Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 181993 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indrawan Prasetyo
"Lanskap adalah assemblage dari komunitas-komunitas berbeda yang membentuknya. Komunitas-komunitas itu terbangun dari manusia maupun selain-dari-manusia. Studi ini melihat bagaimana komunitas-komunitas itu saling berinteraksi dalam relasi-relasi multispesies dan bagaimana mereka membentuk lanskapnya. Dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa pengamatan terlibat, wawancara mendalam, dan penelusuran pada sejarah komodifikasi di pesisir Sawai, studi ini mencoba untuk melacak jejak-jejak itu. Skripsi ini mengkritik pendekatan-pendekatan yang melihat antroposen dan kapitalisme sebagai fenomena singular dan linier. Dalam skripsi ini, Saya berargumen bahwa kapitalisme sebagai pengaturan ekonomi tidak bisa dipisahkan dari transformasi lanskap. Sebabnya, kategori-kategori sosial dan biologis berada dalam kelindan-kelindan dan assemblage yang saling bertumpuk dan mewujud dalam lanskap. Lanskap dengan itu tersusun dari bentuk-bentuk praktik sosial yang terdiri dari berbagai dunia yang berbeda; kapitalisme yang plural, modernitas yang plural, dan sejarah lanskap yang plural. Praktik penerjemahan dan mediasi atas pluralitas itu yang kemudian menghasilkan komoditas dan kekerasan kapitalis dan kekerasan lingkungan.

Landscape is an assemblage of plural communities. These communities consist of both human and more-than-human. This study sees how those communities interact within multispecies relations and how they form their landscape. Using participant observation, in-depth interview, and historical tracing of commodification in Sawai, this study aims to trace landscape formation. This study argues against the singular and linear anthropocene and capitalism. In this thesis I propose that capitalism as economic system cannot be separated from landscape transformation since both nature and culture consists of mutual entanglement within overlapping assemblages that are observable in landscape formation. Landscape then, consists of worlds: plural capitalism, plural modernity, plural histories of landscape. Capitalist commodity and both capitalist and environmental violence then, are the results of translation and mediation of those plural practices. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mauline Della Agnesia
"Runtuhnya rezim orde baru yang otoriter dan sentralistik menghadirkan kebijakan desentralisasi yang berpengaruh terhadap isu kebangkitan adat. Munculnya politisasi adat di Negeri Sawai menjadi menarik untuk diteliti karena isu mengenai adat menjadi signifikan. Skripsi ini bertujuan untuk memberikan sebuah gambaran mengenai kondisi politisasi adat yang saat ini tengah terjadi di Negeri Sawai. Penelitian skripsi ini dilakukan dengan metode etnografi dan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi observation , observasi partisipatif participant observation , wawancara mendalam indepth interview , dan wawancara dengan focus group Focus Group Discussion.
Skripsi ini berusaha menjelaskan bahwa yang melakukan politisasi adat adalah elite adat. Cara para elite adat melakukan politisasi adat dengan membangun cerita-cerita tentang adat. Cerita-cerita yang dibangun oleh elite adat dapat menjadi kendaraan atau alat yang digunakan dalam melakukan politisasi adat. Bentuk dari politisasi adat tersebut dapat dilihat dari persaingan dan kerjasama yang dilakukan oleh para elite adat. Selain itu, skripsi ini juga menjelaskan tujuan dari politisasi adat tidak berhenti pada perebutan kepemilikan sumber daya yang sifatnya materiil saja. Ada tujuan lain yang juga ingin didapatkan, khususnya sesuatu yang non-materiil. Skripsi ini juga berusaha menjelaskan bentuk kekuasaan yang ada pada komunitas Negeri Sawai.

The fall of ldquo New Order rdquo regime that had authoritarian and centralistic characteristic, had brought decentralization policy that influences the issue of adat revival. The emergence of adat politicization in Negeri Sawai becomes interesting to be studied because the issue of adat becomes significant. This final paper aim to give an image about the condition of that adat politicization that happen currently in Negeri Sawai. This final paper research is conducted with ethnography methodology and the data collection method that been used are observation, participant observation, in depth interview, Focus Group Discussion.
This final paper try to explain who is conducted the adat politicization, that later called the elite of adat. The way they conduct that with building the narrative about the adat. The narratives that been built by the elite can become vehicle or instrument to do adat politicization. The form of adat politicization can be discovered by competition and collaboration between the elite of adat. In addition, this final paper also explains the purpose of adat politicization does not stop at the seizure of resource ownership that is only material. There are other goals that also want to get, especially something non material. This final paper also tried to explain the form of power that existed in the community of Negeri Sawai.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
S68870
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Emilio Valeri
"ABSTRACT
The misunderstanding of many ideas, including economic one, have been misleading many societies into journeying roads full of twist and turns in hope of being able to achieve not only welfare but also affluence. But, having been deceived by their own misunderstanding makes them only drift further and further apart from where they hope affluence and welfare lies. Poverty and inequality still haunts many societies, including those who have the means of eradicating them. If technologies and discipline grows, why are we still baffled by problems such as inequality, poverty, and other of that sorts Where are we deceived Maybe it is because we have deceived ourselves into entering this dreadful labyrinth. Our vanity has deceived us into following our greed, hence we have also steer our disciplines into following this path of greed. If that is the case then the remedy of many problems lies only in the removing of this vanity. This is what the Sawaian are able to achieve. By removing greed and vanity, they are somehow able to achieve not only affluence, but also welfare. The Sawaian road to affluence and welfare are through journeying themselves into the path of social sustainability, economic affluence, and resources sustainability. Have not been deceived by vanity and greed, they have unintendedly created an ingenious system of wealth distribution through clove that is then function as a tool to achieve social sustainability, economic affluence, and resources sustainability.

ABSTRACT
Kesalahpahaman dari berbagai macam pemikiran, termasuk pemikiran ekonomi, telah menjerumuskan banyak masyarakat kedalam jalan yang berliku-liku yang dianggap dapat mengantarkan mereka kepada kesejahteraan dan kemakmuran. Tetapi, karena telah disesatkan oleh kesalahpahaman mereka sendiri, mereka menjadi semakin menjauh dari tempat dimana mereka anggap berletaklah kesejahteraan dan kemakmuran. Kemiskinan dan ketidakrataan masih menghantui banyak masyarakat, termasuk masyarakat yang mempunyai akses untuk menghapus kemiskinan dan ketidakrataan ini. Apabila teknologi dan ilmu pengetahuan berkembang, mengapa kita tetap dibingungkan oleh bermacan masalah seperti kemiskinan dan ketidakrataan? Dimana kita telah disesatkan? Mungkin kita telah disesatkan oleh diri kita sendiri sehingga kita menjadi terjerumus dalam labirin yang menyedihkan ini. Keangkuhan kita sendiri lah yang telah menyesatkan kita agar kita mengikuti keserakahan kita, oleh Karena itu kita juga telah mengarahkan ilmu pengetahuan kita untuk mengikuti jalur keserakahan kita. Apabila ini semua benar, maka solusi dari banyak masalah yang kita hadapi sekarang hanyalah dengan menghapus keangkuhan kita. Inilah yang telah dicapai oleh masyarakat Sawai. Dengan menghapus keserakahan dan keangkuhan mereka, mereka berhasil untuk mencapai tidak hanya kemakmuran, tetapi juga kesejahteraan. Perjalanan masyarakat Sawai dalam mencapai kesejahteraan adalah dengan mempertahankan keberlanjutan sosial, keberlanjutan sumber daya alam, dan kesejahteraan ekonomi mereka. Karena tidak disesatkan oleh keangkuhan dan keserakahan, masyarakat Sawai secara tidak sengaja telah menciptakan sebuah sistem pendistribusian kekayaan melalui perdagangan cengkeh, yang kemudian berfungsi sebagai alat untuk mencapai keberlanjutan sosial, keberlanjutan sumber daya alam, dan kesejahteraan ekonomi dari masyarakat Sawai."
2017
S67117
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Roro Yvonne Triyoga Hoesodoningsih
"Fokus penelitian ini adalah untuk memahami kekuasaan yang implisit dalam politik ritual di Pondok Ranggon dikonstruksi oleh relasi dualitas pelaku seni pertunjukan dan pelaku ritual hajat bumi dengan struktur masyarakat Jakarta. Untuk dapat memahami kekuasaan itu bekerja, penelitian ini menggunakan metode etnografi yang dielaborasi dengan etnokoreologi Konstruksi kekuasaan pada penelitian ini bermuara pada transformasi dan komodifikasi.
Hasil penelitian menunjukkan transformasi pada seni pertunjukan Topeng Betawi, seni pertunjukan Wayang Golek, seni pertunjukan Tanjidor, seni pertunjukan Ondelondel serta terdapat transformasi pada proses ritual hajat bumi Pondok Ranggon meliputi ritual awal dan akhir dari Arak-arakan serta transformasi Baritan. Komodifikasi terjadi pada seni pertunjukan Topeng Betawi, seni pertunjukan Wayang Golek, seni pertunjukan Tanjidor, seni pertunjukan Ondel-ondel serta komodifikasi pada proses ritual hajat bumi Pondok Ranggon yang melingkupi Komodifikasi ruang sarana dan prasarana, Komodifikasi Panjat Pinang serta Komodifikasi Paradoks.
Temuan penelitian ini memperkaya teori-teori strukturasi Anthony Giddens dengan memaparkan contoh kasus relasi dualitas pelaku dengan struktur, yaitu relasi dualitas pelaku seni pertunjukan serta pelaku ritual hajat bumi Pondok Ranggon dengan kondisi struktur masyarakat Jakarta yang mengkonstruksi kekuasaan. Temuan penelitian ini juga memperkaya pemahaman mengenai batas-batas dualitas, yaitu dengan menunjukkan bahwa relasi dualitas pelaku dengan struktur yang mengkonstruksi kekuasaan hadir dan sekaligus memproduksi transformasi dan komodifikasi.

This research focus to understand implicit power in ritual politic located in Pondok Ranggon constructed by duality relation between performing art actor and Hajat Bumi ritual actor with structure of Jakarta society. To conceive how such power works, this research utilizes ethnographic method elaborated with etnochoreology. Power construction in this research results transformation and commodification.
Research results show transformation in Topeng Betawi performing art, Wayang Golek performing art, Tanjidor performing art, Ondelondel performing art and also occurred in the Hajat Bumi ritual process including initial and the end of Arak-arakan also Baritan transformation. Commodification can be found in Ondel-ondel performing art along with Hajat Bumi ritual process Pondok Ranggon consist of Facility Room Commmodification, Panjat Pinang Commodification, and also Paradox Commodification.
Research product enrich Anthony Giddens? structure theories with explaining an example of duality relation between actor and structure, in this case relation between performing art actor and Hajat Bumi ritual actor with structure of Jakarta society, constructing power. Result of this research enlighten also duality boundaries, specifically showing that duality relation between actor and structure constructing power exist and simultaneously producing transformation and commodification."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
D2169
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurlaili Oktaviani Faozan
"Tulisan ini membahas komodifikasi nilai religiusitas pada tubuh perempuan berhijab sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan ditinjau dari perspektif kriminologi dan feminisme radikal. Penelitian ini menggunakan metode analisis wacana kritis Norman Fairclough untuk melihat unsur kekerasan terhadap perempuan dalam teks. Dengan penelitian ini, peneliti berupaya menunjukkan bahwa budaya populer merupakan arena terjadinya media misogini yang lekat dengan kekerasan terhadap perempuan. Annisa Magazine menghadirkan komodifikasi nilai religiusitas yang dilekatkan dengan komodifikasi tubuh perempuan sebagai bentuk objektifikasi, komodifikasi, dan pemenuhan unsur male gaze pada tubuh perempuan. Mitos kecantikan juga dibentuk untuk melanggengkan kekuasaan patriarki dalam segala aspek. Hal ini merupakan kekerasan terhadap perempuan dan bagian dari objek studi kriminologi yang membahas mengenai korban.

This thesis discusses the commodification of religiosity value on the body of women who wear hijab as a form of violence against women in criminological and a radical feminism perspective. This study uses the critical discourse analysis method by Norman Fairclough to see the elements of violence against women in text. Within this study, the researcher attempted to show that the popular culture is the arena of media mysogyny that is inherently related with violence against women. Annisa Magazine presents the commodification of women’s body as a form of objectification, commodification and compliance of male gaze’s elements on the women’s body. Beauty myth is also set up to preserve the power of patriarchy in all aspects. It is violence against women and a part of the object of criminology that discuss the victim."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amirul Auzar Ch.
"Kajian-kajian tentang lanskap spiritual terdahulu selalu berkaitan dan didukung dengan kekuatan eksternal seperti penghormatan terhadap leluhur, roh halus, simbolisasi mikro kosmik, dan bahkan sosial politik. Tesis ini mencoba untuk menambahkan perdebatan tentang bagaimana lanskap spiritual dibangun dari hal yang sangat partikular dan profan dengan bentuk-bentuk komodifikasi terhadap Gunung Kawi. Selain itu, penelitian ini juga mencoba untuk memahami bagaimana mereka tetap paralel dan bermakna dengan kesakralan Gunung Kawi. Dengan menggunakan metode etnografi dan melakukan pengamatan yang mendalam, saya menjumpai dua keberadaan yang signifikan untuk ditelaah lebih lanjut yaitu keberadaan pengunjung dan warga. Saya juga melihat bahwa interaksi pengunjung dan warga melahirkan praktik komodifikasi. Bertumpu pada pemikiran Bateson, ia menyatakan bahwa suatu kebudayaan penting untuk dilihat dari interaksi mereka dengan kebudayaan lain. Hal ini membuktikan bahwa feedback loops keberadaan pengunjung dan warga yang saling berinteraksi sebelumnya membentuk entitas baru bernama pengantar tamu. Pada saat tertentu, pengantar tamu memperlakukan Gunung Kawi dengan sangat sakral dalam wujud punden. Di samping itu, pengantar tamu juga melakukan praktik komodifikasi terhadap situs suci yang di dalamnya terdapat persaingan, pertarungan, dan kepentingan. Pengantar tamu menciptakan praktik-praktik komodifikasi yang pada akhirnya menjadi penting untuk menjaga eksistensi kesakralan Gunung Kawi. Komodifikasi juga diperlukan untuk mencari mekanisme order dalam memperoleh pembangunan dan kesejahteraan warga yang diperoleh dari pengunjung.

Studies of the preceding spiritual landscape are always related and supported by external forces such as the respect for ancestors, spirits, micro-cosmic symbolizations, and even socio-politics. This thesis tries to add the debate about how the spiritual landscape is created from something very particular and profane with the commodified forms of Gunung Kawi. In addition, this study also tries to understand how it remains parallel and meaningful with the sacredness of Gunung Kawi. By using ethnographic methods and conducting in-depth observations, I found two significant existences to be studied further : the existences of visitors and residents. I also saw that the interaction of visitors and residents created the practice of commodification. Based on Bateson's intellection, he stated that culture is important to be seen from its interaction with other cultures. This proves that the feedback loops where visitors and residents interacted with each other formed a new entity called a pengantar tamu. At certain times, the pengantar tamu treated Gunung Kawi very sacredly in the form of punden. In addition, pengantar tamu also carried out commodification practices to sacred sites in which there are competitions, fights, and interests. The pengantar tamu created commodification practices which in the end became important to maintain the existence of the sacredness of Gunung Kawi. Commodification is also needed to find an order mechanism in obtaining the development and welfare of residents obtained from visitors."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Rahma
"Fokus pada penulisan ini adalah mengidentifikasi seksisme pada teks-teks yang disampaikan oleh Coach Hafidin di dalam video "Menguak Sisi Lain Mentoring Poligami Berbayar". Tidak hanya itu, penulisan ini juga berfokus pada komodifikasi agama yang dikemas di dalam mentoring poligami berbayar. Tujuannya adalah untuk menunjukan bahwa seksisme dan komodifikasi agama terhadap perkawinan poligami merupakan kekerasan terhadap perempuan. Teori seksisme Sara Mills digunakan untuk mengidentifikasi dan menganalisis lebih jauh teks-teks yang menandung makna seksis, yaitu seksisme terbuka dan seksisme tertutup. Teori feminis radikal juga digunakan untuk menganalisis relevansi antara seksisme, patriarki, agama, dan juga poligami yang saling berkontribusi dalam melanggengkan kekerasan terhadap perempuan. Hasil analisis dari menunjukan bahwa teks-teks yang disampaikan Coach Hafidin di dalam video ini mengandung makna yang seksis. Feminis radikal pada prinsipnya setuju bahwa seksisme adalah bentuk penindasan terhadap perempuan dan patriarki sebagai akar dari seksisme dan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Tidak hanya mengandung seksisme, video ini juga menunjukan adanya komodifikasi agama yang dikemas melalui mentoring poligami berbayar. Adanya komodifikasi agama lewat mentoring poligami ini merupakan bentuk glorifikasi poligami dan memberikan banyak kerugian bagi perempuan. Semakin banyak laki-laki yang berpoligami, semakin banyak pula perempuan yang terjebak dalam perkawinan poligami dan juga akan berdampak bagi anak-anak mereka dan juga tatanan sosial masyarakat.

The focus of this writing is identifying sexism in the texts conveyed by Coach Hafidin in the video "Menguak Sisi Lain Mentoring Poligami Berbayar”. This writing also focuses on the commodification of religion packaged in paid polygamy mentoring. The aim is to show that sexism and the commodification of religion against polygamous marriages constitute violence against women. Sara Mills' theory of sexism is used to further identify and analyze texts that contain sexist meanings, namely overt sexism and covert sexism. Radical feminist theory is also used to analyze the relevance between sexism, patriarchy, religion, and also polygamy which contribute to each other in perpetuating violence against women. The results of the analysis show that the texts conveyed by Coach Hafidin in this video contain sexist meanings. Radical feminists agree in principle that sexism is a form of oppression against women and that patriarchy is the root of sexism and all forms of violence against women. Not only contains sexism, this video also shows the commodification of religion packaged through paid polygamy mentoring. The commodification of religion through polygamy mentoring is a form of glorification of polygamy and provides many disadvantages for women. The more men who are polygamous, the more women are trapped in polygamous marriages and it will also have an impact on their children and also the social fabric of society."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Khaerul Amri
"Tesis ini membahas komodifikasi lingkungan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) di dalam pengelolaan ekoturisme. Ekoturisme sebagai bentuk wisata alam dengan tujuan utama pelestarian alam pada akhirnya justru menimbulkan masalah dalam proses konservasi yang dijalankan dan bahkan menjadi ancaman terhadap keberlangsungan lingkungan alam di TNGGP. Di samping itu, permasalahan di TNGGP tidak hanya menyangkut bahasan lingkungan, tetapi juga pembahasan mengenai strategi dalam bernegosiasi dan berkontestasi di antara para pemangku kepentingan di dalam ruang yang menjadi kawasan ekoturisme. Data diperoleh dengan pendekatan etnografi termasuk wawancara mendalam di kawasan Cibodas dan Gunung Putri sebagai pintu masuk pendakian, dan di Gunung Gede, selama bulan April-Mei 2017. Hasil penelitian menunjukkan bagaimana praktik berjualan yang berkontestasi terhadap otoritas Balai Besar di TNGGP setidaknya berperan sebagai alternatif pendapatan masyarakat sekitar kawasan konservasi untuk mengalihkan perhatian mereka dari pekerjaan yang tidak ramah lingkungan. Di samping itu, masyarakat sekitar melalui negosiasi dan resistansi dapat menutupi celah yang ditinggalkan oleh pemangku kepentingan yang mempunyai otoritas karena terbatasnya sumber daya manusia dalam mengelola ekoturisme pendakian gunung. Masyarakat sekitar menunjukkan bagaimana mereka mempunyai peran-peran yang cukup signifikan dalam pengelolaan pendakian gunung dan menjaga taman nasional.

This research discusses the commodification of environment in Mount Gede Pangrango National Park on ecotourism management. Instead of to conserve nature, ecotourism carried out in TNGGP causes problems on conservation proses and even becomes a threat to the sustainability of nature in TNGGP. Moreover, problem in TNGGP is not only about environment issues, but also discussions about strategies in negotiating and contesting among stakeholders in the space that become ecotourism area. The data was collected by ethnography approach including in depth interview in Cibodas and Gunung Putri area as climbing entrance, and on Mount Gede, on April-May 2017. The results show how the practice of selling which contested the authority of Balai Besar in TNGGP at least become an alternative income for the community around conservation area to divert their attention from jobs that damage the environment. Beside that through negotiation and resistance, the surrounding communities can cover the gap left by stakeholders who have authority because of limited human resources in managing mountaineering ecotourism. Surrounding community showed that they have significance roles in managing mountaineering and preserving national park."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
T53414
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Zahra Alariq
"Kerusakan lingkungan akibat eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) sering kali disuarakan dan diprotes oleh para pembela HAM lingkungan. Sayangnya, ketika pembela HAM lingkungan menyuarakan protesnya tersebut, mereka sering kali direspon oleh aktor negara dan korporasi yang menjadikan pembela HAM lingkungan sebagai target kekerasan. Tulisan ini bertujuan untuk menyoroti bentuk-bentuk kekerasan yang dialami pembela HAM lingkungan, pengalaman viktimisasi pembela HAM lingkungan, dan bagaimana kekerasan-kekerasan yang dialami dikategorikan sebagai secondary or symbiotic green crimes. Tugas Karya Akhir ini menggunakan perspektif green criminology dan menggunakan data sekunder berupa; (1) Laporan ELSAM Periode November 2017-2018 dan 2019; (2) CATAHU 2020 & Proyeksi 2021 JATAM; dan (3) publikasi artikel-artikel yang diperoleh dari beberapa media online berita dan beberapa NGO dengan fokus HAM lingkungan. Hasil analisis menunjukkan bahwa keterlibatan negara dan korporasi dengan melakukan kekerasan terhadap pembela HAM lingkungan merupakan bentuk pengabaian negara atas kerusakan lingkungan yang membahayakan hidup dan perlindungan hak-hak atas lingkungan hidup, seperti hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat, hak untuk melaporkan perusakan lingkungan, dan lainnya.

Environmental harm due to exploitation of natural resources carried out by the state and corporations has mobilized environmental human rights defenders to take action by doing protests. Wistfully, when environmental human rights defenders protested, they are often confronted by the state and corporations who make the environmental human rights defenders as a target of violence. This paper aims to highlight the forms of violence experienced by environmental human rights defenders, their experience of victimization, and how the violence is categorized as secondary or symbiotic green crimes. This paper uses a green criminology perspective and uses secondary data obtained from (1) The ELSAM Report for the Period of November 2017-July 2018, and 2019; (2) JATAM’S CATAHU 2020 & Projection for 2021; (3) publications of articles obtained from several online news media and several NGOs with a focus on environmental human rights. The results of the analysis show that the involvement of the state and corporations by committing violence against environmental human rights defenders is a form of state neglect of environmental harm that endangers life and failed the protection of the right to a clean and healthy environment."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nisrina Ariandini
"Penelitian ini membahas tentang proses komodifikasi budaya henna di Indonesia. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori komodifikasi yang dikemukakan oleh Mosco. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan metode wawancara, observasi dan dokumentasi. Wawancara dilakukan oleh peneliti kepada delapan orang narasumber yang berprofesi sebagai henna artist. Hasil dari penelitian ini, henna adalah salah satu alat kecantikan yang sudah digunakan sejak berabad-abad lalu. Sejak dahulu pula henna merupakan bagian dari budaya atau tradisi masyarakat Arab dan India namun, akibat adanya globalisasi menyebabkan henna menyebar menjadi budaya populer yang kemudian henna bisa di gunakan oleh siapapun. Tampilnya henna menjadi budaya populer di Indonesia membuat meningkatnya permintaan penggunaan henna di kalangan masyarakat. Kemudian, henna artist muncul bersamaan dengan perkembangan henna ini dan untuk memenuhi  peningkatan permintaan henna. Henna artist menjadikan henna sebagai komoditas untuk mendapatkan keuntungan sehingga komodifikasi budaya henna lahir dari kondisi ini.

This research describes about the  process of the commodification of henna culture in Indonesia.  The theory used in this research is theory of the commodification which stated by Mosco. This is a qualitative research in which the methods are interviews, observations, and documentations. Interview were conducted by the researchers on eight  interviewees who work as a henna artist. The result of this research is, henna is one of  the beauty tools which has been used for centuries. Back then, henna also was a culture or a tradition of Arab and Indian society but, the existence of globalization caused henna spread out become popular culture so that henna may be used by everyone. In Indonesia, the popularity of henna generates the increasing demand for henna among Indonesia society. Then,  the henna artist comes together in line with the development of henna, and to supply that increasing demand for henna. The henna artist utilizes henna as a commodity for obtaining profit subsequently, the commodification in henna culture born by this condition."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>