID-19 patients in ICU. Simplified Acute Physiology Score 3 (SAPS 3) score assessed the patient’s condition since the first time he came to the hospital and evaluated the data obtained in the first hour of admission to the ICU in predicting 28-days mortality. Goals: This study aims to analyze the correlation between SAPS 3 score and 28-days mortality caused by COVID-19 in the ICU RSCM and RSUI.
Methods: This retrospective cohort study was conducted in Cipto Mangunkusumo Hospital from March to August 2020 on 208 subjects who met the inclusion criteria. Demographic data and SAPS 3 score were recorded, the data was taken from medical records. Bivariate and multivariate logistic regression was used to investigate the relationship between SAPS 3 variables and 28-days mortality. The validity of SAPS 3 score was assessed by measurement of the Area Under Curve (AUC) and Hosmer- Lemeshow calibration test. The optimal cut-off point was determined statistically.
Results: The mortality rate of COVID-19 in our study from March to August 2020 is 43.8%. Five SAPS 3 variables were found to be significantly associated with 28-days mortality of COVID-19 patients in the ICU (p<0.05) are age, use of vasoactive drugs before ICU admission, reason for ICU admission (focal neurologic defisit and respiratory failure), creatinine, and thrombocyte level. SAPS 3 showed a good discrimination ability (AUC 80.5% Confidence Interval 95% 0.747-0.862) and calibration ability (Hosmer-Lemeshow p=0.395). The optimal cut off point of SAPS 3 score was 39 with sensitivity 70.3% and specificity 74.4%.
Conclusion: SAPS 3 score have a correlation with 28-days mortality caused by COVID-19 in the ICU.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vera Irawaty
"Pendahuluan:
Peningkatan kadar laktat pada saat masuk UPI secara independent berhubungan dengan outcome yang buruk. Kadar laktat sebagai parameter prognostik di UPI RSCM belum pemah diteliti sebelumnya. Pada penelitian pendahulu, skor SAPS II menunjukkan kemampuan yang baik dalam memprediksi mortalitas di UPI. Penelitian ini bertujuan membandingkan kadar laktat arteri inisial dengan SAPS II sebagai prediktor mortalitas di UPI RSCM.
Pasien & Metode:
Suatu studi observasi yang prospektif selama periode bulan April sampai Juni 2006 yang dilakukan di UPI bedah-medik. Data dikumpulkan dari 153 pasien yang memenuhi kriteria penerimaan. Data dasar: kadar laktat arteri inisial pada sate jam pertama masuk UPI dan 24 jam pertama untuk skor SAPS II. Mortalitas UPI pun dicatat. Analisis statistik menggunakan Uji Student t and chi-square. Kurva ROC (Receiver Operating Curve) dibuat dan titik potong optimal ditetapkan serta luas daerah di bawah kurva dihitung, untuk menilai untuk nilai prognostik kadar laktat arteri inisial dan SAPS II. Koefisien Pearson digunakan un tuk menganalisa hubungan antara kadar laktat inisial dan skor SAPS II.
Hasil:
Dari 153 pasien yang memenuhi kriteria, 16 pasien (10,5%) mengalami kematian di UPI. Kelompok survivor memiliki rerata kadar laktat arteri inisial dan skor SAPS II yang lebih rendah dibandingkan kelompok nonsurvivor. Terdapat perbedaan yang berrnakna antara kadar laktat dan mortalitas UPI (p=0,001). Titik potong ditetapkan 3 mmolll. Analisis ROC menunjukkan bahwa kadar laktat arteri inisial (leas daerah di bawah kurva=0,732) tidak lebih baik bila dibandingkan dengan skor SAPS II (luas daerah di bawah kurva=0,915) sebagai prediktor mortalitas di UPI. Terdapat hubungan yang lemah antara kadar laktat arteri inisial dan SAPS II (p=0,002).
Kesimpulan:
Kadar laktat arteri inisial dan skor SAPS H yang tinggi secara independent berhubungan dengan peningkatan mortalitas UPI di UPI RSCM.

Introduction:
Elevated lactate levels on ICU admission have been independently associated with poor outcome. The prognostic values of this value have not been investigated in Cipto Mangunkusumo Hospital's ICU
Patients & Methods:
A prospective observational study over a periode from April to June 2006 was conducted in a medical-surgical ICU. Data were extracted from ICU data base: arterial blood lactate at the first hour on admission and the worst clinical & laboratory findings in the first 24 hours for SAPS II scoring. ICU mortality are also recorded. Statistical analyses were performed using Student t-test and chi-square tests_ Receiver Operating Curve were constructed, the optimal cut off point have been obtained and area under curve was used to assess the prognostic value of initial arterial lactate and SAPS H. The coefficient of Pearson were analyzed to assess the relation between initial lactate levels and SAPS II score.
Main Outcome:
Of the 153 evaluable patients, 16 patients (10.5%) were died in ICU Survivor had a lower mean of arterial lactate levels and SAPS II score than nonsurvivor). The mean of initial arterial lactate in survivor group is low than the nonsurvivor. There are a sign{flcant differences between initial lactate level and ICU mortality (p=0,001). The cut off point was obtained at 3.0 mmolll. ROC analysis demonstrated that initial arterial lactate level (AUC=0.732) is worsen than SAPS II Score (AUC=0,915) as a predictor of ICU mortality. There is a weak correlation between initial lactate and SAPS II score.
Conclusion:
An high initial arterial lactate and SAP II score are independently associated with increased ICU mortality in Cipto Mangunkusumo Central Hospital.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Albert Brian Santoso
"Seluruh aspek kehidupan telah dipengaruhi oleh pandemi COVID-19 termasuk bidang kesehatan. Disisi lain, terdapat peningkatan jumlah penderita kanker setiap tahunannya. Hubungan karakteristik klinis kanker ginekologi dengan infeksi COVID-19 terhadap mortalitas belum banyak diteliti. Dalam penelitian ini digunakan metode retrospective cross-sectional yang menggunakan data pasien penderita kanker ginekologi dengan infeksi COVID-19 yang terdaftar pada Departemen Obstetri Ginekologi RSPUN Dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 2020-2022. Penelitian ini menggunakan analisis uji Chi Square untuk menentukan variable yang akan dimasukan kedalam analisis regresi logistik backward stepwise. Dalam penelitian ini ditemukan usia >59 (OR, 0.020; Cl 95% 0.001-0.577; P= 0.023), anemia(OR,0.053; Cl 95% 0.005-0.565; P= 0.015), ARDS (OR, 50,010; CL 95%, 1,145-2185.101; P = 0.042), Hyperkalemia (OR, 11,189; Cl 95% 1,491-83.992; P = 0.019), Sepsis (OR, 18,386; Cl 95% 2,220-152.253; P= 0.007), ECOG >2 (OR, 12.859; Cl 95% 2.582-64.020; P= 0.002), and Degree of Severe-Critical COVID-19 (OR, 111.310; Cl 95% 3.961-3128.117; P= 0.006). Dapat disimpulkan ARDS, hyperkalemia, sepsis, ECOG >2, dan derajat COVID-19 berat-kritis memiliki signifikansi baik terhadap statistik maupun klinis dengan mortalitas, namun usia > 59 dan anemia secara klinis tidak memiliki signifikansi.

All aspects of life have been affected by the COVID-19 pandemic, including the health sector. On the other hand, the number of cancer patients is continuously increasing every year. The relationship between clinical characteristics of gynecological cancer with COVID-19 infection and mortality has not been widely studied. This study used a retrospective cross-sectional method using data on patients with gynecological cancer with COVID-19 infection registered in the gynecology department of Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital in 2020-2022. This study used chi-squared test analysis to determine the variables to be included in backward stepwise logistic regression analysis. In this study, it was found that age >59 (OR, 0.020; Cl 95% 0.001-0.577; P = 0.023), anemia (OR, 0.020; Cl 95% 0.001-0.578; p= 0.023), ARDS (OR, 48.796;  Cl 95%, 1.131-2105.921; P=0.043), hyperkalemia (OR, 10.960; Cl 95% 1.462-82.187; p= 0.020), sepsis (OR, 18.087; Cl 95% 2.192-149.271; P= 0.007), ECOG >2 (OR, 12.629; Cl 95% 2.538-62.854; P= 0.002), and degree of severe-critical COVID-19 (OR, 108.771; Cl 95% 3.917-3020.095; P= 0.006). It can be concluded that ARDS, hyperkalemia, sepsis, ECOG >2 and degree of severe-critical COVID-19 have both statistical and clinical significance with mortality, but age >59 and anemia have no clinical significance.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Levana
"Latar belakang: Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus SARS-CoV-2 dengan gejala ringan hingga berat seperti komplikasi paru dan kematian. Derajat keparahan penyakit merupakan salah satu faktor yang dapat memperberat kondisi pasien yang direncanakan operasi. Karakteristik klinis serta komplikasi pascaoperasi pasien dengan COVID-19 cukup banyak diteliti di negara lain. Namun Indonesia belum memiliki data terkait yang dapat dijadikan panduan dalam menjalani tindakan pembedahan pada pasien dengan COVID-19.
Metode: Penelitian ini merupakan kohort retrospektif dengan pengambilan data sekunder pasien COVID-19 yang menjalani pembedahan di RSCM dan RSUI dari Maret 2020 sampai September 2021. Hasil luaran yang dinilai adalah komplikasi paru dan mortalitas.
Hasil: Total 458 pasien COVID-19 menjalani pembedahan di RSCM dan RSUI, dengan operasi elektif 62% dan emergensi 38%. Angka kejadian komplikasi paru pascaoperasi sebesar 21,8% dan mortalitas 30 hari pascaoperasi sebesar 26%. Karakteristik klinis pasien yang mengalami komplikasi paru dan mortalitas yaitu berjenis kelamin laki-laki, berusia >65 tahun, memiliki jumlah komorbid dua atau lebih, gejala klinis awal batuk, sesak dan demam, nilai NLR ≥5,9 yang dikategorikan derajat berat COVID-19, gambaran CXR konsolidasi atau opasitas, serta menggunakan ventilasi mekanik praoperasi. Pasien dengan Early Warning Score (EWS) >10 memiliki risiko 2,98 kali lebih besar untuk terjadinya komplikasi paru. Sedangkan risiko terjadinya mortalitas dapat meningkat 31,8 kali pada pasien yang memiliki ASA 3-5 dan 6,91 kali pada penggunaan ventilasi mekanik praoperasi.
Simpulan: Pasien COVID-19 yang menjalani pembedahan memiliki risiko terjadinya komplikasi paru dan mortalitas pascaoperasi. Kejadian komplikasi paru memberat pada pasien dengan EWS >10, dan pada mortalitas memberat pada pasien dengan ASA 3-5 serta menggunakan ventilasi mekanik praoperasi. Faktor lain yang turut berperan diantaranya usia, jumlah komorbid, jenis operasi dan penggunaan topangan intraoperasi.

Background: Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) is a disease caused by SARS-CoV-2 infection with mild to severe symptoms such as pulmonary complications and death. The severity of disease is one of the factors that can aggravate the condition of patient who is planned for surgery. The clinical characteristics and postoperative complications of COVID-19 patients have been extensively studied in other countries. However, Indonesia does not yet have relevant data that can be used as a guide for COVID-19 patients in undergoing surgery.
Methods: This study is a retrospective cohort with secondary data collection of COVID-19 patients undergoing surgery at RSCM and RSUI from March 2020 to September 2021. The primary outcomes were pulmonary complications and mortality.
Results: A total of 458 COVID-19 patients underwent surgery at RSCM and RSUI, with 62% elective surgery and 38% emergency. The incidence of postoperative pulmonary complication was 21,8% and 30-day mortality was 26%. Clinical characteristics of patients with pulmonary complications and mortality were male, aged >65 years, had two or more comorbidities, initial symptoms of cough, dyspnea and fever, NLR value ≥5,9 which was categorized as severe COVID-19, consolidated CXR or opacity, and used preoperative mechanical ventilation. Patients with Early Warning Score (EWS) >10 had risk for pulmonary complications about 2,98 times. While, the risk of mortality can increase 31,8 times in patients with ASA 3-5 and 6,91 times in the use of preoperative mechanical ventilation.
Conclusions: COVID-19 patients undergoing surgery are at risk for pulmonary complications and mortality. The incidence of pulmonary complications was severe in patients with EWS >10, and mortality was severe in patients with ASA 3-5 and using preoperative mechanical ventilation. Other factors that play a role include age, number of comorbidities, type of surgery and use of intraoperative support.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Qolby Lazuardi
"Unit Perawatan Intensif (UPI) merupakan bagian rumah sakit yang berfungsi untuk melakukan perawatan pada pasien yang mengalami penyakit dengan potensi mengancam nyawa. Data menunjukkan angka mortalitas pasien UPI dewasa di seluruh dunia memiliki rerata sekitar 10-29%, sedangkan di RSCM berada di kisaran 28,63-33,56%. Keadaan tersebut membuat kemampuan memprediksi luaran mortalitas menjadi penting untuk menentukan perawatan yang tepat. Logistic Organ Dysfunction System (LODS) merupakan salah satu metode skoring yang dapat digunakan untuk memprediksi luaran mortalitas pasien, namun penelitian untuk menguji hal tersebut belum pernah dilakukan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kemampuan skor LODS dalam memprediksi luaran mortalitas pasien dewasa UPI RSCM. Penelitian ini menggunakan 331 sampel data rekam medik pasien UPI RSCM, didapati hasil bahwa rerata pasien meninggal memiliki skor LODS yang lebih besar daripada pasien yang hidup, yaitu rerata 5,854 (median: 6) pada pasien meninggal, dan rerata 2,551 (median: 2) pada pasien yang hidup. Pada uji kalibrasi, didapati hasil Hosmer-Lemeshow test sebesar 0,524, yang menandakan hasil uji kalibrasi yang baik (>0,05). Sedangkan pada uji diskriminasi menggunakan kurva Receiver Operating Characteristic (ROC), nilai Area Under the Curve (AUC) sebesar 79,2%, yang menandakan kemampuan diskriminasi dari skor LODS cukup (70-80%). Hasil tersebut menunjukkan bahwa skor LODS dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam memprediksi luaran mortalitas pasien UPI RSCM.

Intensive Care Unit (ICU) is the part of hospital that do the care for patients with disease that threaten their life. Data shows that the mortality rate in ICU in the whole world revolved aroung 10-29%, and in RSCM revolved around 28,63-33,56%. This condition makes the ability to predict mortality outcome become important to help decide the correct treatment. Logistic Organ Dysfunction System (LODS) is one of scoring method that is able to help predict patients mortality outcome, but there is still no study for this scoring method for adult patients in Indonesia. This study inteded to evaluate the ability of LODS scoring in predicting ICU RSCM patients mortality outcome. This study used 331 ICU RSCM patients as its samples, and the result shows that the mean LODS score of the patients that died is greater than the one that lives, the mean LODS score of the patients that died is 5,854 (median: 6), and the mean score of the patients that lives is 2,551 (median: 2). In calibration test using Hosmer-Lemeshow test, the result shows a good outcome that is 0,524 (P>0,05). While in discrimantion test using Receiver Operating Characteristic (ROC) curve, the Area Under the Curve (AUC) value is 79,2%, showing that the ability of LODS score to discriminate is sufficient. This results show that LOD score can be used as one of the refference to predict patients mortality outcome in ICU RSCM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harsya Dwindaru Gunardi
"Latar Belakang: Di negara maju, angka mortalitas gastroskisis adalah 5-10%, berbeda dengan di negara berkembang. Angka mortalitas gastroskisis mencapai 52% di Brazil, 43% di Afrika Selatan, 35% di Iran, dan 79% di Jamaika. Di RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM), sampai saat ini belum ada data mengenai angka mortalitas gastrosksis. Angka mortalitas gastroskisis di RSCM perlu diketahui karena karakteristik pasien yang diperkirakan berbeda dengan di negara maju. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui angka mortalitas gastroskisis di RSCM serta mengidentifikasi faktor risiko yang berpengaruh terhadap mortalitas gastroskisis, antara lain: usia kehamilan, berat badan lahir, jumlah operasi, usia saat operasi pertama kali, serta gastroskisis komplikata.
Metode: Metode penelitian ini adalah studi kohort retrospektif dengan total sampling seluruh neonatus yang menjalani operasi penutupan defek di RSCM dari Januari 2015 – September 2020. Analisis bivariat dilakukan menggunakan uji Chi Square atau uji Fisher. Didapatkan 49 subjek neonatus dengan 7 data masuk kategori drop out sehingga 42 subjek diambil untuk dianalisis.
Hasil: Angka mortalitas neonatus dengan gastroskisis di RSCM tahun 2015-2020 adalah 69% (29 dari 42 subjek). Pada penelitian ini didapatkan usia saat operasi (<1 hari) berpengaruh menurunkan angka mortalitas gastrosksis (p = 0,005). Usia kehamilan, berat badan lahir, jumlah operasi, dan gastroskisis komplikata didapatkan tidak berpengaruh terhadap angka mortalitas gastroskisis.
Kesimpulan: Angka mortalitas gastrokisis di RSCM adalah 69% dan dipengaruhi oleh usia saat operasi.

Background: Unlike developing countries, the mortality rate of gastroschizis in developed countries is much lower, accounting at 5-10%. In developing countries, for example, Brazil, the mortality rate can reach up to 52%, 43% in South Africa, 35% in Iran, and 79% in Jamaica. Until recently, there are no data regarding gastrochizis-related mortality rate in Cipto Mangkunkusumo National Referral Hospital, Indonesia. This is important as it reflects patient characteristics that is different with developed countries. The objective of this research is to find out the mortality rate of gastroschizis in Indonesia along with other possible influencing risk factors such as; gestational age, birth weight, number of operations, age at closure, and the presence of complicated gastroschizis.
Methods: A cohort retrospective study with total sampling is used to document all neonates who undergo defect closure surgery from January 2015 to September 2020. Bivariate analysis is done using Chi Square test or Fisher test. A total of 49 neonates were documented, however 7 neonates were excluded due to drop out criteria, resulting in 42 neonates who were included in the analysis.
Results: The mortality rate of gastroschizis in Cipto Mangkunkusumo National Referral Hospital is 69% (29 out of 42 subjects). The age at closure is related to lower mortality rate (p = 0.005), while other factors such as gestational age, birth weight, number of operations, and the presence of complicated gastroschizis has no impact on mortality.
Conclusions: The mortality rate of gastroschizis in Cipto Mangkunkusumo National Referral Hospital is 69% and is influenced by age at closure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hesty Rahayu
"Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 menunjukkan angka kematian balita di Indonesia adalah sebesar 44 kematian per 1000 kelahiran hidup. Secara keseluruhan, angka kematian balita di Indonesia sudah mengalami penurunan. Namun, bila dilihat di setiap tahun penurunannya semakin kecil. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan disain potong lintang dan kasus kontrol yang bertujuan untuk melihat hubungan antara kemandirian ibu dan kejadian kematian balita di Indonesia, dengan mengikutsertakan beberapa karakteristik responden. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa ibu yang kemandiriannya kurang baik, dalam kelompok pendidikan rendah memiliki risiko 7,95 kali untuk mengalami kematian balita, dalam kelompok pendidikan menengah memiliki risiko 1,127 kali untuk mengalami kematian balita, serta dalam kelompok pendidikan tinggi memilki risiko 1,135 kali untuk mengalami kematian balita. Selain itu, beberapa karakteristik ibu, karakteristik balita, karakteristik sosial ekonomi dan lingkungan tempat tinggal, serta interaksi antara kemandirian dan pendidikan juga berhubungan dengan kematian balita. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah kematian balita, proporsi wanita dengan pendidikan tinggi perlu ditingkatkan.

Indonesia Demographic and Health Survey (IDHS) 2007 shows that under-five mortality in Indonesia is 44 deaths per 1000 live births. Overall, the number of under-five mortality in Indonesia has reduced. But, if seen in every years, the reduction is more minor. This research is the quantitative research, uses crosssectional and case control design and wants to know the relation between mother’s autonomy and under-five mortality in Indonesia, including some caracteristics. According to this research, mother who has not too good autonomy, in low education has probability 7,95 times in under-five mortality, in medium education has probablity 1,127 times in under-five mortality, in high education has probablity 1,135 times in under-five mortality. Besides, some mother’s caracteristics, child’s caracteristics, socioeconomic and sorrounding caracteristic, and interaction of autonomy and education also related to under-five mortality. Thus, decreasing under-five mortality problem can be done by increasing proportion of woman with high education."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sunarto
"ABSTRAK
Achatina fulica Bowdich mempunyai potensi sebagai sumber protein hewani, dan saat ini sudah dibudidayakan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor ruangan, substrat, frekuensi penyiraman, dan interaksi faktor-faktor tersebut terhadap fertilitas telur, mortalitas anakan umur 0-2 minggu, mortalitas anakan umur 2-4 minggu, dan viabilitas anakan sampai umur 1 bulan (tanpa estivasi).
Analisis data mortalitas anakan umur 0-2 minggu menggunakan analisis variansi 3 faktor, sedangkan data lainnya menggunakan analisis varian ranking satu arah Kruskal-Wallis.
Penelitian ini membuktikan, bahwa fertilitas telur tertinggi didapat pada interaksi antara ruangan tertutup-substrat campuran-frekuensi penyiraman sehari sekali, rata-rata 100%; mortalitas anakan umur 0-2 minggu terendah didapat pada lokasi luar ruangan dan frekuensi penyiraman dua-hari sekali, rata-rata 2O,37% dan 21,37%; mortalitas anakan umur 2-4 minggu terendah didapat pada interaksi antara lokasi luar ruangan substrat tanah-frekuensi penyiraman sehari sekali, rata-rata 0,33%; dan viabilitas anakan sampai umur 1 bulan (tanpa estivasi) tertinggi didapat pada interaksi antara lokasi luar ruangan-substrat tanah-frekuensi penyiraman sehari sekali, rata-rata 93%.
Sebagai tindak lanjut, perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh variasi makanan terhadap viabilitas anakan A. fulica, karena makanan merupakan faktor yang sangat penting bagi pertumbuhannya.
ABSTRACT
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Ginanjar
"Background: to identify other factors other than the TIMI scores that can be used as predictors of 30-day mortality in STEMI patients by including variables of left ventricle ejection fraction (LVEF) and glomerulus filtration rate (GFR) at Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital.
Methods: a retrospective cohort study was conducted in 487 STEMI patients who were hospitalized at RSUPN Cipto Mangunkusumo between 2004 and 2013. Sample size was calculated using the rule of thumbs formula. Data were obtained from medical records and analyzed with bivariate and multivariate method using Coxs Proportional Hazard Regression Model. Subsequently, a new scoring system was developed to predict 30-day mortality rate in STEMI patients. Calibration and discrimination features of the new model were assessed using Hosmer-Lemeshow test and area under receiver operating characteristic curve (AUC).
Results: bivariate and multivariate analyses showed that only two variables in the new score system model were statistically significant, i.e. the Killip class II to IV and GFR with a range of total score between 0 and 4,6. Thirty-day mortality risk stratification for STEMI patient included high, moderate and low risks. The risk was considered high when the total score was >3,5 (46,5%). It was considered moderate if the total score was between 2,5 and 3,5 (23,2%) and low if the total score was <2,5 (5,95%). Both variables of the score had satisfactory calibration (p > 0,05) and discrimination (AUC 0,816 (0,756-0,875; CI 95%).
Conclusion: There are two new score variables that can be used as predictors of 30-day mortality risks for STEMI patients, i.e. the Killip class and GFR with satisfactory calibration and discrimination rate.

Latar belakang: menemukan faktor-faktor lain selain TIMI skor yang dapat dijadikan sebagai predictor mortalitas 30 hari pada pasien ST-elevation myocardial infarction (STEMI) dengan memasukkan variabel laju filtrasi glomerulus dan variabel fraksi ejeksi ventrikel kiri (FEVK) di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Cipto Mangunkusumo.
Metode: studi kohort retrospektif terhadap 487 pasien STEMI yang dirawat di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada periode 2004-2013. Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus rule of thumbs. Data diperoleh dari penelusuran rekam medis dan dianalisis secara bivariat dan multivariat menggunakan Cox’s Proportional Hazard Regression Model. Setelah itu, sebuah model sistem skor baru dibuat untuk memperkirakan tingkat mortalitas 30 hari pada pasien STEMI. Kemampuan kalibrasi dan diskriminasi dari model sistem skor baru ditinjau dengan menggunakan uji Hosmer-Lemenshow dan AUC (area under receiver operating characteristic curve).
Hasil: analisis secara bivariat dan multivariat menunjukkan bahwa hanya dua variabel yang secara statistik bermakna dalam model sistem skor baru yaitu kelas Killip II-IV dan LFG dengan kisaran total skor 0 hingga 4.6. Klasifikasi risiko mortalitas dalam 30 hari pada pasien STEMI adalah tinggi (total skor >3,5; 46,5%), sedang (total skor 2,5-3,5;23,2%), dan rendah (total skor <2,5;5,95%). Dua variable skor ini memiliki kalibrasi (p >0,05) dan diskriminasi (AUC 0.816; IK 95%; 0.756-0.875) yang memuaskan.
Kesimpulan: terdapat dua variabel skor baru yang dapat dijadikan sebagai prediktor risiko mortalitas 30 hari pada pasien STEMI, yaitu kelas Killip dan LFG. Dua variabel skor ini memiliki kalibrasi dan diskriminasi yang baik
"
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2019
610 UI-IJIM 51:3 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yulhasri
"ABSTRAK
Udang windu (Penaeus monodon Fab.) mempunyai pertumbuhan yang baik pada salinitas 10-25 ppt. Tetapi di Indonesia hanya sedikit tambak yang selama setahun penuh dengan kisaran salinitas tersebut. Pada musim hujan, salinitas tambak cenderung turun menjadi 5-10 ppt dan di musim panas salinitas tambak naik menjadi 34-70 ppt.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Mortalitas dan batas toleransi udang windu stadium juwana terhadap salinitas; (2) Kisaran preferensi udang windu stadium juwana terhadap salinitas; (3) Pengaruh salinitas terhadap jumlah pakan yang dikonsumsi dan lamanya pakan berada dalam tubuh udang windu stadium juwana.
Dari grafik Lethal Dose 50 % (LD50) diketahui bahwa udang windu stadium juwana pada salinitas rendah mempunyai batas toleransi 3,6 ppt dan salinitas tinggi pada 44,5 ppt. Dari hasil uji preferensi dapat disimpulkan bahwa udang windu stadium juwana menyenangi kisaran salinitas 19-23 ppt. Sedangkan dari hasil uji anava satu faktor menunjukkan bahwa salinitas tidak berpengaruh terhadap jumlah pakan yang dikonsumsi dan lamanya pakan berada dalam tubuh udang windu stadium juwana.
ABSTRACT"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>