Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 163391 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indra Maulana
"Reservoir terekahkan merupakan reservoir dimana fluida tersimpan dan dapat teralirkan melalui porositas dan permeabilitas sekunder dari rekahan. Salah satu kompleksitas dari reservoir minyak dan gas bumi yang memiliki rekahan adalah bagaimana kondisi geologis dapat mempenngaruhi bentuk dan persebaran dari rekahan yang ada di bawah permukaan. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan karakterisasi rekahan, membuat model intensitas rekahan, dan mengkaitkannya dengan keadaan geologi pada lapangan penelitian. Penelitian dilakukan dengan melakukan interpretasi data rekahan dari log FMI, interpretasi data seismik, pembuatan atribut seismik, dan pembuatan model dengan menggunakan neural network untuk mendistribusikan intensitas rekahan dengan arahan atribut seismik yang dibuat. Hasil penelitian menunjukkan rekahan bersifat resistif dan konduktif yang masing-masing berjumlah 163 dan 291 rekahan. Orientasi patahan mayor dan rekahan-rekahan pada tiga sumur menunjukkan orientasi NE-SW, NW-SE, dan N-S. Model intensitas rekahan lateral Lapangan Arwintar menunjukkan bahwa keterbentukan rekahan relatif lebih banyak terjadi pada daerah yang memiliki perubahan elevasi curam, yang mana berarti wilayah tersebut mengalami tingkat deformasi yang lebih tinggi dibandingkan pada bagian lainnya. Diperkirakan patahan dan rekahan yang ada pada lapangan dipengaruhi oleh kejadian tektonik besar berupa subduksi.

Fractured reservoir is a reservoir with fluid storage and pathway comes from fractures as a secondary porosity and permeability. The complexity of fractured reservoirs is how geological conditions can affect the shape and distribution of the subsurface fractures. This research aims to characterize fractures, make a fracture intensity model, and correlate it to the geological conditions in the field. The research was conducted by interpreting fracture data from FMI logs, interpreting seismic data, creating seismic attributes, and making models using a neural network to distribute the fracture intensity with the direction of the seismic attributes created. The results showed there are 163 resistive fractures and 291 conductive fractures. The orientation of the major faults and the fractures showed NE-SW, NW-SE, and N-S trends. The fracture intensity model of Arwintar Field showed that fracture is more common in areas that have steep elevation changes. It means these areas experience a higher level of deformation than in other areas. It is assumed that the faults and fractures were generated because of subduction."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Shodikin
"ABSTRAK
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Adanya fraktur dapat menimbulkan berbagai respon dalam kehidupan partisipan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai gambaran respon yang dialami pasien terkait masalah / diagnosa keperawatan dan bagaimana pasien memaknai respon tersebut. Desain penelitian ini adalah kualitatif dengan metode wawancara mendalam. Partisipan adalah pasien yang mengalami fraktur ekstremitas bawah yang sedang dirawat di Rumah Sakit Daerah dr. Soebandi, direkrut dengan purposive sampling. Data yang dikumpulkan berupa rekaman hasil wawancara dan catatan lapangan yang dianalisis dengan analisis isi (content analysis) dalam prosesnya menggunakan tahapan teknik Collaizi’s. Penelitian ini mengidentifikasi 5 tema utama, yaitu 1) respon ranah fisik, 2) respon ranah psikologis, 3) respon ranah sosial, 4) respon rana spiritual, 5) setiap partisipan membutuhkan pelayanan perawat yang mempunyai humanistic caring dan professional caring yang baik. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa respon ranah fisik, psikologis, sosial, dan spiritual terjadi pada semua partsipan pada penelitian ini. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien frakrur ekstremitas bawah sesuai dengan respon pasien.

ABSTRACT
A fracture is the disruption in the continuity of a bone. The impact of the fracture can impact the patient’s life. The aims of the study were to identify patient’s responds who has fracture lower extremity after having experience a fracture of lower extremity and how they define the meaning from these responses. This study employed a qualitative design and data were collected by in-depth interviews. Participants were patients with fracture of lower extremity, recruited by a purposive sampling approach. Data was a gathered through an in depth interview, then recorded by using MP4, and also field note forms, then was transcribed and content analyses. The process of analyses employed a Collaizi’s technique. The findings identified 5 themes include : 1) physical; 2) psychological; 3) social; 4) spiritual responses; and 5) patients with fracture of lower extremity need a professional nurse who has humanistic caring and professional caring. The results of the study revealed that impact of the response physically; psychologically; socially; and spiritually aspects of the patient’s after having experience fracture of lower extremity is real and has a strong meaning for their lives. This result imply that all professional need to increase knowledge and understanding or caring for patients with fracture of lower extremity based on their respond, accordingly."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2009
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Aspek spiritual dalam hal ini keyakinan terbadap Tuhan merupakan salah satu unsur yang sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia. Tidak hanya sebagai suatu aktivitas ritual, namun juga sebagai suatu unsur yang dapat menjadi kekuatan di dalam diri manusia yang dapat menjadi motivator positif dalam menjalani kehidupan. Terlebih Iagi klien fraktur, yang menuniut suatu penelitian menyatakan bahwa mereka cenderung menghadapi permasalahan harga diri rendah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi ada atau tidaknya hubungan antara aktualisasi nilai-nilai religi kIien dengan sikap kooperatif klien dalam asuhan keperawatan pada klien dengan fraktur. Disain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif koreIatif, dengan jumlah responden 21 orang dan dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Penelitian ini dilakukan dengan menyebarkan quisioner kepada para responden, dengan sebelumnya telah menandatangani surat pernyatan kesediaan untuk menjadi responden dengan tanpa adanya unsur paksaan. Berdasarkan pengolahan data didapatkan t hitung = 0,6 dan hasil itu lebih besar jika dibandingkan dengan t tabel yang bernifai 0,53. Hal tersebut menunjukkan terdapatnya hubungan antara aktualisasi nilai-nilai religi klien dengan sikap kooperatif klien dalam asuhan keperawatan pada klien dengan fraktur, meskipun hubungan yang ditunjukan dalam penelitian ini sangat rendah yaitu dengan r = 0,136."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2001
TA4979
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Daradjatun M.
"ABSTRAK
Laporan pendahuluan dari patah tulang tibia terbuka derajat 3 didapat 5 kasus dengan 2 kasus derajat III A, 2 kasus derajat III B dan 1 kasus derajat III C. Walaupun belum dapat diambil kesimpulan karena belum lengkap jumlah kasus dan waktu yang diperlukan, namun pengamatan sementara dari lima kasus yang mendapat pengobatan Cypro Floxacin 2 x 750 mg maupun 2 x 500 mg secara klinis umum dan lokal dinilai baik.
Perlunya mempercepat penutupan jaringan granulasi dan "Bone expose" oleh tandur alih kulit dan flap serta mengevaluasi kuman yang muncul apakah merupakan nosokomial infeksi atau penyebab osteomyelitis di kemudian hari terutama jenis pseudomonas aerogenosa.
"
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Banks, Peter
Oxford: Wright, 1991
617.156 BAN k (1)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Immanuel Panca Soritua
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui formasi fiksasi interna yang terbaik dan perbedaan stabilitas pelvis dengan penambahan fiksasi posterior rongga pelvis pada model fraktur pelvis cedera open book dan disrupsi sendi sakroiliaka anterior (klasifikasi OTA/AO B1.1). Studi yang ada menunjukkan belum terdapatnya data mengenai kekuatan mekanik tipe-tipe fiksasi tersebut di atas.
Desain penelitian adalah studi eksperimental dengan 25 model tulang pelvis buatan (Synbone®) dengan perlakuan cedera open book dan disrupsi sendi sakroiliaka anterior (klasifikasi OTA/AO B1.1). Variabel bebas dalam studi ini adalah lima tipe fiksasi interna terhadap fraktur pelvis. Masing-masing kelompok diberikan gaya aksial dan anteroposterior sampai terjadi pergeseran ≥ 2 mm pada sendi sakroiliaka (load to failure).
Hasil uji biomekanik terhadap setiap kelompok fiksasi menunjukkan nilai rerata load to failure terkecil sampai dengan yang terbesar pada pemberian gaya aksial diperoleh pada kelompok dengan urutan fiksasi: dua plat simfisis (730,03 N), satu plat simfisis pubis dan satu screw iliosakral (posterior) (1224,18 N), dua plat simfisis pubis dan dua plat anterior sendi iliosakral (1405,06 N), satu plat simfisis dan dua screw iliosakral S1 (1444,64 N), satu plat simfisis dan dua screw masingmasing satu di S1 dan S2 (1490,36 N). Analisis perbandingan rerata load to failure (menggunakan uji one-way ANOVA post hoc Bonferroni) antar kelompok menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik (p< 0,05) pada rerata load to failure kelompok fiksasi dua plat simfisis (anterior) dengan empat kelompok lainnya (anterior dan posterior). Selain itu terdapat pula perbedaan yang bermakna (p< 0,05) antara kelompok fiksasi satu plat simfisis pubis dan satu screw iliosakral (posterior) dengan kelompok fiksasi satu plat simfisis pubis dan dua screw masing-masing satu di S1 dan S2.
Penambahan fiksasi sendi sakroiliaka (posterior) dengan screw iliosakral di S1 dan S2 merupakan formasi fiksasi interna terbaik dilihat dari kekuatan mekanik. Fiksasi sendi simfisis pubis (anterior) saja mempunyai kekuatan mekanik paling rendah dibandingkan fiksasi sendi simfisis pubis (anterior) dan sendi sakroiliaka (posterior). Fiksasi dua screw sakroiliaka di S1 dan S2 meningkatkan stabilitas pelvis dibandingkan fiksasi satu screw sakroiliaka di S1.

This study is aimed to identify the best internal fixation formation and the differences in pelvic stability with the addition of posterior fixation at the pelvic cavity in pelvic fracture model with open-book injury and anterior sacroiliac joint disruption (OTA/AO B1.1 classification). Literature review revealed no data about the mechanical strength of the above fixation types.
This was an experimental study with 25 artificial pelvic bones (Synbone®) of which their pubic symphisis and anterior sacroiliac joint were disrupted. The independent variable was five types of internal fixation of the OTA/AO B1.1 classification pelvic fracture. Each group was given axial and anteroposterior load until a displacement of ≥ 2 mm occurred at the sacroiliac joint (load to failure).
Biomechanical test results of each type of fixation demonstrated that the lowest to highest load to failure mean scores against axial load were obtained by fixation groups with the order of: two symphisis plates (730,03 N), one pubic symphisis plate and one iliosacral screw (posterior) (1224,18 N), two pubic symphisis plates and two anterior iliosacral joint plates (1405,06 N), one symphisis plate dan and two S1 iliosacral screws (1444,64 N), one symphisis plate and two screws each on S1 dan S2 (1490,36 N). Load to failure mean score comparison analysis (using one-way ANOVA, post hoc Bonferroni test) revealed a statistically significant difference (p< .05) between the load to failure of two symphisis plates fixation group with those of the other four groups. There is also a significant difference (p< .05) between the load to failure of one pubic symphisis plate and one iliosacral screw (posterior) fixation group with that of the one pubic symphisis plate and two screws each on S1 and S2.
The addition of sacroiliac joint (posterior) fixation, either with plate or screw, will inrease the mechanical strength when axial load is applied. The mechanical strength may increase up until two times compared to that of the pubic symphisis (anterior) joint fixation only. The fixation of two sacroiliac screws at S1 and S2 increases the pelvic stability compared to that of one sacroiliac screw fixation at S1.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
Sp-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Noviandi Syarif
"Latar Belakang: Fraktur zygoma merupakan salah satu fraktur wajah yang paling sering terjadi. Namun demikian, untuk evaluasi pascaoperasi belum ada metode yang standard dan dapat diandalkan, seringkali berdasarkan penilaian subjektif dan fotografi. Sebuah metode baru untuk membuat fotografi standard telah dikembangkan di institusi kami, yaitu Portable Mirror Stand Device MiRS . Menggunakan alat ini dan dibantu dengan program komputer memungkinkan sebuah metode standard baru untuk mengevaluasi hasil akhir pascaoperasi fraktur zygoma.Metode:Portable Mirror Stand Device ditempatkan pada klinik rawat jalan di Cleft Craniofacial Center Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Foto dari 11 pasien pascaoperasi diambil dengan bantuan alat tersebut. Foto kemudian dianalisis dengan metode manual dan program komputer imageJ 1.46 untuk menilai simetri, dan kedua metode dibandingkan untuk mencari korelasi dan kesesuaian antara metode pengukuran tersebut.Hasil:Pengukuran dengan metode manual dan dengan program komputer tidak berbeda secara signifikan dan mempunyai tingkat kesesuaian yang baik. Hasil simetri yang ditemukan pada institusi kami mirip dengan institusi lain di daerah Asia, ?Zy= 3,4 1,5 mm, ?Bc= 2,6 1,6 mm, ?Ch= 2,3 2,4 mm dibanding ?Zy= 3,2 1,7 mm, ?Bc= 2,6 1,6 mm, ?Ch= 2,3 2,5 mm .Kesimpulan:Tatalaksana pasien Fraktur Zygoma di institusi kami memberikan hasil simetri yang baik.Penggunaan Portable Mirror Stand Device dibantu dengan program komputer imageJ 1.46 bermanfaat dalam menilai simetri pada pasien pascaoperasi fraktur zygoma. Kata Kunci: Evaluasi Simetri, fraktur zygoma, Mirror Stand Device, imagej

Background Zygomatic fracture is among the most common fracture of facial skeleton. However in assessing post operative patients, we haven rsquo t had any standard and reliable method of evaluation, we often rely on photographs and subjective assessments. A new method for standardization of photography developed in our institution is Portable Mirror Stand Device MiRS . Using this device and image analysis software provide a new method to evaluate outcome after open reduction and internal fixation of zygomatic fracture.Methods Portable Mirror Stand Device set in our outpatient clinic in the Cleft Craniofacial Center of Cipto Mangunkusumo Hospital. Photographs of 11 postoperative patients were taken with aid of the device and were analyzed with manual methods and with image analysis software imageJ 1.46 for symmetry. The two methods then compared to assess correlation and agreement.Results Measurement with manual and software assisted method was not significantly different and proved to have good agreement between the two methods. Result of symmetry achieved in our center is similar to other center in the Asian region, Zy 3,4 1,5 mm, Bc 2,6 1,6 mm, Ch 2,3 2,4 mm compared to Zy 3,2 1,7 mm, Bc 2,6 1,6 mm, Ch 2,3 2,5 mm .Conclusion The treatment of Zygomatic fracture in our center achieved good results.Portable Mirror Stand Device assisted with image analysis software imageJ 1.46 is beneficial in assessing symmetry in Postoperative Zygomatic Fracture Patients.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hendroyono Kumorocahyo
"Latar belakang: Penatalaksanaan fraktur greenstick radius sering berakibat malunion karena angulasi-ulang yang membatasi gerak sendi radio-karpal. Oleh sebab itu perlu diupayakan metoda reposisi yang aman, efektif, dan murah yang dapat dikerjakan sebagai Standar Prosedur Operasional di RSUD kabupaten Indonesia. Reposisi fraktur greenstick radius dengan melakukan over-koreksi, merupakan pilihan, karena dapat mencegah terjadinya angulasi-ulang.
Tujuan: Menilai efektivitas dan keamanan reposisi dengan over-koreksi dalam penatalaksanaan fraktur greenstick radius.
Rancangan dan metode: Uji klinis acak, grup paralel, dengan concealment. Penelitian melibatkan 92 anak (46 per kelompok) usia 4-14 tahun dengan fraktur greenstick radius di RSUD Kota Bekasi, Agustus 2011 sampai Mei 2012. Efektivitas prosedur diukur melalui derajat residu angulasi (minimal ditetapkan 5°), angulasi ulang, pergeseran fragmen fraktur (minimal <25%), dan risiko pengobatan (untuk mengukur keamanan pasien) mulai saat setelah reposisi 24 jam, minggu pertama sampai minggu ke-4, minggu ke-6 dan minggu ke-10.
Hasil: Over-koreksi terbukti efektif dan aman digunakan dalam penatalaksanaan fraktur greenstick radius. Pada semua pengamatan, Insidens Risk untuk terjadinya residu angulasi >5° pada kelompok over koreksi lebih kecil dibandingkan kelompok tanpa over koreksi. Pada minggu kedua, IR pada kelompok over koreksi (0,04) sedangkan kelompok tanpa over koreksi (0,39) dengan Risk Difference -0,35 (95%CI: -0,50 - -0,19). Perbedaan tersebut terlihat konsisten pada seluruh pengamatan. Probabilitas kesintasan lebih besar pada kelompok over-koreksi dibanding tanpa over-koreksi untuk terjadinya angulasi ulang. Insidence Rate recurrent angulation pada kelompok over-koreksi lebih kecil dibandingkan tanpa over koreksi dengan risk difference sebesar -0,025 (95% CI: -0,02--0,03). Pada sesaat pasca reposisi hingga minggu pertama perbedaan risiko pergeseran fragmen fraktur 2:25% pada kelompok over-koreksi jauh lebih besar daripada kelompok tanpa over-koreksi namun pada minggu kedua hingga minggu kesepuluh, perbedaan risiko sudah sangat berkurang sehingga tidak didapatkan perbedaan bermakna mulai minggu kedua hingga kesepuluh. Proporsi risiko pengobatan yang terjadi pada pasien sangat sedikit sehingga penelitian ini tidak dapat membuktikan bahwa pengobatan fraktur greenstick radius dengan melakukan over-koreksi lebih baik dalam mengontrol risiko pengobatan.
Kesimpulan: Over-koreksi efektif dan aman untuk digunakan dalam penatalaksanaan fraktur greenstick radius pada anak.
Saran: perlu dilakukan penelitian yang sama yang dilakukan oleh ahli bedah ortopedi lain pada beberapa RSUD di kabupaten di Indonesia;

Background: Management of greenstick radius fracture often results in malunion because re-angulations that restrictive radio-carpal joint. Therefore, needed a safer, effective, and cheaper repositioning method that can be done as a Standard Operating Procedure in district hospitals in Indonesia Reposition of greenstick radius fracture with over-correction is as choice because it can prevent re-angulations.
Objective: Asses the effectiveness and safety of repositioning with over-correction in the greenstick radius fracture management.
Design and method: Randomized clinical trial, parallel group, with concealment. This study involved 92 children (46 per group) aged 4-14 years with greenstick radius fracture in Bekasi City General Hospital, August 2011 until May 2012. Effectiveness of the procedure is measured by the degree of residual angulations (minimal <5<), re­ angulations, a shift in the fracture fragments (minimal <25%), and risk of treatment (to measure patient safety) started after 24 hours repositioning, first week until fourth, sixth and tenth week.
Result: Over-correction proved effective and safe to use in the management of greenstick radius fracture. In All observations, Incidence Risk for the occurrence of residual angulations is >5° at the over-correction group less than non over-correction group. In the second week, IR at the over-correction group (0,04), while non over­ correction (0,39) with Risk Difference -0,35 (95%CI: -0,50 - -0,19). This difference was seen consistently in all observation. Probability of survival at the over-correction group greater than non over-correction group for the occurrence of re-angulations. Incidence Rate recurrent angulations at the over-correction group less than non over correction with risk difference -0,025 (95% CI: -0,02--0,03). After reposition until the first week, the difference of fracture fragment shift's risk 2:25% at the over­ correction group, much larger than non over-correction group. But at the second week until tenth week, the difference of risk has been significantly reduced, so that there is no significant difference started at the second week until tenth week. Proportion of treatment risk occurred in patients measly, so that this study cannot prove that the greenstick radius fracture treatment with over-correction better in control the risk of treatment.
Conclusion: Over-correction is effective and safe to use in the management of greenstick radius fracture at the children.
Suggestion: needs to conduct the same research done by other orthopedic surgeons at several district hospitals in Indonesia."
Jakarta: Universitas Indonesia, 2012
D2025
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zifrianita
"Fraktur merupakan penyebab trauma terbesar atau cedera, yang dapat terjadi pada semua tingkat usia dan dapat menyebabkan perubahan signifikan dalam kualitas hidup individu. Namun, masih ditemukan pasien pasca operasi membatasi pergerakan dan melakukan ambulasi dini setelah beberapa hari pasca operasi fraktur ekstremitas bawah meskipun telah dianjurkan untuk melakukan latihan ambulasi dini. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi pengalaman pasien dalam melakukan ambulasi dini pasca operasi fraktur pada ekstrimitas bawah Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif dengan menggunakan purposive sampling pada 10 partisipan melalui wawancara semi terstruktur ( open – ended question) yang dilakukan di RS Fatmawati Jakarta. Hasil penelitian ini menghasilkan tiga tema yaitu: 1) ketidaknyamanan fisik yang dirasakan 2) kebutuhan akan dukungan melakukan ambulasi dini 3) manfaat ambulasi dini. Penelitian lebih lanjut terkait dengan intervensi untuk meningkatkan ambulasi dini perlu dilakukan.

Fractures or fractures are the biggest cause of trauma or injury, which can occur at all age levels and can cause significant changes in an individual's quality of life. However, postoperative patients still limit movement and perform early ambulation after a few days postoperatively even though it has been recommended to do early ambulation exercises. The purpose of this study was to explore the experience of patients in performing early postoperative ambulation of fractures in the lower extremity. The research method used was descriptive qualitative using purposive sampling on 10 participants through semi-structured interviews (open-ended question) conducted at Fatmawati Hospital, Jakarta. The results of this study produced themes, namely: 1) recognizing the physical perceived 2) the need to support early ambulation 3) the benefits of early ambulation. Further research related to interventions to increase early ambulation needs to be done.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Fauzi
"Latar belakang : Delayed union merupakan salah satu komplikasi penyembuhan fraktur dengan insiden berkisar antara 4,4% hingga 31%. Penatalaksanaan delayed union dapat menimbulkan masalah ekonomi dan kesehatan pada pasien. Angiogenesis memiliki peran penting dalam penyembuhan fraktur. Sildenafil telah terbukti menjadi stimulator poten angiogenesis melalui peningkatan regulasi faktor pro-angiogenik atau yang dikenal sebagai vascular endothelial growth factor (VEGF). Studi ini akan menentukan apakah sildenafil juga mempengaruhi aktivitas angiogenesis dengan ekspresi VEGF dan mempercepat penyembuhan fraktur dengan delayed union.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan post test only control group design, yang dilakukan pada model delayed union tikus Sprague dawley menggunakan analisis histomorfometri dan imunohistokimia. Penelitian ini diawali dengan studi pendahuluan untuk menentukan model delayed union yang hasilnya akan digunakan sebagai kontrol pada penelitian selanjutnya. Tikus dibagi secara acak menjadi empat kelompok : kelompok delayed union (n=6), kelompok dengan pemberian sildenafil 3,5 mg/kgbb (n=6), sildenafil 5 mg/kgbb (n=6) dan sildenafil 7,5 mg/kgbb (n=6). Parameter yang dievaluasi meliputi luas total kalus, area tulang rawan, area penulangan, jaringan fibrosa dan ekspresi VEGF. Pengukuran dilakukan pada minggu ke-2 dan ke-4 setelah intervensi.
Hasil : Setelah dua minggu kondisi delayed union, sildenafil secara signifikan meningkatkan parameter penyembuhan fraktur. Terjadi peningkatan yang signifikan pada total luas kalus (p=0,004), area tulang rawan (p=0,015), area penulangan (p=0,001), jaringan fibrosa (p=0,005) dan ekspresi VEGF (p=0,037). Setelah empat minggu, perbedaan yang signifikan hanya terjadi pada area penulangan (p=0,015) dan jaringan fibrosa (p=0,001).
Diskusi : Analisis histomorfometri dan imunohistokimia menunjukkan peningkatan yang signifikan pada parameter penyembuhan fraktur dan ekspresi VEGF. Hal ini menunjukkan terjadinya percepatan penyembuhan fraktur dan peningkatan pembentukan pembuluh darah. Semakin sedikitnya area kalus dan berkurangnya area tulang rawan serta meningkatnya area penulangan menunjukkan percepatan proses penyembuhan fraktur. Sildenafil meningkatkan aktivitas angiogenesis dengan meningkatnya ekspresi VEGF dan perbaikan vaskularisasi. Perbaikan vaskularisasi pada fraktur tidak hanya memperbaiki oksigenasi dan nutrisi jaringan, tetapi juga menyediakan suplai mesenchymal stem cells (MSCs) pada jaringan fraktur.
Simpulan : Sildenafil terbukti mempercepat penyembuhan fraktur dan meningkatkan ekspresi VEGF pada fraktur dengan delayed union.

Introduction : Inspite of various methods of management to achieve optimum fracture healing, delayed union remains a major problem. The incidence of delayed union ranging from 4.4% to 31%. The management of such problem include secondary operative intervention, which results in economic impact and patient morbidity. Angiogenesis plays an important role in fracture healing. Sildenafil has been shown to be a potent stimulator of angiogenesis through upregulation of pro-angiogenic factors or known as vascular endothelial growth factor (VEGF). This study will evaluate whether sildenafil also influences VEGF expression and bone formation during the process of healing in delayed union fracture.
Method : This study was an experimental study with post test only control group design. It was performed ina delayed union femur fracture model of Sprague Dawley rats using histomorphometric and immunohistochemistry evaluation. A pilot study was initiated previously to determine the model for delayed union fracture healing, and the results were used as the control. Rats were randomized into four groups : delayed union (n=6), administration of sildenafil 3.5 mg/kgbw (n=6), sildenafil 5 mg/kgbw (n=6) and sildenafil 7.5 mg/kgbw (n=6). The parameters evaluated include total area of callus, cartilage area, total osseous tissue, fibrous tissue and VEGF expression. The measurement was carried out at 2 and 4 weeks after intervention.
Results : After two weeks of delayed union fracture healing, sildenafil significantly increased the parameter of fracture healing. The results showed a significant increase of total area of callus (p=0.004), cartilage area (p=0.015), total osseous tissue (p=0.001), fibrous tissue (p=0.005) and VEGF expression (p=0.037). After four weeks, the results were still significant in total osseous tissue (p=0.015) and fibrous tissue (p=0.001).
Discussion : Histomorphometric and immunohistochemistry analysis showed a significant increase of fracture healing parameter and higher expression of the proangiogenic factors (VEGF). Such result confirmed the increase of bone and vascular formation. A smaller callus area with a slightly reduced amount of cartilaginous tissue and increased osseous tissue indicated an accelerated healing process. Sildenafil improves the expression of VEGF and vascularization repair. The vascular invasion in a fracture not only provide oxygen and nutrients needed to repair the injured tissue cells, but also provide an additional source of MSCs.
Conclusion : Sildenafil is proven to effectively accelerate fracture healing and increase VEGF expression in delayed union fracture.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>