Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 61873 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lina Herliyana
"Latar Belakang : Siprofloksasin adalah salah satu antibiotik yang paling banyak digunakan untuk mengobati ISK yang paling sering disebabkan oleh Escherichia coli. Nilai konsentrasi hambat minimum (KHM)/ minimal inhibitory concentration (MIC) digunakan sebagai uji kepekaan kuantitatif yang rutin dilakukan di laboratorium mikrobiologi. Sehubungan dengan meningkatnya resistensi siprofloksasin pada pasien ISK, perlu dilakukan evaluasi batas ambang uji KHM/MIC sebagai dasar penentuan dosis siprofloksasin sesuai farmakokinetik dan farmakodinamiknya. Dilihat juga riwayat ISK berulang dan penggunaan antibiotika 3 bulan terakhir sebagai faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya peningkatan nilai KHM/MIC.
Metode : Studi potong lintang dengan eksperimental laboratorium dilakukan pada tahun 2019-2020. Isolasi uropatogen dilakukan pada 106 sampel urin pasien dengan diagnosis klinis ISK yang berobat ke Puskesmas dan RSUD di kota Tangerang Selatan, serta beberapa RS di Jakarta. Uji kepekaan dilakukan dengan melihat nilai KHM/MIC beberapa antibiotik untuk ISK. Selanjutnya dilakukan uji Mutant Prevention Concentration (MPC) siprofloksasin terhadap E. coli, dengan cara menilai konsentrasi siprofloksasin terendah yang mampu membunuh 1010 koloni E. coli yang ditumbuhkan pada agar Mueller-Hinton, yang diinkubasi pada suhu 370C sampai dengan 96 jam. Nilai MPC dibandingkan dengan peningkatan nilai KHM/MIC dan faktor risiko yang mempengaruhinya.
Hasil : Hasil kultur urin ≥100.000 CFU/ml ditemukan pada 95 (89,6%) dari 106 pasien dewasa dengan diagnosis klinis ISK, yang terdiri dari 67,4% perempuan dan 32,6% laki-laki. E. coli merupakan penyebab terbanyak ISK yaitu 58,6%, dengan 36,2% isolat terdeteksi sebagai ESBL. Pola kepekaan siprofloksasin pada E. coli kurang dari 50%, dan lebih rendah lagi pada bakteri ESBL. Mutan E. coli ditemukan di semua isolat yang sensitif, terutama pada nilai KHM/MIC yang berada di batas ambang yang sensitif. Riwayat penggunaan antibiotik 3 bulan terakhir lebih tinggi risikonya dibandingkan riwayat ISK berulang untuk peningkatan nilai KHM/MIC pada mutan E. coli resisten siprofloksasin.
Kesimpulan : Penggunaan siprofloksasin untuk pengobatan ISK harus digunakan secara bijak. Nilai batas ambang sensitif KHM/MIC perlu diturunkan untuk mencegah kegagalan terapi disebabkan keberadaan mutan E. coli resisten siprofloksasin. Riwayat penggunaan antibiotik 3 bulan terakhir dan ISK berulang berisiko untuk peningkatan nilai KHM/MIC pada mutan E. coli resisten siprofloksasin

Background : Ciprofloxacin is one of the most widely used antibiotics to treat the UTIs commonly caused by Escherichia coli. Minimum inhibitory concentration (MIC) value is used as a quantitative susceptibility test, routinely carried out in the microbiology laboratory. Due to the increasing resistance of ciprofloxacin in UTI patients, it is necessary to evaluate the MIC threshold as a basis for determining the dose of ciprofloxacin accordingly to pharmacokinetics and pharmacodynamics. Assessment of recurrent UTI and antibiotic used in the last 3 months is also conducted as risk factors affecting the increase of MIC value.
Methods : A cross-sectional study and laboratory experiments were conducted in 2019-2020. Isolation of uropathogen was conducted on 106 urine samples from patients with a clinical diagnosis of UTI who went to the community health centre and regional hospital in South Tangerang, as well as several hospitals in Jakarta. Susceptibility testing was performed to detect the MIC value of several antibiotics for UTIs. After that, the Mutant Prevention Concentration (MPC) test of ciprofloxacin was carried out against E. coli, by assessing the lowest ciprofloxacin concentration which was able to kill 1010 E. coli colonies grown on Mueller-Hinton agar, incubated at 370C for up to 96 hours. The MPC value is compared with the increasing MIC value and the risk factors that influence it.
Results : Urine culture results of ≥100,000 CFU/ ml were found in 95 (89.6%) of 106 adult patients with a clinical diagnosis of UTI, consisting of 67.4% female and 32.6% male. E. coli was the most common cause of UTI, i.e. 58.6%, including 36.2% of the isolates detected as ESBL. The sensitivity pattern of ciprofloxacin against E. coli was less than 50%, and lower in ESBL bacteria. E. coli mutants were found in all sensitive isolates, especially in isolates with MIC value on the sensitivity threshold. Antibiotics used in the last 3 months had a higher risk than recurrent UTIs for increasing MIC values in E. coli mutants resistant to ciprofloxacin.
Conclusion : The use of ciprofloxacin for the treatment of UTIs must be used wisely. The sensitivity threshold of MIC value should be reduced to prevent treatment failure due to the presence of E. coli mutants resistant to ciprofloxacin. Antibiotics used for the last 3 months and recurrent UTIs are at risk for increasing of MIC values in E. coli mutants resistant to ciprofloxacin.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Guntari
"Trimetoprim-sulfametoksazol (TMP/SMX) merupakan golongan antibiotik lini pertama yang digunakan untuk pengobatan infeksi saluran kemih. Antibiotik TMP/SMX bekerja dengan menghambat reaksi enzimatik sintesis folat bakteri pada dua tahap yang berurutan pada bakteri, sehingga kombinasi obat ini dapat memberikan efek sinergi. Gen dfr dan gen sul merupakan gen yang mengkode DHFR dan DHPS yang terdapat di Mobile Genetic Element (MGE) yang keberadaannya dapat meningkatkan kejadian resistensi bakteri terhadap antibiotik trimetoprim-sulfametoksazol. 8 isolat Escherichia coli diketahui resitensi terhadap trimetoprim-sulfametoksazol secara fenotipik diperiksa keberadaan MGE dfr1, dfr5, dfr7&17, sul1 dan sul2 melalui metode PCR konvensional, dilanjutkan dengan analisis asam amino untuk melihat ada atau tidaknya mutasi. 7 dari 8 isolat Escherichia coli yang reistensi antibiotik trimetoprim-sulfametoksazol memiliki MGE dfr dan sul yang berkesesuaian dengan fenotipik resistensi trimetoprim- sulfametoksazol. Mutasi asam amino dijumpai pada gen dfr1 isolat no 95 pada posisi I55V; D64S; N65D; I70V; N129S. dfr5 Isolat nomor 14, 53, 88 dan 95 memiliki jumlah mutasi asam amino sebanyak 10 titik pada posisi: A17G; A20S; D21N; N22D; I26V; P29Q; Y36D; Y37D; L41F; D43G. sedangkan gen sul2 isolat 14, 29, 78, 79 dan 88 mutasi pada posisi G8W dan I12M. Keberadaan MGE dfr dan sul pada isolat klinis menunjukkan adanya mekanisme resistensi ekstrinsik bakteri yang memerlukan perhatian khusus terhadap peningkatan kejadian resistensi bakteri.

Trimethoprim-sulfamethoxazole (TMP/SMX) is a class of first-line antibiotics used for the treatment of urinary tract infections. TMP/SMX antibiotics work by inhibiting the enzymatic reaction of bacterial folate synthesis at two successive stages in bacteria, so that this drug combination can provide a synergistic effect. The dfr gene and sul gene are genes that code for DHFR and DHPS found in the Mobile Genetic Element (MGE) whose presence can increase the incidence of bacterial resistance to the antibiotic trimethoprim-sulfamethoxazole. 8 isolates of Escherichia coli known to be resistant to trimethoprim-sulfamethoxazole phenotypically examined for the presence of MGE dfr1, dfr5, dfr7&17, sul1 and sul2 through conventional PCR methods, followed by amino acid analysis to see the presence or absence of mutations. 7 of the 8 isolates of Escherichia coli that were trimetoprim-sulfamethoxazole antibiotic retention had MGE dfr and sul corresponding to the phenotypic resistance of trimethoprim-sulfamethoxazole. Amino acid mutations were found in the dfr1 gene isolate no 95 at position I55V; D64S; N65D; I70V; N129S. dfr5 Isolates number 14, 53, 88 and 95 have a number of amino acid mutations of 10 points at position: A17G; A20S; D21N; N22D; I26V; P29Q; Y36D; Y37D; L41F; D43G. while the sul2 gene isolates 14, 29, 78, 79 and 88 mutations at the G8W and I12M positions. The presence of MGE dfr and sul in clinical isolates suggests the existence of a mechanism of bacterial extrinsic resistance that requires special attention to the increased incidence of bacterial resistance."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Epi Supri Wardi
"Situs aktif CDH pada Phanerochaete chrysosporium terdiri dari dua subsites , subsite C katalitik dan B subsite yang mengikat substrat . Domain flavin pada PcCDH Phanerochaete chrysosporium yang telah bermutasi dalam residu F282 berhasil diekspresikan dalam Escherichia coli . Pergantian Phe282 ke Ala , Asp , dan His mengubah aktivitas enzimatik dan spesifisitas spesifisitas terhadap substrat. PcCDH wild-type berperan dengan efisien dalam mengoksidasi hanya selobiosa dan laktosa, sedangka tiga macam variasi Phe282 mampu menunjukkan aktivitas pada glukosa dan maltosa. Mutan mempertahankan sebagian besar aktivitasnya dengan selobiosa tetapi menunjukkan penurunan terhadap laktosa. Kemampuan untuk mengenali glukosa tersebut memberikan peluang besar untuk aplikasi di multibiosensor.

The active site of cellobiose dehydrogenase from Phanerochaete chrysosporium is composed of two subsites, a catalytic C subsite and a substrate-binding B subsite. The soluble flavin domain of the Phanerochaete chrysosporium CDH that has mutated in residue F282 was successfully expressed in Escherichia coli. Substitution of Phe282 to Ala, Asp, and His changed its enzymatic activity and altered the enzyme?s substrate specificity. While the wild-type cellobiose dehydrogenase efficiently oxidizes only cellobiose and lactose, the three mutated Phe282 also showed activity to glucose and maltose. Mutant retained most of its activity with cellobiose but greatly decreased with lactose. The ability to recognize glucose provide great opportunities for the application in multibiosensor."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T44645
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmah Amran
"ISK tidak bergejala sering terjadi pada wanita hamil dengan prevalensi di Indonesia sebesar 7,3%. ISK tidak bergejala pada wanita hamil yang tidak ditatalaksana dengan segera dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan janin yang dikandungnya. Kultur urin sebagai diagnosis baku emas ISK membutuhkan waktu sekitar seminggu dan biaya yang cukup mahal. Oleh karena itu, uji mikroskopik urin dengan atau tanpa sentrifugasi menjadi salah satu pilihan untuk membantu diagnosis dini ISK. Penelitian uji mikroskopik dilakukan pada 74 sampel urin disentrifugasi dan tidak sentrifugasi, dari 317 sampel urin wanita hamil yang berobat ke enam Puskesmas di Jakarta dengan uji nitrit positif.
Hasil uji mikroskopik bakteriuria dan leukosituria dibandingkan dengan hasil kultur urin. Sensitivitas bakteriuria yang disentrifugasi menunjukan hasil yang paling baik dibandingkan dengan parameter uji mikroskopik lain, yaitu 74% dengan nilai p yang bermakna sebesar 0,009. Kombinasi bakteriuria dan leukosituria ≥3/LPB dan >5/LPB dapat meningkatkan spesifisitas uji dengan nilai 91,5% dan 93,6% pada urin yang tidak disentrifugasi.
Hasil ini menunjukkan bahwa bakteriuria pada urin yang disentrifugasi, merupakan metode yang paling baik untuk menbantu diagnosis dini ISK tidak bergejala pada wanita hamil. Uji kombinasi bakteriuria dan leukosituria, serta uji leukosituria ≥3/LPB dan >5/LPB dapat dimanfaatkan untuk membantu secara dini menyingkirkan orang yang tidak mengalami ISK.

Asymptomatic urinary tract infection commonly happened in pregnant women with the prevalence in Indonesia reached 7.3%. Untreated asymptomatic bacteriuria could affect maternal and fetal health. As gold standard diagnostic modality, urine culture took around a week and was not cost-effective. Therefore, microscopic examination using centrifuged or uncentrifuged urine sample is an option to support early diagnosis of UTI. Microscopic analysis was conducted in 74 centrifuged and uncentrifuged urine samples from 317 pregnant who came to six healthcare centres in Jakarta which showed positive result of nitrite examination.
The results of microscopic examination of bacteriuria and leukocyturia were compared with urine culture. Sensitivity of centrifuged bacteriuria was the highest among the other microscopic parameters, which was 74% with the p value of 0.009. Combination of bacteriuria and leukocyturia ≥3/HPF dan >5/HPF were increased the sepecificity with the value of 91.5% and 93.6% in uncentrifuged urine.
This result showed that the best method of microscopic examination for early diagnosis of asymptomatic urinary tract infection in pregnant women is detection of bacteriuria in centrifuged urine. Combination of bacteriuria and leukosituria test, as well as leukosituria ≥3/HPF and >5/ HPF can be used to rule out the diagnosis of UTI at an early stage.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Valencia Jane
"ABSTRACT
Latar Belakang: Organisme yang memproduksi ESBL merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Salah satu organisme yang paling sering yang menghasilkan ESBL yaitu Escherichia coli E.coli . Bakteri yang memproduksi ESBL lebih resisten terhadap antibiotik dan mengakibatkan infeksi menjadi lebih sulit untuk diobati. Di Indonesia, tidak banyak data yang memadai mengenai prevalensi E. coli yang memproduksi ESBL, terutama di Jakarta.Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk memberikan laporan terkini tentang munculnya E. coli yang memproduksi ESBL di Indonesia.Metode: Isolat E. coli diambil dari berbagai sampel klinis pasien yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Klinik, Universitas Indonesia pada tahun 2009-2014. Jenis data isolat yang digunakan berupa data sekunder mengenai kerentanan E. coli terhadap beberapa antimikroba. Data dianalisis menggunakan SPSS versi 20 untuk melihat kemungkinan terdapatnya kenaikan atau penurunan prevalensi E. coli penghasil ESBL yang terjadi secara signifikan.Hasil: Dari total 471 isolat E. coli, 56 11.9 merupakan E. coli penghasil ESBL. Prevalensi E. coli yang memproduksi ESBL menunjukkan kecenderungan menurun setiap tahun dari tahun 2009 sampai 2014, kecuali tahun 2012-2014, terdapat sedikit peningkatan. Namun secara statistik, penurunan atau kenaikan prevalensi tersebut, secara statistik tidak bermakna dengan p>0.05. Prevalensi E.coli yang memproduksi ESBL pada tahun 2009-2014 berturut-turut 19.1 , 21.2 , 6.9 , 5.4 , 7.56 , dan 8 .Kesimpulan:Terjadi penurunan prevalensi Escherichia coli yang memproduksi ESBL pada tahun 2009-2014, namun hasilnya tidak signifikan secara statistik. Kata kunci: E. coli, Extended-spectrum beta-lactamases, Indonesia.

ABSTRACT
Background ESBL producing organism has been a public health concern in the entire world. One of the most prevalent organisms that produce ESBL is Escherichia coli E.coli . The production of ESBL has made bacteria to be more resistant to antibiotics and therefore make infections harder to treat. In Indonesia, there is not many adequate data regarding prevalence of ESBL producing E. coli, especially in Jakarta. The aim of this research is to provide an updated report about the emergence of ESBL producing E. coli in Indonesia.Method E. coli isolates are obtained from many clinical samples of patients obtained from Clinical Microbiology Laboratory, Universitas Indonesia from 2009 2014. The isolates data was obtained as a secondary data that has been tested for its antimicrobial susceptibility. The data was analyzed using SPSS version 20 to see whether the increase or decrease was statistically significant.Results From a total of 471 E. coli isolates, 56 11.9 are identified as ESBL producing E. coli. The prevalence of positive ESBL producing E. coli decreased each year from 2009 to 2014, except for 2012 to 2014 where there is a slight increase. However, the decrease or increase of the prevalence was not statistically different p 0,05 . This p value illustrated that the change in prevalence was not significant from year to year. The prevalence of ESBL producing E. colifrom 2009 to 2014 was 19.1 , 21.2 , 6.9 , 5.4 , 7.56 , and 8 respectively.Conclusion There has been a decrease in the prevalence of ESBL producing Escherichia coli from 2009 2014. However, the result is statistically insignificant. "
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Billy, Matthew
"Infeksi Saluran Kemih (ISK) disebabkan oleh mikroorganisme dengan atau tanpa gejala berupa sakit saat berkemih, urgensi, dan peningkatan frekuensi berkemih. Pada ISK tanpa gejala, diagnosis ditegakkan melalui kultur urin dengan jumlah koloni mikroorganisme 105 colony forming unit (cfu)/mL. ISK terutama disebabkan oleh bakteri, sehingga terapi awal yang diberikan secara empirik untuk ISK adalah antibiotik. Ampisilin dulu pernah digunakan sebagai terapi empirik untuk ISK, tetapi tidak lagi digunakan karena angka resistensinya yang tinggi. Secara teoritis, resistensi tersebut dibawa oleh plasmid dan akan hilang dalam populasi bakteri apabila tidak pernah digunakan. Penelitian ini bertujuan melihat apakah ampisilin berpotensi menjadi sensitif kembali dengan pola resistensi yang relatif sama dibandingkan dengan siprofloksasin sebagai pembanding untuk menghambat pertumbuhan bakteri penyebab ISK secara in vitro. Studi ini menggunakan metode potong lintang dengan pengambilan sampel urin di puskesmas-puskesmas di Jakarta yang diuji pola resistensi terhadap kedua antibiotik. Hasil penelitian menunjukkan angka resistensi bakteri penyebab ISK terhadap antibiotik ampisilin dan siprofloksasin secara berurutan adalah 89,5% dan 10,5% dan perbedaan tersebut tersebut bermakna melalui uji Chi-square dengan nilai p < 0,001. Dengan tingginya angka resistensi bakteri penyebab ISK terhadap ampisilin, maka ampisilin belum dapat digunakan kembali sebagai terapi ISK terutama untuk penyebab ISK oleh bakteri Gram negatif. Untuk bakteri Gram positif, ampisilin masih mungkin untuk dipakai kembali sebagai pengobatan ISK, tetapi masih perlu diteliti lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar.

Urinary tract infection (UTI) is caused by microorganism with or without clinical symptoms such as dysuria, urgency, and increase frequency of urination. For asymptomatic UTI, diagnosis was supported by urine culture marked by more than 105 colony forming unit (cfu)/mL. UTI is mainly caused by bacteria; therefore, initial empirical therapy of UTI is using antibiotic. Once, ampcillin has been used as empirical therapy for UTI; however, it is no longer used as empirical therapy because of its high number of resistance. Theoretically, the resistance is carried by plasmid which will be lost in bacteria population if it has never been used. The objective of this study is to find whether ampicillin has potency to be sensitive again with the same resistance pattern as ciprofloxacin as reference for inhibiting growth of bacteria causing UTI. Method of this study is cross-sectional study with urine samples collection at Puskesmas in Jakarta which were tested its resistance pattern to both of antibiotics. Result of this study showed that resistance number of bacteria causing UTI to ampicillin and ciprofloxacin and are 89,5% and 10,5% respectively and this difference is significant based on Chi-square test with a p value of < 0,001. Ampicillin’s resistance is high so that ampicillin still can not be used again as therapy of UTI particularly against Gram negative bacteria. For Gram-positive bacteria, ampicillin is still likely to be reused as a treatment for UTI, but still need to be investigated further with a larger number of samples."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Indra Sanjaya
"Sepsis adalah gejala klinis akibat infeksi disertai respon sistemik yang dapat berupa hipotermia, hipertermia, takikardia, hiperventilasi atau letargi. Sepsis neonatorum adalah sepsis yang teijadi pads neonates, dan pada biakan darah didapatkan basil positif. Pada sepsis neonatorum sering disertai infeksi saluran kemih (ISK). ISK ini dapat menyebabkan kerusakan ginjal dan memperberat sepsis. Untuk menegakkan diagnosis ISK sebagai standar adalah hitting koloni kuman pada biakan urin. Pewarnaan Gram urin merupakan pemeriksaan yang cepat, dapat rnengetahui morfologi dan jumlah kuman dalam hari pertama, serta dapat mendeteksi adanya ISK. Dengan melihat basil pewarnaan Gram urin maka pemberian terapi antibiotika secara empiris dapat lebih terarah. Tujuan penelitian ini ialah mendapatkam metode yang cepat dan mudah untuk mendeteksi ISK pada sepsis neonatorum. Penelitian ini juga bertujuan mendapatkan data proporsi ISK, pola kuman penyebab ISK dan antibiogramnya pada sepsis neonatorum.
Subjek penelitian adalah 100 bayi secara klinis menderita sepsis neonatorum yang dirawat di bangsal Perinatologi dan NICU Bagian IKA RSCM. Bahan berupa darah vena dan urin kateterisasi, diperiksa di Bagian Patologi Klinik RSCM. Pemeriksaan yang dilakukan adalah pewamaan Gram urin langsung dan urin sitospin, biakan min, dan biakan darah. Dinilai tingkat sensitivitas dan spesifisitas pewarnaan Gram urin terhadap biakan urin.
Pada penelitian ini didapatkan proporsi ISK pada sepsis neonatorum sebesar 8%. Pola kuman penyebab ISK terbanyak pada sepsis neonatorum adalah Pseudomonas sp dan Staphylococcus epidermidis. Tes sensitivitas antibiotika Pseudomonas sp resisten terhadap antibiotika yang diujikan. Staphylococcus epidermidis sensitif terhadap antibiotik Ampicillinsulbactam, Vancomycin, Meropenem, Imipenem, dan Oxacillin. Pada penelitian ini didapatkan tingkat sensitivitas pewarnaan Gram urin langsung 75% dan spesifisitas 100%, sedangkan pewarnaan Gram urin sitospin didapatkan sensitivitas 100% dan spesifisitas 98,9%. Pada kurva receiver operator curve (ROC) didapatkan sensitivitas dan spesitifitas terbaik pewamaan Gram urin sitospin untuk diagnosis ISK bila cut off point > 3 kuman per lapangan pandang imersi (pembesarkan 1000x). Pewarnaan Gram urin sitospin merupakan pemeriksaan yang dianjurkan untuk mendiagnosis ISK pada sepsis neonatorum secara rutin."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58460
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kiki Rizki Lestari
"Radiofarmaka 99mTc-siprofloksasin merupakan salah satu radiofarmaka yang dikembangkan oleh BATAN untuk mendiagnosis infeksi dan mengetahui efektivitas terapi infeksi dengan suatu antibiotik. Resistensi bakteri terhadap suatu antibiotik menjadi suatu masalah bagi penggunaan radiofarmaka ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk mensintesis, menganalisis radiofarmaka 99mTcsiprofloksasin, dan menentukan uptake bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus wild-type yang telah dibuat resisten terhadap kotrimoksazol. Bakteri dibuat resisten dengan memberikan antibiotik kotrimoksazol dibawah kadar hambat minimumnya selama berturut-turut lima hari untuk Escherichia coli dan empat hari untuk Staphylococcus aureus yang selanjutnya ditentukan uptake terhadap 99mTc-siprofloksasin. Radiofarmaka siprofloksasin dibuat dalam bentuk kit-kering secara aseptis dengan proses liofilisasi.
Preparasi radiofarmaka 99mTc-siprofloksasin dilakukan dengan penambahan radionuklida 99mTc, aktivitas 2-13 mCi ke dalam kit-kering siprofloksasin sesaat sebelum digunakan. Kontrol kualitas radiofarmaka dilakukan dengan menentukan pH, sterilitas, dan kemurnian radiokimia dengan metode kromatografi. Fase diam ITLC-SG dengan fase gerak larutan etanol, aquabidest, ammonia (2: 5: 1) memisahkan pengotor 99mTcO4 - sedangkan fase diam Whatman 1 dengan fase gerak Etil Metil Keton memisahkan pengotor 99mTcO2. Kemurnian radiokimia 99mTc-siprofloksasin yang didapat sebesar 87,45 ± 3,88% (n= 3). Bakteri Staphylococcus aureus yang resisten kotrimoksazol memberikan uptake sebesar 41,94 ± 7,17% (n= 6) dan bakteri Escherichia coli yang resisten kotrimoksazol memberikan uptake sebesar 37,12 ± 6,54% (n= 6)."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
S33144
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Azzahra Sophie Larasati
"Resistensi terhadap antibiotik pada bakteri dan penyebarannya di lingkungan menjadi ancaman terhadap kesehatan masyarakat. Keberadaan bakteri resisten terhadap antibiotik dipicu oleh aktivitas antropogenik, salah satunya adalah penyalahgunaan antibiotik. Bakteri resisten terhadap antibiotik yang ditemukan di lingkungan domestik dapat menimbulkan risiko kesehatan pada warga setempat. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui konsentrasi bakteri E. coli resisten di lingkungan domestik di Kota Bekasi, menilai risiko kesehatan yang ditimbulkan akibat paparan mikroorganisme, dan mengidentifikasi rute paparan bakteri E. coli resisten terhadap antibiotik ke manusia. Identifikasi konsentrasi bakteri E. coli resisten terhadap antibiotik menggunakan kultur bakteri dan penilaian risiko dilakukan menggunakan metode Quantitative Microbial Risk Assessment (QMRA). Hasil penelitian menunjukkan rata-rata konsentrasi bakteri E. coli resisten terhadap antibiotik (n=3) di tanah sebesar 1,28  105 CFU/mL, air sungai sebesar 3,9  101 CFU/mL, tangki septik sebesar 8,06  102 CFU/mL, feses ayam sebesar 1,33  106 CFU/mL, sedangkan di air tanah tidak ditemukan keberadaan E. coli resisten terhadap antibiotik. Penilaian risiko dengan metode QMRA pada bakteri E. coli resisten terhadap antibiotik dilakukan pada galur E. coli O157:H7 sebagai galur yang paling umum menyebabkan penyakit diare pada manusia. Probabilitas infeksi harian (Pinf,d) yang disebabkan oleh bakteri E. coli O157:H7 di tanah berkisar antara 33,37% - 36,99% sesuai kelompok usia dengan probabilitas infeksi tahunan (Pinf,a) 100% dengan probabilitas munculnya penyakit (Pill) sebesar 25%. Sementara itu, probabilitas infeksi harian (Pinf,d) yang disebabkan oleh bakteri E. coli O157:H7 di air sungai berkisar antara 4,88% - 14,28% dengan probabilitas infeksi tahunan (Pinf,a) 99% - 100% dan probabilitas munculnya penyakit (Pill) adalah 24,9% - 25% tergantung jenis ingestinya. Berdasarkan penilaian risiko tersebut, rute paparan bakteri E. coli resisten terhadap antibiotik ke manusia melalui media tanah dan air sungai, sehingga pencegahan dapat dilakukan untuk menangani risiko kesehatan pada manusia seperti meminimalisir penggunaan air sungai untuk aktivitas domestik, peningkatan fasilitas sanitasi, dan penerapan teknologi atau metode pencegahan resistensi terhadap antibiotik.

The occurrence of antibiotic-resistant bacteria in the environment is a threat to public health. The spread of antibiotic-resistant bacteria in the environment is influenced by anthropogenic activities, such as antibiotic misuse. Antibiotic-resistant bacteria found in the domestic environment pose a health risk to inhabitants. This study aims to identify antibiotic-resistant E. coli concentration in a domestic environment in Bekasi City, assess public health risks associated with exposure to pathogenic bacteria, and identify the exposure route of antibiotic-resistant E. coli to humans. The bacterial culture method was used to identify the concentration of antibiotic-resistant E. coli and the risk assessment was carried out using Quantitative Microbial Risk Assessment (QMRA). The results showed the average concentration of antibiotic-resistant E. coli (n=3) found in soil was 1,28  105 CFU/mL, in river water was 3,9  101 CFU/mL, in septic tank effluent was 8,06  102 CFU/mL, chicken feces was 1,33  106 CFU/mL, and none found in groundwater. Risk assessment was carried out using QMRA on E. coli O157:H7 strain as the most common strain to cause diarrheal illness in humans. The daily probability of infection (Pinf,d) caused by E. coli O157:H7 in soil ranged from 33,37% - 36,99% according to the age group with an annual probability of infection of 100% and the probability of illness obtained was 25%. Furthermore, the daily probability of infection caused by E. coli O157:H7 in river ranging from 4,88% - 14,28% with annual probability of infection (Pinf,a) ranged from 99% - 100% depending on the types of ingestion with the probability of illness obtained ranged from 24,9% - 25%. Based on the risk assessment, the exposure route of antibiotic-resistant E. coli can be determined by involving human, animal, and environmental sectors. Routes help to identify prominent exposure pathways in posing health risks to humans. The study revealed the route of antibiotic-resistant E. coli contamination to humans through environmental matrices, such as soil and river. Therefore, prevention can be done in order to deal with human health risks, such as reducing domestic uses of river water for communities, improving sanitation facility, and the application of technology and prevention methods to combat antibiotic resistance."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alvin Bramantyo
"Infeksi saluran kemih dan batu ginjal merupakan masalah kesehatan dengan prevalensi dan insidensi yang tinggi di dunia. Pasien batu ginjal dapat mengalami penurunan fungsi ginjal yang dapat berujung pada Chronic Kidney Disease (CKD). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara infeksi saluran kemih dengan fungsi ginjal pada pasien batu ginjal.
Desain penelitian ini adalah potong lintang, melibatkan 5463 pasien batu ginjal yang menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM) pada tahun 2000-2013. Pengambilan data dilakukan pada 1140 pasien yang mempunyai data leukosit urin dan kreatinin serum. Sampel didapatkan dengan metode total population sampling. Pengambilan data dilakukan dengan mempelajari rekam medis pasien.
Hasil penelitian menunjukkan rasio subjek lakilaki: perempuan sebesar 7:3, prevalensi infeksi saluran kemih pada pasien batu ginjal sebesar 27.3%, prevalensi fungsi ginjal buruk pada pasien batu ginjal sebesar 37.4%, dan nilai kemaknaan p<0.0001 pada hubungan antara infeksi saluran kemih dengan fungsi ginjal pada pasien batu ginjal.
Terdapat hubungan yang bermakna antara infeksi saluran kemih dengan fungsi ginjal pada pasien batu ginjal. Diperlukan penatalaksanaan serta pencegahan infeksi saluran kemih pada pasien batu ginjal untuk mencegah perburukan fungsi ginjal.

Urinary tract infections and kidney stones are among the high prevalence health problems in the world. Kidney stone patients may have reduced kidney function that can lead to Chronic Kidney Disease (CKD). This study investigates possible relations between urinary tract infection with renal function in kidney stone patient.
This cross-sectional study was carried out on 5463 patients undergoing treatment for calculous disease in Cipto Mangunkusumo National Center General Hospital (RSUPNCM) between 2000 and 2013. Data were collected from 1140 patients whose urine leukocytes and serum creatinine data were recorded. Samples were obtained using total population sampling method. Data were collected from patient's medical record. Patient characteristics were well matched generally.
The male to female ratio of subjects were 7:3 with a mean age of 46. Among subjects, 27.3% had urinary tract infections while 37.4% had poor kidney function. There was a significance value of p<0.0001 on the relationship between urinary tract infection and renal function in kidney stone patients.
In conclusion, there is a significant association between urinary tract infections and renal function in kidney stone patients. Management and prevention of urinary tract infections are necessary in kidney stone patients to prevent deterioration of renal function.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>