Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160319 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ika Fitri Alfiani
"Salah satu gagalnya program ASI Eksklusif adalah pemberian makanan prelakteal sebelum ASI keluar dalam 1-3 hari. Prelakteal masih menjadi masalah malnutrisi di dunia, di Vietnam 9,3% anak usia di bawah 5 tahun mengalami stunting, dan 17,5% nya underweight dengan 1 dari 3 bayi tidak diberi ASI dalam 1 jam kelahiran, dan diberikan makanan prelakteal. Angka pemberian makanan prelakteal di Indonesia cukup tinggi, 95% bayi mendapatkan ASI namun 44% nya mendapatkan makanan prelakteal (SDKI 2017). Penelitian bertujuan melihat faktor-faktor yang berhubungan terhadap pemberian makanan prelakteal pada bayi usia 0–23 bulan di Indonesia. Penelitian menggunakan data SDKI 2017 dengan rancangan studi potong lintang. Sampel penelitian yaitu ibu yang memiliki bayi usia 0-23 bulan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi berjumlah 6425. Data dianalisis secara univariat, dan bivariat. Presentase ibu yang memberikan prelakteal 45,7%, dan 54,3% lainnya tidak. Sebagian besar ibu melakukan IMD secara segera yaitu 58,2%, 56,7% ibu memiliki tingkat pendidikan menengah, 47,1% ibu memiliki status ekonomi bawah, 51,4% ibu tinggal di pedesaan, 54,0% ibu tidak bekerja, 88,4% ibu melakukan pemeriksaan antenatal lebih dari 4 kali, 76,6% ibu melahirkan ditolong petugas kesehatan, 78,1% melahirkan di fasilitas layananan kesehatan, 81,9% ibu melahirkn secara pervaginam, dan 68,3% ibu sudah melahirkan lebih dari 1 anak. Terdapat hubungan yang signifikan antara IMD, tingkat pendidikan ibu, status ekonomi ibu, jenis persalinan, dan jumlah anak terhadap perilaku pemberian makanan prelakteal pada bayi usia 0-23 bulan di Indonesia.

One of the failures of the exclusive breastfeeding program is prelacteal feeding before the milk comes out in 1-3 days. Prelacteal is still a problem of malnutrition in the world, in Vietnam 9.3% of children under 5 years of age are stunted, and 17.5% are underweight with 1 in 3 babies not breastfed within 1 hour of birth, and given prelacteal food. The prelacteal feeding rate in Indonesia is quite high, 95% of babies get breast milk but 44% of them get prelacteal food (2017 IDHS). The aim of this study was to look at the factors related to prelacteal feeding in infants aged 0–23 months in Indonesia. The study used the 2017 IDHS data with a cross-sectional study design. The sample of this research is mothers who have babies aged 0-23 months who meet the inclusion and exclusion criteria (n=6425). Data were analyzed by univariate and bivariate. The percentage of mothers who gave prelacteal was 45.7%, and 54.3% did not. Most of the mothers did breastfeed immediately (58.2%), 56.7% of mothers had secondary education, 47.1% of mothers had lower economic status, 51.4% of mothers lived in rural areas, 54.0% of mothers were not working, 88.4% of mothers did antenatal care more than 4 times, 76.6% of mothers gave birth assisted by health workers, 78.1% gave birth in health care facilities, 81.9% of mothers gave birth vaginally, and 68.3% of mothers had given birth more than 1 child. There is a significant association between early breastfeeding, mother's education level, mother's economic status, type of delivery, and number of children with prelacteal feeding practices in infants aged 0-23 months in Indonesia."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lara Rizka
"Sesuai anjuran WHO dan UNICEF, salah satu kunci utama untuk meningkatkan tingkat kesehatan anak di Indonesia adalah pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara Eksklusif tanpa makanan tambahan selama 6 bulan. Berbagai penelitian menunjukan bahwa pemberian makanan prelakteal, terutama susu formula, dapat berpengaruh buruk pada durasi dan eksklusifitas pemberian ASI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan pemberian susu formula sebagai makanan prelakteal bagi bayi di Indonesia dengan analisis lanjutan dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010. Metode penelitian disesuaikan dengan metode Riskesdas 2010, yakni kros seksional, dengan total sampel 5562 Ibu di Indonesia yang memiliki anak terakhir berusia 0-23 bulan pada saat dilakukan wawancara.
Prevalensi pemberian susu formula sebagai makanan prelakteal untuk bayi di Indonesia sebesar 34,1%. Pemberian susu formula sebagai makanan prelakteal berhubungan dengan pekerjaan ibu PR 1,1 (p-value 0,03), pendidikan ibu PR 1,4 (p-value <0,001), jumlah anak yang dimiliki PR 1,2 (<0,001), pengeluaran keluarga 1,3 (p-value <0,001), dan tempat tinggal 1,3 (p-value <0,001), usia kehamilan PR 1,4 (p-value <0,001), jenis persalinan PR 1,5 (p-value <0,001), berat badan lahir PR 1,3 (p-value 0,003), dan komplikasi persalinan PR 1,1 (p-value <0,001), jenis tempat persalinan PR 1,5 (p-value <0,001) dan penolong persalinan PR 2,1 (p-value <0,001).
Perlu dilakukan pencerdasan bagi tenaga kesehatan agar tidak mendukung pemberian susu formula sebelum bayi mendapatkan ASI dan tenaga kesehatan diharapkan lebih mendukung ibu untuk dapat memberikan ASI secara eksklusif selama 6 bulan. Selain itu, para ibu juga perlu dibekali pengetahuan mengenai menyusui sebagai hak ibu dan anak, sehingga pemberian makanan prelakteal berupa susu formula dapat dicegah.

As recommended by WHO and UNICEF, key to improving the health of children in Indonesia is exclusive breastfeeding is with no additional food for 6 months. Various studies have shown that prelacteal feeding , especially infant formula, may adversely affect the duration and exclusivity of breastfeeding.
This study aims to determine the risk factors associated with formula feeding as food for infants in Indonesia prelakteal with further analysis of the data of Health Research (Riskesdas) 2010. Research method is adapted to the method Riskesdas 2010, which is cross-sectional, with a total sample of 5562 mother in Indonesia, who has the last child aged 0-23 months at the time of the interview.
The prevalence of formula feeding as prelacteal food for infants in Indonesia is 34.1%. Formula feeding as food prelakteal is associated with maternal occupational PR 1.1 (p-value 0.03), maternal education PR 1.4 (p-value <0.001), the number of children who owned PR 1.2 (<0.001), family expenses 1.3 (p-value <0.001), and shelter 1.3 (p-value <0.001), gestational age PR 1.4 (p-value <0.001), type of delivery PR 1.5 (p-value <0.001), birth weight PR 1.3 (p-value 0.003), and complications of childbirth PR 1.1 (p-value <0.001), type of delivery place PR 1.5 (p-value <0.001) and childbirth helper PR 2.1 (p-value <0.001).
Need to empower health professionals to not support formula feeding before the baby is getting milk and more health professionals are expected to be able to support mothers to breastfeed exclusively for 6 months. Furthermore, mothers need to know that breastfeeding is mother and baby’s right. So, formula feeding as prelacteal food can be prevented.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
S46642
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Regita Septiani
"Praktik pemberian makanan prelakteal masih menjadi masalah yang harus diatasi Indonesia karena dapat menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan bayi. Meskipun persentase praktik pemberian makanan prelakteal sudah cenderung menurun, ketidakmerataan masih terjadi berdasarkan beberapa dimensi ketidakmerataan, seperti jenis kelamin anak, usia ibu, pendidikan ibu, status pekerjaan ibu, status ekonomi, wilayah tempat tinggal, provinsi, kunjungan ANC, IMD, dan penolong persalinan. Sebagai upaya mengatasi ketidakmerataan yang terjadi pada berbagai indikator kesehatan, WHO mengeluarkan sebuah aplikasi bernama Health Equity Assessment Toolkit (HEAT) dan Health Equity Assessment Toolkit Plus (HEAT Plus). Aplikasi tersebut mampu mengidentifikasi ketidakmerataan melalui berbagai ukuran ketidakmerataan. Penelitian ini menggunakan sumber data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002, 2007, 2012, dan 2017. Hasil analisis menunjukkan bahwa ketidakmerataan praktik pemberian makanan prelakteal terjadi pada pendidikan ibu, status ekonomi, wilayah tempat tinggal, provinsi, IMD, dan penolong persalinan, namun dengan tingkat ketidakmerataan yang berbeda-beda. Tren ketidakmerataan cenderung mengalami penurunan dari tahun 2002 hingga tahun 2017 pada seluruh variabel, kecuali provinsi yang justru menunjukkan ketidakmerataan tertinggi terjadi pada tahun 2017. Praktik pemberian makanan prelakteal menurut provinsi juga menunjukkan ketidakmerataan tertinggi dibandingkan dimensi ketidakmerataan lainnya.

Prelacteal feeding practices still be a problem in Indonesia and need to be addressed because it may cause a negative impact on the health of the baby. Even though the percentage of prelacteal feeding practices has decrease time to time, inequality still occurs based on several dimensions of inequality, such as child sex, mother's age, mother's education, mother’s working status, economic status, area of residence, province, visits to ANC, early initiation of breastfeeding, and birth attendants. To overcome the inequalities that occur in various health indicators, WHO issued an application called the Health Equity Assessment Toolkit (HEAT) and Health Equity Assessment Toolkit Plus (HEAT Plus). The application can be used to identify inequality through various inequality measures. This study used the Indonesian Demographic and Health Survey (IDHS) in the year of 2002, 2007, 2012, and 2017 as the data sources. The results this study found that there were an inequality of prelacteal feeding practices by the mother's age, mother's education, economic status, area of residence, province, visit ANC, early initiation of breastfeeding, and birth attendants with various degrees of inequality. The trend of inequality tended to decrease from 2002 to 2017 in all variables, except for the province which actually showed the highest inequality in 2017. Prelacteal feeding practices by province also showed the highest inequality compared to other dimensions of inequality that used in this study."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Nandika Putri
"Makanan prelakteal adalah makanan atau minuman selain ASI yang diberikan kepada bayi sebelum menyusui dalam 3 hari pertama kehidupan yang dapat menyebabkan gagalnya pemberian ASI Eksklusif dan mendorong risiko infeksi dan malnutrisi yang kemudian berdampak pada stunting. Satu dari dua bayi yang pernah diberikan ASI di Indonesia pernah diberikan makanan prelakteal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor determinan perilaku pemberian makanan prelakteal pada bayi di pulau Sumatera. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berasal dari SDKI tahun 2017 dengan rancangan studi cross sectional. Sampel penelitian ini adalah ibu yang memiliki bayi usia 0 – 23 bulan yang memenuhi kriteria inklusi dengan jumlah 1.224 responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 54,4% ibu yang memberikan makanan prelakteal. Pada analisis hubungan didapatkan hasil bahwa usia ibu, paritas, IMD, dan jenis persalinan memiliki hubungan yang signifikan dengan pemberian makanan prelakteal pada bayi (p-value < 0,05). Hasil uji regresi logistik ganda menunjukkan IMD sebagai faktor dominan yang menyebabkan pemberian makanan prelakteal pada bayi di pulau Sumatera (OR 6,06) yakni ibu yang terlambat memberikan IMD berpeluang 6 kali lebih berisiko untuk memberikan makanan prelakteal pada bayi di pulau Sumatera setelah dikontrol oleh variabel berat lahir, ANC, jenis persalinan, usia ibu, paritas, dan tenaga penolong persalinan.

Prelacteal is anything other breastmilk that given to infants before breastfeeding in the first 3 days of life which can cause failure of exclusive breastfeeding and may increased risk of infection and malnutrition which then will impact on stunting. One in two babies who have been breastfed in Indonesia have been given prelacteal. This study aims to determine the determinants of prelacteal feeding behavior in infants on the island of Sumatra. This study uses data from the 2017 IDHS with a cross sectional study design. The sample of this study was mothers who had babies aged 0-23 months with the inclusion criteria with a sum of 1,224 respondents. The results showed that there were 54.4% of mothers who gave prelacteal. From correlations analysis it was found that maternal age, parity, IMD, and type of delivery were associated with prelacteal feeding to infants (p-value < 0.05). The results of the logistic regression analysis showed that IMD as the dominant factor that causes prelacteal feeding (OR: 6.06) where mothers who are late in giving IMD are 6 times more likely to giving prelacteal to infants after being controlled by weight. birth, ANC, type of delivery, maternal age, parity, and birth attendants."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Putri Pertiwi
"Vitamin A merupakan vitamin larut lemak yang memiliki berbagai fungsi biologis, termasuk dalam mengurangi kemungkinan infeksi dan mengatur pertumbuhan. Kondisi kekurangan vitamin A pada balita dapat berakibat pada meningkatnya angka kesakitan, perburukan status gizi, bahkan kematian. Oleh karena itu, dibutuhkan suplementasi vitamin A sebagai upaya melindungi kelompok rentan dari dampak kekurangan vitamin A. Sayangnya, pemberian suplementasi vitamin A belum memberikan hasil yang optimal hingga saat ini. Penelitian ini ingin mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pemberian suplemen vitamin A pada balita usia 6-59 bulan di Indonesia berdasarkan analisis data SDKI 2017. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain studi cross-sectional yang melibatkan 1.728 balita usia 6-59 bulan di Indonesia. Hasil penelitian membuktikan adanya hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu, usia balita, riwayat imunisasi balita, kunjungan Antenatal Care (ANC), kunjungan Postanatal Care (PNC), tempat persalinan, dan keterpaparan media televisi dengan kepatuhan pemberian suplemen vitamin A. Riwayat imunisasi adalah faktor yang paling dominan berhubungan dengan kepatuhan pemberian suplemen vitamin A pada balita. Dengan demikian, penelitian ini menyarankan agar penguatan program imunisasi pada balita, edukasi kesehatan, kualitas kunjungan ANC dan PNC, serta pemanfaatan fasilitas kesehatan dan media terus ditingkatkan guna mencapai cakupan suplementasi vitamin A pada balita yang lebih baik.

Vitamin A is a fat-soluble vitamin that has a variety of biological functions, including reducing the infection and growth regulators. Vitamin A deficiency in child under five can result in increased morbidity, poor nutritional status, and even death. Therefore, vitamin A supplementation is needed as an effort to protect vulnerable groups, especially children from the impact of vitamin A deficiency. Unfortunately, vitamin A supplementation has not shown optimal results. This study wanted to determine the factors associated with compliance of vitamin A supplementation in child aged 6-59 months in Indonesia based on the 2017 IDHS data analysis. This is a quantitative research with cross-sectional design involving 1,728 child aged 6-59 months in Indonesia. The results prove a significant association between maternal education, child’s age, history of child’s immunization, Antenatal Care (ANC) and Postanatal Care (PNC) visits, place of delivery, and television media exposure with compliance to vitamin A supplementation. Child’s immunization history is the most dominant factor associated with compliance of vitamin A supplementation in child. Thus, this study suggests that child’s immunization program, health education, the quality of ANC and PNC, the utilization of health facilities and media should be improved to achieve better coverage of vitamin A supplementation."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hana Fauziyah Khairunnisa
"Pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia masih tergolong tinggi dibandingkan dengan negara-negara penduduk terbanyak di dunia. Pertumbuhan penduduk Indonesia saat ini adalah 1,1 persen per tahun dengan angka kelahiran total 2,4 anak per perempuan. Preferensi fertilitas wanita untuk memiliki anak lagi merupakan variabel prediksi perilaku fertilitas yang berperan penting untuk mengetahui rencana kehamilan wanita di masa mendatang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran dan hubungan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi preferensi fertilitas wanita memiliki anak lagi. Data yang digunakan dalam penelitian merupakan data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017. Sampel yang digunakan adalah wanita berstatus menikah, telah memiliki anak dari pernikahannya, telah memutuskan keinginannya untuk anak lagi di masa mendatang, dan masih dalam masa suburnya, dari kriteria tersebut didapatkan sebanyak 7.610 sampel wanita. Analisis yang dilakukan meliputi univariat, bivariat, dan multivariat. Hasilnya menunjukan bahwa 39,6 persen wanita di Indonesia masih menginginkan anak lagi. Peresentase wanita yang menginginkan anak lagi paling tinggi terdapat pada kategori umur 15-24 tahun sebanyak 88,3 persen, wanita dengan status tidak bekerja 43,1 persen, wanita dengan suami berpendidikan SMP/SMA sebanyak 42,0 persen, wanita yang memiliki satu anak sebanyak 84,1 persen, wanita yang memiliki anak laki-laki saja sebanyak 60,1 persen, dan wanita dengan indeks kesejahteraan sangat miskin sebanyak 44,0 persen. Berdasarkan hasil regresi logistik ditemukan bahwa variabel yang berhubungan dengan keinginan wanita menambah anak lagi diantaranya adalah umur wanita, pendidikan suami, jumlah anak hidup, komposisi jenis kelamin anak dan indeks kesejahteraan. Sedangkan status pekerjaan tidak berhubungan secara statistik dengan wanita yang menginginkan anak lagi di Indonesia. Berdasarkan analisis multivariat diketahui bahwa umur merupakan faktor paling dominan, dengan peluang 23,6 kali lebih besar pada wanita umur 15-24 tahun. Peluang menginginkan anak lagi akan semakin kecil seiring bertambahnya umur wanita.

Indonesia's population growth is still relatively high compared to most population countries in the world. Current population growth in Indonesia is 1.1 percent per year with a total fertility rate (TFR) of 2.4 children per woman. Women's fertility preferences for having another children are predictive variable of fertility behavior that plays important role in knowing future female pregnancy plans. This study aims to determine the description and relationship of factors that can affect fertility preferences of women for having another children. The data used in the study is the data of the Indonesian Demographic Health Survey (DHS) in 2017. The samples used are married women, have children from their marriages, have decided their wishes for more children in the future, and still in their fertile period, from these criteria there were 7,610 female samples. The analysis carried out included univariate, bivariate, and multivariate. The result shows that 39.6 percent of women in Indonesia still want more children. The highest percentage of women who want more children is in the category of 15-24 years old 88.3 percent, women with unemployed status 43.1 percent, women who had husbands with junior high / high school education 42.0 percent, women who have one child 84.1 percent, women who have only boys 60.1 percent, and women in a very poor wealth index 44.0 percent. Based on the results of logistic regression, it was found that variables related to women's fertility preferences for having another children are included the age of the woman, husband's education, the number of children living, children gender composition and wealth index. While the employment status is not statistically related to women who want more children in Indonesia. Based on multivariate analysis, it is known that age is the most dominant factor, with an opportunity of 23.6 times greater in women aged 15-24 years. Opportunities for more children will be smaller as increasing of women age."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patricia Josephine Elzabetty
"Hepatitis B merupakan masalah kesehatan di dunia, termasuk Indonesia. Untuk mencegah dan mengeliminasi HBV, telah dilakukan pemberian imunisasi HB0. Namun, cakupan pemberian imunisasi HB0 masih belum mencapai target yang ditetapkan dan menunjukkan disparitas antar provinsi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan cakupan pemberian Imunisasi HB0 di Indonesia berdasarkan data SDKI 2017. Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang dengan analisis bivariat, menggunakan sampel anak yang lahir dalam 2 tahun terakhir dari ibu berusia 15-49 tahun. Hasil penelitian menemukan cakupan tidak imunisasi HB0 sebesar 15,8%. Faktor-faktor yang berhubungan dengan cakupan pemberian imunisasi HB0 adalah pendidikan ibu rendah (PR:1,599; 95% CI: 1,364-1,874), indeks kekayaan terbawah (PR: 2,890; 95% CI: 2,283-3,657) dan menengah bawah (PR:1,826; 95% CI: 1,408-2,366), urutan kelahiran ≥3 (PR: 1,453; 95% CI: 1,234-1,710), tinggal di daerah rural (PR: 1,734; 95% CI: 1,475-2,038), kunjungan ANC <4 kali (PR: 3,602; 95% CI: 3,130-4,147), bersalin di non fasilitas kesehatan (PR: 3,602; 95% CI: 3,130-4,147), persalinan dibantu dukun (PR:4,498; 95% CI: 3,831 -5,282) dan non tenaga kesehatan (PR: 4,248; 95% CI: 3,369-5,357), tidak memiliki kartu imunisasi (PR: 4,07;  95% CI: 3,558-4,657). Penting untuk terus melakukan upaya peningkatan promosi kesehatan melalui berbagai upaya sehingga mendorong pemberian imunisasi HB0 pada bayi.

Hepatitis B remains a global health problem, including in Indonesia. Hepatitis B birth dose vaccination (HepB-BD) has been implemented to prevent and eliminate HBV. Unfortunately, HepB-BD coverage has not yet reached target and shows disparities between provinces. This study aims to identify the factors associated with HepB-BD coverage in Indonesia using 2017 IDHS data. This study uses a cross sectional study design with bivariate analysis, using a sample of children born in the las two years from mother aged 15-49 years. The study found that the coverage of HepB-BD non vaccination coverage of 15,8%. Factors that is statistically associated with HepB-BD vaccination coverage include predisposing factor such as low maternal education (PR:1,599; 95% CI: 1,364-1,874), lowest wealth index (PR: 2,890; 95% CI: 2,283-3,657) and  lower-middle wealth indeks (PR:1,826; 95% CI: 1,408-2,366), birth order ≥3 (PR: 1,453; 95% CI: 1,234-1,710), rural residence (PR: 1,734; 95% CI: 1,475-2,038), <4 ANC visits (PR: 3,602; 95% CI: 3,130-4,147), non-health facility delivery (PR: 3,602; 95% CI: 3,130-4,147), delivery assistance by traditional birth attendants (PR:4,498; 95% CI: 3,831 -5,282) and non health professionals (PR: 4,248; 95% CI: 3,369-5,357), and not having vaccination card (PR: 4,07;  95% CI: 3,558-4,657). It is important to continue enhancing health promotion trough various means, to encourage HepB-BD vaccination."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mei Sarah Nurkhalizah
"Rencana strategis bidang kesehatan menargetkan indikator cakupan imunisasi dasar
lengkap dapat mencapai 93% tahun 2019. Tetapi, berdasarkan SDKI 2017 cakupannya
masih rendah, yaitu 59%, terutama cakupan vaksin multidosis seperti vaksin pentavalen
dan polio. Padahal, imunisasi dinilai sebagai salah satu upaya kesehatan yang costeffective
karena dapat mencegah beberapa penyakit infeksi. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui gambaran dan faktor-faktor yang berhubungan dengan status
imunisasi dasar lengkap berdasarkan SDKI 2017. Penelitian ini menggunakan desain
cross sectional dan menganalisis sampel 3376 anak hidup umur 12-23 bulan di
Indonesia tahun 2017 yang terpilih dalam SDKI 2017. Analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah univariat, bivariat dengan uji chi-square, dan regresi logistik.
Temuan dari studi ini adalah cakupan imunisasi dasar lengkap sebesar 44,3%. Faktorfaktor
yang berhubungan secara statistik dengan imunisasi dasar lengkap adalah
kunjungan ANC (OR=1,74), tempat persalinan (OR=2,43), kepemilikan kartu imunisasi
(OR=1,85), umur ibu (OR=1,73), status pernikahan (OR=1,69), pekerjaan ibu
(OR=1,30), indeks kekayaan (OR=1,27), dan jumlah anak hidup (OR=1,35). Peneliti
menyarankan kepada tenaga kesehatan untuk menguatkan sistem pencatatan riwayat
imunisasi anak dan memberikan edukasi terkait imunisasi melalui layanan maternal
seperti kunjugan ANC dan pascapersalinan.

The strategic plan of the health sector targets the complete basic immunization coverage
indicator to reach 93% by 2019. However, based on the 2017 IDHS, the coverage is still
low, which is 59%, especially in mutidose vaccines such as pentavalent and polio
vaccine. In fact, immunization is considered as one of the a cost-effective public health
intervention because it can prevent some infectious diseases. This study aims to
determine coverage and factors associated with complete basic immunization based on
the 2017 IDHS. This study use a cross-sectional study design and analyzed 3376 sample
of living children aged 12—23 months in Indonesia. The analyses used in this study was
univariate, bivariate with chi-square test, and logistic regression. The findings of this
study is complete basic immunization coverage was 44,3%. Factors associated with
complete basic immunization were ANC visits (OR=1,74), place of birth (OR=2,43),
possession of immunization cards (OR=1,85), maternal age (OR=1,73), marital status
(OR=1,69), wealth index (OR=1,30), maternal occupation status (OR=1,27), and
number of living children (OR=1,35). Researcher suggest to health workers to
strengthen the system of recording children’s immunization history and provide
education related to immunization through maternal services such as ANC and
postpartum visits
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shifa Nur Annisa Yasim
"KB merupakan program yang diandalkan pemerintah dalam mengatasi permasalahan laju penduduk sekaligus upaya untuk menekan AKI dan AKB. Meskipun pemerintah telah melaksanakan program KB yang berorientasi pada kesetaraan dan keadilan gender, namun partisipasi pria dalam pelaksanaan program KB dan kesehatan reproduksi masih sangat rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan partisipasi pria dalam menggunakan kontrasepsi di Indonesia Tahun 2017. Penelitian ini menggunakan data SDKI 2017 dengan rancangan studi cross-sectional. Sampel penelitian ini yaitu pria kawin usia 15-54 tahun yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi berjumlah 9.139 pria. Data dianalisis secara univariat dan bivariat. Presentase pria yang berpartisipasi dalam menggunakan kontrasepsi sebesar 7,8%. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan signifikan antara pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, persepsi, akses media informasi, kepemilikan jaminan kesehatan, dan komunikasi dengan pasangan dengan partisipasi pria dalam menggunakan kontrasepsi.

Family planning is a program that The Government implements to manage population growth problem as well as an effort to suppress MMR and IMR. The Government has implemented family planning program with gender equality and justice-oriented yet men's participation in the implementation of family planning and reproductive health program is still low. This study aims to determine the factors associated with male participation in Indonesia to use contraceptive on 2017. This study uses the 2017 Indonesian Demographic and Health Survey data with a cross-sectional study design. The sample of this study is 9,139 men, currently married and aged between 15-54 years old who met the inclusion and exclusion criteria of study. The data is analyzed in univariate and bivariate. The percentage of men who participated in using contraceptive is 7.8%. The results shows that there is a significant relationship between education, occupation, knowledge, perception, access to information, ownership of health insurance, communication with partners toward men's participation in using contraception."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shifa Nur Annisa Yasim
"KB merupakan program yang diandalkan pemerintah dalam mengatasi permasalahan laju penduduk sekaligus upaya untuk menekan AKI dan AKB. Meskipun pemerintah telah melaksanakan program KB yang berorientasi pada kesetaraan dan keadilan gender, namun partisipasi pria dalam pelaksanaan program KB dan kesehatan reproduksi masih sangat rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan partisipasi pria dalam menggunakan kontrasepsi di Indonesia Tahun 2017. Penelitian ini menggunakan data SDKI 2017 dengan rancangan studi cross-sectional. Sampel penelitian ini yaitu pria kawin usia 15-54 tahun yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi berjumlah 9.139 pria. Data dianalisis secara univariat dan bivariat. Presentase pria yang berpartisipasi dalam menggunakan kontrasepsi sebesar 7,8%. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan signifikan antara pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, persepsi, akses media informasi, kepemilikan jaminan kesehatan, dan komunikasi dengan pasangan dengan partisipasi pria dalam menggunakan kontrasepsi.

Family planning is a program that The Government implements to manage population growth problem as well as an effort to suppress MMR and IMR. The Government has implemented family planning program with gender equality and justice-oriented yet men's participation in the implementation of family planning and reproductive health program is still low. This study aims to determine the factors associated with male participation in Indonesia to use contraceptive on 2017. This study uses the 2017 Indonesian Demographic and Health Survey data with a cross-sectional study design. The sample of this study is 9,139 men, currently married and aged between 15-54 years old who met the inclusion and exclusion criteria of study. The data is analyzed in univariate and bivariate. The percentage of men who participated in using contraceptive is 7.8%. The results shows that there is a significant relationship between education, occupation, knowledge, perception, access to information, ownership of health insurance, communication with partners toward men's participation in using contraception."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>