Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 124350 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Liestyaningsih Dwi Wuryani
"Latar Belakang: Status epileptikus (SE) merupakan salah satu kedaruratan neurologis dengan mortalitas yang tinggi. SE dengan gejala motorik yang menonjol dan gangguan kesadaran disebut sebagai status epileptikus konvulsivus (SEK). Tujuan tatalaksana SEK adalah menghentikan bangkitan secara cepat dan efektif karena pada SEK yang berkepanjangan akan menyebabkan kerusakan neuron dan gangguan sistemik yang luas. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran tatalaksana farmakologis dan faktor-faktor yang mempengaruhi waktu terminasi SEK di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Metode: Desain penelitian dengan potong lintang pada 22 pasien SEK secara retrospektif. Data yang didapatkan merupakan data dari penelurusan rekam medik. Dilakukan pencatatan usia, jenis kelamin, komorbid, riwayat epilepsi, etiologi, bentuk kejang, kelainan metabolik, onset kejang, jenis, lini, dosis, dan jumlah obat anti kejang yang didapat. Kemudian dilakukan pencatatan waktu dari tatalaksana SEK hingga terminasi SEK.
Hasil: Dari 22 subjek, 16 subjek dapat diterminasi <60 menit (72,7%). Kelompok terminasi <60 menit memiliki rerata usia lebih muda, memiliki riwayat epilepsi, dan sebagian besar tidak memiliki komorbid. Pada kedua kelompok terminasi etiologi tersering adalah etiologi akut. Seluruh subjek dengan semiologi SEK kejang konvulsif umum tonik klonik dan kejang umum tonik termasuk dalam kelompok terminasi <60 menit. Sedangkan bentuk kejang lainnya terdapat sebagian kecil subjek termasuk dalam kelompok terminasi >60 menit. Median onset kejang pada penelitian ini didapat lebih lama pada kelompok terminasi <60 menit. Kelainan metabolik hipoalbumin dan gangguan hepar didapatkan sedikit lebih banyak pada kelompok terminasi <60 menit. Sedangkan subjek dengan kelainan ginjal didapat persentase yang sama. Sebagian besar subjek cukup mendapat lini I, diazepam IV, dan 1 jumlah obat anti kejang dalam terminasi SEK. Pada subjek kelompok terminasi >60 menit mendapat dosis diazepam IV dan fenitoin IV lebih besar. Pada subjek yang mendapat levetiracetam oral dan midazolam IV seluruhnya terdapat dalam kelompok terminasi >60 menit.
Kesimpulan: Tatalaksana farmakologis SEK di RSCM sesuai dengan alogaritme SE dan sebagian besar dapat diterminasi <60 menit. Distribusi demografis dan klinis subjek penelitian seperti usia muda, riwayat epilepsi, dan tidak adanya komorbid serta kelainan metabolik hipoalbumin dan kelainan hepar distribusinya lebih banyak pada kelompok terminasi <60 menit.

Background: Status epilepticus (SE) is one of the neurological emergencies with high mortality. SE with prominent motor symptoms and impaired consciousness is called a convulsive status epilepticus (CSE). The goal of treatment for CSE is to stop seizures quickly and effectively because prolonged CSE will cause extensive neuronal damage and systemic disturbances. The purpose of this study was to determine the description of pharmacological management and the factors that influence the termination of CSE in Cipto Mangunkusumo Hospital.
Method: It was a retrospective cross-sectional study design in 22 CSE patients. The data was retrieved from medical records including age, sex, comorbid, history of epilepsy, etiology, form and onset of seizures, metabolic disorders, type, line, dose and amount of anti-seizure drugs were carried out. The duration from time-point of CSE management up to the CSE termination was recorded.
Result: Among 22 subjects, there were 16 subjects who had CSE termination <60 minutes (72.7%). The <60 minutes termination group had a younger age, had a history of epilepsy and most of them had no comorbidities. All three subjects with a history of epilepsy were also included in the <60 minutes termination group. In both groups the most common etiology of termination was acute. All subjects with the semiology convulsive generalized tonic-clonic seizures and generalized tonic seizures were included in the <60 minutes termination group. While other forms of semiology, a small proportion of subjects were included in the group termination >60 minutes. Median seizure onset in this study was longer in the termination group <60 minutes. Hypoalbumin metabolic and hepatic disorders were slightly more in the <60 minutes termination group. Among <60 minutes termination group, the most common anti-convulsant was first line drug which was Diazepam IV, wherease the most common one in >60 minutes termination group was second line drug which was Phenytoin IV. Subjects in the group terminated> 60 minutes received larger doses of IV diazepam and IV phenytoin. Subjects receiving oral levetiracetam and IV midazolam were all in the> 60 minutes termination group.
Conclusion: CSE management in Cipto Mangunkusumo Hospital was already in accordance with the SE management algorithm. Demographic and clinical distribution of study subjects such as younger age, history of epilepsy, absence of co-morbids and metabolic disorders of hypoalbumin and liver disorders were common in the <60 minutes termination group.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adisti Prafica Putri
"Latar belakang: Status epileptikus non-konvulsivus (SENK) dapat terjadi setelah status epileptikus konvulsivus (SEK). SENK yang terjadi pasca-SEK memiliki mortalitas sebesar 34,9%. Sehingga, pada keadaan penurunan kesadaran pasca-SEK harus dicurigai suatu SENK yang dibuktikan dengan pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) untuk menegakkan diagnosis agar luaran pasien menjadi lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui insiden SENK pasca-SEK dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang menggunakan data sekunder. Sampel di ambil dengan metode total sampling yaitu pada subjek yang mengalami penurunan kesadaran pasca-SEK dari bulan Maret 2019-Oktober 2020 di Rumah Sakit Dokter Cipto Mangunkusumo (RSUPN Dr. Cipto mangunkusumo) Jakarta. Penegakan diagnosis SENK menggunakan EEG dengan kriteria modified salzburg consensus criteria for non-convulsive status epilepticus (mSCNC)
Hasil Penelitian: Sebanyak 74 subjek mengalami penurunan kesadaran pasca-SEK. Median usia 46 (18-80) tahun dengan dominasi perempuan. Median frekuensi bangkitan epileptik saat SEK sebanyak 4(1-30) kali, SEK terjadi selama 1-5 menit pada 73% subjek. Median derajat kesadaran pasca SEK skala koma Glasgow (SKG) 11(5-14). Etiologi tersering adalah intrakranial (66,2%) yang terjadi akut (71,6%) akibat iskemia otak (20,3%). Riwayat epilepsi didapatkan pada 36,5% subjek. Insiden SENK dari Maret 2019 – Oktober 2020 sebesar 33,8%. Berdasarkan kriteria mSCNC, SENK definit 24%, sebesar 12% masing-masing berupa bangkitan epileptiform > 2,5Hz dan aktivitas ritmik disertai evolusi spasiotemporal. Sementara possible SENK 56% dengan gambaran tersering berupa aktivitas ritmik tanpa fluktuasi. Pada subjek yang tidak SENK didapatkan gambaran EEG abnormal sebanyak 87,3% dengan gambaran nonepileptiform berupa perlambatan (71,4%). Tidak terdapat perbedaan demogarafi dan klinis bermakna pada kedua kelompok, namun pada kelompok SENK didapatkan median usia lebih tua (52 vs 44 tahun). Sedangkan pada kelompok tidak SENK, lebih banyak didapatkan riwayat epilepsi (44,9%) dibandingkan kelompok SENK (20%) (p = 0,035). Analisa multivariat menunjukkan risiko mengalami SENK saat tidak memiliki riwayat epilepsi adalah sebesar 3.259 kali (p = 0,040; IK95% 1,053-10,091).
Kesimpulan: Insiden SENK didapatkan sebesar 33,8%. Berdasarkan kriteria mSCNC, definit 24%, sebesar 12% masing-masing berupa bangkitan epileptiform > 2,5Hz dan aktivitas ritmik disertai evolusi spasiotemporal. Sementara possible SENK 56% dengan gambaran tersering berupa aktivitas ritmik tanpa fluktuasi. Pasien tanpa riwayat epilepsi, memiliki resiko sebesar 3,259 kali mengalami SENK pasca-SEK.

Background: Nonconvulsive status epilepticus (NCSE) may occur following convulsive status epilepticus (CSE), with the mortality rate of 34.9%. Therefore, in persistent loss of consciousness following CSE, NCSE must be considered and electroencephalography (EEG) should be performed to ensure the diagnosis and improve the outcome. This study aimed to describe the incidence of NCSE following CSE and its associated factors.
Methods: This was a cross-sectional study using secondary data of every subjects with loss of consciousness following CSE from March 2019 to October 2020 in Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Jakarta. The diagnosis of NCSE was performed using modified Salzburg consensus criteria for non-convulsive status epilepticus (mSCNC).
Results: There were 74 subjects with loss of consciousness following CSE. The median age of 46 (18-80) years predominantly female. The median frequency of seizure at CSE was 4 (1-30) times and occurred for 1-5 minutes in 73% of subject. The median degree of consciousness following CSE Glasgow Coma Scale (GCS) 11 (5-14). The most common etiology was related to intracranial etiology (66.2%) that occurs in acute (71,6%) due to cerebral ischemia (20.3%). A history of epilepsy was found in 36.5% subject The incidence of NCSE from March 2019 to October 2020 was 33.8%. Based on mSCNC criteria, the definite NCSE was 24%, 12% respectively was epileptiform discharge >2.5 Hz and rhythmic activity with spasiotemporal evolution. The possible NCSE was 56 % with the most common EEG finding was rhythmic activity without fluctuation. In group NCSE, there was abnormal EEG 87.3% with non-epileptiform in form of slowing. There were no significant demographic and clinical differences in two group, but in NCSE group the median age was older (52 vs 44 years). Meanwhile, in the non NSCE group, there was more history of epilepsy (44.9) than NCSE group (20%) (p=0.035). Multivariate analysis showed the risk of NCSE when no history of epilepsy was 3.259 times (p = 0,040; IK95% 1,053-10,091).
Conclusion: The incidence of NCSE following CSE was 33.8%. Based on mSCNC criteria, the definite NCSE was 24%, 12% respectively was epileptiform discharge >2.5 Hz and rhythmic activity with spasiotemporal evolution. The possible NCSE was 56 % with the most common EEG finding was rhythmic activity without fluctuation. Subjects without history of epilepsy had 3.259 higher risk to develop NCSE following CSE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adrian Ridski Harsono
"Latar belakang: Status epileptikus konvulsivus (SEK) merupakan kegawatdaruratan epilepsi dengan angka mortalitas yang tinggi dengan berbagai faktor yang memengaruhi. Keluaran pasien dengan SEK di Indonesia belum banyak diteliti, namun berdasarkan studi pendahuluan, didapatkan angka mortalitas yang cukup tinggi dibandingkan studi lainnya.
Metode penelitian: Penelitian ini dilakukan disain kohort prospektif untuk mengentahui keluaran kesintasan pasien SEK selama 30 hari yang dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo pada bulan Januari 2019-Oktober 2020. Penyajian data kesintasan dilakukan dengan menggunakan kurva Kaplan-meier dan dilanjutkan dengan analisis kesintasan menggunakan analisis cox-regression baik univariat maupun multivariat.
Hasil: Terdapat 196 pasien dengan 200 episode SEK, dengan 61,5% disebabkan oleh etiologi intrakranial, 28,5% oleh etiologi ekstrakranial, dan 10% oleh putus/kurang dosis OAE. Tingkat kesintasan 30 hari pasien SEK di RSCM secara umum adalah 56%. Kesintasan pada kelompok etiologi ekstrakranial (43,8%) lebih buruk dibandingkan etiologi intrakranial (55,3%) (p=0,220; HR=1,303(0,843 – 2,016)). Berdasarkan analisis univariat, faktor-faktor yang memengaruhi kesintasan adalah jenis kelamin, frekuensi bangkitan kejang, tingkat kesadaran dan SKG selama periode SEK, perubahan dari SEK menjadi SENK, riwayat epilepsi, jumlah komorbid, jumlah obat anti epilepsi (OAE) yang diberikan, penggunaan agen anestesi, terjadinya SER dan SESR, adanya komplikasi dan jumlah komplikasi, terjadinya komplikasi hipotensi dan/atau gagal nafas, serta lama perawatan di rumah sakit. Sedangkan berdasarkan analisis multivariat, faktor yang memengaruhi kesintasan adalah riwayat epilepsi, jumlah komorbid, ada tidaknya komplikasi, dan adanya komplikasi gagal nafas atau penggunaan ventilator.
Kesimpulan: Tingkat keisntasan 30 hari pasien SEK pada penelitian ini rendah. Etiologi ekstrakranial memiliki tingkat kesintasan yang lebih buruk. terdapat 15 faktor lain yang memengaruhi kesintasan pasien dengan SEK.

Background: Covulsive status epilepticus (CSE) is an epileptic emergency with high mortality rate and has various influencing factors. The outcome of patient with CSE in indonesia has not been widely studied, and based on pre-eliminary study, the mortality rate was quite high compared to previous studies.
Methods: This prospective cohort study determine 30 days outcome of CSE patients that admitted to Cipto Mangunkusumo Hospital in January 2019–October 2020. Overall survival rates for CSE and between 2 groups are presented by Kaplan-meier curve, then continued with a survival analysis using univariate and multivariate cox-regression analysis.
Results: A total of 196 patient with 200 episode of CSE, with 61,5% due to intracranial etiology, 28,5% by extracranial etiology, and 10% by OAE withdrawal. Overall 30 days survival rate for CSE patients at RSCM are 56%. The survival rate in extracranial etiology group (43,8%) was worse than intracranial etiology group (55,3%) (p=0,220; HR=1,303(0,843 – 2,016)). In univariate analysis, factors that influence survival are gender, seizure frequency, level of consciousness and GCS, evolution from CSE to NCSE, epilepsy history, number of comorbids and anti-epileptic drugs (AED), use of anesthetics agents, the occurrence of refractory status epilepticus and super refractory status epilepticus, the presence and number of complications, the occurrence of hypotension and/or respiratory failure, and the hospital length of stay. Whereas in multivariate analysis, factors that influenced survival rate were history of epilepsy, number of comorbidities, the presence of complications, and the presence of respiratory failure or ventilator use.
Conclusion: Thirty days survival rates of CSE patients in this study was low. Extraxranial etiology has lower survival rates. There are 15 factors that influence survival rates in patient with CSE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Irvan Firdausy
"Pembangunan pesat yang terjadi di daerah perkotaan membawa berbagai dampak, termasuk dampak terhadap kesehatan. Salah satu dampak terhadap kesehatan adalah meningkatnya jumlah pasien bedah yang membutuhkan operasi. Tahun 2016, 11 dari seluruh penyakit di dunia dapat diselesaikan dengan prosedur pembedahan dan 84 diantaranya adalah kasus pembedahan pada anak. Indonesia, khsususnya di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo selaku salah satu pusat rujukan bedah anak nasional, lebih dari setengah pasien anak yang dirawat sepanjang tahun 2016 merupakan pasien bedah pencernaan. Tindakan pembedahan biasanya akan disertai keluhan nyeri pasca operasi.
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis manajemen nyeri non-farmakologis pada anak pasca pembedahan digestif. Metode yang digunakan adalah laporan kasus asuhan keperawatan yang dilakukan pada dua orang anak yang berbeda dengan intervensi utama teknik distraksi audio visual menggunakan kacamata virtual reality VR dan tanpa menggunakan kacamata VR. Hasil evaluasi selama 4 hari dilakukan manajemen nyeri non-farmakologis menunjukkan bahwa teknik distraksi audio visual menggunakan kacamata VR lebih efektif dibandingkan tanpa menggunakan kacamata VR.

Urban developmental have so many effects, including the health. One of the effects is increasing number of surgical patients. In 2016, 11 of all diseases in the world can be solved by surgical procedures and 84 of them are surgical cases in children. Indonesia, especially in Dr. Cipto Mangunkusumo as one of the nation 39;s largest childcare referral centers, more than half of the pediatric patients treated during 2016 are gastrointestinal patients. Surgery usually will be accompanied by postoperative pain management.
This study was conducted to analyze the management of non-pharmacological pain in children after digestive surgery. The method used is case report based on nursing care were gived to two different children with a major intervention of audio visual distraction techniques using virtual reality VR glasses and without the use of VR glasses. The evaluation after 4 day intervention with non-pharmacologic pain management showed that audio visual distraction technique using VR glasses was more effective than without using VR glasses.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
Pr-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia Maria Loho
"ABSTRAK
Latar belakang : Status epileptikus non konvulsif SENK dapat disebabkan oleh kelainan metabolik akut dan ditandai dengan penurunan kesadaran dengan atau tanpa bangkitan konvulsif motorik. Abnormalitas gambaran elektroenesfalografi EEG dapat menggambarkan derajat kerusakan otak. Pemeriksaan EEG pada ensefalopati metabolik secara umum di Indonesia belum rutin dilakukan. Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran EEG, angka kejadian abnormalitas EEG, gambaran klinis, dan prevalensi SENK pada ensefalopati metabolicMetode penelitian: Desain penelitian potong lintang deskriptif pada pasien ensefalopati metabolik di Instalasi Gawat Darurat, ruang rawat intensif, dan ruang rawat biasa RSUPN Cipto Mangunkusumo selama bulan Agustus-November 2016 Pemeriksaan EEG menggunakan EEG portable. Pasien dimasukan sebagai sampel apabila berusia >18tahun, didiagnosis ensefalopati metabolik oleh TS penyakit dalam, dapat dilakukan perekaman EEG. Pasien dieksklusi apabila terdapat defisit fokal neurologis pada pemeriksaan fisik dan terdapat riwayat epilepsi sebelumnya. Diagnosis SENK ditegakan dengan menggunakan kriteria Salzburg.Hasil: Di antara 34 orang subjek ensefalopati metabolik, didapatkan angka kejadian abnormalitas EEG 100 . Gambaran epileptiform ditemukan 41,2 dan gambaran non epileptiform 91,2 . Gambaran non epileptiform yang didapat meliputi: 28 subjek dengan perlambatan fokal, 3 subjek perlambatan umum, 5 subjek dengan gelombang trifasik, dan 1 subjek dengan gambaran burst suppression. Prevalensi SENK pada ensefalopati metabolik sebesar 61,8 . Mayoritas subjek dengan diagnosis SENK memiliki derajat SKG 3-8 dan dengan etiologi ensefalopati metabolik multipel.Kesimpulan: Seluruh pasien ensefalopati metabolik ditemukan kelainan EEG. Mayoritas abnormalitas EEG berupa pelambatan fokal. Prevalensi SENK pada ensefalopati metabolik cukup tinggi. Ensefalopati metabolik dengan SENK memiliki SKG yang lebih rendah dan memiliki etiologi lebih dari satu.

ABSTRACT
Background Non Convulsive Status Epileptic NCSE could caused by acute metabolic disorder that indicated by unconsciousness with or without motoric convulsive seizure. EEG abnormality could reflect the severity of brain injury. NCSE among metabolic encephalopathy has not been reported in Indonesia. This study was aimed to find the rate and pattern of EEG abnormality, clinical signs, and prevalence of NCSE in metabolic encephalopathy. Method Cross sectional descriptive study was applied in metabolic encephalopathy patient at emergency room, intensive care unit, and ward Cipto Mangunkusumo National Hospital during August November 2016. Inclusion criteria were 18 years old, diagnosed as encephalopathy metabolic by internist, and underwent the EEG examination. Patient excluded if they had neurologic focal deficit or history of seizure. NCSE was diagnosed by Salzburg criteria.Result Among 34 metabolic encephalpathy subject, the rate of EEG abnormality was 100 . The pattern of abnormality including 41,2 epileptiform and 91,2 non epileptiform pattern. The non epileptiform patten including 28 subject with focal slowing pattern and 3 with general slowing pattern, 5 subject had triphasic wave, and 1 subject had burst suppression. Prevalence of NCSE in metabolic encephalopathy was 61,8 . Majority of NCSE group had Glasgow Coma Scale between 3 8 and caused by multiple metabolic causes. Conclusion Rate of abnormality found in metabolic encephalopathy was 100 . Majority of the abnormality was focal slowing pattern. Prevalence of NCSE in metabolic encephalopathy was high. NCSE group tends to have lower GCS and caused by more than one etiology of encephalopathy. Keywords electroencephalography metabolic encephalopathy non convulsive status epilepticus"
2016
T55594
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nina Halimah Sakdiah
"[Pasien hemodialisis dapat mengalami perubahan yang bisa menjadi suatu stresor pada dirinya. Penelitan ini untuk melihat gambaran psikopatologi pada pasien hemodialisis, merupakan penelitian deskriptif analitik menggunakan rancangan penelitian potong lintang dilakukan terhadap pasien di unit hemodialisis RSCM pada bulan Juli-November 2014 menggunakan kuesioner Symptom Check List 90 (SCL-90). Sebagian besar subyek penelitian menunjukkan adanya gambaran psikopatologi (50.5%) dengan gejala terbanyak adalah depresi, gangguan obsesif kompulsif, fobia, ansietas dan gejala tambahan. Terdapat hubungan antara variabel usia (p 0.028), pendidikan (p 0.008) dan pendapatan (p 0.031) dengan munculnya gejala psikopatologi;Hemodialysis patients can undergo changes that could be a stressor in itself. The study is conducted to see the psychopathology features in patients on hemodialysis. The design of the study was a cross-sectional analytic descriptive study which was conducted on patients in hemodialysis units in RSCM on July-November 2014 using Symptom Checklist 90 (SCL-90) questionnaire. Most of the study subjects showed psychopathology features (50.5%) with the prominent symptoms being depression, obsessive compulsive disorder, phobias, anxiety and additional symptoms. There is a correlation between age (p 0.028), education (p 0.008) and income (p 0.031) variables with psychopathology symptoms, Hemodialysis patients can undergo changes that could be a stressor in itself. The study is conducted to see the psychopathology features in patients on hemodialysis. The design of the study was a cross-sectional analytic descriptive study which was conducted on patients in hemodialysis units in RSCM on July-November 2014 using Symptom Checklist 90 (SCL-90) questionnaire. Most of the study subjects showed psychopathology features (50.5%) with the prominent symptoms being depression, obsessive compulsive disorder, phobias, anxiety and additional symptoms. There is a correlation between age (p 0.028), education (p 0.008) and income (p 0.031) variables with psychopathology symptoms]"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58722
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Hayati
"Anemia didefinisikan sebagai rendahnya kadar hemoglobin di dalam darah. Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar di Indonesia. Dari berbagai etiologi anemia, thalassemia merupakan hemoglobinopati kuantitatif yang diturunkan yang memiliki prevalensi tinggi di negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status hemoglobin pada pasien thalassemia di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta dan hubungannya dengan usia dan jenis kelamin. Sebanyak 640 hasil pemeriksaan darah lengkap diperoleh dari pasien rawat jalan yang menderita thalassemia dari Pusat thalassemia di RSUPNCM pada bulan Mei 2012.
Berdasarkan analisis statistik, ditemukan bahwa hampir seluruh pasien thalassemia yang datang mengalami anemia (638 pasien), dan mayoritas menderita anemia derajat sedang. Ditemukan pula asosiasi antara usia dan derajat anemia ketika membandingkan antara anemia sedang dengan anemia berat. (p = 0.000). Ditemukan pula korelasi negatif (Spearman rho -0.212) antara usia dan kadar hemoglobin (p = 0.000). Namun demikian, tidak ditemukan asosiasi antara jenis kelamin dengan derajat anemia maupun kadar hemoglobin (masing-masing p = 0.196; 0.557). Hasil studi ini memberikan gambaran terkini mengenai status anemia pasien thalassemia dan dapat digunakan dalam memberikan pelayanan terbaik kepada passion thalassemia.

Anemia, defined as a low level of hemoglobin concentration in the blood, is a major public health problem. Among the many causes of anemia, thalassemia, an inherited quantitative hemoglobinopathy, is one that is highly prevalent in south-east Asian countries such as Indonesia. This study aimed to find out the hemoglobin status of thalassemia patients in RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta and its relationship with age and gender. As many as 640 complete blood count results from outpatients previously diagnosed with thalassemia from the hospital?s Thalassemia Center during May 2012 were obtained for analysis. From statistical analyses, we concluded almost all thalassemia patients were anemic (638 patients), most of which experience moderate anemia.
From statistical testing, there proved to be an association between age and severity of anemia when compared between moderate and severe anemia (p = 0.000). A negative correlation (Spearman?s rho -0.212) was seen between age and hemoglobin level (p = 0.000). Meanwhile, no association was found between gender and severity of anemia or hemoglobin level (p = 0.196; 0.557, respectively). The results of this study provide the most recent information on the current status of anemia among thalassemia patients and can be used in the approach towards thalassemia patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Rista Machdalena
"Lansia seringkali mengalami imobilisasi, terutama lansia yang mengalami perawatan di rumah sakit. Konsekuensi negative dari imobilisasi yang menjalani perawatan di rumah sakit adalah penuruanan dalam melakukan aktivitas, dan memperburuk kondisi kognitifnya. penelitian dengan menggunakan desain cross sectional dangan purposive sampel dengan dengan melibatkan 61 responden lansia. Hasil penelitian didapatkan hubungan yang bermakna antara status mobilisasi dengan status fungsional. Status mobilisasi dan status nutrisi juga berperan besar mempengaruhi status fungsional individu lansia. Oleh karena itu, diperlukan adanya diagnosis dini terhadap status mobilisasi dan status nutrisi untuk mencegah menurunnya kemampuan status fungsional lansia sehingga kualitas hidup lansia selama dirawat di rumah sakit meningkat. Selain itu, tersusunnya program mobilisasi secara teratur dan simultan akan meningkatkan kemampuan fungsional lansia selama dirawat di rumah sakit.

The elderly are frequently immobilized, especially the elderly who experience hospitalization. The negative consequences of immobilization during hospitalization are a decrease in activity, and a decrease in cognitive condition. The study used a cross-sectional design with a purposive sample by involving 61 elderly respondents. The results showed a significant relationship between mobilization status and functional status. Mobilization status and nutritional status also have a major role in influencing the functional status of elderly individuals. Based on this, early diagnosis of mobilization status and nutritional status is needed to prevent the decline in the ability of the functional status of the elderly so that the quality of life of the elderly during hospitalization increases. In summary, the establishment of a regular and simultaneous mobilization program will improve the functional ability of the elderly during hospitalization."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cahyo Wibisono
"Kanker adalah proliferasi sel yang abnormal dan berlebihan. Salah satu gejala kanker adalah rasa sakit. Faktor penting dalam mengelola nyeri kanker adalah melakukan nyeri yang akurat penilaian termasuk intensitas, lokasi, durasi, kualitas rasa sakit, dan upaya untuk mengurangi rasa sakit. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi rasa sakit berdasarkan demografi pada kanker pasien di RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan pengambilan sampel berurutan dan diaplikasikan pada 395 sampel, yaitu rekam medis PT pasien kanker di atas usia 17 tahun yang telah dirawat di RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo sejak 2014 hingga 2019. Data dianalisis menggunakan proporsi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase wanita yang mengalami nyeri parah lebih tinggi daripada pria 51,1%. Kelompok usia 41-65 tahun memiliki rasa sakit yang lebih parah daripada kelompok lain dengan 50,6%. Jenis kanker paling menyakitkan yang ditemukan pada kanker leher dan kepala adalah 57,6%. Selagi kanker dengan kelompok stadium 4 memiliki rasa sakit yang lebih tinggi dibandingkan kelompok lain dengan 56,9%. Ini Studi merekomendasikan perlunya pedoman untuk penilaian nyeri, terutama di awal penilaian mengenai durasi, lokasi, dan kualitas nyeri sehingga penilaian nyeri bisa lebih akurat.

Cancer is an abnormal and excessive cell proliferation. One symptom of cancer is pain. Important factors in managing cancer pain are conducting accurate pain assessments including intensity, location, duration, quality of pain, and efforts to reduce pain. This study aims to identify pain based on demographics in cancer patients in Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital. This study used a cross sectional design with sequential sampling and was applied to 395 samples, namely the medical records of PT cancer patients over the age of 17 who had been treated at Dr Cipto Mangunkusumo General Hospital from 2014 to 2019. Data were analyzed using proportions.
The results showed that the percentage of women who experienced severe pain was higher than men 51.1%. The 41-65 year age group had more severe pain than the other group with 50.6%. The most painful type of cancer found in neck and head cancer is 57.6%. While cancers with the stage 4 group had higher pain than other groups with 56.9%. This study recommends the need for guidelines for pain assessment, especially in the initial assessment regarding the duration, location, and quality of pain so that pain assessment can be more accurate.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luthfiyyah Mutsla
"Adanya transisi epidemiologi menjadikan penyakit tidak menular menjadi masalah baru di dunia kesehatan. Kanker leher rahim merupakan salah satunya. Penelitian Globocan tahun 2008 mengungkapkan bahwa kanker leher rahim merupakan kanker kedua penyebab lebih dari 80% kematian pada perempuan yang hidup di negara-negara berkembang. Di Indonesia dilaporkan terdapat 15.000 kasus baru kanker leher rahim pada tiap tahunnya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran dan faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kanker leher rahim di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2012. Penelitian ini dilakukan dengan mengambil data sekunder di bagian rekam medis RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dengan desain studi kasus kontrol dan sampel sebanyak 100 orang masing-masing pada kelompok kasus dan kelompok kontrol.
Faktor-faktor yang diidentifikasi dapat meningkatkan risiko kanker leher rahim adalah umur, tingkat pendidikan, status pekerjaan, usia pertama kali berhubungan seksual, jumlah pasangan seksual, dan paritas. Diketahui bahwa faktor yang paling dominan mempengaruhi kejadian kanker leher rahim di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2012 adalah paritas ≥3 anak (OR = 51,8; 95% CI: 14,53 - 184,67) dan berhubungan seksual pertama kali pada usia <16 tahun (OR = 40,91; 95% CI: 8,96 - 186,81).
Untuk mengurangi kejadian kanker leher rahim diharapkan bagi instansi terkait dapat lebih mengutamakan upaya pelayanan promotif dan preventif dengan meningkatkan cakupan pelayanan deteksi dini kanker leher rahim dan penyuluhan kesehatan mengenai kanker leher rahim yang lebih massal sehingga dapat mencapai semua lapisan masyarakat.

Transition of epidemiology has made a non-communicable diseases becoming the new health problems in the world. Cervical cancer is one of the problems. Globocan study in 2008 have shown that cervical cancer is the second most common cancer that leading causes more than 80% of deaths in women living in developing countries. In Indonesia there are 15.000 new cases of cervical cancer reported each year.
The purpose of this study is to know the prevalence of cervical cancer itself and risk factors that associated with cervical cancer in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, 2012. The research was conducted by taking secondary data on the medical record of RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta with case-control study and the sample size is 100 subjects in the case group and control group, respectively.
Factors that have been identified to increase the risk of cervical cancer are age, education level, employment status, age at first sexual intercourse, number of sexual partners, and parity. It is known that the most dominant factors that affecting the incidence of cervical cancer in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta in 2012 are high parity (≥3) (OR = 51,8; 95% CI: 14,53 – 184,67) and first sexual intercourse at age <16 years (OR = 40,91; 95% CI: 8,96 - 186,81).
To reduce the incidence of cervical cancer the related agencies are expected to be more emphasis on promotive and preventive programs to improve the coverage of early detection of cervical cancer and health education about cervical cancer to be more mass so it can reach to all levels of society.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
S47447
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>