Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 156519 dokumen yang sesuai dengan query
cover
La Ode Zalaluddin Kapege
"Penelitian ini membahas tentang kemerdekaan pers pasca reformasi bebas dan bertanggung jawab dengan menggunakan metode analisis normatif baik dengan pendekatan perundang-undangan dan perbadingan hukum. Bebas dimaksud yaitu pers bebas melakukan aktifitas jurnalistiknya sesuai dengan kaidah UU Pers, UU Penyiaran dan kode etik jurnalistik. Tanggung jawab yaitu kewenangan pemerintah mengawasi kemerdekaan pers salah satunya hak atas privasi. Lahirnya UU ITE salah satu kebijakan untuk melindungi hak atas privasi. Namun kehadirannya justru menghambat kebebasan pers dalam menyampaikan informasi khususnya terhadap aktifitas pejabat publik dan informasi publik yang menyimpang dan melanggar hukum. Dalam pasal 26 ayat (3) penghapusan informasi tidak relevan di pengadilan, pasal 27 ayat (3) sanksi pidana terhadap setiap orang dengan sengaja mendistribusikan, mentransmisikan dan membuat dapat diakses informasi memuat tentang pencemaran nama baik, dan pasal 40 ayat (2b) kewenangan pemerintah dan penyelenggara sistem elektronik melakukan pencabutan akses informasi dan/atau dokumen elektronik memuat unsur melanggar hukum. Ketiga pasal tersebut memuat tentang pencemaran nama baik. Akibatnya pers yang mempunyai kewenangan menyiarkan informasi yang berkaitan dengan pencemaran nama baik dengan mengacu pada pasal 5 ayat (3) dan pasal 2 dan 9 kode etik jurnalistik akan sangat rentan terkena UU ITE. Walau demikian pers juga harus mempunyai batasan yang tidak diskriminatif dalam menyampaikan informasi pribadi agar informasi tersebut tidak disampaikan secara sensasional dan hanya mengharapkan keuntungan. Olehnya itu penulis memberikan saran memperjelas kedudukan UU Pers sebagai lex spesialis dan memperkuat kewenangan Dewan Pers melakukan pencabutan informasi melanggar hak atas privasi yang bersifat sensasional dan hanya mencari keuntungan.

This research discusses the freedom of the press after free and responsible reform using normative analysis methods with both a statutory and comparative legal approach. Free means that the press is free to carry out its journalistic activities in accordance with the rules of the Press Law, the Broadcasting Law and the journalistic code of ethics. Responsibility, namely the government's authority to oversee press freedom, one of which is the right to privacy. The enactment of the ITE Law is a policy to protect the right to privacy. However, its presence actually hinders press freedom in conveying information, especially on the activities of public officials and public information that deviate and violate the law. In article 26 paragraph (3) the elimination of irrelevant information in court, article 27 paragraph (3) criminal sanctions against everyone deliberately distributing, transmitting and making accessible information containing defamation, and article 40 paragraph (2b) government authority and the electronic system operator shall revoke access to information and / or electronic documents containing elements of violating the law. The three articles contain defamation. As a result, the press which has the authority to broadcast information related to defamation with reference to article 5 paragraph (3) and articles 2 and 9 of the journalistic code of ethics will be very vulnerable to being exposed to the ITE Law. However, the press must also have non-discriminatory limits in conveying personal information so that the information is not conveyed sensationally and only hopes for profit. Therefore, the authors provide suggestions to clarify the position of the Press Law as a lex specialist and strengthen the authority of the Press Council to revoke information that violates the right to privacy which is sensational in nature and only seeks profit"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Robby Permana Amri
"Hak dari pers untuk menyatakan pendapatnya secara bebas namun hal itu harus dihubungkan dengan hak publik untuk mendapat pelayanan dengan menerima suatu pemberitaan yang fair dan benar, agar publik dapat mengadakan suatu penilaian yang sehat tentang persoalan-persoalan umum yang dihadapi. Di pihak lain, kebebasan pers menimbulkan persoalan krusial tentang sejauh mana dapat diterimanya pembatasan (restriksi) terhadap kebebasan pers menjadi suatu pertentangan antara prinsip kebebasan pers dengan prinsip persamaan didepan hukum serta prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum, apakah akan dianut kebebasan pers secara murni ataukah pers yang akan tetap berada dalam batasan positif. Indikasinya banyak kasus yang bermunculan dan diajukan ke tingkat peradilan formal yang pada intinya berhadapan dengan insan pers terkait dengan kasus-kasus penghinaan. Delik penghinaan adalah delik aduan, oleh karena itu pada umumnya hanya bisa dituntut apabila ada pengaduan dan orang yang merasa dirugikan, dalam penegakan hukum kasus penghinaan melalui pemberitaan media massa, seringkali menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai dasar hukum untuk menyelesaikan kasus tersebut. Sedangkan di sisi lain, masih terdapat cara yang dapat ditempuh selain menggunakan KUHP, yaitu dengan menggunakan Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, yang didalamnya mengatur mengenai penegakkan hukum atas kasus penghinaan di media massa dengan cara memberikan hak jawab, hak koreksi dan mediasi melalui dewan pers. pengaduan ke dewan pers dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda pertama ini menunjukkan peningkatan kesadaran berbagai pihak untuk menyelesaikan masalah-masalah pemberitaan media dan penegakan kode etik jurnalistik dengan menggunakan mekanisme sebagaimana diatur dalam UU pers dan kode etik jurnalistik. Dengan kata lain dapat dilihat sebagai peningkatan kesadaran berbagai pihak untuk menyelesaikan sengketa pemberitaan melalui dewan pers, dan bukan melalui jalur hukum pidana atau hukum perdata. Kedua, banyaknya pengaduan ke dewan pers menunjukkan bahwa ada banyak masalah dengan jurnalisme kita, ada banyak masalah dalam proses penegakkan kode etik jurnalistik. Dengan indikator banyaknya pengaduan ke dewan pers menunjukkan banyaknya pelanggaran yang dilakukan media dan banyaknya pihak yang merasa dirugikan olehnya.

The presses serve the right to express their opinions freely, but it must be connected with the public's right to services to receive fair and true reports, so that the public may hold a sound judgment on issues commonly encountered. On the other hand, freedom of the press raises crucial issues about the extent to which restrictions on freedom of the press is acceptable become conflict between the principle of press freedom and the principle of equality before the law and the principles of a democratic state based on the law, whether pure freedom of the press or press which will remain in positive limits will be adopted. The indications are many cases that have sprung up and been brought to the level of formal trial and essentially they are dealing with the press in defamation (libel) cases. Offense of defamation is a crime by complaint; therefore, in general, it can only be prosecuted if there is a complaint and person who felt aggrieved. Defamation cases through mass media are often enforced using the Criminal Code as the legal basis for settling the cases. While on the other hand, there are ways that can be taken in addition to using the Criminal Code, namely by using the Law No. 40 of 1999 regarding the Press, which also regulates the law enforcement on defamation through mass media by providing the right to reply, the right to correct and mediation through the press council. The complaint to the press council can be seen from two different sides. First, it shows increased awareness of various parties to resolve the problems of media publication and enforcement of journalistic ethics by using the mechanisms as provided in the Law regarding the press and journalistic ethics. In the other words, it can be seen as increased awareness of various parties to resolve publication disputes through the press council, and not through the criminal law or the civil law. Second, many complaints to the press council shows that there are many problems with our journalism; there are many problems in the process of enforcement of journalistic ethics. Many complaints to the press council indicated that there many offenses committed by mass media and there are many parties who feel aggrieved by them."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35540
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zen Teguh Triwibowo
"Jaminan terhadap kemerdekaan pers sebagaimana tertuang dalam konstitusi dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak serta-merta menempatkan pers dalam ruang kebebasan seutuhnya untuk menjalankan tugas jurnalistik. Pers tetap dihadapkan pada ancaman, baik dari luar maupun internal. Salah satu bentuk ancaman kemerdekaan pers itu keberatan dari pihak yang merasa dirugikan atas suatu pemberitaan dan mengajukannnya ke pengadilan. Undang-Undang Pers menyebutkan, sengketa pemberitaan dapat diselesaikan dengan mekanisme hak jawab ataupun hak koreksi. Jika hal itu tidak terpenuhi, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengadukan ke Dewan Pers untuk dicarikan jalan penyelesaian. Pada praktiknya, sejumlah pihak itu tidak hanya mempersoalkan Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik, tapi juga menyertakan dalil perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Dewan Pers sesuai Undang-Undang Pers hanya bertugas untuk menyelesaikan persolan etik. Adapun dalil perbuatan melawan hukum lazimnya tidak menjadi objek pembahasan khusus dalam penyelesaian sengketa itu. Hal ini sering menjadi masalah ketika akhirnya mengadu tetap melanjutkan kasus tersebut ke pengadilan.

Guarantee the freedom of the press as stipulated in the Constitution and Act No.40 of 1999 on the Press (Indonesia Press Law) does not necessarily put the press in a room full freedom to carry out journalistic duties. The press remains faced with threats, both external (public) and internal (the press). One form of threats that press freedom is an objection from the parties who feel aggrieved over a reporting and take it to the court. Indonesia Press Law outlines that the dispute
can be resolved with the mechanisms news right of reply or the right of correction. If it is not met then the party who feels aggrieved can complain to the Press Council to find a way to completion. In practice, a number of parties who filed an objection against the press coverage was not only questioned the breach of the Press Law and the Code of Ethics of Journalism, but also included the argument of tort. News was considered against the law, but because it does not
adhere to the principles of journalism, also made without regard to decency, accuracy, and prudence. Press Council mandate granted by the Press Law only served to resolve the question of ethics. As for the argument of tort usually not is the object of specific discussion in the resolution of the dispute. This is often a problem when finally pitted continue the case to court.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T46283
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Ester Helena
"Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memberi dampak pada perubahan sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lain dalam masyarakat. Hal ini juga mengakibatkan munculnya jenis kejahatan baru berupa cybercrime. Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dibentuk menjadi pengaturan terkait tindak pidana dalam bidang teknologi informasi. UU ITE ini pun turut mengatur mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik yang dirumuskan dalam Pasal 27 ayat (3). Pasal 310 dan 311 KUHP menjadi genus delict dari pasal penghinaan dalam UU ITE ini. Namun dalam perumusannya tidak disebutkan unsur penghinaan atau pencemaran nama baik yang dilakukan demi kepentingan umum atau membela diri. Selain itu, batasan terhadap alasan pembenar dalam kasus penghinaan atau pencemaran nama baik sesuai Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak jelas. Sebagai bentuk delik dikualifikasi, Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak perlu menyatakan secara eksplisit unsur dalam genus delict-nya, unsur tersebut berlaku dan dapat diterapkan dalam ketentuan di UU ITE. Alasan pembenar berupa kepentingan umum dimengerti bahwa pelaku memang secara jelas dan tegas menuduhkan sesuatu yang benar adanya supaya masyarakat umum dapat waspada terhadap oknum yang dicemarkan itu. Pembelaan diri berdasarkan Pasal 310 ayat (3) tersebut dapat dikategorikan sebagai noodweer dan juga noodtoestand, sehingga menurut Van Hamel lebih tepat digunakan istilah “noodzakelijke verdediging”.

Development of information and communication technology has an impact on changes in social, economic, cultural, and other aspect of society. This has also resulted in the emergence of a new type of crime in the form of cybercrime. Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions (UU ITE) which was later changed to Law Number 19 of 2016 concerning amendments to Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions (UU ITE) was formed into related regulations criminal acts in the field of information technology. Information and Electronic Transaction Act also regulates insults or defamation which is formulated in Article 27 paragraph (3). Articles 310 and 311 of the Criminal Code are the delict genus of the insulting articles in this Information and Electronic Transaction Act. However, the formulation does not mention elements of insult or defamation carried out in the public interest or in self-defense. In addition, the limits on justification in cases of insult or defamation according to Article 27 paragraph (3) of the Information and Electronic Transaction Act are not clear. As a form of qualifying offense, Article 27 paragraph (3) of the Information and Electronic Transaction Act does not need to explicitly state the elements in the genus of the offense, these elements are valid and can be applied in the provisions of the Information and Electronic Transaction Act. The justification in the form of public interest is understood that the perpetrator has clearly and unequivocally accused something that is true so that the public can be wary of the libelous person. Self-defense based on Article 310 paragraph (3) can be categorized as noodweer and also noodtoestand, so according to Van Hamel it is more appropriate to use the term "noodzakelijke verdediging"."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurmala Sari
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang pertanggungjawaban pers media cetak terhadap
pemberitaan yang berindikasi adanya delik pencemaran nama baik ditinjau dari
UU Pers dan KUHP, hak jawab yang dilakukan oleh pers media cetak, dan
pemberitaan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap asas praduga
tidak bersalah. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis
normatif yang bersumber pada bahan pustaka atau data-data sekunder dan
wawancara terhadap narasumber sebagai penunjang data sekunder.
Pertanggungjawaban pers menurut hukum positif di Indonesia terdapat dua
sistem yaitu sistem KUHP dan UU Pers. KUHP menganut sistem
pertanggungjawaban penyertaan dan sistem menurut UU Pers dapat dilihat
berdasarkan UU lama dan baru. Berdasarkan UU lama yaitu UU nomor 11 tahun
1966 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 tahun 1967 dan UU No. 21
tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, menganut sistem
pertanggungjawaban fiktif dan successif (urutan atau air terjun (water fall
system)), sedangkan berdasarkan UU baru yaitu UU nomor 40 tahun 1999
tentang Pers, memakai sistem pertanggungjawaban fiktif yang menempatkan
bidang usaha dan bidang redaksi yang akan bertanggungjawab bila terjadi tindak
pidana pers. Cara penyelesaian terhadap pemberitaan yang mencemarkan nama
baik dapat dilakukan dengan menggunakan Lembaga Hak Jawab sebagaimana
diatur dalam pasal 15a UU No. 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pers dan Pasal 5 ayat (2) UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers serta Pasal
11 Kode Etik Jurnalistik. Terhadap efektifitas hak jawab ini terdapat dua
pandangan berbeda, pendapat pertama menyatakan Hak Jawab sifatnya alternatif,
artinya walaupun Hak Jawab tidak digunakan namun pihak yang dirugikan tetap
tidak kehilangan haknya untuk melakukan tuntutan pidana maupun perdata.
Pendapat kedua menyatakan hak jawab wajib digunakan sebelum mengajukan
tuntutan atau gugatannya kepengadilan karena hak menggugat belum muncul
sebelum dilaksanakannya hak jawab. Dalam pers, asas praduga tidak bersalah
bermakna tidak boleh menghakimi dalam semua kasus pemberitaan. Pers tidak
boleh menyatakan seseorang bersalah sebelum ada keputusan pengadilan yang
tetap. Kewenangan pers dalam hal ini hanyalah terbatas pada penyampaian fakta
atau kenyataan bahwa “menurut pengadilan” orang tersebut bersalah, namun
stempel kesalahannya sendiri bukanlah dari pers.

ABSTRACT
This thesis discusses the responsibility of the news print media press that
indicated the existence of the offense libel in terms of the Press Law and the
Penal Code, the right of reply a made by the print press and news which can be
categorized as a violation of the presumption of innocence. The research method
used is normative which is based on library materials or secondary data and
interviews of the informant as supporting secondary data. Responsibility the press
by positive law in Indonesia, there are two systems, namely systems Penal Code
and the Press Law. Penal Code adopts the inclusion and responsibility systems
under the Press Law can be seen by the old and new law. Under the old law,
namely Law number. 11 of 1966 as amended by Act number. 4 of 1967 and Law
number. 21 of 1982 on Basic Provisions of Press, is adopting a fictitious
responsibility and successif (sequence or waterfall (water fall system)), while the
new law is based on Law number 40 of 1999 on Press, using fictitious
responsibility system that puts the field business and editorial fields that will be
responsible in the event of criminal offenses committed by the press. How
resolution against libel can be performed using Right of Reply Institutions as
stipulated in article 15a of Law number. 21 of 1982 on Basic Provisions of Press
and Article 5, paragraph (2) of Law number. 40 of 1999 on Press and Article 11
of the Code of Journalistic Ethics. The effectiveness of the right of reply, there
are two different views,The first opinion expressed Right of Reply of its
alternatives, meaning that although the Right of Reply is not used, but the injured
party still does not lose its right to conduct criminal or civil charges. The second
opinion states the right of reply shall be used before submitting a claim or lawsuit
to court for the right to sue has not appeared before the implementation of the
right of reply. In press the presumption of innocence means should not be judge
in all cases of the news. Press should not declare someone guilty before a court
decision remains. The authority of press in this case is limited to the submission
of the fact or the fact that "according to the court" the person is guilty, but the
stamp itself is not the fault of press"
2013
T33743
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Tondi Nikita
"Penelitian ini akan membahas mengenai perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Pers khususnya mengenai tindakan pencemaran nama baik dalam pemberitaan yang dilakukan oleh Pers. Peneliti dalam penelitian ini akan melakukan analisis melalui aspek kebebasan pers dan filosofi Pers itu sendiri. Selain itu, Penulis akan menjelaskan mengenai prosedur yang harus ditempuh untuk menyelesaikan sengketa ataupun perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Pers baik dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU Pers, KUHPerdata dan peraturan perundang-undangan lainnya. Lebih jauh, Penulis akan menjelaskan mengenai penerapan Pasal 1372 dan 1365 KUHPerdata dalam gugatan pencemaran nama baik/fitnah yang dilakukan oleh Pers dan kaitannya dengan penggunaan hak jawab.

This research will discuss the unlawful act committed by the press, especially regarding defamation in the news carried out by the Press. Researchers in this study will conduct the analysis through the aspect of freedom of the press and the philosophy of Press itself. In addition to that, the author will explain the procedures that must be taken to resolve the dispute or unlawful act committed by the Press either by the provisions stipulated in the Law on the Press, the Civil Code and other legislations. Furthermore, the author will explain the application of Articles 1372 and 1365 of the Civil Code in a libel suit / slander conducted by the Press and its relation to the use of the right of reply (Hak Jawab)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S57272
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Jufri
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang batasan-batasan suatu perbuatan pencemaran nama
baik dapat dikategorikan masuk dalam delik pers dan batasan-batasan suatu
perbuatan pencemaran nama baik dapat dikategorikan masuk dalam delik KUHP,
faktor-faktor yang menjadi pembeda suatu perbuatan pencemaran nama baik
dikategorikan masuk dalam delik pers atau dikategorikan masuk dalam delik
KUHP serta penegak hukum dalam hal ini Mahkamah Agung RI mengukur suatu
peristiwa pencemaran nama baik oleh pers sebagai suatu tindak pidana. Penelitian
yang dilakukan sifatnya yuridis normatif yaitu penelitian berdasarkan sumber data
sekunder yang meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, dengan
pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual
(conceptual approach), serta metode penelitian kepustakaan dan penelitian
empiris. Mengenai data yang diperoleh, yaitu data dari Mahkamah Agung RI
dianalisa dan disajikan secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa batasan-batasan suatu perbuatan pencemaran nama baik dapat
dikategorikan masuk dalam delik pers diantaranya melanggar beberapa pasal
tentang pencemaran nama baik dalam KUHP dan informasi yang diketahui umum
merupakan pernyataan pikiran atau perasaan pelaku sehingga bertentangan
dengan peran dan fungsi pers serta kode etik jurnalistik, sedangkan batasanbatasan
suatu perbuatan pencemaran nama baik dapat dikategorikan masuk dalam
delik KUHP diantaranya perbuatan melanggar pasal tentang pencemaran nama
baik dalam KUHP, informasi yang diketahui umum merupakan pernyataan
pikiran atau perasaan pelaku namun tidak berkaitan dengan peran dan fungsi pers
serta kode etik jurnalistik. Salah satu faktor yang menjadi pembeda suatu
perbuatan pencemaran nama baik dikategorikan masuk dalam delik pers atau
dikategorikan masuk dalam delik KUHP adalah terletak pada metode
penyelesaian setelah terjadinya perbuatan. Sedangkan Mahkamah Agung RI
mengukur suatu peristiwa pencemaran nama baik oleh pers sebagai suatu tindak
pidana dengan mengeluarkan Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2008 tentang
Meminta Keterangan Saksi Ahli.

ABSTRACT
This thesis is discuss about the limitations of a defamation action which can be
categorized into the press offenses and the limits of a defamation action can be
categorized into KUHP offenses, the factors that made the difference a defamation
action categorized into the press offenses or KUHP offenses as well as law
enforcement in this case the Supreme Court measure a defamation event by the
press as a criminal offense. This thesis is conducted by normative juridis which
based on secondary data source that is including primary legal materials,
secondary, and tertiary, with the approach of legislation (statute approach) and the
conceptual approach, as well as the method of literature research and empirical
research. Regarding the data which acquired from the Supreme Court analyzed
and presented in descriptive qualitative. The results shows that the limitations of a
defamation action can be categorized into the press offenses such as violating
several articles about defamation in the KUHP and the information known by
public is constitute state of mind or feelings is so contrary to the role of the
offender and the function of the press and journalistic ethics , while the limits of a
defamation action can be categorized into KUHP offenses of which actions
violated article about defamation in the, KUHP commonly known information by
public is a state of mind or feelings of the offender, but not related to the role and
function of the press as well as the code of ethics journalism. One factor that made
the difference a defamation action categorized into the press offenses or KUHP
offenses is located on the method of completion after the act. While the Supreme
Court measure an event defamation by the press as a crime by issuing Circular
No. 13 year 2008 regarding Request The Expert Witness Testimony."
2013
T33737
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedy Efrizal
"Setelah dibentuknya UU. No. 40 Tabun 1999 tentang Pers, pemberlakuan delik pers menurut KUHP terhadap pers ternyata tidak lagi disepakati oleh sebagian kalangan terutama pers, karena dianggap bertentangan dengan asas lex specialis derogar lex generalis. Untuk menelusuri persepsi lex specialis terhadap UU Pers tersebut, permasalahan yang penulis ajukan tertuju pada tiga hal, yaitu berkaitan dengan pengkonstruksian delik-delik terhadap pers menurut UU Pers yang dihubungkan dengan asas legalitas dan asas lex specialis derogal lex generalis, kemudian sistim pertanggung jawaban pidana pers yang hams dibangun, dan terakhir mengenai pertimbangan hukum yang diambil oleh hakim dalam menentukan hokum terhadap pers.
Untuk rnenjawab ketiga permasalahan tersebut, penelitian yang dilakukan menggunakan pendekatan metode penelitian normatif yuridis. Sedangkan mengenai bahan ataupun data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder, berupa bahan hokum primer (peraturan perundang-undangan dan sebuah kasus pidana pers pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan), bahan hukum sekunder (literatur mengenai hukum pidana materiil dan hukum pers) dan bahan hukum tarsier (bibiliografi dan kamus). Untuk memperoleb data sekunder tersebut, alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dan studi dokumen (kasus). Dalam penyajian dan analisa data, hal itu dilakukan secara deskriptif kualitatif, artinya materi pembahasan yang dituangkan dalam penulisan ini akan dikonstruksikan kedalam suatu uraian analisa hukum.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, kesimpulan yang penulis peroleh terdiri atas tiga bagian. Pertama, konstruksi delik pets yang tercanturn dalam UU Pers ternyata tidak dimaksudkan untuk menghapuskan ataupun untuk menarik delik pers menurut KUHP kedalam UU Pers. Tetapi delik pers menurut UU Pers merupakan delik yang ditujukan pada perusahaan pets dan terbatas pada lima jenis delik pers. Sehingga delik pers menurut KUHP tetap berlaku bagi pers. Delik yang memang dapat dikatakan sebagai lex specialis terletak dalam gabungan pelanggaran norma, atau suatu pemberitaan pers itu baru dapat dituntut jika isinya secara keseluruhan melanggar norma agama, rasa kesusilaan dan asas praduga tidak bersalah.
Kedua, sistim pertanggung jawaban pers merupakan bentuk pertanggung jawaban korporasi. Dalam pertanggung jawaban pidananya, korporasi akan diwakili oleh penanggung jawab bidang redaksi dan bidang usaha. Sedangkan untuk pertanggung jawaban personal, konstruksinya ditempuh berdasarkan asas penyertaan dalam KUHP. Ketiga, dalam menentukan hukum terhadap pers, ternyata UU Pers memang turut dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam menentukan hukum terhadap pers. Khususnya dalam hal norma delik dan pertanggung jawaban pers. Dalam putusannya, ternyata haldm tetap menerapkan delik pers menurut KUHP, karena unsur deliknya telah terpenuhi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T19191
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabilla Arsyafira
"ABSTRAK
Keserasian antara kebebasan dan ketertiban sebagai suatu antinomi atau pasangan nilai dibutuhkan untuk mencapai kedamaian sebagai salah satu tujuan hukum. Harmoni kedua nilai tersebut di alam demokrasi negara hukum Indonesia dapat diupayakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga yang berwenang membentuk hukum, yang di antaranya mengatur kemerdekaan pers sebagai elemen penting demokrasi. Dalam rangka memperoleh keserasian yang dimaksud, adakalanya kemerdekaan pers harus dibatasi untuk mencegah ekses kebebasan. Kemerdekaan pers sebagai wujud hak asasi manusia mensyaratkan pembatasan hukum yang sesuai dengan kaidah hak asasi manusia dan konstitusi, di antaranya dibutuhkan untuk memenuhi tujuan-tujuan absah tertentu necessary for a legitimate aim, seperti untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain, dan tanpa merusak esensi hak. Berdasarkan hasil penelitian, pengaturan kemerdekaan pers di Indonesia oleh hukum positif yang berlaku telah cukup menyelaraskan nilai-nilai kebebasan dan ketertiban dalam aspek pembatasan peliputan, aksesibilitas informasi publik, independensi lembaga regulasi pers, keleluasaan partisipasi pers oleh swasta, dan kebebasan aktivitas jurnalistik. Sedangkan porsi nilai kebebasan masih belum dapat bersanding secara ideal dengan nilai ketertiban dalam aspek jaminan konstitusional kemerdekaan pers dan kemerdekaan berekspresi dan konsekuensi atas pencemaran nama baik pejabat atau negara. Untuk mengusahakan keselarasan nilai-nilai kebebasan dan ketertiban yang lebih menyeluruh dalam menegakkan kemerdekaan pers, diajukan saran untuk melakukan reformasi legislasi demi meminimalisasi kriminalisasi pers dan mempertegas rumusan jaminan konstitusional bagi kemerdekaan pers untuk mencegah penyelewengan terhadapnya.

ABSTRACT
The consonance of freedom and order as an antinomy or a pair of values is imperative to achieve peace as one of the objectives of law. The harmony between the two values in the realm of democracy that is occupied by Indonesia as a state that abides to the rule of law can be acquired by the Peoples Consultative Assembly through its legislative capacity, which governs, among others, press freedom as a crucial element to democracy. To obtain said consonance, press freedom may sometimes need to be limited in order to prevent an excess of freedom. Inasmuch as press freedom is a manifestation of human rights, legal restrictions upon it must be imposed according to the conditions prescribed by human rights principles and the constitution, namely a justified necessity to accomplish a legitimate aim, such as to protect the rights and freedoms of others, and the exclusion of restrictions jeopardizing the essence of the right concerned. This research finds that the legal regulation of press freedom in Indonesia has rather succeeded in harmonizing the two aforementioned values in the aspects of reporting restrictions, public information accessibility, independence of the press regulatory body, press participation of private parties, and freedom of journalism activities. On the other side, order is more dominant than freedom in the aspects of existing constitutional guarantee for press freedom and freedom of expression and penalties for libelling officials or the state. Finally, a reassessment of the current constitutional guarantee for press freedom and a legislative reform aimed at minimizing press criminalization may prove to be effective in facilitating a more holistic coherence between freedom and order in the preservation of press freedom."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Supriyono B. Sumbogo
"Indonesia is dangerous country to journalist. Vertical and horizontal conflict which still happened in this state bring to comer journalist. Defeated Daily journalist of Bernas daily from Yogyakarta, Udin, before reform era in year 1996, civil war ini Timor East October 1999 or defeated RCTI Ersa Siregar journalist in Aceh, becoming black sheet in Indonesia journalistic world.
Attendance of Undang-Undang Nomor.40/1999 Tentang Pers, which for example meant to arrange mechanism of solving of dispute between mass media with source of news, do not have spur. Source of more opting news go through band punish as according to Criminal Code (KUHP) or Civil Code (KUHPerdata) with accusation denigrated, affronting, or harming materially. Source of news may even exist which play judge alone, than using rights answer or have recourse Council Mass media to finish case Though, rights answer and mediasi by Council Mass media more suggested by Law Mass media. But the source of news which feel getting disadvantage by news usually assume usage of insufficient answer rights to indemnify or cure good name.
Biggest threat is society which not yet ready to or not yet comprehended liberty of the press. Because, to come the envisioned democratic atmosphere is not easy. Various aspiration and importance each other impinging bearing hardness network in the middle of society, both for conducted by police, military, functioner, or mass premanisme actions, what it is true have been started since before reform spandrel opened. At reform era, threat of a kind come from individual, including state officer, and society group in is multifarious of pressure form or hardness to media and journalist.
Alliance Journalist Indonesia (AJI) indicate that at period 1 January till 15 May 2000 happened 43 hardness case to journalist, both for conducted by society, police, military, or governmental functionaly. Koalisi Antikekerasan note even also do not far differ from AJI note. At least in range of time 365 day commencing from 3 May 2000 up to 3 May 2001 have happened 118 wounded case of liberty of the press.
Asian Note South East of Press Alliance ( SEAPA) mention that in the year 2000 hardness case to tired journalist of number 147 case, year 2001 going down to become 97 case, and go down again become 72 case in the year 2002, and in the early July 2003 only 54 case along the happening of military conflict in Nanggroe Acheh Darussalam ( NAD). Whereas, AJI note happened 27 violences to journalist in the year 2004. For the year of 2005 there is no data which can be made guidance. But, hardness to mass media remain to happen in a number of place.
On the contrary, Indonesia mass media even also like to fish guest speaker dander. Moment resource person answer " comment no", for example, this words interpreted as confession and approval. Method journalistic demand to be mass media report on by fair, cover both sides, well-balancedly, and fair and continue to side wide of importance, is frequently disregarded. Scorpion happened various riot action, violence, and badness, mass media is even also alleged as hardness agent. Thereby, mass media not merely as hardness victim, good hardness physical and also non physical, but also act as hardness perpetrator."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T22592
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>