Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 195550 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sarah Mahri
"Latar belakang: Saat ini, peran vitamin D dalam berbagai penyakit kronis banyak diteliti. Vitamin D dianggap memiliki efek imunomodulator sehingga diduga berkaitan dengan beberapa penyakit alergi dan autoimun, termasuk urtikaria kronik. Terdapat laporan kadar vitamin D yang rendah pada pasien urtikaria kronik dan suplementasi vitamin D terbukti memperbaiki gejala urtikaria kronik yang dinilai dengan kuesioner yang sudah tervalidasi Urticaria activity score 7 (UAS7). Namun, penelitian mengenai korelasi kadar vitamin D serum dengan aktivitas penyakit urtikaria masih terbatas, terutama di Indonesia.
Tujuan: Menganalisis korelasi kadar vitamin D (25[OH]D) serum dengan aktivitas penyakit pada pasien urtikaria kronik.
Metode: Penelitian deskriptif-analitik dengan desain potong lintang. Tiga puluh pasien urtikaria kronik usia 18–59 tahun yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan direkrut dalam penelitian ini. Penilaian aktivitas penyakit menggunakan UAS7 dan dilakukan pengukuran kadar 25(OH)D serum. Korelasi kadar 25(OH)D serum dan aktivitas penyakit dilakukan dengan menggunakan analisis Spearman. Penelitian ini juga menilai kecukupan pajanan matahari menggunakan kuesioner pajanan matahari mingguan.
Hasil: Rerata skor UAS7 adalah 14,63±7,8, median durasi penyakit adalah 12 (2–120) bulan, median skor pajanan matahari mingguan adalah 8 (2–34), dan median kadar 25(OH)D serum adalah 12,10 ng/mL (6,85–29.87). Mayoritas subjek mengalami defisiensi vitamin D (80%). Tidak terdapat korelasi antara kadar 25(OH)D serum dengan aktivitas penyakit (r=0,151; p=0,425), tetapi didapatkan korelasi negatif kuat yang bermakna pada kelompok defisiensi vitamin D berat (r=-0,916; p=0,001). Terdapat korelasi positif sedang bermakna antara aktivitas penyakit dan durasi penyakit (r=0,391; p=0,033). Pada kuesioner pajanan sinar matahari mingguan, didapatkan perbedaan bermakna skor bagian tubuh yang terpajan matahari antar kelompok insufisiensi dan defisiensi vitamin D (p=0,031).
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi kadar 25(OH)D serum dengan aktivitas penyakit pasien urtikaria kronik, namun terdapat kecenderungan peningkatan aktivitas penyakit pada kelompok defisiensi berat vitamin D.

Background: Nowadays, the role of vitamin D in various chronic diseases is a matter of great interest. Vitamin D is thought to have an immunomodulatory effect so it is thought to be associated with several allergic and autoimmune diseases, including chronic urticaria. There have been reports of low vitamin D levels in patients with chronic urticaria and vitamin D supplementations has been shown to improve symptoms of chronic urticaria which was assessed by a validated questionnaire Urticaria activity score 7 (UAS7). However, data on the correlation between serum vitamin D levels and disease activity in chronic urticaria are still limited, especially in Indonesia.
Objective: To analyze the correlation between vitamin D (25[OH]D) serum and disease activity in chronic urticaria patients.
Methods:
This is an analytic-descriptive cross-sectional study. Thirty chronic urticaria patients age 18 – 59 years old who meet all inclusion and exclusion criterias were recruited in this study. Assessment of disease activity using UAS7 and measurement of 25(OH)D serum levels were performed. Correlation of 25(OH)D serum levels and disease activity was done using Spearman analysis. In this study, an assessment of sun exposure adequacy was carried out using a weekly sunlight exposure questionnaire.
Results: The mean of UAS7 was 14.63±7.8, median duration of illness was 12 (2 – 120) month, median weekly sunlight exposure score was 8 (2 – 34), and the median serum 25(OH)D was 12.10 ng/mL (6.85 – 29.87). The majority of subjects had vitamin D deficiency (80%). There was no correlations between serum 25(OH)D levels and disease activity (r=0.151; p=0.425). However, a significant negative correlation was found in severe deficiency vitamin D group (r=-0.916; p=0.001). There was also significant moderate correlation between disease activity and duration of illness (r=0.391; p=0.033). In weekly sunlight exposure questionnaire, we found that body surface area score was significantly different between insufficiency and deficiency vitamin D groups (p=0,031).
Conclusion: There was no correlation between serum 25(OH)D levels and disease activity in chronic urticaria patients, however there was a tendency of increasing disease activity in severe deficiency vitamin D group
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardian Sandhi Pramesti
"Latar Belakang: Obesitas adalah masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia terutama di negara berkembang. Obesitas dapat mempengaruhi status vitamin D, salah satunya dikarenakan adanya peningkatan penyimpanan vitamin D di jaringan adiposa sehingga mengakibatkan rendahnya bioavailabilitas vitamin D. Selain itu, banyaknya jaringan lemak berkaitan dengan  inflamasi kronis tingkat rendah yang menyebabkan peningkatan penggunaan vitamin D pada sel imun sehingga menyebabkan rendahnya kadar vitamin D pada kasus obesitas. Penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi antara persentase massa lemak dengan kadar vitamin D serum pada populasi dewasa dengan penyandang obesitas.
Metode: Studi potong lintang ini dilakukan pada subjek dewasa dengan obesitas di Rumah Sakit Cipto Mangungkusumo, Pengukuran persentase massa lemak menggunakan bioelectrical impedance analysis (BIA) SECA mBCA 525. Pemeriksaan kadar vitamin D serum menggunakan kalsidiol serum dengan metode chemiluminescence immunoassay (CLIA).
Hasil: Sebanyak 90 subjek penelitian memiliki rerata usia 41 tahun dengan jumlah subjek terbanyak adalah perempuan (59%). Sebagian besar subjek tergolong status gizi obesitas derajat II. Median kadar vitamin D serum adalah 13,4 ng/dL dengan sebagian besar subjek tergolong defisiensi vitamin D. Rerata persentase massa lemak subjek adalah 37,2 ± 8,2. Terdapat korelasi negatif antara kadar vitamin D serum dengan persentase lemak tubuh pada pada dewasa penyandang obesitas (r=-0,378, p=0,000).
Kesimpulan: Terdapat korelasi bermakna berkekuatan sedang antara persentase massa lemak dengan kadar vitamin D serum pada subjek dewasa penyandang obesitas.

Background: Obesity is a global public health issue, especially in developing countries. Obesity can affect vitamin D status due to increased storage of vitamin D in adipose tissue. In addition, low bioavailability of vitamin D. Low levels of chronic inflammation is strongly associated with a large number of adipose tissue, which causes increased use of vitamin D in immune cells and causes low levels of vitamin D in obesity population. This study aims to see the correlation between the percentage of fat mass and serum vitamin D levels in the adult population with obesity.
Methods: This cross-sectional study was conducted on obese adult subjects at Cipto Mangunkusumo Hospital. First, the fat mass percentage was measured using bioelectrical impedance analysis (BIA) SECA mBCA 525. In addition, serum vitamin D levels were examined using serum calcidiol using the chemiluminescence immunoassay (CLIA) method.
Results: A total of 90 research subjects had an average age of 41; most were female. Most of the subjects were classified as obesity class II. The average serum vitamin D level was 13.4 ng/dL, with most of the subjects classified as deficient in vitamin D. The mean proportion of subjects in fat mass was 37.2 ± 8.2. There was a negative correlation between serum vitamin D levels and the proportion of body fat in obese adults (r=-0.378, p=0.000).
Conclusion: There was a significant medium correlation between fat mass percentage with serum vitamin D in the adult with obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Safira Nurahma
"Latar Belakang Penyakit kusta adalah penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Kusta menyebabkan gangguan fisik, psikologik, dan sosial, yang menurunkan kualitas hidup penderita. Deformitas yang terlihat pada pasien kusta adalah salah satu penyebab utama stigma yang mempengaruhi perilaku pencarian kesehatan dan inklusi sosial. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui profil bentuk dan derajat kecacatan pada pasien kusta di Poliklinik Dermatologi dan Venereologi. Metode Penelitian dilakukan secara retrospektif terhadap data pasien kusta di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo selama periode Januari 2022 - September 2023 dengan variabel penelitian, yaitu usia, jenis kelamin, klasifikasi, bentuk dan derajat cacat, serta tindak lanjut pengobatan cacat kusta. Hasil Pada 83 subjek penelitian, didapatkan paling banyak pasien pada kelompok usia dewasa dengan jenis kelamin laki-laki dan tipe multi basiler. Ditemukan paling banyak pasien dengan cacat kusta dengan didominasi pasien cacat tingkat 1. Frekuensi paling banyak cacat pada ekstermitas atas dan/atau bawah. Tindak lanjut pengobatan pasien cacat kusta menunjukan paling banyak pasien yang tidak dirujuk balik. Kesimpulan Didapatkan profil pasien kusta terkait bentuk dan derajat kecacatan di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo. Terdapat rekam medis yang tidak lengkap terhadap pemeriksaan cacat pada pasien kusta.

Introduction Leprosy is a chronic infectious disease caused by Mycobacterium leprae. Leprosy causes physical, psychological and social disorders, which reduce the quality of life. The deformities seen in leprosy patients are one of the main causes of stigma that influences health-seeking behavior and social inclusion. This research was conducted to determine the profile of the shape and degree of disability in leprosy patients at the Dermatology and Venereology Polyclinic. Method This research was conducted retrospectively on data from leprosy patients at Dr. Cipto Mangunkusumo during the period January 2022 - September 2023 with research variables, namely age, gender, classification, shape and degree of disability, and the follow-up treatment. Results In the 83 research subjects, the majority of patients were in the adult age group with male gender and multi bacillary type. The highest number of patients with leprosy defects were found, with the majority being patients with grade 1 defects. The highest frequency of defects was in the upper and/or lower extremities. Follow-up treatment of disabled leprosy patients showed that most patients were not referred back. Conclusion Profiles of leprosy patients were obtained regarding the form and degree of disability at Dr. Cipto Mangunkusumo. There are incomplete medical records regarding examinations of defects in leprosy patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Nurani Fauziah
"Latar Belakang: Akne vulgaris AV adalah peradangan kronis pilosebasea yang terutama dijumpai pada remaja dan dewasa muda. Peranan diet pada patogenesis AV terus menjadi perdebatan. Salah satu mikronutrien yang diduga berperan dalam patogenesis AV adalah vitamin A atau retinol.
Tujuan: Mengetahui kadar retinol serum dan korelasinya dengan derajat keparahan AV, serta asupan vitamin A pasien AV.
Metode: Studi potong lintang dengan 20 subjek penelitian SP yang direkrut secara consecutive sampling. Kadar retinol serum diukur menggunakan high performance liquid chromatography HPLC, sedangkan asupan vitamin A dinilai dengan metode food frequency questionnaire FFQ semikuantitatif.
Hasil: Rerata kadar retinol serum kelompok AVR, AVS, dan AVB yaitu 0,962 SB 0,145 mol/L, 0,695 SB 0,054 mol/L, dan 0,613 SB 0,125 mol/L. Terdapat korelasi bermakna antara kadar retinol serum dengan derajat keparahan AV r = -0,798, p = 0,000. Rerata asupan vitamin A per hari pada kelompok AVR, AVS, dan AVB sebesar 476,21 SB 221,32 g, 823,71 SB 221,32 g, dan 780,99 SB 530,45 g.
Simpulan: Kadar retinol serum ditemukan rendah pada kelompok AVS dan AVB. Hasil penelitian ini membuktikan semakin rendah kadar retinol serum, semakin berat derajat keparahan AV. Tidak terdapat perbedaan asupan vitamin A di antara ketiga kelompok.

Background: Acne vulgaris AV is a chronic inflammation of pilosebaceus that is primarily found in adolescents and young adults. The role of diet in the pathogenesis of AV continues to be a debate. One of micronutrients alleged in the pathogenesis of AV is vitamin A or retinol.
Objective: This study aims to know the levels of serum retinol and its correlation with the degree of severity of the AV, as well as the patient 39 s intake of vitamin A.
Method: This cross sectional study included 20 subjects divided into mild, moderate, and severe groups based on Lehman rsquo s classification. Serum retinol levels measured using high performance liquid chromatography, whereas the intake of vitamin A was assessed by semiquantitative food frequency questionnaire method.
Results: The mean serum retinol levels of mild, moderate, and severe groups were respectively 0.962 SD 0.145 mol L, 0.695 SD 0.054 mol L, and 0.613 SD 0.125 mol L. There was significant correlation between serum retinol levels with the degree of severity of the AV r 0.798, p 0.000. The mean intake of vitamin A per day of mild, moderate, and severe groups were respectively 476.21 SD 221.32 g, 823.71 SD 221.32 g, and 780.99 SD 530.45 g.
Conclusion: Levels of serum retinol found lower on the moderate and severe groups. The results has proven that the lower the levels of serum retinol, the more severe the degree of severity of the AV. There was no difference in vitamin A intake among the three groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sammy Yahya
"Latar belakang dan tujuan: Akne vulgaris AV merupakan inflamasi kronik pada unit pilosebasea. Beberapa penelitian telah meneliti kadar 25-hydroxyvitamin D [25 OH D] serum pada pasien AV dengan hasil bervariasi, namun umumnya rendah. Kadar vitamin D diduga terpengaruh oleh pajanan sinar matahari, letak geografis, ras/tipe kulit, dan asupan makanan, sehingga mungkin temuan di Indonesia akan berbeda daripada penelitian terdahulu di luar negeri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar 25 OH D serum dan hubungan dengan derajat keparahan, lesi inflamasi, noninflamasi, dan total lesi AV.
Metode: Penelitian potong lintang ini melibatkan 30 subjek penelitian SP, direkrut secara consecutive sampling, terbagi rata ke dalam kelompok AV ringan AVR, AV sedang AVS, dan AV berat AVB berdasarkan klasifikasi Lehmann. Faktor risiko AV yang berkaitan dengan vitamin D pajanan sinar matahari, penggunaan tabir surya, suplementasi, jumlah lesi, dan kadar 25 OH D serum dinilai pada seluruh SP.
Hasil : Median kadar 25 OH D serum pada kelompok AVR, AVS, dan AVB yaitu 16,3 9,1- 17,8 ng/mL, 12,7 9,6-15,6 ng/mL, dan 9,35 4,9-10,9 ng/mL Median pada kelompok AVR dan AVS lebih tinggi dibandingkan AVB.

Background and objective: Acne vulgaris AV is chronic inflammation of pilosebaceous units. Several studies have investigated the levels of serum 25 hydroxyvitamin D 25 OH D in AV patients with varying outcomes, but mostly decreased. Vitamin D levels are thought to be affected by sun exposure, geographical location, race skin type, and food intake, that research in Indonesia may yield different results. This study aimed to determine the level of serum 25 OH D and its association with the severity and the number of inflammatory, noninflammatory, and total AV lesions.
Methods: This cross sectional study included 30 patients. Subjects were recruited by consecutive sampling, grouped equally into mild, moderate, and severe AV based on Lehmann's classification. The risk factors for inadequate vitamin D such as sun exposures, sunscreen, and suplements, the number of lesions, and serum 25 OH D levels were assessed on all subjects.
Results: The median concentrations of serum 25 OH D in the three groups were respectively 16.3 9.1 17.8 ng mL, 12.7 9.6 15.6 ng mL, and 9.35 4.9 10.9 ng mL p.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Jessica
"Latar Belakang: Stroke iskemik merupakan penyebab kematian terbanyak kedua dan penyebab utama disabilitas di seluruh dunia. Beberapa faktor risiko yang sudah diketahui diantaranya pola hidup, penyakit komorbid, usia, jenis kelamin, dan ras. Namun, kadar serum vitamin D yang kurang ternyata juga dikaitkan dengan penyakit neurodegeneratif, serta luaran klinis yang lebih buruk. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi kadar serum vitamin D dengan derajat keparahan pada stroke iskemik yang dinilai berdasarkan NIHSS. Pada penelitian ini juga akan menilai asupan vitamin D serta pajanan sinar matahari.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada pasien stroke iskemik di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dan RS Universitas Indonesia. Karakteristik subjek penelitian berupa usia, jenis kelamin, faktor risiko, penyakit komorbid dengan komplikasi, asupan protein, asupan lemak, asupan vitamin D, pajanan sinar matahari, kadar serum vitamin D, serta derajat keparahan. Dilakukan analisis korelasi kadar serum vitamin D dengan derajat keparahan berdasarkan NIHSS.
Hasil: Terdapat 59 subjek dengan diagnosis stroke iskemik dengan rerata usia 63 tahun dan mayoritas laki-laki (62,7%). Faktor risiko terbanyak adalah hipertensi (83,1%), berat badan lebih dan obesitas (64,4%), merokok (57,6%), dan diabetes melitus (42,4%). Penyakit komorbid dengan komplikasi tersering yang ditemukan adalah gangguan jantung (35,6%). Sebanyak 79,7% subjek penelitian memiliki asupan protein yang kurang, sedangkan asupan lemak seluruhnya tergolong cukup. Sebagian besar (52,5%) subjek penelitian memiliki status asupan vitamin D kurang, 5 orang mengonsumsi suplementasi vitamin D secara rutin, derajat pajanan sinar matahari rendah (89,8%). Sebanyak 59,3% memiliki status kadar serum vitamin D defisiensi dengan derajat keparahan terbanyak adalah skor NIHSS 5-15 (76,3%). Terdapat korelasi antara asupan vitamin D dengan derajat keparahan stroke iskemik (r -0,307, p 0,018).
Kesimpulan: Kadar serum vitamin D memiliki korelasi dengan derajat keparahan stroke iskemik (r -0,469, p <0,001). Kadar serum vitamin D yang kurang berbanding terbalik dengan skor NIHSS yang didapatkan pada penderita stroke iskemik onset akut.

Background: Ischemic stroke is the second leading cause of death and the leading cause of disability worldwide. Some of the known risk factors include lifestyle, comorbid diseases, age, gender, and race. However, deficient serum vitamin D levels are also associated with neurodegenerative diseases, as well as worse clinical outcomes. This study was conducted to determine the correlation of serum vitamin D levels with severity in ischemic stroke as assessed by the NIHSS. This study will also assess vitamin D intake and sunlight exposure.
Methods: This study is a cross-sectional study on ischemic stroke patients at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo and University of Indonesia Hospital. Characteristics of the study subjects included age, gender, risk factors, comorbid diseases with complications, protein intake, fat intake, vitamin D intake, sun exposure, serum vitamin D levels, and severity. Correlation analysis of serum vitamin D levels with severity based on NIHSS was conducted.
Results: There were 59 subjects with a diagnosis of ischemic stroke with an average age of 63 years and the majority were male (62.7%). The most common risk factors were hypertension (83.1%), overweight and obesity (64.4%), smoking (57.6%), and diabetes mellitus (42.4%). Comorbid disease with the most common complication found were cardiac disorders (35.6%). A total of 79.7% of the study subjects had insufficient protein intake, while the fat intake was entirely considered adequate. Most (52.5%) of the study subjects had deficient vitamin D intake status, 5 people took vitamin D supplementation regularly, the degree of sun exposure was low (89.8%). A total of 59.3% had vitamin D deficiency serum level status with the most severity being NIHSS score 5-15 (76.3%). There was a correlation between vitamin D intake and ischemic stroke severity (r -0,307, p 0,018).
Conclusion: Serum vitamin D levels have a correlation with ischemic stroke severity (r -0,469, p <0,001). Insufficient serum vitamin D levels are inversely proportional to the NIHSS score obtained in patients with acute onset ischemic stroke.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pinontoan, Rosnah
"Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang bertujuan mengetahui korelasi antara kadar seng serum dengan aktivitas SOD eritrosit pada pasien geriatri non-frail dan frail di Poliklinik Geriatri RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta pada pertengahan bulan Agustus 2014 sampai pertengahan bulan September 2014. Subjek didapatkan secara consecutive sampling, sebanyak 60 orang (30 orang untuk masing-masing kelompok non-frail dan frail) yang memenuhi kriteria penelitian dan mengikuti penelitian sampai selesai. Tidak didapatkan korelasi signifikan antara kadar seng serum dengan aktivitas SOD eritrosit subjek penelitian, baik secara keseluruhan maupun per kelompok.

This cross-sectional study aimed to know the correlation between serum zinc level and the erythrocyte SOD activity both in non-frail and frail geriatric patients. These subjects were collected from mid-August 2014 to mid-September 2014 from the clinic of Geriatric, Cipto Mangunkusumo General Hospital. Through conducting a consecutive sampling, 60 subjects who met the study criteria and completed all study progress, that consisted 30 persons who represent each non- frail and frail group, were enrolled into this study. Serum zinc level did not show significant correlation with erythrocyte SOD activity, both overall and per group."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stephanus Johanes Charles Tangel
"Latar Belakang: Penyakit ginjal kronik pada anak memerlukan perhatian khusus, terutama dalam pemasangan catheter double lumen (CDL) untuk hemodialisis. Studi tentang faktor risiko disfungsi kateter pada anak dengan penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis bertujuan mengevaluasi hubungan antara parameter laboratorium, seperti kadar platelet dan albumin serum, dengan disfungsi kateter. Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman mengenai faktor risiko disfungsi kateter pada anak dengan penyakit ginjal kronik.

Metode: Studi ini memiliki desain studi potong lintang yang dilakukan dengan menggunakan sampel data rekam medik dari pasien-pasien anak yang sudah menggunakan catheter double lumen (CDL) tunnel mulai bulan September hingga Oktober 2023.

Hasil: Sebanyak 59 pasien memenuhi kriteria pada penelitian ini yang sebagian besar memiliki jenis kelamin perempuan (50,8%) dan berusia >10 tahun (69,5%). Kadar platelet yang tinggi berhubungan signifikan terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0,001). Kadar APTT tidak memiliki hubungan signifikan terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0,810). Kadar albumin serum yang rendah atau hipoalbuminemia berhubungan signifikan terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0,001). Faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo adalah kadar albumin serum.

Kesimpulan: Kadar albumin dan platelet berhubungan signifikan terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo adalah kadar albumin serum.


Background: Chronic kidney disease in children requires special attention, particularly in the placement of double-lumen catheters (DLC) for hemodialysis. A study on the risk factors for catheter dysfunction in children with chronic kidney disease undergoing hemodialysis aimed to evaluate the relationship between laboratory parameters, such as platelet levels and serum albumin, and catheter dysfunction. This research is expected to enhance understanding of the risk factors for catheter dysfunction in children with chronic kidney disease.

Methods: This study employed a cross-sectional study design using medical record data samples from pediatric patients who had undergone double-lumen catheter (DLC) tunnel placement from September to October 2023.

Results: A total of 59 patients met the criteria for this study, the majority of whom were female (50.8%) and aged over 10 years (69.5%). High platelet levels were significantly associated with catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0.001). APTT levels did not have a significant association with catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0.810). Low serum albumin levels or hypoalbuminemia were significantly associated with catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0.001). The most influential factor for catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo was serum albumin level.

Conclusion: Albumin levels and platelet are significantly associated with catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. The most influential factor for catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo was serum albumin level."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Renisa Aru Ariadno
"Dermatitis seboroik merupakan masalah kulit kronis yang ditandai gejala berupa eritema, skuama, dan papul pada kulit yang memiliki banyak kelenjar sebasea. Dermatitis seboroik ringan sering disebut ketombe. Sampai saat ini, belum ada penelitian yang menjelaskan faktor pencetus keparahan dermatitis seboroik, salah satunya depresi. Depresi adalah gangguan mood kronis yang ditandai dengan menurunnya pola hidup dan ritme biologis seseorang yang muncul akibat stress psikologis kronis. Keduanya diperkirakan memiliki korelasi meski sampai saat ini belum ada penelitian yang menunjukkan hasil bermakna. Tujuan dari penelitian ini adalah mencari korelasi antara depresi dengan keparahan dermatitis seboroik. Penelitian ini dilakukan secara cross sectional di Departemen Ilmu Kulit dan Kelamin Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada 2017. Keparahan dermatitis seboroik diukur dengan Seborrheic Dermatitis Area and Severity Index SDASI , sementara depresi diukur dengan kuesioner Beck Depression Inventory II BDI-II. Subjek penelitian sebanyak 82 pasien dermatitis seboroik. Uji normalitas data ditemukan tidak normal. Nilai median depresi sebesar 5 0-38 dan nilai median keparahan dermatitis seboroik sebesar 2,25 0,25-21. Hasil uji korelasi dengan Spearman menunjukkan hasil tidak signifikan dan tidak ada korelasi antara depresi dengan keparahan dermatitis seboroik P=0,249 dan r=-0,129. Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak ditemukan adanya korelasi antara depresi dengan keparahan dermatitis seboroik.

Seborrheic dermatitis is a chronic skin disease with specific manifestation such as erythematous, squamous, and papules on sebaceous glands rich skin. Mild seborrheic dermatitis usually recognized as dandruff. There were no previous studies that explained causal factors that affect seborrheic dermatitis severity, including depression. Depression is one of psychiatry disorders that affects mood chronically, changed lifestyle, and disturbed biological rythme which caused by chronic psychology stress. There were no studies that explained their correlation, despise the fact that there is relationship between emotional stress and dermatology disorders especially in neuroendocrine system that affects skin tissue homeostatic. This was a cross sectional research that applied in dermatology and venereology clinic dr. Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta in 2017 to find correlation between depression and seborrheic dermatitis severity. Seborrheic dermatitis severity measured by Seborrheic Dermatitis Area and Severity Index SDASI , and depression measured by Beck Depression Inventory II BDI II. The subjects were 82 seborrheic dermatitis patients. Median number for depression was 5 0 38 and median number for seborrheic dermatitis was 2.25 0.25 21. Correlation trials with spearman showed no statistically significant between depression and seborrheic dermatitis severity P 0.249 and r 0.129. Conclusion, this research showed there was no correlation between depression and seborrheic dermatitis severity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Margareth Joice Widiastuti
"Tujuan: Penelitian ini adalah studi potong lintang untuk mengetahui hubungan antara kadar vitamin E serum dan aktivitas superoxide dismutase (SOD) eritrosit pada penderita HIV/AIDS.
Bahan dan cara: Pengumpulan data dilakukan pada pasien rawat jalan di klinik Pokdisus, RSUPNCM Jakarta selama akhir Februari 2013 sampai bulan Maret 2013. Subyek diperoleh dengan metode consecutive sampling. Sebanyak 52 subjek memenuhi kriteria penelitian. Data dikumpulkan melalui wawancara, rekam medis, dan pengukuran antropometri untuk menilai status gizi, dan pemeriksaan laboratorium yaitu kadar vitamin E serum dan aktivitas SOD eritrosit.
Hasil: Sebagian besar subjek adalah laki-laki (51,9%), usia rata-rata adalah 34 ± 4,84 tahun. Malnutrisi terjadi pada 55,8% dari subyek dan semua subyek (100%) memiliki asupan vitamin E yang kurang dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) Indonesia. Dalam penelitian ini, sebagian besar subjek telah mendapatkan terapi ARV (94,2%). Jumlah CD4 <200sel/uL ditemukan pada 17 subyek (32,7%). Kadar vitamin E serum yang rendah didapat pada semua subyek (100%) dengan nilai rata-rata kadar vitamin E serum 3,84 (1,77-7,32) umol / L, sementara aktivitas SOD eritrosit yang cukup ditemukan pada 53,8% dari subyek dengan nilai rata-rata 1542,1 ± 281,04 U / g Hb.
Kesimpulan: Tidak ada hubungan yang signifikan antara kadar serum vitamin E dan aktivitas SOD ditemukan dalam penelitian ini. (R = 0,047, p = 0,742).

Objective: The aim of this cross sectional study was to find a correlation between serum level of vitamin E and erythrocyte superoxide dismutase (SOD) activity in HIV/AIDS patients.
Material and method: Data collection was conducted at Pokdisus outpatient clinic, RSUPNCM Jakarta, from late February 2013 to March 2013. Subjects were obtained with the consecutive sampling method. A total of 52 subjects had met the study criteria. Data were collected through interviews, medical records, and anthropometry measurements to assess the nutritional status, and through laboratory examination (i.e. serum level of vitamin E and erythrocyte SOD activity).
Results: The majority of the subjects were male (51,9%) with a mean age of 34 ± 4.84 years. Malnutrition occured in 55.8% of the subjects and all subjects (100%) had vitamin E intake that is less than the Indonesian recommended dietary allowance (RDA). In this study, most subjects had already been on ARV therapy (94.2%). Low CD4 cell count was found in 17 subjects (32.7%). Vitamin E deficiency was found in all subjects (100%) with a median value of serum level of vitamin E of 3.84 (1.77 to 7.32) μmol / L, while normal SOD activity was found in 53.8% of the subjects with a mean value of 1,542.1 ± 281.04 U / g Hb.
Conclusion: No significant correlation between serum level of vitamin E and SOD activity was found in this study (r = 0.047, p = 0.742).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>