Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 90989 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurita Widyanti
"Adanya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memungkinkan Desa merencanakan, mengatur dan mengelola anggaran dan program pembangunan secara mandiri untuk kemajuan desa itu sendiri serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu syarat kemajuan desa adalah keterlibatan dan partisipasi seluruh masyarakat. Di sisi lain, selama ini penyandang disabilitas yang ada di desa menghadapi permasalahan seperti kemiskinan, kualitas sumber daya manusia yang rendah hingga stigma negatif dari lingkungan sekitar. Konsep desa inklusi kemudian dipandang sebagai solusi masalah para penyandang disabilitas tersebut sekaligus pendukung pembangunan desa. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi konsep serta implementasi desa inklusi disabilitas dan mengetahui strategi pemberdayaan warga penyandang disabilitas di Desa Sendangtirto, Berbah-Sleman. Metode penelitian yang digunakan kualitatif deskriptif dengan instrumen pengumpulan data melalui observasi, wawancara, serta kajian literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi desa inklusi cukup efektifmemenuhi kebutuhan warga penyandang disabilitas, meningkatkan kepercayaan diri dan kemandirian, serta menjadikan mereka lebih aktif terlibat dalam pembangunan di Desa Sendangtirto. Strategi pemberdayaan warga penyandang disabilitas dilakukan pemerintah desa dengan memberikan layanan optimal kepada warga penyandang disabilitas, berupa penyediaan fasilitas umum yang aksesibel, pemberian pelatihan keterampilan serta pelibatan mereka dalam musyawarah desa. Namun, penelitian juga menemukan masih adanya permasalahan berupa data penyandang disabilitas yang tidak ter-update serta penanganan penyandang tuna grahita yang menjadi mayoritas warga disabilitas di Desa Sendangtirto belum dilakukan dengan tepat. Implikasi hasil penelitian ini adalah bahwa data warga penyandang disabilitas perlu dikelola dengan baik oleh KDD (Kelompok Difabel Desa) dan pemerintah desa dan melakukan penguatan keluarga penyandang tuna grahita. Untuk itu pemerintah desa dan KDD perlu bekerja sama dengan lembaga sosial atau panti sosial untuk mengatasi perawatan warga tuna grahita tersebut.

The existence of Law Number 6 of 2014 concerning Villages allows villages to plan, regulate and manage budgets and development programs independently for theprogress of the village itself and improve community welfare. One of the conditions for village progress is the involvement and participation of the entire community. On the other hand, so far people with disabilities in the village face problems such as poverty, low quality of human resources to negative stigma from the surrounding environment. The concept of an inclusive village is then seen as a solution to the problems of persons with disabilities as well as a supporter of village development. This research is intended to explore the concept and implementation of a disability inclusion village and to find out strategies for empowering people with disabilities in Sendangtirto Village, Berbah-Sleman. The research method used is descriptive qualitative with data collection instruments through observation, interviews and literature review. The results showed that the implementation of inclusive villages was quite effective in meeting the needs of people with disabilities, increasing self-confidence and independence, and making them more actively involved in development in Sendangtirto Village. The village government has implemented a strategy of empowering people with disabilities by providing optimal services to residents with disabilities, in the form of providing accessible public facilities, providing skills training and involving them in village meetings. However, the research also found that there were still problems in the form of data on persons with disabilities that were not updated and the handling of mentally disabled people who were the majority of people with disabilities in Sendangtirto Village had not been carried out properly. The implication of the results of this study is that data on people with disabilities needs to be managed properly by the KDD (Village Disability Group) and the village government and to strengthen families of people with mental disabilities. For this reason, the village government and KDD need to work together with social institutions or social institutions to address the care of these mentally disabled people."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niken Ayu Puspita Rini
"Beberapa studi yang membahas tentang upaya mereduksi eksklusi sosial pada penyandang disabilitas cenderung memfokuskan kajiannya pada aspek kebijakan dan peningkatan kemampuan penyandang disabilitas itu sendiri. Namun, studi sebelumnya kurang melihat akses terhadap sumber daya juga berkaitan dengan jaringan sosial, nilai, dan kepercayaan. Hal ini lah yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian yang berfokus pada peran modal sosial dalam mewujudkan inklusi sosial bagi penyandang disabilitas di desa sebagai upaya melengkapi kajian sejenis. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pengumpulan data melalui wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumen. Konsep modal sosial yang digunakan dalam penelitian ini merupakan buah pikiran dari Putnam. Hal ini didasarkan karena dalam mewujudkan inklusi sosial keterlibatan berbagai aktor sangat diperlukan sehingga peneliti berargumen modal sosial bonding, bridging, dan linking yang dipaparkan oleh Putnam menjadi salah satu mekanisme dalam mewujudkan inklusi sosial bagi penyandang disabilitas. Modal sosial bonding berperan untuk membangun solidaritas di dalam kelompok untuk memperjuangkan isu inklusi sosial bagi penyandang disabilitas. Sedangkan, modal sosial bridging yang merupakan jaringan antara penyandang disabilitas dengan masyarakat non disabilitas mempengaruhi penerimaan sosial dan memperbesar peluang keterlibatan penyandang disabilitas dalam berbagai kegiatan. Terakhir, modal sosial linking yang sifatnya vertikal memberikan akses yang lebih besar terhadap sumber daya, seperti fasilitas umum, layanan dasar, anggaran khusus, dan keterlibatan penyandang disabilitas dalam mempengaruhi kebijakan di desa.

Several studies that discuss efforts to reduce social exclusion in persons with disabilities tend to focus their studies on aspects of policy and increasing the abilities of persons with disabilities themselves. However, previous studies have not looked at access to resources as well as related to social networks, values, and trust. This is what prompted researchers to conduct research that focuses on the role of social capital in realizing social inclusion for persons with disabilities in villages as an effort to complement similar studies. The method used in this study is a qualitative method with data collection through in-depth interviews, observation, and document study. The concept of social capital used in this study is the brainchild of Putnam. This is based on the fact that in realizing social inclusion the involvement of various actors is necessary, so researchers argue that the bonding, bridging, and linking social capital presented by Putnam is the village's strength in realizing social inclusion for persons with disabilities. Bonding social capital plays a role in building solidarity within the group to fight for the issue of social inclusion for persons with disabilities. Meanwhile, bridging social capital, which is a network between persons with disabilities and the non-disabled community, influences the social acceptance and involvement of persons with disabilities in various activities. Finally, social linking capital which is vertical in nature provides greater access to resources, such as public facilities, basic services, special budgets, and involvement in influencing village policies."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Haris Subarjo
"Kelompok pemuda Rt. 01/ Rw. 39 Maredan, Sendangtirto, Berbah, Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta terletak di selatan Akademi Angkatan Udara. Lokasinya terletak di pinggir kota Yogyakarta. Latar belakang pekerjaan anggota kelompok pemuda cukup beraneka ragam pekerjaan dari mulai pegawai swasta, pegawai negeri, petani dan pedagang. Latar belakang pendidikannya juga beraneka ragam mulai dari berpendidikan sekolah dasar, sekolah menengah sampai perguruan tinggi. Sebagian kelompok pemuda menggunakan sumber energi listrik dari perusahaan listrik Negara dan menggunakan kompor gas untuk memasak. Tidak terdapat anggota kelompok pemuda yang memanfaatkan kedua sumber energi tersebut dalam kegiatannya. Sekolah Tinggi Teknologi Adisutjipto melalui dosennya berusaha meningkatkan pengetahuan anggota kelompok pemuda melalui program kemitraan pengabdian masyarakat tentang energi alternatif terutama energi matahari memiliki potensi mendukung ketahanan energi. Kegiatan ini dilaksanakan dengan cara presentasi dan pembagian modul mengenai energy matahari. Output yang diharapkan dari kegiatan ini warga menjadi tahu dan paham energy matahari memiliki potensi sebagai energy alternatif. Serta penjelasan mengenai komponen peralatan energi surya dan fungsinya."
Yogyakarta : Sekolah Tinggi Teknologi Adisutjipto, 2020
600 JPM 3:2 (2020)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Kawuryan, Megandaru W.
"ABSTRAK
Pada tanggal 27 Mei 2006, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta diguncang oleh gempa bumi berkekuatan 5,9 pada skala Richter, akibat dari gempa bumi tersebut tercatat 428.909 orang kehilangan rumah tinggal. Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman merupakan dua Kabupaten yang wilayahnya mengalami kerusakaan paling parah, di Kabupaten Bantul tercatat 245.073 rumah rusak, sedangkan di Kabupaten Sleman tercatat 96.792 rumah rusak. Untuk menangani musibah Gempa Bumi di Yogyakarta, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 23 tahun 2006, dimana dalam Peraturan Gubernur tersebut tersurat prinsip dasar Program Rehabilitasi dan Rekonstruksi Rumah di DIY Berbasis Pada Komunitas. Berdasarkan dari Peraturan Gubernur tersebut, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman memilih kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi rumah dengan menyerahkan sepenuhnya proses pendataan sampai dengan pencairan dana rekonstruksi kepada masyarakat. Menurut pemerintah Kabupaten Sleman, pembagian dana rekonstruksi akan sulit dikontrol oleh pemerintah karena masyarakat memiliki cara tersendiri untuk membagikan bantuan yang mereka terima, kebijakan yang bersifat bottom up ini kemudian diwadahi dalam lembaga yang disebut dengan Organisasi Masyarakat Setempat (OMS).
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan metode analisis deskriptif kualitatif. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara, pengamatan, dan studi kepustakaan. Wawancara dilakukan dengan 13 informan yang sengaja dipilih oleh peneliti berdasarkan pemikiran yang logis dan sesuai dengan informasi yang dicari dan mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Berdasarkan pembahasan hasil penelitian maka didapatkan pokok-pokok kesimpulan sebagai berikut: OMS adalah terobosan kebijakan yang dibuat Pemkab Sleman untuk meminimalisasi peluang munculnya konflik di tengah-tengah masyarakat Posisi OMS bertanggung jawab kepada dua pihak sekaligus, yaitu pemerintah dan masyarakat. Lembaga ini melaporkan hasil penilaiannya kepada pemerintah.
Laporan ini dijadikan dasar bagi pembentukan kelompok-kelompok masyarakat yang pada gilirannya akan menerima bantuan dana rekonstruksi. OMS menjalankan sebagian peran Pemkab Sleman, yaitu dalam pendataan kerusakan rumah warga. OMS dirasa lebih mampu melakukan pendataan karena mereka mengetahui secara pasti letak rumah, status kepemilikan dan kondisinya setelah diguncang gempa. Pemberdayaan masyarakat terlihat dari beberapa indikasi. Pertama, para tukang menjadi pemain kunci karena penguasaan mereka dalam hal-hal teknis menyangkut bangunan rumah. Ke dua, individu-individu yang memiliki kecakapan administratif ditempatkan pada salah satu posisi penting dalam pokmas, Ke tiga, sejumlah keputusan penting pada tingkat lokal lebih banyak diselesaikan oleh warga sendiri tanpa banyak campur tangan dari pejabat pemerintah di atasnya. Gotong-royong dalam membangun rumah warga tidak dapat berjalan maksimal. Gotong-royong dijalankan pada rumah-rumah yang pemiliknya dipandang tidak mampu secara ekonomis dan tidak memiliki tenaga kerja. Kemandirian masyarakat dapat dilihat dari cepatnya proses pembangunan kembali rumah warga serta besarnya porsi dana mandiri (di atas 80 per sen) yang mereka gunakan dalam seluruh proses pembangunan rumah. Saran dari penelitian adalah sebagai berikut: OMS dapat dijadikan sebagai model pendataan korban bencana berbasis masyarakat, dapat diterapkan untuk daerah-daerah lain yang menghadapi masalah serupa. Diperlukan patokan baku dalam menentukan kriteria warga penerima bantuan. Patokan baku menjadi penting, karena berimplikasi pada wilayah hukum positif. Lembaga RT, RW, dusun dan pemimpin formal di pedesaan dapat dioptimalkan kinerjanya, sehingga dapat dimanfaatkan untuk keperluan-keperluan selain administrasi kependudukan. Perlu ada operasi pasar secara lebih intensif untuk menstabilkan harga yang melonjak akibat besarnya permintaan bahan bangunan dan tenaga kerja pasca bencana. Komposisi keanggotaan OMS sebaiknya diisi oleh para tokoh masyarakat setempat seperti di Kecamatan Prambanan, sehingga akurasi pendataan akan lebih baik. Penyelesaian sengketa masalah, di Kecamatan Berbah mengenal system berlapis, dari RT keatas sampai Camat, dengan system penyelesaian berlapis, maka Kepala Desa dan Camat tidak terlalu terbebani masalah sengketa teknis lapangan. Kesulitan yang dihadapi selama penelitian adalah beberapa informan tidak menjelaskan hal-hal relevan yang diketahuinya secara transparan. Ada kekhawatiran akan adanya masalah yang menimpa diri mereka jika ternyata di kemudian hari ditemukan adanya penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan program ini.

ABSTRAK
On May 27, 2006, Yogyakarta province was hit by a 5.9 Richter scale earthquake. It caused 428.909 people loose their houses. Bantul and Sleman districts are the most seriously affected areas. In Bantul district it was reported that 245.073 houses were damaged, while in Sleman district it was known that 96.792 houses were ruined into pieces. To handle such situation, Governor of Yogyakarta province issued a Governor Rule Number 23 2006, which states that the basic principles of Rehabilitation and Reconstruction of Housing in the region is a community-based one. According to the Governor Rule, local government of Sleman district decided the policy of rehabilitation and reconstruction in its area by giving people full authority to list the broken houses and eventually distribute reconstruction fund. Local government of Sleman district stated that the distribution of reconstruction fund will be difficult to control by the government because society has its own local wisdom in distributing aid they receive. This bottom-up policy was then manifested in an institution so-called Organisasi Masyarakat Setempat (Local Community Organization) (OMS).
This research utilizes qualitative approach, by using qualitative ? descriptive method. Data was collected by using techniques, such as interview, observation, and literary studies. Interview was conducted to 13 informants who are intentionally chosen based on logical frame of thinking and are relevant to the research topic. Referring to the analysis of research results, it is concluded that: OMS is a brilliant policy made by local government of Sleman district in order to minimize any conflict among members of the society. OMS holds responsibilities to two parties, namely government and society. This institution reports its assessment to the government.
This report becomes a data-base for the formation of local community groups that will eventually receive reconstruction fund. OMS plays some roles of Sleman local government, namely assessing damaged houses. OMS is considered as more able to do such assessment because they know exactly the house locations, their ownership statuses, and their condition after the earthquake. Community development can be seen at a number of indicators. Firstly, carpenters play key roles for their mastery of technical skills on building. Secondly, individuals with clerical skills are given special position in the local community groups. Thirdly, a number of important decisions at local level are mostly made by the community without any government?s intervention. Gotong-royong in building people?s houses cannot be effectively conducted. It is only the case for those are considered as economically incapable and for those are unemployed. Community?s self-reliance can be seen from the quickness of the housing reconstruction and the bigger portion of self-finance (above 80 per cent) they spend for building of their houses. This research recommends: OMS can be model for community-based victim of disaster assessment, and it can be practiced in other regions facing similar problems. It is necessary to have a fixed regulation in determining the criteria of those who receive aid. It is important for it implied to positive law. RT, RW, sub-village and rural informal leaders can be optimized their roles other than clerical things pertaining to population administration. It is necessary to do a more market intervention in order to stabilize the prices heightening caused by the inflation of demand in building materials and labors after the disaster. Composition of OMS membership is more better filled by local leaders like in Prambanan sub-district. It results in the data accuracy. Concerning conflict resolution, Berbah sub-district implements multi-layered conflict resolution, by encouraging resolution from the lowest level to the higher. By this system, the head of sub-district is not so much burdened by technical problems. Difficulty faced during the research is that a number of informants do not explain relevant things they know transparently. They are worried about any possible serious problems they will face if in fact there are things breaking the rule in the implementation of such policy.
"
2007
T22901
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yerry Purba Wiratama
"Erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 membawa dampak kerusakan yang luas di daerah Kabupaten Sleman, khususnya Desa Argomulyo, kecamatan Cangkringan. Tak ingin dampak tersebut terulang kembali, Pemerintah mengeluarkan program Desa Tangguh Bencana yang ditujukan agar masyarakat memiliki kapasitas dalam mengurangi resiko bencana diwilayahnya. Tujuan dari penelitian untuk menganalisis implementasi pengurangan resiko bencana pemerintah berbasis masyarakat melalui Program Desa Tangguh bencana di Desa Argomulyo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus, serta pengumpulan data yang dilakukan melalui observasi, wawancara dengan stakeholders terkait di Desa Argomulyo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman dan studi pustaka. Hasil penelitian implementasi program Desa Tangguh Bencana di Desa Argomulyo menunjukkan adanya pola sinergitas multistakeholders baik Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sleman, Non-Governmental Organization/Lembaga Swadaya Masyarakat, maupun masyarakat setempat yang tergabung dalam komunitas relawan Forum Pengurangan Resiko Bencana Desa Argomulyo. Dalam interaksi antar aktor tersebut, masyarakat Desa Argomulyo tidak lagi menjadi obyek, namun pelaku utama yang bergerak dari bawah ke atas (bottom up) dalam upaya pengurangan resiko bencana di wilayahnya dengan keaktifannya menangani sejumlah bencana serta meningkatkan kapasitasnya melalui berbagai pelatihan dan simulasi kebencanaan. Meskipun demikian, dalam implementasi program tersebut juga menemui kendala seperti minimnya pendanaan, terlebih dengan tidak adanya keterlibatan peran dari sektor swasta. Disamping itu, perlu juga menemukan pendekatan dalam menjaga antusiasme masyarakat terhadap kegiatan pelatihan simulasi.

The eruption of Mount Merapi in 2010 brought widespread damage to the Sleman Regency, especially Argomulyo Village. Government issued a program called Desa Tangguh Bencana to improve the ability or capacity of the local community to reduce the risk of disasters in their areas. The purpose of the study was to analyze the implementation of community-based disaster risk reduction through Desa Tangguh Bencana Program in Argomulyo Village. This research is a qualitative research with a case study approach, as well as data collection conducted through interviews with relevant stakeholders in Argomulyo Village. The results of this research show a pattern of multistakeholder interaction between Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sleman, Non-Governmental Organizations, and local communities. In the interaction between these actors, the people of Argomulyo Village are no longer the objects of the program, but the main actors in the program to reduce disaster risk in their area by actively handling a number of disasters and increasing their capacity through various training and disaster simulations. However, in the implementation of the program also encountered obstacles such as lack of funding and maintaining the enthusiasm of the local community.
"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2019
T54918
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cahyani Wahyuningtyas
"Skripsi ini menganalisis pengelolaan keuangan pada Desa Bakulan, Kecamatan Kemangkon, Kabupaten Purbalingga. Metode penelitian yang digunakan adalah wawancara kepada Sekretaris dan Kaur Keuangan Desa serta telaah dokumen RPJM, Peraturan Desa, Peraturan Bupati, pencatatan keuangan desa, pengadaan barang dan jasa, dan laporan realisasi APBDesa tahun 2109. Evaluasi pengelolaan keuangan dilakukan atas pelaksanaan kegiatan perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, hingga pertanggungjawaban, kemudian dibandingkan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Hasil penelitian menunjukkan masih terdapat ketidaksesuaian antara praktik pengelolaan keuangan pada Desa Bakulan di tahap perencanaan, penatausahaan, dan pelaporan. Ketidaksesuaian antara lain APBDes baru diselesaikan bulan Desember padahal seharusnya bulan Oktober, tidak dilakukan tutup buku setiap bulan dan tidak disusun laporan semesteran.

This thesis analyzes financial management in Bakulan Village, Kemangkon District, Purbalingga Regency. The research method used was interviews with the Secretary and Head of Village Finance and review of RPJM documents, Village Regulations, Regent Regulations, village financial records, procurement of goods and services, and reports on the realization of the 2109 APBDesa. Financial management evaluation was carried out on the implementation of planning, implementation, administration, reporting, to accountability, then compared with the provisions in the Minister of Home Affairs Regulation No. 20/2018 concerning Village Financial Management. The results showed that there was still a mismatch between financial management practices in Bakulan Village at the planning, administration, and reporting stages. The discrepancies include the new APBDes being completed in December whereas it should have been October, no closing books every month and no semi-annual reports."
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bella Ananda
"Studi ini merupakan evaluasi sumatif terhadap Program Pemberdayaan Alternatif (Dayatif) Badan Narkotika Nasional Kabupaten Sukabumi. Berdasarkan studi-studi yang telah ada sebelumnya, evaluasi program masih diperlukan untuk menganalisis lebih lanjut kekurangan yang ada dan juga untuk meningkatkan kualitas program yang akan diadakan selanjutnya. Adanya Program Dayatif ini dapat membantu para mantan narapidana kasus narkoba untuk kembali mendapatkan pekerjaan, dan tidak kembali terjerumus ke dalam penyalahgunaan narkoba. Evaluasi ini dilakukan menggunakan model evaluasi Main Analytical Categories yang menganalisis Relevansi, Efektivitas, serta Dampak yang dirasakan bagi para penerima program, serta analisis capacity building Program Pemberdayaan Alternatif (Dayatif). Hasil penelitian evaluasi ini menunjukkan bahwa konsep capacity building dapat dinilai dari dimensi pengetahuan, serta keterampilan. Berdasarkan hasil penelitian, dimensi keterampilan masih perlu ditingkatkan lagi sebagai tujuan utama dalam program pemberdayaan. Selain itu, hasil analisis Main Analytical Categories juga menunjukkan bahwa Program Dayatif BNNK Sukabumi masih memiliki kekurangan dalam aspek relevansi, efektivitas yang disebabkan oleh kegiatan atau pekerjaan yang disediakan pada program pemberdayaan yang belum sesuai dengan kebutuhan masing-masing penerima program.

This study is a summative evaluation of the Alternative Empowerment Program of the National Narcotics Agency (BNN) of Sukabumi Regency. Based on previous studies, program evaluation is still needed to further analyze existing deficiencies and also to improve the quality of programs that will be held in the future. The existence of this Dayatif Program can help ex-convicts of drug cases to get back to work, and not to fall back into drug abuse. This evaluation was carried out using the Main Analytical Categories evaluation model which analyzed the relevance, effectiveness, and perceived impact of beneficiaries, as well as an analysis of the capacity building of the Alternative Empowerment (Dayatif) Program. The results of this evaluation study indicate that the concept of capacity building can be assessed from the dimensions of process, knowledge, and skills. Based on the results of the study, the skill dimension still needs to be improved as the main goal in the empowerment program. In addition, the results of the Main Analytical Categories analysis also show that the Dayatif Program of BNNK Sukabumi still has shortcomings in the aspect of relevance and effectiveness caused by the activities or work provided in the empowerment program that are not in accordance with the needs of each beneficiaries."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kurnia Ekawati
"Bentrokan dan kerusuhan mahasiswa di Desa Caturtunggal telah terjadi sejak tahun 2007. Pihak yang sering terlibat bentrokan antara lain mahasiswa yang berasal dari Provinsi Papua, Nusa Tenggara Timur dan Timor Leste. Mahasiswa asal Papua banyak membuat kerusuhan dalam bentuk pencurian dan perampokan harta benda, mahasiswa asat Nusa Tenggara Timur yang sering terlibat bentrok adalah mereka yang berasal dari Sumba dan Alor, penyebabnya perkelahian yang berujung bentrok atau kekalahan dalam pertandingan olahraga. Sedangkan mahasiswa dari Timor Leste yang sering terlibat bentrokan adalah mereka yang menjadi anggota perguruan silat Setia Hati dan perguruan silat Kera Sakti. Tindakan kerusuhan dan kekerasan yang dilakukan ketiga kelompok mahasiswa tersebut merupakan bentuk kekerasan kolektif primitive dan merupakan perilaku agresi yang disebabkan faktor-faktor biologis.

Tokoh masyarakat sebagai panutan dan tempat mengadu bagi warga ternyata kurang begitu efektif dalam penyelesaian bentrokan dan kerusuhan mahasiswa. Karena walaupun mereka telah menepuh upaya untuk menyelesaikan dan mencegah kasus kembali terjadi, tetapi pada kenyataannya bentrokan dan kerusuhan tetap saja terjadi meskipun dalam skala kecil. Peran tokoh masyarakat yang terlihat dalam penyelesaian bentrokan dan kerusuhan mahasiswa di Desa Caturtunggal adalah sebagai penghubung antara pihak yang bertikai dengan ketua adat atau ketua paguyuban mereka, sebagai mediator dan saksi dalam proses mediasi dua pihak yang bertikai bersama-sama dengan pemerintah desa dan kepolisian, serta sebagai pemberi informasi atau pelengkap informasi bagi kepolisian mengenai kronologi kejadian. Penyelesaian kasus bentrokan dan kerusuhan antar mahasiswa pada akhirnya diserahkan kepada kepolisian.

Dengan kurangnya peran tokoh masyarakat dalam penyelesaian kasus kerusuhan antar mahasiswa hingga tuntas, bahkan ada sebagian tokoh masyarakat yang tidak mau terlibat sama sekali, akhirnya di dalam masyarakat timbul kesenjangan antara warga setempat dengan mahasiswa pendatang. Kehidupan mereka seolah berjalan sendiri-sendiri, padahal apabila terjadi kerusuhan bukan hal yang tidak mungkin warga setempat juga akan menjadi korban. Kondisi tersebut tentunya dapat mengganggu ketahanan daerah Desa Tambakbayan, yaitu hilangnya rasa nyaman masyarakat karena walaupun dari luar terlihat tenang tetapi dari dalam sebenarnya ada rasa was-was menjadi korban kerusuhan.


Clashes and riots amongs students in the Caturtunggal village have occurred since 2007. Parties who often involved clashes are students from Papua, East Nusa Tenggara and East Timor. Papuan students caused riots in the form of property theft and robbery, East Nusa Tenggara students who come from Sumba and Alor district  are often involved in conflicts, it was because of fights which led to clashes or defeat in a sport competition. While East Timor students who frequently involved in confilcts are those who become members of martial arts organizations “Setia Hati and  Kera Sakti”. Riots and violent actions that carried out by those three groups of students are primitive collective violence and aggression behavior that caused by biological factors.

Community figures as role models and people whom residents complain to are less effective in provide the resolution of student clashes and riots. Although they have sought to resolve and prevent re-occurring cases, nevertheless in fact clashes and riots still occur on a small scale. The role of community figures that are in the completion of the student riots and clashes in of Caturtunggal village are as liaisons between the warring parties and customary leaders or head of community, as mediators and witnesses in the mediation process for among  both two warring parties, government and police, as conduit of information or supplementary information about the chronology of events to the police. Eventually resolution of clashes between students and riot handed over to police.

Less of role of community figures in the resolution among the student riots case, some public figures who do not want to get involved in resolution of riot case at all, finally there is  a gap arises in the community between the residents and those students who caused riots. Those people  Their lives seemed to walk alone, but  people will also be a victim of the riots. Obviously, these conditions interfere resistance Tambakbayan Village, the loss of a sense of comfort.  From outside, people look calm but there is sense of anxiety about the riot."

Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ichda Umul Aisah
"Tesis ini mengambil topik tentang strategi Pengembangan Desa Mandiri Energi berbasis pemberdayaan masyarakat. Penelitian ini dilakukan di Desa Haurngombong, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara dan studi literature. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan teknik analisa data deskriptif kualitatif. Dimensi pemberdayaan masyarakat yang diteliti meliputi upaya terarah, keterlibatan kelompok sasaran dan pendekatan kelompok. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pemberdayaan masyarakat pada Program Desa Mandiri Energi di Desa Haurngombong, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat telah tercapai. Dengan penelitian ini diharapkan mampu memberikan rekomendasi bagi banyak pihak dalam Pengembangan Desa Mandiri Energi.

This thesis chooses a topic about the development of independent energy village based on community empowerment. The locations of the research is in Desa Haurngombong, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang. Data collection did by using the observation method, interview and study literature. The data got from the research, the analyzed by using descriptive qualitative data analysis technique. Community empowerment dimensions examined include efforts targeted, empowerment and group approaches.The result showed that the ecommunity empowerment in Desa Haurngombong, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedan, Jawa Barat reached. This research is expected to give recommendation for many sides in the development of Independent Energy Village."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ligar Abdillah
"

Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) pada umumnya melakukan pemanfaatan hutan di sektor pertanian sesuai dengan instruksi dan dukungan modal dari Perhutani. LMDH Wana Cendana bergerak di sektor ekowisata tanpa instruksi dan bantuan modal dari Perhutani. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pelaksanaan pemberdayaan komunitas lokal (LMDH Wana Cendana) yang tidak memiliki keahlian di bidang pengelolaan hutan dan ekowisata. Konsep yang digunakan adalah pemberdayaan komunitas lokal dan ekowisata dengan pendekatan kualitatif studi kasus. Studi ini mengedepankan kebaruan kasus dan wawancara mendalam terhadap informan yang terlibat secara langsung dalam pengembangan ekowisata Gunung Dago. Beberapa riset terdahulu menunjukkan pemberdayaan yang kurang memprioritaskan komunitas lokal. Pengembangan ekowisata di Desa Dago yang dimulai pada 2019 sangat mengedepankan potensi lokal dan proses belajar secara mandiri, sehingga komunitas lokal mampu mengubah lahan bekas tambang menjadi tempat wisata yang asri. Kemandirian komunitas lokal tergambar pada keterlibatannya dalam proses pengembangan ekowisata, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan. Di samping itu, komunitas lokal sebagai pengelola mampu memanfaatkan pengetahuan, budaya dan sumber daya lokal untuk meningkatkan kesejahteraan anggota tanpa mengesampingkan kaidah-kaidah konservasi hutan.


Forest Village Community Institutions (LMDH) generally use forests in the agricultural sector in accordance with instructions and capital support from Perhutani. LMDH Wana Cendana operates in the ecotourism sector without instructions and capital assistance from Perhutani. This study aims to analyze the implementation of empowering local communities (LMDH Wana Cendana) who do not have expertise in the field of forest management and ecotourism. The concept used is the empowerment of local communities and ecotourism with a qualitative case study approach. This study emphasizes the novelty of cases and in-depth interviews with informants who are directly involved in the development of Gunung Dago ecotourism. Some previous research shows that empowerment does not prioritize local communities. Ecotourism development in Dago Village, which began in 2019, prioritizes local potential and independent learning processes, so that local communities are able to transform ex-mining land into beautiful tourist attractions. The independence of the local community is reflected in its involvement in the ecotourism development process, from planning to implementation. In addition, local communities as managers are able to utilize local knowledge, culture and resources to improve the welfare of members without overruling the rules of forest conservation.

 

"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>