Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 168059 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andini Naulina Rahajeng
"Penyelesaian perkara tindak pidana khusus narkotika seharusnya dapat diselesaikan secara lebih efektif dan efisien, dengan menjunjung tinggi asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Penyelesaiaan perkara secara lambat menimbulkan masalah lain, seperti berupa penumpukan perkara. Indonesia telah mencoba beberapa sistem untuk menerapkan sistem peradilan pidana yang lebih efektif dan efisien, seperti whistleblower dan justice collabolator, namun pelaksanaan sistem tersebut belum mampu mengatasi permasalahan penumpukan perkara. Rancangan KUHAP mencoba menggabungkan nilai-nilai hukum yang terdapat dalam sistem hukum Civil Law dan sistem hukum Common Law, dengan tujuan meningkatkan efektivitas hukum acara pidana dan mewujudkan suatu peradilan yang cepat, sederhana, dan berbiaya ringan serta melindungi hak dan kewajiban para pihak yang terkait dalam peradilan pidana. Salah satu hal yang diambil dari sistem hukum Common Law adalah konsep pengakuan bersalah (plea of guilty) yang dikenal dengan lembaga Plea Bargaining. Plea Bargaining yang dimaksud ialah sebuah proses penyelesaian perkara yang lebih cepat dan efisien, berupa pembelaan pengakuan bersalah atau tidak ada kontes (nolo contendere). Jalur khusus mengadopsi nilai-nilai yang ada di plea bargaining, walaupun tetap terdapat perbedaan-perbedaan yang dengan jelas memisahkan kedua konsep tersebut. Hasil penelitian ini menemukan bahwa Jalur Khusus yang ada di KUHAP masih memiliki beberapa permasalahan, seperti pengaturan yang di RKUHAP untuk mengatur jalur khusus kuranglah terperinci. Dalam RKUHAP, jalur khusus hanya diatur dalam satu pasal, yaitu pasal 199 RKUHAP. Dengan kurangnya pengaturan terhadap jalur khusus, dapat mengakibatkan kemungkinan terdapat tahapan yang terlewatkan dan terdapat pelanggaran hak asasi dalam proses pidana tersebut.

The settlement of cases of narcotics crimes should be resolved more effectively and efficiently, by upholding the principles of quick, simple and low cost trial. The slow settlement of cases creates other problems, such as a backlog of cases. Indonesia has tried several systems to implement a more effective and efficient criminal justice system, such as whistleblowers and justice collectors, but the implementation of these systems has not been able to solve the problem of case accumulation. The draft Criminal Procedure Code (RKUHAP) tries to combine legal values contained in the Civil Law legal system and the Common Law legal system, with the aim of increasing the effectiveness of criminal procedure law and creating a trial that is fast, simple and low cost and protects the rights and obligations of the parties involved in criminal justice. One of the things taken from the Common Law legal system is the concept of plea of guilty, known as the Plea Bargaining institution. Plea Bargaining in question is a process of solving cases that is faster and more efficient, in the form of plea plea guilt or no contest (nolo contendere). Jalur Khusus adopts the values that exist in the plea bargaining, although there are still differences that clearly separate the two concepts. The results of this study found that the Jalur Khusus in the Criminal Procedure Code still has several problems, such as the arrangement in the RKUHAP to regulate Jalur Khusus is less detailed. In the RKUHAP, Jalur Khusus is only regulated in one article, namely article 199 RKUHAP. With the lack of regulation on special routes, it can result in the possibility of missed stages and human rights violations in the criminal process."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Savara Umaira Hanasia
"Penelitian ini bertujuan menjawab tiga permasalahan yakni pertama, bagaimana pengaturan sistem Jalur Khusus dalam RKUHAP dibandingkan dengan konsep plea bargaining ditinjau dari asas non self-incrimination, bagaimana pengaturan plea bargain di Malaysia dan Amerika Serikat, sehingga dapat menjawab pula bagaimana sebaiknya pengaturan Jalur Khusus di RKUHAP yang mengdaptasi konsep plea bargain yang telah lama dilaksanakan oleh Malaysia dan Amerika Serikat. Metode penulisan yang digunakan adalah yuridis normatif dengan metode pendekatan konseptual dan perbandingan. Tulisan ini hendak memberikan legal problem solving atas permasalahan penumpukan perkara pidana di Indonesia, yakni dengan
menerapkan plea bargaining system dalam pembaruan sistem peradilan pidana di Indonesia melalui RKUHAP dengan mencoba menggabungkan nilai-nilai hukum yang telah diatur dalam sistem hukum Common Law. Penelitian ini menyimpulkan, pertama, di Amerika Serikat, konsep pengakuan bersalah (plead of guilty) yang dikenal dengan lembaga plea bargaining.
Plea bargainning dapat menjadi sebuah instrumen penyelesaian perkara yang lebih efektif dana efisien. Jalur Khusus di RKUHAP sedikit banyaknya mengadopsi nilai yang dikandung oleh konsep plea bargaining, walaupun tidak sepenuhnya menyerap konsep terkait. Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa Jalur Khusus di RKUHAP, yakni dalam Pasal 199 RKUHAP,
masih terdapat beberapa permasalahan, salah satunya seperti kurangnya rincian mengenai aturan dan syaratnya. Dengan kekurangan atau permasalahan pengaturan Jalur Khusus di RKUHAP tersebut dapat berakibat pada kemungkinan adanya tahapan yang tidak sempurna sehingga muncul pula kemungkinan pelanggaran hak asasi dalam proses pidana tersebut

This study aims to answer three problems: first, how is the the regulation of Jalur Khusus system in the RKUHAP compared to the concept of plea bargaining in terms of the principle of non-self-incrimination, how is the arrangement of plea bargain in Malaysia and the United States of Amerika, so that it can also answer what is the best way to arrange Jalur Khusus system in the RKUHAP which adapts the concept of plea bargain which has long been implemented by Malaysia and the United States of America.The research method used is juridical normative with a conceptual approach and comparison method. This paper intends to provide legal problem solving for the accumulation of criminal cases in Indonesia, namely by implementing a plea bargaining system in reforming the criminal justice system in Indonesia through the RKUHAP by trying to incorporate legal values that have been regulated in the Common Law legal system. This research concludes, firstly, in the United States, the concept of plea bargaining is known as plea bargaining. Plea bargaining can be a more effective and
efficient case settlement instrument. Jalur Khusus in RKUHAP more or less adopts the values contained in the concept of plea bargaining, although it does not fully absorb related concepts. The results of this study found that Jalur Khusus in the RKUHAP, namely in Article 199 RKUHAP, there are still several problems, one of which is the lack of details regarding the
rules and conditions. With deficiencies or problems with the regulation of Jalur Khusus in the RKUHAP, it can result in the possibility of incomplete stages so that there is also the possibility of human rights violations in the criminal process.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihotang, Daniel Tulus Marulitua
"Sistem peradilan pidana merupakan suatu proses yang ditujukan untuk menanggulangi kejahatan melalui proses peradilan yang dilakukan terhadap pelaku tindak pidana. Sistem peradilan pidana diwujudkan melalui suatu ketentuan yang disebut dengan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sejatinya KUHAP ditujukan untuk melindungi hak-hak seorang tersangka dan/atau terdakwa serta mengatur tugas masing-masing dari sub-sub sistem peradilan pidana guna menciptakan suatu keterpaduan sistem peradilan pidana. Namun demikian, implementasi KUHAP masih jauh dari tujuan sebenarnya sehingga berpotensi menimbulkan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak tersangka/terdakwa. Oleh sebab itu perlu adanya suatu pembaharuan terhadap KUHAP. Pembaharuan tersebut diwujudkan dalam Rancangan Kitab Hukum Acara Pidana (R-KUHAP). Dalam R-KUHAP, terdapat nilai-nilai yang diadopsi di negara common law, salah satu dari nilai tersebut adalah lembaga plea bargaining. Akan tetapi R-KUHAP tidak secara mutlak mengadopsi nilai lembaga plea bargaining yang ada di negara common law. R-KUHAP hanya mengambil nilai plea guilty (pengakuan bersalah) yang merupakan salah satu nilai dari lembaga plea bargaining. Kedudukan lembaga plea bargaining (plea guilty) yang diatur dalam R-KUHAP melalui suatu klausul Jalur Khusus terdapat dalam tahap adjudikasi. Diadopsinya lembaga plea bargaining (plea guilty) dalam RKUHAP disebabkan adanya manfaat dari lembaga ini. Salah satu manfaat tersebut terlihat dalam perwujudan suatu peradilan cepat, sederhana dan berbiaya murah dalam implementasi lembaga plea bargaining (plea guilty). Disamping manfaat yang diperoleh, terdapat juga suatu potensi kerugian apabila implementasi dari lembaga plea bargaining (plea guilty) tidak berjalan dengan baik sehingga dapat menyebabkan miscarriage of justice (peradilan sesat). Oleh sebab itu dalam implementasi lembaga plea bargaining (plea guilty) nantinya diperlukan keterpaduan dari 3 (nilai) dasar hukum sebagimana dikemukakan oleh Friedman yaitu substansi hukum (perwujudan peraturan perundang-undangan yang terkait plea bargaining), struktur hukum (keterpaduan antar sub sistem dalam sistem peradilan pidana), dan budaya hukum (kesadaran dari aparat penegak hukum terhadap kewenangan yang dimilikinya) guna mencegah timbulnya miscarriage of justice (peradilan sesat).

The criminal justice system is a process that is intended to solve crimes through judicial proceedings conducted against criminal offence. The criminal justice system is realized through a provision called the Criminal Procedure Code (KUHAP). Indeed the Criminal Codeaimed at protecting the rights of accused and/or defendant sand set tasks for each of the sub-systems of criminal justice in order to create an integration of the criminal justice system. However, the implementation of the Criminal Procedure Code is still far from the goal and thus potentially give rise to violations against the rights of accused/defendant. Therefore, the need for a reform of the Criminal Procedure Code. The reform embodied in the draft Criminal Procedure Code (R-KUHAP). In draft Criminal Procedure Code, there are values that are adopted in common law. One of these values is plea bargaining. However ,the draft Criminal Procedure Code does not ultimately adopted the values of plea bargaining that exist in common law. The draft Criminal Procedure Code is only take a guilty plea which is one of the values of the plea bargaining. The position of plea bargaining (plea guilty) is regulated int he draft Criminal Procedure Code through a “Special Track” clause contained in the adjudication stage. Adoption of plea bargaining (guilty plea) in the draft Criminal Procedure Code due tothe benefits of this institution. One of the benefits is seen in the embodiment of a fast, simple and low-cost judicial/trial in implementation of plea bargaining (plea guilty). In addition to the benefits, there is also a potential loss when implementation of the institution of plea bargaining (plea guilty) do not work properly till causing the miscarriage of justice. Therefore, implementation of plea bargaining (plea guilty) will be required integration of three values of law as advanced by Friedman namely substance law (embodiment legislation related plea bargaining), structure law (coherence between sub-system in criminal justice systems), and cultural law ( of consciousness of law enforcement officials the authority to file to prevent the spread of miscarriage of justice."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38982
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edita Elda
"Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang masih menerapkan pidana mati (retentionist country), berdasarkan Pasal 10 KUHP. Permasalahan dalam tesis ini adalah: 1) Bagaimana konsep dan tujuan pengaturan pidana mati dalam Rancangan KUHP; 2) Bagaimana konsekuensi rumusan unsur-unsur Pasal 89 Ayat (1) Rancangan KUHP dan 3) Apa yang menjadi dasar pertimbangan adanya perbedaan pejabat yang berwenang dalam mengubah pidana mati menjadi pidana seumur hidup atau 20 (dua puluh) tahun dalam Pasal 89 Ayat (2) dengan Pasal 90 Rancangan KUHP. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan menggunakan data sekunder dan primer. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa: 1) Dalam Pasal 66 Rancangan KUHP, pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif yang bertujuan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat sebagai bentuk perlindungan masyarakat dan individu. 2) Konsekuensi rumusan Pasal 89 Ayat (1) Rancangan KUHP diterapkan secara alternatif, bukan kumulatif. 3) Dasar pertimbangan perbedaaan wewenang dalam Pasal (89) Ayat (2) dengan Pasal 90 Rancangan KUHP yaitu, Pasal 89 Ayat (2), perubahan pidana mati disebabkan karena adanya masa percobaan dan pejabat yang berwenang adalah Menteri Hukum dan HAM, karena perubahan tersebut sama dengan remisi. Pasal 90, perubahan tersebut disebabkan karena pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun setelah grasi ditolak dan pejabat yang berwenang adalah Presiden melalui Keputusan Presiden. Saran penulis, 1) Hakim harus mempertimbangkan alasan penjatuhan pidana mati didasarkan pada perlindungan masyarakat dan perlindungan individu terpidana. Apabila dalam persidangan, salah satu dari hakim tidak sepakat dengan penjatuhan pidana mati, maka sebaiknya jenis pidana yang diputus adalah pidana alternatif berupa pidana seumur hidup atau pidana paling lama 20 (dua puluh) tahun. 2) Rumusan Unsur- Unsur Pasal 89 Ayat (1) Rancangan KUHP harus diatur dengan jelas dan juga ukuran dan sisi yang berwenang untuk menilai unsur masing-masing, juga harus ada unsur suara masyarakat di dalamnya 3) Harus ada pengaturan lebih jelas agar tidak terjadi tumpang-tindih kewenangan dalam mengubah hukuman mati menjadi seumur hidup atau 20 (dua puluh) tahun antara Pasal 89 Ayat (2) dengan Pasal 90 Rancangan KUHP. Perubahan hukuman dari seumur hidup menjadi 20 (dua puluh) tahun dalam Pasal 89 Ayat (2) seharusnya menjadi kewenangan Presiden dengan Keputusan Presiden. Dalam memutuskan grasi, Presiden seharusnya juga mendengarkan pertimbangan Menteri Hukum dan HAM sebagai eksekutif yang membawahi Lapas. Dalam SPP juga harus ada koordinasi berhubungan dengan data administrasi mengenai proses hukum terpidana.

Indonesia represent one of the State in the world that still apply the death penalty (retentionist country), based on Aiticle 10 KUHP. Problems in this thesis are: 1) How is the concept and purpose of the death penalty in the draft of KUHP; 2) What consequences formula elements Article 89 Paragraph (1) draft of KUHP and 3) What is the basic consideration of differences in the authorized officials in the death penalty for life to be criminal or 20 (twenty) years in Article 89 Paragraph (2) with Article 90 draft of KUHP. Research method used was the juridical normative, with the primary and secondary data. Results of research show that: 1) In Article 66 draft of KUHP, death penalty represent main punishment which having the character of special and is always menaced in the alternative that is aimed as a last effort to protection of society as society and individuals. 2) The consequence of Article 89 Paragraph (1) draft of KUHP apply in the alternative, not cumulative. 3) Basic considerations difference of authority in Article (89) Paragraph (2) with Article 90 draft of KUHP, Article 89 Paragraph (2), death due to changes in criminal trial because of the authorities and officials is the Minister of Law and Human Rights, because the changes is equal to remisi. Article 90, the change was due to criminal death is not implemented for 10 (ten). years after grasi refused and officials denied that the President is authorized through a Presidential Decree. Author suggestions, 1) The judge must consider the reasons of relied on death penalty fallout based on the protection of society and individual punished. If in the trial, one of the judges did not agree with death penalty fallout, the criminal who should be the type of crime is an alternative punishment for a lifetime or 20 (twenty) years. 2) Elements Article 89 Paragraph (I) draft of KUHP have to be arranged clearly in article to assess each element, also there must be voice society in it 3) Arrangement there must be clearer in order not to happened overlap authority in changing death penalty decision become for a lifetime or 20 (twenty) years among Article 89 Paragraph (2) with Article 90. Change of punishment from a lifetime become 20 (twenty) years in Article 89 Paragraph (2) having to with Decision of President. In deciding grasi, president should be listen consideration of Minister Punish and Human Rights. In criminal justice system there must be coordination related to administration data order concerning process punish to be punished."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26065
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Kiki Wulandari
"Persiapan melakukan tindak pidana merupakan salah satu perubahan yang dilakukan RUU KUHP dalam rangka pembaruan hukum pidana. Sebelumnya pemidanaan terhadap perbuatan persiapan (voorbereidingshandeling) tidak dikenal dalam KUHP sebab perbuatan dalam tahap voorbereidingshandeling adalah tidak strafbaar sifatnya. Akan tetapi pemidanaan terhadap suatu perbuatan yang masih pada tahap sangat awal, lebih awal dari percobaan, sudah dikenal sebelumnya antara lain dengan adanya lembaga permufakatan jahat, Pasal 250 KUHP, Pasal 9 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan dalam Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Perumus RUU KUHP tidak menjelaskan apa yang mendasari dipidananya perbuatan persiapan juga tidak menjelaskan delik apa saja yang menjadi sasaran dari adanya lembaga persiapan ini. Dikhawatirkan pemidanaan terhadap perbuatan persiapan ini akan memunculkan sifat represif hukum karena sifatnya yang sangat subjektif.

Preparation to commit crime is one of the changes that Draft of Penal Code does in purpose of criminal law reform. Previously, criminalization to preparatory acts (voorbereidingshandeling) was not known in existing Penal Code because acts in preparation stage is not punishable. But criminalization to acts that still in the early stage, earlier than attempt, has already known such as the existence of conspiracy law, Penal Code Article 250, Article 9 Terrorist Act, and also The Suppression of The Financing of Terrorism Act. The Legislator of Draft of Penal Code doesn?t explain what is the underlying of the criminalization of the preparatory acts and also doesn't explain what kind of offences that illegal preparatory acts can be used for. It is feared that the criminalization to preparatory acts will emerge the repressive nature of criminal law due to its subjectivity.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56204
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syarief Sulaeman Nahdi
"Respon hukum pidana diperlukan apabila terjadi pertemuan (konvergensi) antara kepentingan umum dengan penggunaan komputer dimana kepentingan umum tersebut terganggu dengan pengoperasian tertentu dari komputer. Saat ini belum terdapat aturan yang memadai untuk menjerat pelaku kejahatan komputer maka Indonesia melakukan pembaharuan hukum pidana yang nampak di dalam Rancangan Undang-undang Hukum Pidana. R KUHP tahun 2005 telah memuat kriminalisasi mengenai tindak pidana informatika. Ketentuan ini diatur dalam bagian tersendiri. Terhadap perbuatan tersebut terdapat beberapa pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku dengan ancaman hukuman yang berbeda sehingga dapat menimbulkan akibat negatif yaitu tidak adanya kepastian hukum. Motif pelaku pads kasus-kasus kejahatan komputer tidak banyak berubah namun modus operandi pelaku akan berkembang seiring dengan perkembangan teknologi dan penyesuaian pelaku terhadap kondisi yang ada.

Criminal law response is needed because its convergent occurs between public interest with computer users whereas the said public interest is bothered by the special operation of the computer. At this present there are not any appropriate regulations to catch up the criminal doers of computers, hence Indonesia conducts reformation of criminal law that can be seen in the Device of Criminal Law (R KUHP). R KUHP year of 2005 has made criminalization of the infonnation criminal action. This stipulation is arranged in part five subject the information and telemetric criminal actions. But for the aforesaid actions there are some articles that can be used to catch up the doer with the difference action treatment. By the existence of the differences in the aforesaid articles treatment can cause negative effect that is there is no certainty of law to the action done by the offender. Beside that the offender motivation in the computer criminal cases do not change much but the offender's way to do will develop in accordance to technology development and the adjustment of the doer to the existing condition."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T24293
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Febby Mutiara Nelson
"

 

Kajian ini membahas konsep peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan yang dikenal dalam sistem peradilan pidana Indonesia yang belum dilaksanakan, khususnya dalam penanganan tindak pidana korupsi yang berfokus pada pengembalian kerugian keuangan negara. Penanganan kasus tindak pidana korupsi di Indonesia belum dapat menanggulangi tindak pidana korupsi, khususnya dalam hal mengembalikan kerugian negara secara signifikan. Walaupun sudah banyak sekali ketentuan penegakan hukum dan kebijakan pemerintah terkait dengan penanganan korupsi, namun pada kenyataannya penanganan  tindak pidana korupsi tidak berjalan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Penelitian ini juga mengkaji dapatkah Sistem Peradilan Pidana Indonesia mengakomodir konsep Plea Bargaining dan Deferred Prosecution Agreement (DPA) pada tindak pidana korupsi yang berorientasi pada pengembalian kerugian keuangan negara serta bagaimana model yang tepat pada tindak pidana korupsi di Indonesia. Juga, memprediksi implikasinya (keuntungan dan kerugian) jika diterapkan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan mengkaji secara sistematis mengenai aturan hukum, prinsip, konsep, teori, doktrin, putusan kasus, institusi hukum, masalah hukum, isu atau pertanyaan atau sebuah kombinasi diantara semuanya. Hasil kajian menemukan bahwa saat ini  pengembalian kerugian keuangan negara akibat korupsi dilakukan dengan mekanisme perampasan aset dengan putusan pidana terlebih dahulu kepada terdakwa dan diikuti penyitaan aset hasil korupsinya atau dikenal sebagai conviction based asset forfeiture. Selain mekanisme tersebut sudah berlaku pula perampasan aset dengan mekanisme hukum perdata yang hanya dapat dilakukan dalam kasus-kasus tertentu saja misalnya ketika tersangka/terdakwa meninggal dunia. Temuan dari disertasi ini Plea Bargaining dan Deferred  Prosecution Agreement merupakan bentuk kongkrit dari asas sederhana, cepat dan biaya ringan dan dapat  diterima dan diterapkan dengan sejumlah penyesuaian untuk Indonesia khususnya pada tindak pidana korupsi yang berorientasi pada pengembalian kerugian keuangan negara. Model ini juga sudah diterapkan di negara Civil Law lainnya, sebagai implikasi adanya konvergensi sistem hukum. Dari sisi tujuan pemidanaan, model yang diusulkan ini lebih sesuai dengan tujuan pemidanaan rehabilitasi bagi pelakunya dan restorasi untuk pemulihan kerugian negara.

 


 

This research explores the concept of simple, fast, and low-cost justice in Indonesian criminal justice system that has not been implemented especially in handling corruption that focuses on recover state financial losses. The handling of corruption offence in Indonesia has not yet been able to overcome the loss from corruption, specifically in terms of restoring a significant state loss. Notwithstanding with a long list of established law enforcement and government policies relating to the matter, management of corruption has not gone simple, speedy and light expenses. This research also reviews as to whether the Indonesian criminal justice system can accommodate the Plea Bargaining and Deferred Prosecution Agreement (DPA) for the corruption offences which orientated to restore the state loss and  what is the best and compatible model for Indonesia. This study also predicts their implication if applied (advantages and disadvantages). This research use a qualitative methode which systematically explores the laws, principles, concepts, theories, doctrines, judgments, law institutions, legal problems, legal issues, questions or any of its combinations. This study finds that the restoration of state loss from corruption currently being done through assets seizure mechanism post criminal judgment, which also recognised as a “conviction based asset forfeiture”. The matter becomes more complicated when the corruption actors fly abroad and has no intention to cooperate to solve the relevant corruption case. Another method regulated under UNCAC and StAR Initiative is the non-conviction based asset forfeiture (NCB) which has no legal basis in Indonesia to date. The findings of this dissertation on plea bargaining and deferred prosecution agreements are concrete forms of simple, fast and low cost principles and can be accepted and applied with a number of adjustments for Indonesia, particularly in the case of corruption that is oriented to the return of state financial losses. This model has also been applied in other Civil Law countries, as an implication of the convergence of the legal system. In terms of the purpose of punishment, the proposed model is more in line with the philosophy of rehabilitation for perpetrators and restoration of state losses.

 

"
2019
D2648
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, B.
Bandung: Tarsito, 1991
345.05 Sim h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Diyan Pratiwi
"Notaris merupakan pejabat umum yang ditunjuk langsung oleh Undang-Undang untuk membuat akta otentik. Produk akta otentik yang dibuat notaris adalah produk intektual yang merupakan cerminan dari kapital intelektual si notaris. Oleh karena itu notaris mempunyai tanggung jawab untuk merahasiakannya karena akta yang dibuatnya merupakan arsip negara. Notaris tidak dapat dituntut pertanggung jawabnya baik pidana maupun perdata apabila notaris tersebut telah menjalankan tugasnya sesuai yang terdapat pada Undang-Undang karena tugas yaitu untuk mengkostantir kata-kata yang dikemukakan oleh penghadap/klien. Maka dari itu, apabila notaris dipanggil oleh penyidik untuk diperiksa dibuatlah aturan khusus harus melalui persetujuan dari Majelis Kehormatan Notaris sebagaimana terdapat dalam aturaan perlaksana dari UUJN 2/2014 yaitu Permenkumham 7/2016, hal ini berbeda dari KUHAP karena adanya asas lex specialis de rogat lex generalis . Penelitian ini berbentuk penelitian yuridis normatif. Data diolah dengan menggunakan metode kualitatif dengan mendiskripsikan data berupa data primer dan data sekunder untuk kemudian dilakukan penafsiran dan kesimpulan. Hasil dari penelitian ini, notaris merupakan pejabat umum yang ditugaskan membuat arsip negara yang mempunyai kewajiban untuk merahasiakannya, hal itu termasuk dalam tanggung jawab notaris dan notaris tidak dapat dituntut apabila telah menjalankan tugasnya sesuai dengan undang-undang. Terkadang, dalam aturan yang tercantum di KUHAP dengan UUJN 2/2014 dan aturan pelaksananya Permenkumham 7/2016 tentang Majelis Kehormatan Notaris terdapat kesinkronan dan ketidak sinronan. Apabila terdapat ketidaksinkronan asas lex specialis de rogat lex generalis untuk memecahkan permasalahannya.

Notaries are public officials who are appointed directly by the Act to make an authentic deed. Authentic deed products made by notaries is an intellectual product that is a reflection of the intellectual capital of the notary. Therefore, the notary has responsibility to keep it a secret because the act set up such a way as. Notaries can not be sued to take responsibility such as civil and criminal when the notary was carrying out his her duties as contained in the Act because the task is to write down words submitted by clients. Therefore, when a notary called by investigators for inverstigatoring, must be approved by the Council of Honour of Notaries, as contained in the implementing rules of the UUJN 2 2014 and 7 2016 Permenkumham, it is different from the Criminal Code lex de Rogat lex generalist . This research study use normative form. Data were analyzed using qualitative methods to describe the data in the form of primary data and secondary data for later interpretations and conclusions. The results of this study, a notary is a public official who was assigned to the state archives that have an obligation to keep it confidential, it is included in the responsibilities of a notary public and can not be claimed when carrying out their duties in accordance with law. Sometimes between Criminal Code Procedure, UUJN 2 2014 and implementing rules 7 2016 Permenkumham about notary Honor Assembelies , we found ssynchronizations and unssynchronizations. When there are unssynchronizations , then we use lex de Rogat lex generalist to solved the problem."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T46900
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>