Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 128612 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ika Marthahayu
"Penggunaan pulsa sebagai alat pembayaran dalam jaringan jasa telekomunikasi lazim digunakan untuk biaya layanan telekomunikasi. Namun demikian, pulsa atau istilah resminya “deposit prabayar” telah makin berkembang penggunaanya dalam transaksi konten digital di lingkup jaringan jasa telekomunikasi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaturan hukum penyelenggaraan jasa telekomunikasi, penggunaan pulsa, industri konten digital dalam penyelenggaraan jasa telekomunikasi, dan pertanggungjawaban penyelenggara jasa telekomunikasi terhadap penggunaan pulsa sebagai alat pembayaran dalam transaksi konten digital. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif menggunakan bahan hukum peraturan perundang-undangan, pengamatan pada aplikasi smartphone, materi dari buku dan artikel jurnal serta sumber dari internet. Teori yang digunakan untuk menganalisis adalah teori tanggung jawab dalam perbuatan melanwan hukum sebagaimana dalam Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1365-1380. Penelitian ini menghasilkan fakta bahwa pulsa yang merupakan satuan hitung biaya jasa telekomunikasi diperlakukan sebagai uang sehingga dapat digunakan untuk bertransaksi membeli/menggunakan layanan konten digital melalui aplikasi smartphone maupun aplikasi yang disediakan operator selular. Transaksi konten digital merupakan bagian dari berkembangnya industri ekonomi kreatif yang mengiringi minat masyarakat menggunakan telepon selularnya dalam aktivitas sehari-hari. Penyelenggara jasa telekomunikasi yang melayani penggunaan pulsa sebagai alat pembayaran konten digital harus memiliki izin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran. Dalam hal ini Penyelenggara Jasa Telekomunikasi memiliki tanggung jawab multi peran: sebagai penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi dan sebagai penyelenggara sistem elektronik sekaligus penyelenggara jasa sistem pembayaran. Terdapat 2 (dua) jenis tanggung jawab yang melekat pada Penyelenggara Jasa Telekomunikasi, yaitu tanggung jawab yang lahir karena perikatan undang-undang dan tanggung jawab yang timbul karena perikatan perjanjian/kontraktual dengan mitra usahanya. Kedua tanggung jawab dimaksud mencakup kondisi sebelum terjadinya suatu peristiwa yang menimbulkan kerugian pihak lain maupun setelah adanya kerugian yang dialami pihak lain.

The use of prepaid deposit as payment instruments in telecommunications service networks is commonly used for telecommunications service fees. However, prepaid deposit has been increasingly used in digital content transactions in telecommunications service networks area. This study aims to analyze the legal arrangements of telecommunication services, the use of prepaid deposit, the digital content industry in telecommunication services, and the legal liabilities of telecommunication service providers in the usage of prepaid deposit as a payment instrument on digital content transactions. This research is a descriptive normative juridical using qualitative approach by legal materials, laws and regulations, observation on smartphone applications, books, journals and online sources. This research use theory of responsibility to analyze the phenomenons which is accordance with the act againts the laws as in the Civil Code, Articles 1365-1380. This research produces facts that prepaid deposit as an amount of unit of telecommunication service fees, treated as an exchange value like money so it could be used for purchasing using digital content services by smartphone applications or applications provided by cellular operators. Digital content transactions is part of the development of the creative economy industries that accompanies people’s interests in using their cellphones in their daily activities. Telecommunications service providers that serve the use of credit as a means of payment for digital content must have a license as a Payment System Service Provider. In this case the Telecommunication Service Provider has multi-role responsibilities: as a telecommunications network and service provider and as an electronic system operator as well as a payment system service provider. There are 2 (two) type of responsibilities attached to the Telecommunication Service Provider, namely the responsibility born due to a statutory engagement and the responsibility arise from an agreement / contract with their business partner. Both responsibilities include conditions prior to the occurrence of an event that causes loss to other parties or after the loss suffered by others."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
RM Agung Setiawan
"[Penempatan konten digital yang kaya informasi didalam lingkungan komunikasi tanpa batas atau internet, memungkinkan informasi menjadi lebih mudah diakses. Namun terdapat prosedur, aturan dan etika dalam memanfaatkan konten digital. Karena pemanfaatan konten digital oleh pihak yang tidak bertanggungjawab dapat mengarah kepada pelanggaran hak cipta. Oleh karena itu diperlukannya kebijakan perlindungan konten digital. All rights reserved dan some rights reserved merupakan bentuk dari perlindungan hak cipta. Sebuah situs yang memuat konten ilegal seperti pelanggaran hak cipta akan diblokir oleh pihak yang berwenang, namun dalam hal pemblokiran sebuah situs karena dianggap memuat konten yang ilegal memerlukan prosedur dan aturan tepat. Indonesia belum memiliki pengaturan mengenai tanggung jawab penyelenggara jasa hosting terkait dengan pelanggaran hak cipta terhadap konten digital milik pengguna. Penelitian ini mencoba menjelaskan perlindungan hukum terhadap konten digital yang di-hosting pada perusahaan penyedia jasa layanan web hosting dan bagaimana tanggung jawab hukum penyedia jasa hosting terhadap konten digital milik konsumen;Placing digital content into the internet enables information become more
accessible. However, there are procedures, rules and ethics when using digital
content. The use of digital content by parties who are not responsible can lead to
copyright infringement. Hence the need for digital content protection policies. All
rights reserved and some rights reserved is a form of copyright protection.
A site containing illegal content such as copyright infringement will be
blocked by the authorities, but blocking a website requires proper procedures and
rules.
Indonesia does not have regulation regarding the responsibility of hosting
service providers related to copyright infringement. This research tries to explain
the legal protection of digital content placed on web hosting service providers and
how the legal responsibility of hosting service providers against consumer's digital
content, Placing digital content into the internet enables information become more
accessible. However, there are procedures, rules and ethics when using digital
content. The use of digital content by parties who are not responsible can lead to
copyright infringement. Hence the need for digital content protection policies. All
rights reserved and some rights reserved is a form of copyright protection.
A site containing illegal content such as copyright infringement will be
blocked by the authorities, but blocking a website requires proper procedures and
rules.
Indonesia does not have regulation regarding the responsibility of hosting
service providers related to copyright infringement. This research tries to explain
the legal protection of digital content placed on web hosting service providers and
how the legal responsibility of hosting service providers against consumer's digital
content]"
Universitas Indonesia, 2015
T44148
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Makkasau, Andi Muhammad Lolo Hanafiah
"Skripsi ini membahas mengenai kewajiban hukum penyelenggara sistem electronic untuk menjaga sistemnya dari fake account. Secara Internasional, Baru Uni Eropa dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat yang menaruh perhatiannya kepada manajemen identitas digital, dan membuat hukum yang mengaturnya. Padahal, pengaturan ini sangatlah penting dalam berbagai sektor terutama dalam sektor e-commerce, dan tidak terkecuali juga dalam sektor jejaring sosial. Di Indonesia sendiri, belum dibuat peraturan yang membahas mengenai manajemen identitas digital, apalagi peraturan terspesifik perihal fake account. Dalam skripsi ini akan dibahas beberapa asas yang berlaku dalam pertanggungjawaban hukum suatu penyelenggara sistem elektronik dan penyelenggara identitas, dan hukum apa yang dapat ditarik untuk menjadi tanggung jawab penyelenggara sistem elektronik terhadap fake account. Untuk menjadikan diskusi dalam skripsi ini lebih konkrit, akan dianalisa pula bagaimana Facebook dan Google telah memenuhi kewajibannya sebagai penyelenggara sistem elektronik dan identitas digital.

This final assignment discusses about the legal obligation of electronic system provider from fake account. From the intenational perspective, only European Union and several states in America that puts their attention on digital identity management, so far to make regulations of it. Even though, these kinds of regulation is very significant, in particular on e-commerce sector, but not excluding social networking sector. While in Indonesia, there has yet to be any specific regulation to rule about identity management, leave alone about fake account. In this final assignment, it will be discussed upon several principles that may be applied on electronic service provider and identity providers legal responsibility, and what laws might be streched to rule over system profiders responsibility towards fake account. To make the discussion in the essay more concrete, will also be analyzed upon how Facebook and Google had fulfilled their obligation as electronic system and digital identity provider.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panggabean, Andreas Christian Hamonangan
"E-commerce atau perdagangan melalui sistem elektronik marak digunakan masyarakat dalam beberapa tahun terakhir. Dalam perkembangannya, permasalahan dalam e-commerce atau perdagangan melalui sistem elektronik adalah bagaimana pelaksanaan keamanan sistem elektronik tersebut dari kerentanan yang ada, baik kerentanan di sistem elektronik itu sendiri ataupun produk-produk yang ada dalam platform e-commerce itu. Skripsi ini membahas bagaimana tanggung jawab penyelenggara e-commerce dalam memastikan keandalan dan keamanan sistem elektroniknya jika melihat peraturan perundang-undangan Indonesia. Skripsi ini juga membahas dalam kondisi apa suatu kejadian pada platform e-commerce dapat dinyatakan sebagai kejadian tak tentu atau keadaan kahar atau force majeure. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat regulasi pemerintah yang berkaitan dengan kewajiban penyelenggara yaitu Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2016 yang membahas mengenai pembatasan tanggung jawab penyelenggara platform yang ternyata substansinya ada yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, sehingga dalam mengatur regulasi terkait tanggung jawab sudah seharusnya dilakukan pembenahan. Selain itu, terdapat pengaturan dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 yang bertentangan dengan prinsip pertanggungjawaban yang dianut menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Oleh karena itu peraturan menteri tersebut haruslah dibenahi kembali. Selain itu, berdasarkan penelitian penulis, pemerintah dalam melaksanakan tugas dan wewenang terkait mengamankan e-commerce dengan penerapan standar manajemen keamanan sistem informasi harus dilakukan peningkatan agar terjadi pemerataan keamanan pada tiap e-commerce yang beroperasi di Indonesia. Serangan siber khususnya hacking yang merupakan salah satu kerentanan dalam platform e-commerce dapat dikatakan sebagai force majeure jika penyelenggara e-commerce telah berupaya semaksimal mungkin melaksanakan tanggung jawab keamanan, serta kejadian tersebut terjadi di luar batas pengetahuan penyelenggara.

E-commerce has become increasingly popular in the community in recent years. During its development, the problem in e-commerce or trading via electronic systems is how to implement the security of the electronic system from existing vulnerabilities, both vulnerabilities in the electronic system itself and the products on the e-commerce platform. This thesis discusses how the responsibilities of e-commerce providers or administrators in security monitoring of their electronic systems when looking at Indonesian regulations. This thesis also discusses under what conditions an event on an e-commerce platform can be stated as an indefinite event or force majeure. The results show that there is a provision related to the obligations of the organizers, namely the Circular Letter of the Minister of Communication and Information Technology Number 5 of 2016 which discusses the responsibilities of platform administrators, which in fact conflict with Government Regulation Number 80 of 2019 concerning Trade Through Electronic Systems, thus the improvements should be made. In addition, there is a provision in the Regulation of the Minister of Communication and Information Technology Number 5 of 2020 which contradict with the principle of liability regulated in Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions that have been amended by Law Number 19 of 2016 concerning Amendments to Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions. Therefore, this ministerial regulation must be improved. In addition, based on the author's research, the government in carrying out duties and authorities related to e-commerce with the application of information system management standards must be increased so that there is equal distribution of security in each e-commerce operating in Indonesia. Cyber attacks, especially hacking, which is one of the vulnerabilities in the e-commerce platform, can be said to be a force majeure if the e-commerce provider has made every effort to carry out security responsibilities, and the incident occurs beyond the knowledge of the organizer."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indara Permataasih
"Payment Gateway merupakan layanan elektronik yang melakukan pemrosesan transaksi pembayaran yang dilakukan secara online dan/atau melalui platform E-Commerce. Penyelenggaraan Payment Gateway dilakukan oleh salah satu Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP), yakni Penyelenggara Payment Gateway yang berupa bank atau lembaga selain bank. Penyelenggara Payment Gateway memiliki fungsi unntuk menyediakan jasa sistem pembayaran, serta mendukung kelancaran transaksi pembayaran antara konsumen dan pedagang yang melakukan transaksi pada platform E-Commerce. Berdasarkan penelitian ini, Penyelenggara Payment Gateway memiliki peran dan tanggung jawab yang harus dipenuhi dalam mendukung kelancaran dan keamanan sistem pembayaran dalam transaksi E-Commerce. Untuk melakukan pemrosesan transaksi pembayaran, Payment Gateway juga berhubungan dengan acquirer dan issuer. Payment Gateway merupakan front-end provider yang memiliki kewajiban untuk menerapkan perlindungan konsumen guna menghindari risiko-risiko yang berpotensi merugikan penggunanya. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa, Payment Gateway telah melakukan berbagai upaya dalam memenuhi standar keamanan, serta melindungi konsumen dari potensi risiko atas penyelenggaraan Payment Gateway. Namun, peraturan-peranturan yang ada saat ini, tidak mengatur mengenai penyelenggaraan Payment Gateway dalam mendukung transaksi E-Commerce. Dengan demikian, Pemerintah dan Bank Indonesia perlu mempertimbangkan untuk menerbitkan peraturan yang mengatur mengenai hal tersebut.

Payment Gateway is an electronic service that processes payment transactions made online and/or through the E-Commerce platform. The operation of Payment Gateway is carried out by a Payment System Provider, namely a Payment Gateway Provider. Payment Gateway Provider conducts its functions in providing payment system services, also in supporting smooth and secure payment transactions between Consumers and Merchants in the E-Commerce platform. According to this research, Payment Gateway Provider has numerous roles and obligations that must be fulfilled in performing its functions. In processing payment transactions, the Payment Gateway Provider is cooperating with the acquirer and the issuer. Payment Gateway Provider is a front-end provider obliged to implement consumer protection to prevent potential risks that could harm its Consumer or users. The result of this research indicates, Payment Gateway Provider has taken several measures to fulfil and comply with the provision of security standards, also to protect its Consumers from potential risks arising from Payment Gateway operation. However, the existing regulations are not regulating the roles of Payment Gateway Provider in supporting payment systems in E-Commerce transactions. Thus, the Government and Bank Indonesia need to consider issuing regulations on regards to this matter, also in order to provide legal certainty."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Savana Orcaputri
"Media sosial merupakan wadah komunikasi baru bagi masyarakat, untuk bisa saling berinteraksi dan bertukar informasi dengan menggunakan sistem elektromagnetik. Namun, dengan meningkatnya jumlah pengguna media sosial, hal tersebut juga diikuti dengan berkembangnya tindak kejahatan pornografi dengan menyalahgunakan media sosial yang ada. Maka dari itu, media sosial sebagai salah satu penyelenggara sistem elektronik (PSE) di Indonesia, dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum atas tindak pidana pornografi yang difasilitasi dalam sistem elektroniknya. Fokus penelitian ini, akan membahas lebih mendalam mengenai aplikasi TikTok, dan menguraikan secara akademis tentang (i) bagaimana kewajiban media sosial TikTok sebagai PSE dalam mematuhi norma kesusilaan berdasarkan hukum positif di Indonesia; (ii) bagaimana media sosial TikTok mengatur pembatasan muatan seksual yang dilarang untuk disiarkan; (iii) bagaimana pertanggungjawaban media sosial Tiktok terhadap konten pornografi yang ditayangkan pada sistem elektroniknya dalam fitur live streaming. Metode penelitian yang digunakan penulis ialah penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan sumber penelitian pustaka, serta dengan sifat penelitian yang analitis dan berbagai jenis data sekunder yang mendukung. Dasar hukum utama yang mengatur mengenai media sosial sesuai dengan hasil analisis penulis ialah, UU ITE, UU Pers, serta UU Penyiaran. Namun penulis akan memfokuskan pembahasan kepada TikTok sebagai PSE resmi di Indonesia, yang diatur oleh peraturan turunan UU ITE, yakni Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019, dan Peraturan Menteri No. 5 Tahun 2020. Penelitian penulis juga ditinjau dari dasar hukum utama mengenai pornografi, yakni pada UU Pornografi dan KUHP. Pada dasarnya, ketentuan diatas telah memuat hak dan kewajiban TikTok sebagai PSE, yang dimana salah satunya untuk tidak menyebarkan informasi/dokumentasi elektronik yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Dalam praktiknya, TikTok masih menyebarkan konten pornografi, sehingga badan usaha asing tersebut wajib mempertanggungjawabkan tindakannya secara hukum dalam hal belum terpenuhi secara lengkap kewajibannya, sebagai PSE berdasarkan peraturan perundangundangan.

Social media is a new communication platform for the public, to be able to interact and exchange information using electromagnetic systems. However, with the increasing number of social media users, this is also followed by the development of pornography crimes by abusing existing social media. Therefore, social media as one of the organizers of the electronic system (PSE) in Indonesia, can be held legally responsible for pornography crimes facilitated in its electronic system. The focus of this research, will go deeper into the TikTok app, and elaborate academically on (i) how TikTok’s as a social media comply with obligations as a PSE in based on moral norms positive law in Indonesia; (ii) how TikTok's as a social media regulates restrictions on sexual content that is prohibited from being broadcast; (iii) how Tiktok's as a social media is responsible for pornographic content that is aired on its electronic system in the live streaming feature. The research method used by the author is normative juridical research, using literature research sources, as well as with the analytical nature of research and various types of supporting secondary data. The main legal basis governing social media in accordance with the results of the author's analysis is the ITE Law, the Press Law, and the Broadcasting Law. However, the author will focus the discussion on TikTok as an official PSE in Indonesia, which is regulated by derivative regulations of the ITE Law, namely Government Regulation No. 71 of 2019, and Ministerial Regulation No. 5 of 2020. The author's research is also reviewed from the main legal basis regarding pornography, namely the Pornography Law and the KUHP. Basically, the provisions have contained the rights and obligations of TikTok as a PSE, one of which is not to disseminate electronic information/documentation that is prohibited by laws and regulations. In practice, TikTok still spreads pornographic content, so the foreign business entity is obliged to legally responsible its actions based on the law, in terms of they have not fully fulfilled their obligations as a PSE based on laws and regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriela Nauli Christyanti
"Layanan kencan online memberikan kesempatan bagi pengguna untuk bertemu calon pasangan pada aplikasinya. Namun, dengan meningkatnya aktivitas kencan online dalam beberapa tahun terakhir, hal tersebut juga membuka pintu bagi terjadinya berbagai tindak pidana siber yang menargetkan pengguna aplikasi kencan online. Oleh karena itu, layanan kencan online dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum atas tindak pidana siber yang terjadi pada layanannya. Dengan fokus penelitian pada aplikasi kencan online Tinder dan Bumble, penelitian ini akan menguraikan lebih lanjut mengenai (i) bagaimana layanan kencan online sebagai penyelenggara sistem elektronik diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia; (ii) tanggung jawab hukum yang ditanggung oleh layanan kencan online jika terjadinya tindak pidana siber; dan (iii) kepatuhan layanan kencan online terhadap ketentuan yang mengatur penyelenggara sistem elektronik di Indonesia. Dengan metode penelitian yuridis normatif dan pendekatan kualitatif, ditemukan bahwa layanan kencan online di Indonesia diatur antara lain oleh UU ITE dan Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019. Ketentuan tersebut mengatur bahwa layanan kencan online dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum atas terjadinya tindak pidana siber dalam hal tidak terpenuhinya kewajiban hukumnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Tinder dan Bumble, sebagai penyelenggara sistem elektronik asing yang beroperasi di Indonesia, juga ditemukan belum sepenuhnya mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Online dating services provide an opportunity for users to meet potential romantic partners on their platforms. However, with the rise in activity on many online dating applications in recent years, it has also opened the doors to various cybercrimes targeting users on these platforms. Hence, online dating services could be held liable for the occurrence of cybercrimes on their platforms. With a focus on the online dating applications Tinder and Bumble, this research will further elaborate on (i) how online dating services as an electronic system provider are regulated within Indonesian laws and regulations; (ii) the legal liabilities online dating services bear in the occurrence of cybercrimes; and (iii) online dating services’ compliance to provisions governing electronic system providers in Indonesia. With a juridical-normative research method and a qualitative approach, it is found that online dating services in Indonesia are governed among others by the ITE Law and Government Regulation No. 71 of 2019. Such provisions stipulate that online dating services may be held liable for the occurrence of cybercrimes if they have not performed all of their legal obligations provided within the regulations. Tinder and Bumble, as foreign electronic system providers conducting operations in Indonesia, are also found to have not fully complied with Indonesian laws and regulations subjected to them."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayup Khalid
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2002
TA3289
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marshadhia Muhamad
"Skripsi ini membahas mengenai bagaimana tanggung jawab hukum dari penyelengggara sistem perdagangan elektronik terhadap transaksi elektronik yang dilakukan oleh anak dibawah umur. Penelitian ini adalah penelitian dengan menggunakan pendekatan Yuridis-normatif. Penelitian ini meneliti bagaimana perbandingan antara perjanjian secara konvensional dan elektronik, serta melihat bagaimana KUH Perdata memandang transaksi tersebut apabila dilakukan oleh anak.
Dalam skripsi ini juga dibahas mengenai bentuk tanggung jawab dari penyelenggara sistem perdagangan elektronik di Indonesia dilihat dari beberapa peraturan yaitu Undang-undang Perlindungan Konsumen, Undang-undang Informasi dan Telematika, PP 82 Tahun 2012 dan Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informasi No 5 Tahun 2016.
Penelitian ini menemukan bahwa penerapan Tanggung Jawab Penyelenggara Sistem Perdagangan Elektronik terhadap transaksi yang dilakukan oleh anak belumlah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu selaku penyelenggara sistem harus membenahi sistemnya agar aman digunakan oleh anak.

This thesis describes how the legal responsibility of electronic commercial performed by minors on electronic transaction. This study is using a juridical normative and will analyze the comparison between conventional and electronic agreement, also how the Indonesian Civil Code describes the transaction performed by minors.
Furthermore, this research will discuss about the form of responsibility from electronic commercial sistem in Indonesia, such as that will be seen from several regulations such as Consumer Protection Law, Information and Technology Law, PP 82 Tahun 2012 and Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informasi No 5 Tahun 2016.
This research found that implementation of a legal responsibility of electronic commercial performed by minors on electronic transaction has not suitable with Indonesian regulation. Furthermore, electronic commercialsystem should improved their electronic system and obey the regulation that have been settled.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S68707
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R.Rr.Intan Permatasari M
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen yang
melakukan transaksi dengan sistem elektronik (digital insurance). Sebagai suatu
bentuk layanan asuransi baru dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, di satu sisi
digital insurance memberikan berbagai kemudahan baik bagi konsumen maupun
perusahaan asuransi, namun di sisi lain menimbulkan pertanyaan mengenai jaminan
akan terlindunginya hak-hak konsumen asuransi. Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui bagaimana pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi konsumen
asuransi serta bagaimana pelaksanaan perlindungan hukum terhadap konsumen
asuransi yang melakukan transaksi digital insurance. Penelitian ini menggunakan
metode penelitian yuridis normatif, dengan pendekatan perundang-undangan dan
bersifat analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun saat ini belum ada
peraturan yang mengatur secara khusus tentang digital insurance, tetapi peraturan
perundang-undangan yang ada saat ini sudah mencakup aspek perlindungan hukum
terhadap konsumen yang melakukan transaksi digital insurance. Pelaksanaan
perlindungan hukum konsumen yang melakukan transaksi digital insurance terkait
aspek transparansi produk belum sepenuhnya dilakukan, terkait penggunaan klausula
baku sudah dilakukan dengan memenuhi ketentuan peraturan perasuransian namun
diperlukan peningkatan sumber daya dan pengetahuan asuransi dari petugas OJK,
terkait aspek keamanan teknologi informasi telah dilakukan dengan memenuhi aspekaspek
keamanan teknologi namun tetap perlu adanya upaya dari konsumen untuk
melindungi dirinya sendiri, kemudian terkait aspek pembuktian telah dilakukan
dengan memenuhi kewajiban untuk menyampaikan ikhtisar polis secara hardcopy,
sedangkan aspek upaya penyelesaian sengketa dilakukan dengan adanya berbagai
pilihan media penyelesaian yaitu melalui pengadilan maupun luar pengadilan.
Terciptanya perlindungan hukum terhadap konsumen yang melakukan transaksi
digital insurance memerlukan keterlibatan berbagai pihak baik konsumen, perusahaan
asuransi, OJK, pemerintah, lembaga penyelesaian sengketa, dan pihak-pihak terkait
lainnya

ABSTRACT
This thesis discusses the legal protection for customers who conducting insurance
transactions using electronic system (digital insurance). As a new form of insurance
services utilizing technology advances, digital insurance provide various easiness for
both consumers and insurance companies, but on the other hand raises the question
about the protection guarantee for the insurance costumers' right. This study was
conducted to determine how the arrangements of legal protection for insurance
customers and how the implementation of legal protection for insurance customers
who conducting digital insurance transactions. This thesis research using normative
juridical research methods, the approach to legislation and analytical nature. The
results showed that although there is no specific regulations for digital insurance, but
the existing laws already covered legal protection?s aspect for customers who
conducting digital insurance?s transactions. Implementation of legal protection for
customers conducting digital insurance transactions related to the transparency of
insurance products has not been fully carried out, related the use of standard clauses
has been done in compliance with the insurance provisions but need to increase the
resources and insurance knowledge of the FSA officers, then related to the security
aspect of information technology has been done in compliance with the technology
security aspects, but remain need customer?s effort to protect themselves, verification
aspect done by fulfilling the obligation to deliver the policy schedule in hardcopy,
while for the settlement of dispute carried out by various options of dispute settlement
i.e. through the court or out of court. The legal protection for customer who
conducting digital insurance transactions require the involvement of many parties
including customers, insurance company, FSA, government, dispute resolution
institutions, and other relevant parties."
2016
T45864
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>