Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 131737 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arimansyah
"Tesis ini menganalisis mengenai Singapore Convention on Mediation yang merupakan solusi bagi beberapa pihak yang tidak memilih penyelesaian sengketa perdagangan internasional melalui mediasi karena tidak memiliki kekuatan legitimasi internasional. Konvensi ini diterbitkan oleh UNCITRAL pada tanggal 7 Agustus 2019 dan secara resmi diberlakukan terhitung tanggal 12 September 2020. Dalam perkembangannya, konvensi ini semakin diminati dalam upaya sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang sampai saat ini masih belum sepenuhnya mengakomodasi kebutuhan untuk menyelesaikan sengketa secara cepat, sederhana, dan biaya ringan. Mengingat konvensi ini baru saja disepakati dan belum diterapkan secara efektif oleh negara-negara lain, dan untuk itu, dalam penelitian ini akan dibahas mengenai pertimbangan-pertimbangan Indonesia dalam menentukan sikap keikutsertaan dalam konvensi ini sebagai solusi penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif. Singapore Convention on Mediation adalah salah satu upaya untuk meningkatkan Ease of Doing Business (EODB) di Indonesia, namun tetap harus mempertimbangkan apakah proses aksesi dibutuhkan oleh negara Indonesia, atau merupakan kepentingan negara lain untuk memudahkan proses eksekusi dari kesepakatan hasil mediasi yang dilakukan di luar negara Indonesia.

This thesis discusses the Singapore Convention on Mediation which is a solution for some parties who do not choose to settle international trade disputes through mediation because they do not have the power of international legitimacy. This convention was published by UNCITRAL on 7 August 2019 and officially entered into force on 12 September 2020. In its development, this convention is increasingly in demand as an alternative to out-of-court dispute resolution which until now has not fully accommodated the need to resolve disputes quickly, simple, and low cost. Considering that this convention has just been agreed upon and has not been effectively implemented by other countries, and for that, this research will discuss Indonesia's considerations in determining its participation in this convention as an effective and efficient dispute resolution solution. The research method used is normative juridical research. The Singapore Convention on Mediation is one of the efforts to increase the Ease of Doing Business (EODB) in Indonesia, but still has to consider whether the accession process is required by the Indonesian state, or is in the interest of other countries to facilitate the execution process of the mediation result agreement conducted outside the Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alda Leony Winarto
"Meningkatnya kegiatan bisnis lintas batas negara telah memungkinkan para pelaku usaha untuk menyelesaikan sengketa selain dengan menempuh jalur hukum di pengadilan nasional salah satu negara asal para pihak. Litigasi dianggap memakan waktu dan biaya, yang merupakan faktor penghambat dalam menjalankan bisnis, di mana efisiensi sangat dijunjung tinggi. Atas alasan ini, metode lain untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan telah diusahakan, yaitu melalui proses yang dikenal sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Arbitrase dan mdiasi adalah contoh bentuk dari APS yang paling umum. Tidak seperti arbitrase, mediasi belum menerima pengakuan dan pelaksanaan internasional yang sama dengan putusan arbitrase asing. Namun, baru-baru ini, Konvensi Mediasi Singapura telah berlaku.
Skripsi ini bertujuan untuk meneliti kemungkinan tantangan pada penerapan Konvensi Mediasi Singapura di lima negara, yaitu Singapura, Kerjaan Saudi Arabia, Republik Rakyat Tiongkok, Korea Selatan dan India, yang telah meratifikasi atau menandatangani konvensi tersebut. Kelima negara ini akan dibandingkan dengan Indonesia untuk melihat apakah Indonesia akan menghadapi tantangan serupa. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis-normatif disertai dengan studi literatur untuk mengkaji hukum domestik masing-masing negara.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa hingga saat ini belum ada urgensi bagi Indonesia untuk meratifikasi konvensi tersebut. Terlepas dari manfaat yang ditawarkan oleh Konvensi Mediasi Singapura, akan lebih baik bagi Indonesia untuk mengkaji undang-undang mediasi yang berlaku saat ini sekaligus meningkatkan kesadaran mediasi sebagai salah satu APS di kalangan pelaku usaha dan praktisi hukum.

The increasing cross-border business activities have allowed business actors to settle their disputes aside from litigating in the national courts of one of the parties' home countries. Litigation is perceived as time-consuming and costly, which are impeding factors in conducting business where efficiency is highly valued. For these reasons, other means to settle the dispute outside court are attempted, a process known as Alternative Dispute Resolution (ADR). Arbitration and mediation are examples of the most common forms of ADR. Unlike arbitration, mediation has not received the same international recognition and enforceability as a foreign arbitral award. However, recently, the Singapore Convention on Mediation came into force.
This thesis aims to analyze the possible challenges of implementing the Singapore Convention on Mediation in five states, namely, Singapore, the Kingdom of Saudi Arabia, the People's Republic of China, South Korea, and India, which have either ratified or signed the convention. These five countries will be compared to Indonesia to see whether Indonesia may face similar challenges. The author uses a juridical-normative research method accompanied by a literature study to examine each state's domestic law.
The research concludes that, as of currently, there is no urgency for Indonesia to ratify the convention. Despite the benefits that the Singapore Convention on Mediation offers, Indonesia should review its current law on mediation and simultaneously increase the awareness of mediation as an ADR among business actors and legal practitioners.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jaya Ahmad Nurjaman
"Penelitian ini membahas mengenai Badan Banding WTO (WTO's Appellate Body/AB) yang hingga saat ini sedang tidak beroprasi seperti biasanya. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) Dispute Settlement Understanding (DSU) menyatakan bahwa jumlah anggota Badan Banding terdiri dari 7 orang anggota. Namun, sejak Juli 2018, anggota Badan Banding hanya tersisa 4 orang anggota, dimana 3 dari 4 anggota tersisa telah habis masa jabatannya di tahun 2019. Hal ini menyebabkan pemenuhan jumlah quorum dalam Badan Banding yang memerlukan 3 orang anggota dari 7 orang anggota Badan Banding tidak terisi, dikarenakan Badan Banding hanya menyisakan 1 orang anggota. Keadaan Badan Banding yang hanya tinggal 1 anggota mengakibatkan Badan Banding tidak berkapasitas untuk mendengarkan, memeriksa dan membuat Laporan Banding. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat Deskriftif-Analisis, dengan metode pendekatan Yuridis-Normatif. Hasil penelitian yang di dapat adalah Negara-negara anggota yang bersengketa dapat membawa Laporan Panel ke Badan Banding terlebih dahulu sebelum Badan Penyelesaian Sengketa WTO (WTO's Dispute Settlement Body/DSB) mengeluarkan keputusan dan rekomendasi. Situasi yang tidak kondusif pada Badan Banding sebagai lembaga pengadilan tingkat banding di WTO saat ini bisa saja dihindari oleh Negara-negara anggota yang sedang bersengketa dengan cara tidak dipergunakannya Badan Banding. Namun keadaan ini menimbulkan rasa khawatir dari Negara-negara anggota, baik terhadap penyelesaian sengketa-sengketa dagang yang saat ini sedang berproses, maupun terhadap perkembangan sistem penyelesaian sengketa perdagangan WTO kedepan. Kekhawatiran tersebut dikarenakan tanpa berfungsinya Badan Banding, Negara-negara anggota yang sedang bersengketa kesulitan untuk dapat memperoleh hasil yang adil sesuai aturan WTO. Maka, beberapa Negara anggota WTO sepakat untuk membentuk Badan Banding Sementara yang didasarkan pada sistem Arbitrase WTO sesuai ketentuan Pasal 25 DSU. Pereplikasian aturan Pasal 25 DSU dalam pengadilan tingkat banding di WTO ini merupakan solusi yang dipergunakan sementara waktu sampai situasi Badan Banding kembali normal.

This study discusses the WTO's Appellate Body (AB) which is not operating as usual until today. The provisions of Article 7 paragraph (1) on Dispute Settlement Understanding (DSU) states that the number of members of the Appellate Body should consist of 7 members. However, since July 2018, there is only 4 the Appellate Body members left, where 3 out of the 4 remaining members have finished their term in 2019. This caused the fulfillment of the quorum in the Appellate Body who requires 3 more members out of 7 members was not filled since there is only 1 the Appellate Body left. The situation caused the Appellate Body did not have the capacity to listen, examine, and make an Appeals Report. This study used a normative legal research method, a Descriptive-Analysis with a juridical-normative approach. The result of the study is the disputed member states can bring the Panel Report to the Appellate Body before the WTO's dispute Settlement Body (DSB) issues a decision and recommendation. The unconducive situation of the Appellate Body as an appellate court in the WTO can currently be avoided by the disputed member states by not using the Appellate Body. However, this situation emerged concerns from the member states, both over the settlement of trade disputes that are currently in process and its development of the WTO trade disputes settlement system that is going forward. These concerns were due to the less functioning of the Appellate Body, the member states that were in dispute found it difficult to obtain fair results according to WTO's rules. Therefore, several WTO's member states agreed to form a Provisional Appellate Body based on the WTO Arbitration system in accordance with Article 25 of the DSU. The replication of Article 25 of the DSU rules in the appellate court at the WTO is a solution and used temporarily until the situation of the Appeals Board returns to normal."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febri Ariadi
"Seiring dengan perkembangan zaman, teknologi memiliki peranan penting dalam memajukan perekonomian, utamanya bagi negara berkembang dan negara terbelakang yang belum menguasai teknologi tepat guna bagi perindustrian. Untuk mengadakan akses terhadap teknologi bagi negara-negara berkembang dan negara-negara terbelakang, dilakukanlah transfer of technologi dari negara maju agar negara berkembang dan negara terbelakang dapat menguasai teknologi-teknologi yang meningkatkan daya saing mereka dalam perdagangan internasional. Namun, kerjasama transfer of technology seringkali menimbulkan sengketa, khususnya terkait hak dan kewajiban para pihak (termasuk hak kekayaan intelektual pengalih teknologi dan perbedaan kepentingan antara negara berkembang dan negara maju). Untuk itu, dalam skripsi ini penulis meninjau sengketa-sengketa terkait transfer of technology dari perspektif hukum perdagangan internasional. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dimana penulis menganalisis sengketa transfer of technology dari berbagai perjanjian antarnegara, peraturan perundang-undangan dan kasus-kasus. Dari penelitian tersebut, penulis menemukan bahwa sengketa transfer of technology pada umumnya mencakup pelanggaran hak kekayaan intelektual pengalih teknologi dan aspek-aspek lain dalam perdagangan internasional. Kemudian, penulis menemukan bahwa sejatinya instrumen-instrumen hukum perdagangan internasional telah mengakomodasi kepentingan negara berkembang dan negara terbelakang untuk menguasai teknologi yang dapat memajukan perekonomian serta kepentingan negara maju terkait pelindungan hak kekayaan intelektual.

As the world advances to a new era, technology remains at the corner stone of economic development, especially for developing and the least-developed nations, which have yet to possess viable technological base for their industries. To provide access for such technology, transfer of technology from the developed to the developing and least-developed countries is necessary, as it would lead the recipients to a more competitive position in the international trade. This, however, is not without its issues. Transfer of technology often sparks dispute between the parties involved, mainly with respect to their rights and obligations (including, but not limited to, the intellectual property rights of the transferor and competing interests of developing and developed nation). For that reason, the author will thoroughly observe the legal aspects of such disputes from international trade law standpoint. In doing so, the author implements the normative-juridical method, of which the author will analyze those disputes based on treaties, laws and regulations, and case laws. From this observation, the author found that transfer of technology disputes strongly connects with intellectual property issues and other aspects of international trade. Furthermore, the author found that international trade law instruments have sufficiently accommodate the interests of developing and the least-developed nations with respect to technology dissemination, as well as developed countries interest on intellectual property rights protection."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gultom, Sarah P.
"Kegiatan perdagangan internasional yang timbul akibat adanya globalisasi tidak hanya bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan negara namunnya juga berdampak pada timbulnya sengketa ketika terjadi benturan kepentingan antara negara yang melakukan hubungan perdagangan. Untuk itu World Trade Organization (WTO) telah mengakomodasi dalam hal terjadinya sengketa perdagangan internasional melalui mekanisme penyelesaian sengketa yang diatur dalam Understanding On Rules And Procedures Governing The Settlement Of Disputes (DSU). Salah satu ketentuan mengenai mekanisme penyelesaian sengketa yang diatur dalam DSU adalah mengenai retaliasi. Retaliasi yang secara khusus diatur dalam Pasal 22 DSU adalah hak bagi negara yang dimenangkan oleh putusan Panel Dispute Settlement Body (DSB) untuk melakukan tindakan balasan terhadap negara yang dinyatakan kalah oleh putusan Panel DSB dalam hal tidak adanya implementasi putusan Panel DSB dalam jangka waktu yang wajar. Terdapat beberapa pandangan negatif terhadap ketentuan retaliasi, salah satunya mengenai ketidakefektivitasan retaliasi apabila dilaksanakan oleh negara berkembang dan negara terbelakang yang bersengketa melawan negara maju. Namun dalam praktiknya, terdapat negara berkembang yang berhasil melaksanakan retaliasi terhadap negara berkembang, yaitu dalam kasus Byrd Amendment. Indonesia sebagai salah satu negara anggota WTO yang tergolong negara berkembang juga pernah terlibat sengketa perdagangan internasional dengan negara maju, yaitu Korea Selatan dalam kasus tuduhan dumping terhadap produk kertas Indonesia (Kasus DS312). Panel DSB dalam putusannya memenangkan Indonesia dan oleh karena itu Korea Selatan harus menyesuaikan ketentuan anti dumping dengan Anti Dumping Agreement (ADA). Terhadap putusan Panel DSB tersebut, Korea Selatan tidak melaksanakannya sampai jangka waktu yang wajar. Dari kasus di atas, skripsi ini akan menganalisis mengenai legalitas Indonesia berkaitan dengan hak retaliasi yang diatur dalam Pasal 22 DSU serta pertimbangan-pertimbangan yang diambil Indonesia dalam hal tidak dilaksanakannya retaliasi dalam Kasus DS312.

International trade arising from globalization is not is beneficial only to fulfill needs of the country but also have an impact on the possibility of disputes when there is a conflict of interest between countries that conduct trading activities. Hence the World Trade Organization (WTO) has been accommodating in terms of international trade disputes through the dispute settlement mechanism set out in the Understanding On Rules And Procedures Governing the Settlement Of Disputes (DSU). One of the provisions on dispute settlement mechanism set out in the DSU is about retaliation. Retaliation which specifically provided for in Article 22 DSU is right for the country, which was won by decision of the Dispute Settlement Panel Body (DSB) to retaliate against countries that lost by decision of the DSB panel in the absence of implementation of the DSB panel decision in a reasonable time period . There are some negative opinions against retaliation provisions, one of the less effectiveness of retaliation if implemented by developing countries and least developed countries in the dispute against developed countries. However, in practice, there is a developing country that successfully implement retaliation against developing countries, ie in the case of the Byrd Amendment. Indonesia as one of the WTO member countries classified as the developing countries has also been involved in international trade disputes with developed countries, ie South Korea in case of dumping charges against Indonesian paper products (Case DS312). DSB panel in its decision won Indonesia and therefore South Korea should adjust the anti-dumping provisions of the Anti-Dumping Agreement (ADA). In practice, South Korea did not implement the decision of the DSB panel until a reasonable time period. From the above case, this thesis will analyze the legality of Indonesia with regard to the rights of retaliation under Article 22 DSU and the considerations taken by Indonesia in terms of non-performance of retaliation in case DS312."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S58669
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rio Syahrial Jaslim
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
S8169
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rika Feronika
"ABSTRAK
Seiring dengan peningkatan penggunaan jasa angkutan udara, muncul masalah
perihal keamanan, keselamatan, dan kenyamanan pengguna jasa penerbangan
sebagai konsumen yang merupakan akibat dari kurangnya perhatian perusahaan
penyedia jasa penerbangan terhadap kualitas dari pelayanannya khususnya pada
penerbangan internasional. Kelalaian tersebut, menyebabkan konsumen sebagai
pihak yang dirugikan berada diposisi yang lemah. Ketidaktahuan konsumen
mengenai pengaturan terhadap kerugian yang dialaminya, menyebabkan pelaku
usaha penerbangan internasional bertindak sewenang-wenang dalam memberikan
ganti rugi kepada konsumen. Kurangnya informasi mengenai tanggung jawab
perusahaan penerbangan internasional perihal ganti rugi terhadap konsumen
menyebabkan kerugian bagi konsumen. Pelaku usaha penerbangan internasional
seharusnya bertanggung jawab berdasarkan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen dan Konvensi Warsawa 1929.
ABSTRACT
Along with the increased use of air transport services, issues emerge concerning
security, safety, and convenience of aviation service consumers as a result of air
carriers’ lack of attention regarding services to the quality of its service, especially
on international flights. The negligence causes the consumer positioned as the
injured party and thus is in a weak position. Consumers’ unawareness about the
regulations concerning the losses they endure, causing air carriers acted arbitrarily
in providing compensation to consumers. Lack of information concerning the
responsibility of air carriers regarding compensation to the consumer caused harm
to consumers. Air carriers should be liable under the Consumer Protection Act
and the 1929 Warsaw Convention."
2014
S59962
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhiya Zahrah Fauziyah
"Perdagangan internasional merupakan salah satu system kejasama antar Negara dalam aspek ekonomi. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk terciptanya perdagangan internasional yang efisien dan dapat menguntungkan bagi setiap Negara yang tergabung dalam kegiatan kerjasama antar Negara ini. Salah satunya yaitu dengan membuat sebuah forum internasional sebagai satu-satunya institusi resmi yang menangani semua yang berkaitan dengan aktivitas perdagangan dunia. Skripsi ini menjelaskan penelitian mengenai cara penyelesaian sengketa dalam perdagangan internasional dibawah organisasi perdagangan dunia dengan mengangkat kasus rokok kretek yang terjadi pada tahun 2010 antara Indonesia dan Amerika Serikat. Penelitian skripsi ini menggunakan pendekatan normatif untuk mengelaborasi dan menganalisis dalam hal langkah-langkah dalam proses penyelesaian sengekta rokok kretek yang melalui serangkaian tahap beracara yang sudah diatur didalam Dispute Settlement Understanding WTO. Hasil analisis membawa pada penyelesaian akhir yaitu dengan dikeluarkannya Memorandum of Understanding yang telah disepakati oleh kedua Negara.

International trade is one system of cooperation between countries in economic aspects. Various efforts have been made by the government to create the efficient of international trade and can be beneficial for any State incorporated in such activities. One of which is to create an international forum as the only official institution that can handles in world trade activity aspects. This research elaborate on how to resolve disputes in international trade under the world trade organization by took clove cigarette case that occurred in 2010 between Indonesia and the United States as the example. This research uses normative approach to elaborate and analyze in terms of steps in the process of clove cigarette resolution through a series of stages that have been arranged in Dispute Settlement Understanding WTO. The results of the analysis lead to the final resolution, the issuance of a Memorandum of Understanding agreed upon by both parties countries."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S67604
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Almer Theda Alana
"Pada prinsipnya, ICJ hanya memiliki yurisdiksi asli, di mana ICJ bertindak sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir. Namun, beberapa perjanjian internasional ICAO memberikan yurisdiksi banding kepada ICJ, di mana ICJ bertindak sebagai pengadilan tingkat banding dari Dewan ICAO. Adapun ICJ telah menjatuhkan tiga putusan sebagai pengadilan tingkat banding dari Dewan ICAO. Walaupun demikian, instrumen hukum ICJ dan ICAO serta praktik ICJ dalam putusan-putusannya tidak memberikan landasan yang komprehensif mengenai yurisdiksi banding ICJ. Oleh karena itu, penelitian ini menganalisis (1) dasar hukum dan ruang lingkup yurisdiksi ICJ sebagai pengadilan tingkat banding dari Dewan ICAO berdasarkan instrumen hukum ICJ dan ICAO; (2) praktik penerapan yurisdiksi ICJ sebagai pengadilan tingkat banding dari Dewan ICAO dalam Kasus ICAO 1972; dan (3) konsistensi praktik penerapan yurisdiksi ICJ sebagai pengadilan tingkat banding dari Dewan ICAO dalam Kasus ICAO 2020. Melalui penelitian dengan metode yuridis normatif dan pendekatan kualitatif, dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, Pasal 84 Konvensi Chicago, Pasal II(2) IASTA, serta Pasal 36(1) dan 37 Statuta ICJ menjadi dasar hukum yurisdiksi ICJ sebagai pengadilan tingkat banding dari Dewan ICAO; tetapi instrumen hukum ICJ dan ICAO tidak mengatur secara spesifik mengenai ruang lingkup yurisdiksi tersebut. Kedua, praktik ICJ dalam Kasus ICAO 1972 memperjelas ruang lingkup yurisdiksi bandingnya—terutama mengenai jenis putusan yang dapat diajukan banding, yakni meliputi bukan hanya putusan Dewan ICAO atas merits, tetapi juga atas yurisdiksi; serta ruang lingkup peninjauan yang diterapkan pada persidangan banding, yakni standar peninjauan de novo. Ketiga, praktik ICJ dalam Kasus ICAO 2020 konsisten dengan praktiknya dalam Kasus ICAO 1972; dan semakin memperjelas ruang lingkup yurisdiksi banding ICJ—terutama memperjelas bahwa standar peninjauan de novo diterapkan bukan hanya terhadap pertanyaan hukum, tetapi juga terhadap pertanyaan fakta.

In principle, the ICJ only has an original jurisdiction, wherein it acts as a court of first and last instance. However, several ICAO treaties provide the ICJ with an appellate jurisdiction, wherein it acts as a court of appeal from the ICAO Council. The ICJ has rendered three judgments as a court of appeal from the ICAO Council. Nevertheless, the legal instruments of the ICJ and ICAO as well as the ICJ’s practice in its judgments do not provide a comprehensive basis regarding the ICJ’s appellate jurisdiction. Therefore, this study analyzes (1) the legal basis and scope of the ICJ’s jurisdiction as a court of appeal from the ICAO Council based on the legal instruments of the ICJ and ICAO; (2) the practice in applying the ICJ’s jurisdiction as a court of appeal from the ICAO Council in the 1972 ICAO Case; and (3) the consistency of the practice in applying the ICJ’s jurisdiction as a court of appeal from the ICAO Council in the 2020 ICAO Case. Through research using normative juridical method and qualitative approach, the following conclusions can be drawn. First, Article 84 of the Chicago Convention, Article II(2) of the IASTA, as well as Articles 36(1) and 37 of the ICJ Statute constitute the legal basis of the ICJ’s jurisdiction as a court of appeal from the ICAO Council; but the legal instruments of the ICJ and ICAO do not specifically regulate the scope of that jurisdiction. Second, the ICJ’s practice in the 1972 ICAO Case clarifies the scope of its appellate jurisdiction—particularly regarding the types of decisions that are subject to appeal, which include not only the ICAO Council’s decisions on the merits, but also on jurisdiction; and the scope of review that applies in appellate proceedings, namely a de novo standard of review. Third, the ICJ’s practice in the 2020 ICAO Case is consistent with its practice in the 1972 ICAO Case; and further clarifies the scope of the ICJ’s appellate jurisdiction—particularly by clarifying that a de novo standard of review is applied not only to questions of law, but also to questions of fact."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alvin Natanael
"Negara-negara anggota World Trade Organization (WTO) memiliki hak untuk turut serta membentuk perjanjian perdagangan regional (Regional Trade Agreements atau RTA). Masing-masing dari mereka seringkali memiliki forum dengan caranya sendiri dalam menyelesaikan sengketa. Hal tersebut menimbulkan potensi konflik kewenangan, yaitu keadaan saat terdapat dua atau lebih forum yang berwenang atas suatu sengketa yang sama. Akibatnya, penyelesaian sengketa berpotensi menjadi berlarut-larut, dan menimbulkan konflik norma karena putusan yang berbeda atau bertentangan. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif untuk mengeksplorasi cara-cara negara anggota WTO dan RTA untuk menghindari konflik kewenangan dan litigasi paralel di forum WTO. Penulis menemukan bahwa negara anggota dapat mencegah konflik kewenangan tersebut dengan memasukkan klausul pilihan forum dalam RTA yang mereka bentuk. Ketentuan-ketentuan tersebut kemudian dapat menjadi tanda atas kehendak para pihak untuk melepaskan haknya atas penyelesaian sengketa menurut suatu forum (misalnya WTO), dengan ditunjang pula dengan doktrin-doktrin hukum sebagai dasar diterapkannya dalam ranah WTO

Member states of the World Trade Organization (WTO) have the right to participate in Regional Trade Agreements (RTAs). Each of them often has a forum with its own way of resolving disputes. This creates a potential conflict of jurisdiction, namely a situation when there are two or more forums that has jurisdiction over the same dispute. As a result, the conflict may take longer to solve, and the norms may conflict due to different or conflicting decisions. This study uses a normative juridical method to explore ways for WTO and RTA member states to avoid conflicts of jurisdiction and parallel litigation in the WTO forum. The Author found that member states can prevent this jurisdictional conflict by including a forum choice clause in their RTAs. These provisions can then be a sign of the parties' will to relinquish their rights to dispute resolution in a forum (i.e., WTO), supported also by legal doctrines as its basis."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>