Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 149922 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indra Maulana
"Reservoir terekahkan merupakan reservoir dimana fluida tersimpan dan dapat teralirkan melalui porositas dan permeabilitas sekunder dari rekahan. Salah satu kompleksitas dari reservoir minyak dan gas bumi yang memiliki rekahan adalah bagaimana kondisi geologis dapat mempenngaruhi bentuk dan persebaran dari rekahan yang ada di bawah permukaan. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan karakterisasi rekahan, membuat model intensitas rekahan, dan mengkaitkannya dengan keadaan geologi pada lapangan penelitian. Penelitian dilakukan dengan melakukan interpretasi data rekahan dari log FMI, interpretasi data seismik, pembuatan atribut seismik, dan pembuatan model dengan menggunakan neural network untuk mendistribusikan intensitas rekahan dengan arahan atribut seismik yang dibuat. Hasil penelitian menunjukkan rekahan bersifat resistif dan konduktif yang masing-masing berjumlah 163 dan 291 rekahan. Orientasi patahan mayor dan rekahan-rekahan pada tiga sumur menunjukkan orientasi NE-SW, NW-SE, dan N-S. Model intensitas rekahan lateral Lapangan Arwintar menunjukkan bahwa keterbentukan rekahan relatif lebih banyak terjadi pada daerah yang memiliki perubahan elevasi curam, yang mana berarti wilayah tersebut mengalami tingkat deformasi yang lebih tinggi dibandingkan pada bagian lainnya. Diperkirakan patahan dan rekahan yang ada pada lapangan dipengaruhi oleh kejadian tektonik besar berupa subduksi.

Fractured reservoir is a reservoir with fluid storage and pathway comes from fractures as a secondary porosity and permeability. The complexity of fractured reservoirs is how geological conditions can affect the shape and distribution of the subsurface fractures. This research aims to characterize fractures, make a fracture intensity model, and correlate it to the geological conditions in the field. The research was conducted by interpreting fracture data from FMI logs, interpreting seismic data, creating seismic attributes, and making models using a neural network to distribute the fracture intensity with the direction of the seismic attributes created. The results showed there are 163 resistive fractures and 291 conductive fractures. The orientation of the major faults and the fractures showed NE-SW, NW-SE, and N-S trends. The fracture intensity model of Arwintar Field showed that fracture is more common in areas that have steep elevation changes. It means these areas experience a higher level of deformation than in other areas. It is assumed that the faults and fractures were generated because of subduction."
Lengkap +
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Shodikin
"ABSTRAK
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Adanya fraktur dapat menimbulkan berbagai respon dalam kehidupan partisipan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai gambaran respon yang dialami pasien terkait masalah / diagnosa keperawatan dan bagaimana pasien memaknai respon tersebut. Desain penelitian ini adalah kualitatif dengan metode wawancara mendalam. Partisipan adalah pasien yang mengalami fraktur ekstremitas bawah yang sedang dirawat di Rumah Sakit Daerah dr. Soebandi, direkrut dengan purposive sampling. Data yang dikumpulkan berupa rekaman hasil wawancara dan catatan lapangan yang dianalisis dengan analisis isi (content analysis) dalam prosesnya menggunakan tahapan teknik Collaizi’s. Penelitian ini mengidentifikasi 5 tema utama, yaitu 1) respon ranah fisik, 2) respon ranah psikologis, 3) respon ranah sosial, 4) respon rana spiritual, 5) setiap partisipan membutuhkan pelayanan perawat yang mempunyai humanistic caring dan professional caring yang baik. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa respon ranah fisik, psikologis, sosial, dan spiritual terjadi pada semua partsipan pada penelitian ini. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien frakrur ekstremitas bawah sesuai dengan respon pasien.

ABSTRACT
A fracture is the disruption in the continuity of a bone. The impact of the fracture can impact the patient’s life. The aims of the study were to identify patient’s responds who has fracture lower extremity after having experience a fracture of lower extremity and how they define the meaning from these responses. This study employed a qualitative design and data were collected by in-depth interviews. Participants were patients with fracture of lower extremity, recruited by a purposive sampling approach. Data was a gathered through an in depth interview, then recorded by using MP4, and also field note forms, then was transcribed and content analyses. The process of analyses employed a Collaizi’s technique. The findings identified 5 themes include : 1) physical; 2) psychological; 3) social; 4) spiritual responses; and 5) patients with fracture of lower extremity need a professional nurse who has humanistic caring and professional caring. The results of the study revealed that impact of the response physically; psychologically; socially; and spiritually aspects of the patient’s after having experience fracture of lower extremity is real and has a strong meaning for their lives. This result imply that all professional need to increase knowledge and understanding or caring for patients with fracture of lower extremity based on their respond, accordingly."
Lengkap +
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2009
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Daradjatun M.
"ABSTRAK
Laporan pendahuluan dari patah tulang tibia terbuka derajat 3 didapat 5 kasus dengan 2 kasus derajat III A, 2 kasus derajat III B dan 1 kasus derajat III C. Walaupun belum dapat diambil kesimpulan karena belum lengkap jumlah kasus dan waktu yang diperlukan, namun pengamatan sementara dari lima kasus yang mendapat pengobatan Cypro Floxacin 2 x 750 mg maupun 2 x 500 mg secara klinis umum dan lokal dinilai baik.
Perlunya mempercepat penutupan jaringan granulasi dan "Bone expose" oleh tandur alih kulit dan flap serta mengevaluasi kuman yang muncul apakah merupakan nosokomial infeksi atau penyebab osteomyelitis di kemudian hari terutama jenis pseudomonas aerogenosa.
"
Lengkap +
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Banks, Peter
Oxford: Wright, 1991
617.156 BAN k (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Noviandi Syarif
"Latar Belakang: Fraktur zygoma merupakan salah satu fraktur wajah yang paling sering terjadi. Namun demikian, untuk evaluasi pascaoperasi belum ada metode yang standard dan dapat diandalkan, seringkali berdasarkan penilaian subjektif dan fotografi. Sebuah metode baru untuk membuat fotografi standard telah dikembangkan di institusi kami, yaitu Portable Mirror Stand Device MiRS . Menggunakan alat ini dan dibantu dengan program komputer memungkinkan sebuah metode standard baru untuk mengevaluasi hasil akhir pascaoperasi fraktur zygoma.Metode:Portable Mirror Stand Device ditempatkan pada klinik rawat jalan di Cleft Craniofacial Center Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Foto dari 11 pasien pascaoperasi diambil dengan bantuan alat tersebut. Foto kemudian dianalisis dengan metode manual dan program komputer imageJ 1.46 untuk menilai simetri, dan kedua metode dibandingkan untuk mencari korelasi dan kesesuaian antara metode pengukuran tersebut.Hasil:Pengukuran dengan metode manual dan dengan program komputer tidak berbeda secara signifikan dan mempunyai tingkat kesesuaian yang baik. Hasil simetri yang ditemukan pada institusi kami mirip dengan institusi lain di daerah Asia, ?Zy= 3,4 1,5 mm, ?Bc= 2,6 1,6 mm, ?Ch= 2,3 2,4 mm dibanding ?Zy= 3,2 1,7 mm, ?Bc= 2,6 1,6 mm, ?Ch= 2,3 2,5 mm .Kesimpulan:Tatalaksana pasien Fraktur Zygoma di institusi kami memberikan hasil simetri yang baik.Penggunaan Portable Mirror Stand Device dibantu dengan program komputer imageJ 1.46 bermanfaat dalam menilai simetri pada pasien pascaoperasi fraktur zygoma. Kata Kunci: Evaluasi Simetri, fraktur zygoma, Mirror Stand Device, imagej

Background Zygomatic fracture is among the most common fracture of facial skeleton. However in assessing post operative patients, we haven rsquo t had any standard and reliable method of evaluation, we often rely on photographs and subjective assessments. A new method for standardization of photography developed in our institution is Portable Mirror Stand Device MiRS . Using this device and image analysis software provide a new method to evaluate outcome after open reduction and internal fixation of zygomatic fracture.Methods Portable Mirror Stand Device set in our outpatient clinic in the Cleft Craniofacial Center of Cipto Mangunkusumo Hospital. Photographs of 11 postoperative patients were taken with aid of the device and were analyzed with manual methods and with image analysis software imageJ 1.46 for symmetry. The two methods then compared to assess correlation and agreement.Results Measurement with manual and software assisted method was not significantly different and proved to have good agreement between the two methods. Result of symmetry achieved in our center is similar to other center in the Asian region, Zy 3,4 1,5 mm, Bc 2,6 1,6 mm, Ch 2,3 2,4 mm compared to Zy 3,2 1,7 mm, Bc 2,6 1,6 mm, Ch 2,3 2,5 mm .Conclusion The treatment of Zygomatic fracture in our center achieved good results.Portable Mirror Stand Device assisted with image analysis software imageJ 1.46 is beneficial in assessing symmetry in Postoperative Zygomatic Fracture Patients.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hendroyono Kumorocahyo
"Latar belakang: Penatalaksanaan fraktur greenstick radius sering berakibat malunion karena angulasi-ulang yang membatasi gerak sendi radio-karpal. Oleh sebab itu perlu diupayakan metoda reposisi yang aman, efektif, dan murah yang dapat dikerjakan sebagai Standar Prosedur Operasional di RSUD kabupaten Indonesia. Reposisi fraktur greenstick radius dengan melakukan over-koreksi, merupakan pilihan, karena dapat mencegah terjadinya angulasi-ulang.
Tujuan: Menilai efektivitas dan keamanan reposisi dengan over-koreksi dalam penatalaksanaan fraktur greenstick radius.
Rancangan dan metode: Uji klinis acak, grup paralel, dengan concealment. Penelitian melibatkan 92 anak (46 per kelompok) usia 4-14 tahun dengan fraktur greenstick radius di RSUD Kota Bekasi, Agustus 2011 sampai Mei 2012. Efektivitas prosedur diukur melalui derajat residu angulasi (minimal ditetapkan 5°), angulasi ulang, pergeseran fragmen fraktur (minimal <25%), dan risiko pengobatan (untuk mengukur keamanan pasien) mulai saat setelah reposisi 24 jam, minggu pertama sampai minggu ke-4, minggu ke-6 dan minggu ke-10.
Hasil: Over-koreksi terbukti efektif dan aman digunakan dalam penatalaksanaan fraktur greenstick radius. Pada semua pengamatan, Insidens Risk untuk terjadinya residu angulasi >5° pada kelompok over koreksi lebih kecil dibandingkan kelompok tanpa over koreksi. Pada minggu kedua, IR pada kelompok over koreksi (0,04) sedangkan kelompok tanpa over koreksi (0,39) dengan Risk Difference -0,35 (95%CI: -0,50 - -0,19). Perbedaan tersebut terlihat konsisten pada seluruh pengamatan. Probabilitas kesintasan lebih besar pada kelompok over-koreksi dibanding tanpa over-koreksi untuk terjadinya angulasi ulang. Insidence Rate recurrent angulation pada kelompok over-koreksi lebih kecil dibandingkan tanpa over koreksi dengan risk difference sebesar -0,025 (95% CI: -0,02--0,03). Pada sesaat pasca reposisi hingga minggu pertama perbedaan risiko pergeseran fragmen fraktur 2:25% pada kelompok over-koreksi jauh lebih besar daripada kelompok tanpa over-koreksi namun pada minggu kedua hingga minggu kesepuluh, perbedaan risiko sudah sangat berkurang sehingga tidak didapatkan perbedaan bermakna mulai minggu kedua hingga kesepuluh. Proporsi risiko pengobatan yang terjadi pada pasien sangat sedikit sehingga penelitian ini tidak dapat membuktikan bahwa pengobatan fraktur greenstick radius dengan melakukan over-koreksi lebih baik dalam mengontrol risiko pengobatan.
Kesimpulan: Over-koreksi efektif dan aman untuk digunakan dalam penatalaksanaan fraktur greenstick radius pada anak.
Saran: perlu dilakukan penelitian yang sama yang dilakukan oleh ahli bedah ortopedi lain pada beberapa RSUD di kabupaten di Indonesia;

Background: Management of greenstick radius fracture often results in malunion because re-angulations that restrictive radio-carpal joint. Therefore, needed a safer, effective, and cheaper repositioning method that can be done as a Standard Operating Procedure in district hospitals in Indonesia Reposition of greenstick radius fracture with over-correction is as choice because it can prevent re-angulations.
Objective: Asses the effectiveness and safety of repositioning with over-correction in the greenstick radius fracture management.
Design and method: Randomized clinical trial, parallel group, with concealment. This study involved 92 children (46 per group) aged 4-14 years with greenstick radius fracture in Bekasi City General Hospital, August 2011 until May 2012. Effectiveness of the procedure is measured by the degree of residual angulations (minimal <5<), re­ angulations, a shift in the fracture fragments (minimal <25%), and risk of treatment (to measure patient safety) started after 24 hours repositioning, first week until fourth, sixth and tenth week.
Result: Over-correction proved effective and safe to use in the management of greenstick radius fracture. In All observations, Incidence Risk for the occurrence of residual angulations is >5° at the over-correction group less than non over-correction group. In the second week, IR at the over-correction group (0,04), while non over­ correction (0,39) with Risk Difference -0,35 (95%CI: -0,50 - -0,19). This difference was seen consistently in all observation. Probability of survival at the over-correction group greater than non over-correction group for the occurrence of re-angulations. Incidence Rate recurrent angulations at the over-correction group less than non over correction with risk difference -0,025 (95% CI: -0,02--0,03). After reposition until the first week, the difference of fracture fragment shift's risk 2:25% at the over­ correction group, much larger than non over-correction group. But at the second week until tenth week, the difference of risk has been significantly reduced, so that there is no significant difference started at the second week until tenth week. Proportion of treatment risk occurred in patients measly, so that this study cannot prove that the greenstick radius fracture treatment with over-correction better in control the risk of treatment.
Conclusion: Over-correction is effective and safe to use in the management of greenstick radius fracture at the children.
Suggestion: needs to conduct the same research done by other orthopedic surgeons at several district hospitals in Indonesia."
Lengkap +
Jakarta: Universitas Indonesia, 2012
D2025
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zifrianita
"Fraktur merupakan penyebab trauma terbesar atau cedera, yang dapat terjadi pada semua tingkat usia dan dapat menyebabkan perubahan signifikan dalam kualitas hidup individu. Namun, masih ditemukan pasien pasca operasi membatasi pergerakan dan melakukan ambulasi dini setelah beberapa hari pasca operasi fraktur ekstremitas bawah meskipun telah dianjurkan untuk melakukan latihan ambulasi dini. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi pengalaman pasien dalam melakukan ambulasi dini pasca operasi fraktur pada ekstrimitas bawah Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif dengan menggunakan purposive sampling pada 10 partisipan melalui wawancara semi terstruktur ( open – ended question) yang dilakukan di RS Fatmawati Jakarta. Hasil penelitian ini menghasilkan tiga tema yaitu: 1) ketidaknyamanan fisik yang dirasakan 2) kebutuhan akan dukungan melakukan ambulasi dini 3) manfaat ambulasi dini. Penelitian lebih lanjut terkait dengan intervensi untuk meningkatkan ambulasi dini perlu dilakukan.

Fractures or fractures are the biggest cause of trauma or injury, which can occur at all age levels and can cause significant changes in an individual's quality of life. However, postoperative patients still limit movement and perform early ambulation after a few days postoperatively even though it has been recommended to do early ambulation exercises. The purpose of this study was to explore the experience of patients in performing early postoperative ambulation of fractures in the lower extremity. The research method used was descriptive qualitative using purposive sampling on 10 participants through semi-structured interviews (open-ended question) conducted at Fatmawati Hospital, Jakarta. The results of this study produced themes, namely: 1) recognizing the physical perceived 2) the need to support early ambulation 3) the benefits of early ambulation. Further research related to interventions to increase early ambulation needs to be done.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iman Dwi Winanto
"Pendahuluan
Salah satu tantangan dalam tatalaksana fraktur saat ini adalah rekonstruksi fraktur dengan defek tulang yang luas, di mana dibutuhkannya restorasi alignment dan fiksasi yang stabil untuk keberhasilan rekonstruksi. Pada kasus fraktur dengan defek tulang tidak ada lagi komponen osteoinduksi dan osteokonduktif sehingga diperlukan penggunaan graft tulang ataupun tindakan transport tulang. Walaupun perkembangan teknologi dan kemajuan dalam pembedahan orthopaedi telah berkembang saat ini, hasil akhir dari penyembuhan tulang paska pembedahan pada beberapa kasus fraktur akan mengalami penyembuhan tulang yang kurang baik yang akhirnya akan menyebabkan defek ataupun non-union dari fraktur tersebut.
Metode
Desain penelitian adalah studi post test control group design. Sampel yang digunakan adalah dua puluh delapan tikus putih Sprague Dawley yang telah mengalami maturasi skeletal (8-12 minggu), dibagi menjadi empat kelompok, tiap tikus akan dilakukan tindakan fraktur dengan defek tulang pada tulang femur selebar 4mm, kemudian tikus dibagi berdasarkan implantasi yang diberikan, yaitu kelompok kontrol, kelompok implantasi amnion liofilisasi steril, kelompok implantasi xenograft morcalized bovine, dan kelompok implantasi kombinasi amnion dengan xenograft. Hewan coba akan dikorbankan setelah 8 minggu, kemudian dilakukan pemeriksaan radiologis dan histopatologis dari fraktur. Evaluasi radiologis menggunakan skor menurut Lane dan Sandhu, evaluasi histopatologis menggunakan skor menurut Salkeld.
Hasil
Berdasarkan uji statistik non parametrik Kruskal-Wallis terhadap skor radiologis tulang pada minggu ke-8 paska pembedahan didapat nilai p 0,25. Secara statistik dapat diambil kesimpulan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna perbandingan skor radiologis antara empat kelompok tersebut. uji statistik non parametrik Kruskal-Wallis pada skor histopatologis menurut Salkeld minggu ke-8 paska pembedahan didapat nilai p 0,001 secara statistik, dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan bermakna perbandingan skor histopatologis antara empat kelompok tersebut.
Kesimpulan
Skor radiologis pada implantasi amnion liofilisasi steril dibanding dengan kelompok kontrol pada fraktur dengan defek tulang tidak memberikan perbedaan bermakna, sementara skor histologis memberikan perbedaan percepatan penyembuhan bermakna pada implantasi amnion liofilisasi steril dibanding dengan kelompok kontrol. Skor radiologis dan histologis pada implantasi xenograft morcalized bovine dibanding kelompok kontrol tidak memberikan perbedaan percepatan penyembuhan bermakna. Skor radiologis pada implantasi kombinasi amnion liofilisasi steril dan xenograft morcalized bovine dibanding dengan kelompok kontrol tidak memberikan perbedaan bermakna, sementara skor histologis memberikan perbedaan percepatan penyembuhan bermakna dibanding dengan kelompok kontrol.

Introduction
One of the current chalenge on fracture treatment is reconstruction of fracture with critical size bone defect, where the restoration of the alignment dan stable fixation for succesfull result is necessary. bone graft or bone transport is usually needed for bone defect reconstruction because there isnt any osteoinductive and osteoconductive component on fracture with bone defect. Although new technologies and advances in orthopaedic surgery have enhanced fracture healing and surgical outcomes, there are fracture that continue to be deficient in bone repair or become non-union.
Methode
The research design is post test control group using twenty eight skeletally matured Sprague Dawley rats, divided into four groups, 4mm sized femoral defects were surgically created in the right femur of 28 rats. 7 rats were ran­domly assigned to each treatment group, in which the femoral defect was filled with sterile lyophilized amnion, morcalized bovine xenograft and combination. In the empty defect group (control group) defects were left empty. Animals were sacrificed at 8 weeks postoperatively. Then the radiologic and histopathologic examination were completed. Radiologic evaluation using Lane and Sandhu score, histologic evaluation using Salkeld score.
Result
Non parametric Kruskal-Wallis statistic analysis for the radiologic score 8 weeks postoperatively reveal p value 0,25 which mean there is no significance difference between four groups. However for the histopathologic score statistic analysis examination reveal the p value 0,001 which mean there are significance differences between four groups. The statistic analysis for histopathologic is then continued with Man Whitney analysis.
Conclusion
Regarding the radiologic score, amniotic membrane has similar radiological score to control, however the histopathologic score is better. Xenograft have similar radiological and histopathological score to the control. Combination of amniotic membrane with xenograft has better histopathological score to control. Although the radiologic score is similar.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bramadita Satya
"ABSTRAK
Latar Belakang: Impaksi Molar 3 rahang bawah telah diketahui akan meningkatkan resiko fraktur tulang mandibula terutama di daerah angulus mandibula. Fraktur angulus mandibula sering terjadi akibat kecelakaan lalu lintas di Indonesia. Masyarakat belum mengetahui pentingnya odontektomi sebagai langkah awal pencegahan fraktur angulus mandibula.Tujuan: Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan dari adanya fraktur angulus mandibula dengan adanya impaksi molar 3 rahang bawah.Material dan Metode: Rekam medis pasien poli Bedah Mulut dan Maksilofasial Rumah Sakit Umum kabupaten Tangerang selama periode Januari 2013-Desember 2017 dikumpulkan dan didapatkan 41 orang dengan fraktur angulus mandibula. Setiap sampel diidentifikasi adanya fraktur angulus mandibula, adanya impaksi molar 3 rahang bawah, posisi erupsi impaksi molar 3 dan kelas impaksi menurut Pell dan Gregory. Data diolah dengan uji Chi Square dan Kolmogorov Smirnov, serta ditentukan Odd Ratio. Uji hipotesis korelatif dilakukan dengan Uji Contingency Coeficient, Phi ? ? ?, Cramer rsquo;s V, dan Kendall rsquo;s Tau-b.Kesimpulan: Ditemukan hubungan antara terjadinya fraktur angulus mandibula dengan adanya impaksi molar 3 bawah mandibula dengan p = 0,01 p < 0,05 dengan Odd Ratio = 4,615; memiliki hubungan korelatif dengan p = 0,010 p < 0,05 dengan kekuatan r = 0,272 lemah . Tidak ditemukan hubungan bermakna antara fraktur angulus mandibula dengan posisi erupsi Suprabony,Infrabony p=0,375 p>0,05 . Tidak ditemukan hubungan bermakna antara fraktur angulus mandibula dengan kelas impaksi menurut Pell dan Gregory p=0,087, p>0,05 .Tidak ditemukan hubungan bermakna antara fraktur angulus mandibula dengan Jenis Kelamin p=0,763 p>0,05 . Tidak ditemukan hubungan bermakna antara fraktur angulus mandibula dengan Usia p=1,000 p>0,05. ABSTRACT
Background: Impacted third molar of mandibula have been studied to have a role in increasing mandible fracture especially in the mandibular angle region. Mandibular angle fractures are often the result of traffic accidents in Indonesia. People do not yet know the importance of odontectomy as a first step to prevent fracture of the mandibular angle.Objective: To determine whether there is association or correlation of the presence of angular fracture in the presence of lower third molar impaction.Materials and Methods: Medical records of patients with Oral and Maxillofacial Surgery of Tangerang District General Hospital during the period of January 2013-December 2017 were collected and obtained 41 people with mandibular angle fractures. Each sample identified an mandibular angle fracture, a lower third molar impaction, third molar impaction eruption position and an impaction class according to Pell and Gregory. The data were processed by Chi Square and Kolmogorov Smirnov, and Odd Ratio was determined. Test the correlative hypothesis with Contingency Coefficient, Phy ? ? ?, Cramer rsquo;s V, and Kendall Tau B test.Conclusion: There was found a association between the presence of mandibular angle fracture in the presence of mandibula lower 3 molar impaction with p = 0,01 p 0,05 . There was no significant association between mandibular angle fracture and Gender p = 0,763 p> 0,05 . There was no significant association between mandibular angle fracture and Age p = 1,000 p> 0,05"
Lengkap +
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Erwin Ardian Noor
"Pendahuluan: Rekonstruksi anatomi dan biomekanik panggul yang akurat sangat penting untuk mendapatkan luaran klinis yang optimal pasca THR. Kesejajaran stem femur yang sesuai berperan dalam mendapatkan luaran yang diharapkan, terutama mencegah terjadinya impingement dan loosening. Meski demikian, tilting stem femur pada bidang sagital belum banyak diteliti dan pengaruhnya pada luaran klinis dan radiologis masih belum jelas. Pada studiini, peneliti ingin mengevaluasi posisi stem femur pada bidang sagital pasca THR cementless dan menganalisis hubungannya dengan luaran klinis dan parameter radiologis pascaoperasi.
Metode: Studi analitik observasional dengan desain potong lintang dilakukan pada total 71 panggul (67 pasien, usia 18-85 tahun) yang telah dilakukan prosedur THR cementless di dua pusat orthopedi di Jakarta, Indonesia. Semua panggul dioperasi dengan teknik anterolateral atau posterior dan menggunakan implan dengan desain extended/full- coating wedge tapered stem (Corail, Depuy) atau proximal-coated wedge tapered stem (EcoFit, Implantcast; M/L Taper, Zimmer). Evaluasi dilakukan pada satu waktu dengan median 1,1 tahun (13,7 bulan). Luaran klinis dievaluasi menggunakan penilaian dengan kusioner mHHS, nilai VAS pada nyeripaha depan, dan penilaian derajat lingkup gerak sendi panggul. Kesejajaran sagital stem femurdan variabel radiologis lainnya diukur dari foto polos pelvis dan femur. Subjek dibagi ke dalam3 grup (anterior tilt, netral, dan posterior tilt) dan dilakukan analisis luaran pada ketiga grup tersebut. Pada studi ini, peneliti juga melakukan studi bivariat antara kesejajaran sagital stem femur dengan morfologi femur, approach, dan desain implan untuk melihat efeknya terhadapposisi stem.
Hasil: Nilai median kesejajaran sagital stem adalah 2o (-4,3o – 7.2o) dengan posisi stem netralditemukan lebih banyak dibandingkan stem yang mengalami tilting (54,9% vs. 45,1%). Tidakditemukan perbedaan bermakna antara skor mHHS, nilai VAS nyeri paha, dan derajat ROM diantara ketiga grup stem alignment. Nilai anteversi dan offset implan pasca prosedur juga tidakdipengaruhi oleh posisi stem femur. Studi ini menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi kesejajaran sagital stem yang bermakna secara statistik. Uji regresi linier pada morfologi femurmendapatkan bahwa setiap penambahan sudut kelengkungan anterior femur (femoral tilt) 1o berpotensi meningkatkan tilting stem femur sebesar 0,69o ke posterior (Coeff. = 0,502). Posisistem netral lebih banyak ditemukan pada approach anterolateral dibandingkan posterior(56,9% berbanding 50%; p=0,000). Anterior tilt ditemukan hanya pada approach posterior dansebaliknya posterior tilt ditemukan lebih banyak pada approach anterolateral approach (43,1%berbanding 20%). Deviasi stem juga ditemukan lebih besar secara proporsi pada proximal- coated stem dibandingkan dengan fully-coated stem (66,6% berbanding 37,7%; p=0,000).
Kesimpulan: Perbedaan kesejajaran stem femur di bidang sagital tidak mempengaruhi luaran klinis maupun radiologis pasien pasca operasi. Meskipun demikian, dalam memposisikan stem, approach ̧anterolateral merupakan teknik terbaik untuk mendapatkan posisi stem netral. Sebaliknya, deviasi stem banyak ditemukan pada approach posterior maupun tipe implant proximal-coated. Terkait morfologi femur, setiap penambahan 1o anterior bowing, posterior tilting dapat bertambah 0,69o. Temuan ini akan sangat berguna bagi klinisi dalam melakukan perencanaan preoperasi THR cementless untuk medapatkan posisi stem femur yang ideal.

Introduction: Optimal stem alignment is essential after THR. However, stem sagittal tilting has not been sufficiently investigated and outcome is still unclear. We aimed to evaluate sagittal stem position following cementless THR and its relationship with functional and radiological outcomes.
Method: Seventy-one hips underwent primary cementless THR. Median follow up was 1,1 years. Postoperative clinical and radiological outcomes were evaluated. Subjects divided based on tilting degree and outcomes were compared between groups. Bivariate analysis was performed between sagittal alignment and several influencing factors for stem position.
Results: Median sagittal alignment was 2º (-4,3º – 7.2º) with neutral stem more frequent. There were no significant differences on clinical or radiological outcomes. Test result showed 0,69º increase of posterior tilt for every 1º anterior bowing. Anterior tilting found only in posterior approach. Conversely, more posterior tilting after anterolateral approach. Larger stem deviation were found on proximal-coated stem.
Conclusion: Stem tilting in sagittal plane did not affect patient’s functional or radiological outcome postoperatively. Although, in term of stem positioning, anterolateral is the best approach to obtain neutral stem. In addition, for every degree of increased anterior femoral bowing, 0,69º increase in posterior stem tilting can be expected.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>