Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 201026 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fawnia Raissa Azzahra
"Latar belakang: Terdapat banyak tindakan Kedokteran Gigi yang dilakukan di daerah foramen mental serta adanya risiko komplikasi cedera neurovaskular. Foramen mental memiliki letak bervariasi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ras dan jenis kelamin. Mengetahui normal range letak foramen mental merupakan hal yang penting diketahui klinisi untuk mengurangi resiko cedera saat perawatan. Tujuan: Mengetahui nilai rata-rata dan membandingkan jarak foramen mental terhadap puncak tulang alveolar pada kelompok laki-laki dan perempuan berusia 20-40 tahun di RSKGM FKG UI. Metode: Dilakukan pengukuran nilai jarak dengan membuat garis tegak lurus antara garis singgung pada batas superior foramen mental dan garis singgung pada puncak tulang alveolar, di mana garis-garis singgung tersebut sejajar dengan batas bawah mandibula pada 140 radiograf panoramik digital yang dibagi menjadi kelompok laki-laki dan perempuan berusia 20-40 di RSKGM FKG UI menggunakan software viewer Microdicom. Kemudian dilakukan uji reliabilitas intraobsever dan interobserver dengan uji ICC dan uji komparatif dengan uji T-test Independen. Hasil: Berdasarkan pengukuran diperoleh rata-rata dan standar deviasi pada kelompok laki-laki berusia 20-40 tahun adalah 15.60 ± 1.73 mm dan pada kelompok perempuan berusia 20-40 tahun adalah 15.12 ± 1.97 mm. Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna antara nilai rata-rata jarak foramen mental terhadap puncak tulang alveolar pada kelompok laki-laki berusia 20-40 tahun dan kelompok perempuan berusia 20-40 tahun di RSKGM FKG UI.

Background: There are a lot of dental treatments involving mental foramen and a risk of neurovascular injuries as the complication from the treatments. Mental foramen varies in position based on several factors including race and gender. Knowing the position range of mental foramen is essential to prevent injuries during dental treatment. Objective: To elicit and compare the mean distance of mental foramen to alveolar crest in male and female aged 20-40 years old at RSKGM FKG UI. Method: This study is utilizing 140 digital panoramic radiographs divided into male group and female group aged 20-40 years old in RSKGM FKG UI. Samples were measured by making a perpendicular line to tangent line of mental foramen’s superior border and tangent line of alveolar crest which both tangent lines are parallel to inferior border of the mandible. Samples were measured directly on the digital panoramic viewer software (Microdicom). Then, carry on with the reliability test for both intraobserver and interobserver with ICC test and comparative test with Independent T-test. Results: Average and standard deviation for mean distance of mental foramen to alveolar crest in male group aged 20-40 years is 15.60 ± 1.73 mm and in female group aged 20-40 years is 15.12 ± 1.97 mm. Conclusion: There is no significant difference between the mean distance of mental foramen to alveolar crest in male aged 20-40 years and in female aged 20-40 years at RSKGM FKG UI"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alya Fatikha Sari
"Latar Belakang: Inferior Alveolar Nerve Block (IANB) merupakan prosedur paling umum dalam praktik kedokteran gigi, dan menjadi salah satu insiden kegagalan tertinggi dibanding teknik anestesi lain hingga 15-20%. Salah satu penyebab umum terjadinya kegagalan blok IANB karena tidak tepatnya dalam menentukan letak foramen mandibula. Letak foramen mandibula memiliki tiga kategori, yaitu di atas garis oklusal, segaris oklusal, dan di bawah garis oklusal. Variasi letak foramen mandibula tersebut dipengaruhi oleh faktor ras dan jenis kelamin. Mengetahui letak dan rerata jarak foramen mandibula yang tepat diperlukan untuk menghindari terjadinya kegagalan anestesi sebelum tindaklanjut tindakan medis.
Tujuan: mengetahui kategori letak dan membandingkan rerata jarak foramen mandibula pada kelompok pria dan wanita usia 18-35 tahun di RSKGM FKG UI.
Metode: Studi dilakukan pada 200 radiograf panoramik digital yang dibagi menjadi kelompok pria dan wanita berusia 18-35 tahun di RSKGM FKG UI. Dilakukan dengan membuat garis bidang oklusal sejajar horizontal pada distolingual cusp molar 1 atau molar 2 di kedua sisi rahang, lalu tarik garis pada bagian superior anterior kanal mandibula tegak lurus ke garis oklusal dan anterior ramus. Kemudian dilakukan uji reliabilitas intraobserver dan interobserver dengan uji ICC dan uji komparatif independent t-test.
Hasil: Diperoleh rerata jarak foramen mandibula terhadap garis bidang oklusal pada kelompok pria (15,49  3,29) dan pada wanita (14,68  3,07). Rerata jarak foramen mandibula terhadap anterior ramus pada kelompok pria (14,61  3,29) dan pada wanita (13,63  3,07).
Kesimpulan: Terdapat perbedaan signifikan rerata jarak foramen mandibula terhadap anterior ramus, tetapi tidak terdapat perbedaan rerata jarak foramen mandibula terhadap garis bidang oklusal pada pria usia 18-25 tahun dan wanita usia 18-35 tahun di RSKGM FKG UI.
Background: Inferior Alveolar Nerve Block (IANB) is the most common procedure in dental practice, and has become one of the highest failures compared to other anesthetic techniques up to 15-20%. One of the the common causes of the failure in IANB Block is due to the inaccuracy in determining the location of mandible foramen. There are 3 categories of the location of mandible foramen - above the oclusal line, in line with the oclusal, below the oclusal line. The variety of the mandible foramen location is affected by races and gender. To acknowledge the accurate location and the average distance of mandible foramen is necessary in order to avoid the failure of anesthesia before undergoing the later medical treatment.
Aim: To acknowledge the category of the location and to compare the average of the distance of mandible foramen on male and female patients aged 18-35 in RSKGM FKG UI.
Methode: The study or research is carried out on 200 Digital Panoramic Radiography divided into male group of aged 18-35 and female group of aged 18-35. The measurement is conducted by drawing the lines of oclusal horizontally in line on distolingual cusp first molar or second molar in both sides of jaw, then drawing the line on anterior superior of mandible canal perpendicular line to oclusal line and ramus anterior. Finally, intraobserver and interobserver reliability tests by ICC test and t-test independent comparative are applied.
Result: The average distance of mandible to the occlusal plane on male group is (15,49  3,29), on female group is (14,68  3,07). The average distance of mandibule to the ramus anterior on male group is (14,61  3,29), on female group is (13,63  3,07).
Conclusion : There is significant distinction on the distance of mandible foramen to the ramus anterior, but there is no difference on the distance of mandibular foramen to the occlusal plane between male aged 18-35 and on female aged 18-35 in RSKGM FKG UI."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salzabilla Wahyu Putri
"Latar Belakang: Periodontitis adalah penyakit yang memengaruhi jaringan pendukung gigi seperti kerusakan tulang alveolar, dan diderita oleh sebagian besar populasi manusia di dunia. Periodontitis terbagi menjadi periodontitis terlokalisasi dan periodontitis menyeluruh. Dalam menentukan diagnosis penyakit periodontitis diperlukan pemeriksaan radiografis untuk mengevaluasi perubahan tinggi tulang, terutama pada tulang alveolar. Radiograf panoramik dapat digunakan dalam pemeriksaan full-mouth dengan paparan radiasi yang lebih sedikit.
Tujuan: Memperoleh nilai rata-rata persentase sisa tinggi tulang alveolar gigi molar mandibular pasien periodontitis menyeluruh usia 26-50 tahun pada radiograf panoramik.
Metode: Pengukuran persentase sisa tinggi tulang alveolar pada 45 sampel radiograf panoramik konvensional dan digital usia 26-50 tahun di RSKGM FKG UI.
Hasil: Persentase sisa tinggi tulang alveolar pada pasien penyakit periodontitis menyeluruh dengan rentang usia 26-50 tahun sebesar 75,2% ± 10,2%. Persentase sisa tinggi tulang alveolar pada gigi molar 1 rahang bawah sebesar 72,2% ± 8,4% di permukaan mesial dan 76,4% ± 8,0% di permukaan distal, serta pada gigi molar 2 rahang bawah sebesar 76,8% ± 8,5% di permukaan mesial dan 76,5% ± 12% di permukaan distal. Rata-rata persentase permukaan mesial sebesar 73,9% dan persentase sisa tulang distal sebesar 76,5%.
Kesimpulan: Persentase kehilangan tulang pada permukaan mesial gigi molar 1 dan 2 penderita periodontitis sedang/parah pada usia 26-50 tahun lebih tinggi daripada permukaan distal.

Background: Periodontitis is a disease that affects the supporting tissue of the teeth such as alveolar bone decay and affects most of human population in the world. Periodontitis is classified into localized periodontitis and generalized periodontitis. In diagnosing periodontitis disease, radiographic examination is needed to evaluate the changes in bone height, especially in alveolar bone. Panoramic radiograph can be used in full-mouth examination with less radiation exposure.
Objective: To obtain average percentage of remaining alveolar bone of mandibular molars in generalized periodontitis patients aged 26-50 years on panoramic radiograph.
Methods: Measuring the percentage of remaining alveolar bone in 45 conventional and digital panoramic radiograph samples aged 26-50 years at RSKGM FKG UI.
Result: The percentage of remaining alveolar bone in patients with generalized periodontitis aged 26-50 years was 75.2% ± 10.2%. The percentage of remaining alveolar present in mandibular 1st molar was 72.2% ± 8.4% on the mesial surface and 76.4% ± 8.0% on distal surface, and in mandibular 2nd molar it was 76.4% ± 8.0% on mesial surface and 76.5 ± 12% on distal surface. The average percentage on mesial surface was 73.9% and the percentage of the remaining distal bone was 76.5%.
Conclusion: The percentage of bone loss on mesial surface of 1st and 2nd molars in patients with moderate/severe periodontitis aged 26-50 years was higher than on the distal surface.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Karina Fitriananda
"Latar Belakang:  Penyakit periodontal merupakan penyakit gigi dan mulut kedua terbanyak diderita masyarakat Indonesia. Penyakit periodontal terdiri dari gingivitis dan periodontitis. Periodontitis adalah inflamasi pada jaringan pendukung gigi yang disebabkan oleh mikroorganisme spesifik atau kelompok mikroorganisme. Dalam mendiagnosis penyakit periodontitis pada umumnya diperlukan pemeriksaan radiografis untuk melakukan evaluasi perubahan tulang alveolar, terutama perubahan tinggi tulang alveolar yang merupakan salah satu tanda adanya penyakit periodontal. Data ini diperlukan bagi tatalaksana pasien yang meliputi diagnosis, rencana perawatan, prakiraan prognosis dan observasi. Radiograf periapikal adalah “gold standard” pada pemeriksaan radiografis konvensional kasus periodontitis. Tujuan: Memperoleh nilai rata-rata penurunan tinggi tulang alveolar pada pasien penderita periodontitis kronis rentang usia 25-40 tahun secara radiografis di RSKGM FKG UI. Metode: Pengukuran penurunan tinggi tulang alveolar pada 192 sampel radiograf periapikal digital usia 25-40 tahun di RSKGM FKG UI. Hasil: Nilai rata-rata penurunan tinggi tulang alveolar pada gigi insisif sentral rahang atas permukaan mesial sebesar 5.13 ± 0.58 dan pada permukaan distal sebesar 3.82 ± 0.4. Pada gigi insisif sentral rahang bawah, nilai rata-rata penurunan tinggi tulang alveolar permukaan mesial sebesar 7.98 ± 0.6 dan pada permukaan distal 6.85 ± 0.48. Pada gigi molar 1 rahang atas, diperoleh nilai rata-rata permukaan mesial sebesar 3.73 ± 0.37 dan pada permukaan distal 4.66 ± 0.55, sedangkan pada gigi molar 1 rahang bawah permukaan mesial diperoleh nilai rata-rata 3.74 ± 0.43 dan permukaan distal sebesar 3.08 ± 0.17. Kesimpulan: Nilai rata-rata penurunan tinggi tulang alveolar pada permukaan mesial gigi insisif sentral rahang bawah kasus penyakit periodontal adalah yang tertinggi dibanding kelompok lainnya.

Background: Periodontal disease is the second most common tooth and mouth disease suffered by Indonesian society. Periodontal disease consists of gingivitis and periodontitis. Periodontitis is defined as an inflammatory disease of supporting bone tissues of teeth caused by specific microorganisms or groups of specific microorganisms. In diagnosing periodontitis, in general we need radiograph examination to evaluate changes in alveolar bone, especially changes in alveolar height which indicates the periodontal disease. This data is necessary for the management of the patient including diagnosis, treatment plan, prognosis, and observation.  Periapical is a “gold standard” on conventional radiographic examination on periodontitis cases. Objective: To obtain the average value of decreased alveolar bone height in 25-40 years old patients with chronic periodontitis at RSKGM FKG UI radiographically. Method: Measurement of decreased alveolar bone height in 192 digital periapical radiograph samples aged 25-40 years in RSKGM FKG UI. Result: The mean value of decreased alveolar bone height of maxillary central incisors on the mesial surface was 5.13 ± 0.58 and on the distal surface was 3.82 ± 0.4. On mandibular central incisors, the mean value of decreased alveolar bone height on the mesial surface was 7.98 ± 0.6 and on the distal surface was 6.85 ± 0.48. On maxillary first molars, the mean value of decreased alveolar bone height on the mesial surface was 3.73 ± 0.37 and on the distal surface was 4.66 ± 0.55. Whereas, on mandibular first molar, the mean value of decreased alveolar bone height on mesial surface was 3.74 ± 0.43 and on the distal surface was 3.08 ± 0.17. Conclusion: The average decreased in alveolar bone height on mesial surface of mandibular central incisors is the highest among other groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Syafina Fithri Fakhirah
"Latar Belakang: Berkurangnya kepadatan tulang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia dan jenis kelamin dan memiliki pengaruh terhadap perawatan kedokteran gigi. Radiograf panoramik digital dapat menjadi salah satu cara untuk memperkirakan penurunan densitas radiografik tulang.
Tujuan: Memperoleh nilai rerata densitas radiografik tulang kortikal tepi bawah mandibula pada individu pria dan wanita yang berusia 20 – 60 tahun di RSKGM FKG UI dari radiograf panoramik digital.
Metode: Menggunakan studi potong lintang dengan 300 sampel radiograf panoramik digital yang terbagi menjadi 150 sampel wanita dan 150 sampel pria dan dikategorikan berdasarkan kelompok usia berjumlah 75 sampel untuk setiap kelompok usia. Rerata densitas radiografik diperoleh di region of interest tulang kortikal tepi bawah mandibula menggunakan software I-Dixel Morita.
Hasil: Hasil analisis statistik menunjukkan nilai rerata densitas radiografik tulang pada kelompok wanita sebesar 92,80 sedangkan pada kelompok pria sebesar 97,46. Berdasarkan kelompok usia, kelompok usia 31- 40 memiliki rerata densitas radiografik paling besar yaitu 101,99 sedangkan nilai terendah pada kelompok usia 51-60 sebesar 86,43.
Kesimpulan: Rerata densitas radiografik tulang kortikal tepi bawah mandibula pada pria lebih tinggi dibandingkan wanita serta terus mengalami peningkatan dari usia 20 tahun dan mulai mengalami penurunan di usia lebih dari 40 tahun.

Background: Reduced bone density can be influenced by several factors such as age and gender and has an influence on dental treatment. Digital panoramic radiographs can be used to estimate decreased bone density.
Objective: To obtain the radiographic mean density of cortical bone at the inferior border of the mandible in male and female aged 20-60 years at RSKGM FKG UI using digital panoramic radiographs.
Methods: A cross-sectional study with 300 digital panoramic radiograph samples divided into 150 female and 150 male samples and categorized by age group into 75 samples for each age group. The mean radiographic density was obtained in the region of interest of the cortical bone at the inferior border of the mandible using the I-Dixel Morita software.
Results: the results of statistical analysis showed that the mean radiographic bone density in the female group is 92.80 while in the male group it is 97.46. Based on the age group, the 31-40 age group had the highest mean radiographic density which is 101.99, while the lowest value was in the 51-60 age group which is 86.43.
Conclusion: The mean radiographic density of cortical bone at the inferior border of the mandible in men is higher than in women and continues to increase from the age of 20 and begins to decrease at the age of more than 40 years.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Nandita Dewana
"Latar Belakang : Anomali gigi dapat menyebabkan berbagai masalah fungsional seperti, maloklusi, meningkatkan resiko karies, dan mengganggu estetika. Tingkat kejadian anomali gigi di Indonesia, masih belum banyak diteliti. Berdasarkan hal tersebut, maka penting untuk melakukan identifikasi untuk memperoleh data frekuensi distribusi anomali gigi pada radiograf panoramik di RSKGM FKG UI. Tujuan : Mendapatkan data frekuensi distribusi anomali gigi berdasarkan usia dan jenis kelamin pada radiograf panoramik di RSKGM FKG UI. Metode : Penelitian ini merupakan studi cross-sectional dengan total sampel 367 radiograf panoramik. Radiograf dievaluasi dan diinterpretasi oleh dua orang observer untuk mengidentifikasi anomali gigi sesuai klasifikasi berdasarkan anomali jumlah (gigi supernumerari), ukuran (makrodonsia dan mikrodonsia), erupsi (transposisi), serta morfologi (fusi, concrescence, geminasi, taurodonsia, dilaserasi, dens invaginatus, dens evaginatus, molar incisor malformation (MIM) , amelogenesis imperfecta, dentinogenesis imperfecta, dentin dysplasia, regional odontodisplasia, enamel pearl, talon cusp, dan congenital sifilis). Data usia, jenis kelamin, dan hasil interpretasi radiograf panoramik dicatat. Selanjutnya, dilakukan uji reliabilitas menggunakan uji Kappa untuk data kategorik dan uji ICC untuk data numerik. Hasil : Dari total sampel 367 radiograf pada rentang usia 6-79 tahun ditemukan 133 (36,2%) radiograf panoramik dengan anomali gigi, sebanyak 1-4 kasus pada setiap radiograf. Jumlah seluruh anomali gigi yang ditemukan adalah 395 kasus. Anomali gigi terbanyak ditemukan pada rentang usia 16-25 tahun. Berdasarkan klasifikasi, frekuensi distribusi anomali gigi yang ditemukan, secara berurutan yaitu anomali morfologi (63,15%), ukuran (32,33%), jumlah (18,05%), dan erupsi (7,52%). Jenis anomali morfologi gigi yang paling banyak ditemukan adalah dilaserasi (33,83%), anomali ukuran adalah mikrodonsia (32,05%), dan anomali jumlah adalah gigi supernumerari (23,64%). Berdasarkan jenis kelamin, frekuensi distribusi anomali gigi ditemukan lebih banyak pada laki-laki (45,83%) dibanding perempuan (31,87%). Anomali gigi yang paling banyak ditemukan pada laki-laki adalah gigi supernumerari, concrescence, dens invaginatus dan enamel pearl. Sedangkan, anomali gigi yang paling banyak ditemukan pada perempuan adalah makrodonsia, mikrodonsia, transposisi, geminasi, taurodonsia, dilaserasi, dens evaginatus, molar-incisor malformation (MIM), dan talon cusp. Kesimpulan : Prevalensi anomali gigi pada radiograf panoramik yang ditemukan pada penelitian ini cukup tinggi. Proporsi anomali gigi lebih tinggi ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan.

Background : Dental anomalies can affect various functional problems such as, malocclusion, increase the risk of caries, and aesthetics problem. Incidence rate of dental anomalies in Indonesia has not yet been widely studied. Based on this, it is important to identification to get data frequency distribution of dental anomalies on panoramic radiographs at RSKGM FKG UI. Objective : To get data frequency distribution of dental anomalies based on age and gender in panoramic radiograph at RSKGM FKG UI. Method : This study is a cross-sectional study with total sample 367 panoramic radiographs. Radiographs were evaluated and interpreted by two observers to identify dental anomalies according to classification anomaly by number (supernumerary teeth), size (macrodontia and microdontia), eruption (transposition), and morphology (fusion, concrescence, gemination, taurodontisme, dilaceration, dens invaginatus, dens evaginatus, molar incisor malformation (MIM) , amelogenesis imperfecta, dentinogenesis imperfecta, dentin dysplasia, regional odontodisplasia, enamel pearl, talon cusp, and congenital syphilis). Data on age, gender, and interpretation of panoramic radiographs result were recorded. Reliability test were performed using Kappa test for categoric data and ICC test for numeric data. Result : From a total sample of 367 radiographs in the age range 6-79 years, 133 (36.2%) panoramic radiographs with dental anomalies were found, 1-4 cases in each radiograph. The total of all dental anomalies in were 395 cases. Based on classification, frequency distribution of dental anomalies found, respectively, are anomaly of morphology (63,15%), size (32,33%), number (18,05%), and eruption (7,52%). The most common type of anomaly of morphology was dilaceration (33,83%), anomaly of number was microdontia (32,05%), and anomaly of number was supernumerary tooth (23,64%). Based on gender, frequency distribution of dental anomalies were found higher 45,83% in male than 31,87% in female. The most common dental anomalies found in men are supernumerary tooth, concrescence, dens invaginatus and enamel pearl. Meanwhile, the most common dental anomalies found in women are macrodontia, microdontia, transposition, gemination, taurodontisme, dilaceration, dens evaginatus, molar-incisor malformation (MIM), and talon cusp. Conclusions : The prevalence of dental anomalies on panoramic radiographs found in this study is quite high. A higher proportion of dental anomalies was found in men than women."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Nandita Dewana
"Latar Belakang : Anomali gigi dapat menyebabkan berbagai masalah fungsional seperti, maloklusi, meningkatkan resiko karies, dan mengganggu estetika. Tingkat kejadian anomali gigi di Indonesia, masih belum banyak diteliti. Berdasarkan hal tersebut, maka penting untuk melakukan identifikasi untuk memperoleh data frekuensi distribusi anomali gigi pada radiograf panoramik di RSKGM FKG UI. Tujuan : Mendapatkan data frekuensi distribusi anomali gigi berdasarkan usia dan jenis kelamin pada radiograf panoramik di RSKGM FKG UI. Metode : Penelitian ini merupakan studi cross-sectional dengan total sampel 367 radiograf panoramik. Radiograf dievaluasi dan diinterpretasi oleh dua orang observer untuk mengidentifikasi anomali gigi sesuai klasifikasi berdasarkan anomali jumlah (gigi supernumerari), ukuran (makrodonsia dan mikrodonsia), erupsi (transposisi), serta morfologi (fusi, concrescence, geminasi, taurodonsia, dilaserasi, dens invaginatus, dens evaginatus, molar incisor malformation (MIM) , amelogenesis imperfecta, dentinogenesis imperfecta, dentin dysplasia, regional odontodisplasia, enamel pearl, talon cusp, dan congenital sifilis). Data usia, jenis kelamin, dan hasil interpretasi radiograf panoramik dicatat. Selanjutnya, dilakukan uji reliabilitas menggunakan uji Kappa untuk data kategorik dan uji ICC untuk data numerik. Hasil : Dari total sampel 367 radiograf pada rentang usia 6-79 tahun ditemukan 133 (36,2%) radiograf panoramik dengan anomali gigi, sebanyak 1-4 kasus pada setiap radiograf. Jumlah seluruh anomali gigi yang ditemukan adalah 395 kasus. Anomali gigi terbanyak ditemukan pada rentang usia 16-25 tahun. Berdasarkan klasifikasi, frekuensi distribusi anomali gigi yang ditemukan, secara berurutan yaitu anomali morfologi (63,15%), ukuran (32,33%), jumlah (18,05%), dan erupsi (7,52%). Jenis anomali morfologi gigi yang paling banyak ditemukan adalah dilaserasi (33,83%), anomali ukuran adalah mikrodonsia (32,05%), dan anomali jumlah adalah gigi supernumerari (23,64%). Berdasarkan jenis kelamin, frekuensi distribusi anomali gigi ditemukan lebih banyak pada laki-laki (45,83%) dibanding perempuan (31,87%). Anomali gigi yang paling banyak ditemukan pada laki-laki adalah gigi supernumerari, concrescence, dens invaginatus dan enamel pearl. Sedangkan, anomali gigi yang paling banyak ditemukan pada perempuan adalah makrodonsia, mikrodonsia, transposisi, geminasi, taurodonsia, dilaserasi, dens evaginatus, molar-incisor malformation (MIM), dan talon cusp. Kesimpulan : Prevalensi anomali gigi pada radiograf panoramik yang ditemukan pada penelitian ini cukup tinggi. Proporsi anomali gigi lebih tinggi ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan.

Background : Dental anomalies can affect various functional problems such as, malocclusion, increase the risk of caries, and aesthetics problem. Incidence rate of dental anomalies in Indonesia has not yet been widely studied. Based on this, it is important to identification to get data frequency distribution of dental anomalies on panoramic radiographs at RSKGM FKG UI. Objective : To get data frequency distribution of dental anomalies based on age and gender in panoramic radiograph at RSKGM FKG UI. Method : This study is a cross-sectional study with total sample 367 panoramic radiographs. Radiographs were evaluated and interpreted by two observers to identify dental anomalies according to classification anomaly by number (supernumerary teeth), size (macrodontia and microdontia), eruption (transposition), and morphology (fusion, concrescence, gemination, taurodontisme, dilaceration, dens invaginatus, dens evaginatus, molar incisor malformation (MIM) , amelogenesis imperfecta, dentinogenesis imperfecta, dentin dysplasia, regional odontodisplasia, enamel pearl, talon cusp, and congenital syphilis). Data on age, gender, and interpretation of panoramic radiographs result were recorded. Reliability test were performed using Kappa test for categoric data and ICC test for numeric data. Result : From a total sample of 367 radiographs in the age range 6-79 years, 133 (36.2%) panoramic radiographs with dental anomalies were found, 1-4 cases in each radiograph. The total of all dental anomalies in were 395 cases. Based on classification, frequency distribution of dental anomalies found, respectively, are anomaly of morphology (63,15%), size (32,33%), number (18,05%), and eruption (7,52%). The most common type of anomaly of morphology was dilaceration (33,83%), anomaly of number was microdontia (32,05%), and anomaly of number was supernumerary tooth (23,64%). Based on gender, frequency distribution of dental anomalies were found higher 45,83% in male than 31,87% in female. The most common dental anomalies found in men are supernumerary tooth, concrescence, dens invaginatus and enamel pearl. Meanwhile, the most common dental anomalies found in women are macrodontia, microdontia, transposition, gemination, taurodontisme, dilaceration, dens evaginatus, molar-incisor malformation (MIM), and talon cusp. Conclusions : The prevalence of dental anomalies on panoramic radiographs found in this study is quite high. A higher proportion of dental anomalies was found in men than women."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Florentsia Hanum Nugroho
"ABSTRAK
Latar Belakang: rasio mahkota-akar gigi adalah merupakan kondisi gigi yang penting dalam penentuan prognosis dan rencana perawatan kedokteran gigi. Belum ada data mengenai nilai ini pada populasi di Indonesia. Tujuan: mengetahui nilai rerata rasio mahkota-akar gigi insisif, premolar, dan molar permanen pada pasien laki-laki dan perempuan di RSKGM FKG UI rentang usia 15-25 tahun. Metode: panjang akar dan tinggi mahkota diukur menggunakan modifikasi metode Lind pada 196 radiograf panoramik digital. Uji realibilitas menggunakan uji technical error of measurement. Uji hipotesis menggunakan uji t tidak berpasangan dan uji Mann-Whitney U. Hasil: nilai rerata mahkota-akar gigi terbesar pada kedua jenis kelamin dijumpai pada premolar dua rahang bawah laki-laki 1:2,12, perempuan 1:2,10 dan yang terkecil pada gigi molar satu rahang atas laki-laki 1:1,50, perempuan 1:1,44 . Rasio gigi rahang bawah lebih besar dibandingkan gigi rahang atas. Tidak ditemukan perbedaan rasio bermakna antara laki-laki dan perempuan p.

ABSTRACT
Background tooth crown root ratio is one of the most important condition in determining prognosis and treatment planning in dentistry. There are no data of this value in Indonesia. Purpose to obtain the average crown root ratio value on insisive, premolar, and molar permanent teeth of male and female aged 15 25 in RSKGM FKG UI. Method root length and crown height of teeth were measured by modified Lind method on 196 digital panoramic radiographs. Reliability test was assessed by technical error of measurement test. Independent t test and Mann Whitney U test was applied to test the hipotesis. Results the highest mean crown root ratio in both arches and sex was found in mandibular second premolar male 1 2,12, female 1 2,10 and the lowest in maxillary first molar male 1 1,50, female 1 1,44 . Ratio is higher in mandibule than in maxilla. There are no significant different in ratio between male and female p"
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suci Xaviera Wardhani
"Latar Belakang: Perubahan kualitas dan kuantitas tulang akan terjadi pada wanita yang memasuki masa lanjut usia yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu metode pengukuran kuantitas tulang adalah dengan mengukur lebar tulang kortikal sudut mandibula melalui radiograf panoramik menggunakan indeks morfometrik Gonial Index (GI). Pengukuran lebar tulang rahang dapat digunakan sebagai deteksi terhadap perubahan kualitas dan kuantitas struktur tulang. Tujuan: Mengetahui nilai rata-rata GI pada kelompok wanita usia 45-59 tahun dengan kelompok usia 60-70 tahun di RSKGM FKG UI dan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan nilai GI yang bermakna antara kedua kelompok usia. Metode: Studi dilakukan pada 184 gambar radiografik panoramik digital dari pasien wanita berusia 45-70 tahun yang dikelompokkan menjadi dua kelompok usia (1 = usia 45 – 59; 2 = usia 60 – 70). Pengukuran GI dilakukan pada kedua sisi untuk mengukur lebar tulang kortikal pada sudut mandibula. Analisis statistik dilakukan dengan uji Mann-Whitney (p > 0.05). Hasil: Nilai rata-rata GI pada kelompok usia prelansia (45-59 tahun) adalah 1.08 mm dan untuk kelompok usia lansia (60-70 tahun) adalah 0.62 mm. Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna antara nilai GI pada subjek prelansia dan lansia, di mana terjadi penurunan nilai rerata lebar kortikal sudut mandibula pada kelompok usia lansia.

Background: The changes in quality and quantity of bone structure level occur in elderly women and are caused by some of risk factors. One of the methods to measure bone thickness is by measuring the width of mandible cortical bone using Gonial Index (GI) in radiograph panoramic. The average value of GI can be used as detection to quality and quantity changes of bone structures. Objectives: to obtain average value of GI between 45-59 years old and 60-70 years old women in RSKGM FKG UI and to identify if there is a significant difference of GI average value between two age groups. Method: The study included 184 digital panoramic radiographic images of 45 – 70 years old female patients that were grouped into two age groups (1 = age 45 – 59; 2 = age 60 – 70). The measurement of Gonial Index (GI) were done bilaterally to measure the cortical width of mandibular angle. Statistical analysis was performed with Mann-Whitney test (p > 0.05). Results: The average value of GI of 45-59 years old age group is 1.08 mm and the GI average value of 60-70 years old age group is 0.62 mm. Conclusion: There’s a significant difference of GI value between women at age 45 – 59 years old and 60 – 70 years old, the average value of cortical width of mandible angle decreases in women at age 60 – 70 years old.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gery Gilbert
"Latar Belakang : Distribusi frekuensi impaksi gigi molar tiga maksila berdasarkan klasifikasi Pell-Gregory, Winter, dan hubungan dengan sinus maksila dapat menunjukan variasi yang dapat berperan penting dalam mengantisipasi kesulitan pada saat odontektomi. Tujuan : Mengetahui frekuensi kasus impaksi molar tiga maksila pada radiograf panoramik berdasarkan klasifikasi Pell-Gregory dan Winter serta hubungan dengan sinus maksila di RSKGM FKG UI. Metode : Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif kategorik menggunakan data sekunder berupa rekam medik pasien di RSKGM FKG UI. Hasil : Penelitian yang dilakukan pada 102 kasus impaksi molar tiga maksila menunjukkan kasus impaksi molar tiga maksila paling banyak pada wanita dengan persentase 62.7%, namun hasil uji statistik menunjukan tidak ada hubungan yang bermakna antara perbedaan gender dengan masing-masing klasifikasi impaksi. Frekuensi tertinggi dari masing-masing klasifikasi adalah Kelas C sebesar 46.08% pada klasifikasi Pell-Gregory, impaksi distoangular sebesar 35.3% pada klasifikasi Winter, dan impaksi tipe 4 sebesar 60.78% pada klasifikasi berdasarkan hubungan dengan sinus maksila. Kesimpulan : Penelitian ini mendapatkan hasil distribusi frekuensi impaksi molar tiga maksila yang dapat menjadi acuan dalam menentukan tingkat kesulitan perawatan odontektomi.

Background : A method of classification of third molar impaction is needed because the anatomical position of impacted third molars can show variations that will play an important role in anticipating difficulties during extraction. Objective : To determine the impaction frequency of maxillary third molar impaction cases, as seen on panoramic radiographs and classified based on Pell-Gregory and Winter classification and also the relationship with maxillary sinus in RSKGM FKG UI. Methods : The type of research conducted is categorical descriptive research, using secondary data in the form of patient medical records at RSKGM FKG UI. Results : From 102 cases of maxillary third molar impaction, it was found that maxillary third molar impaction was most common in women with a percentage of 60%, but the results of statistical tests show no significant relationship between gender differences with each classification. The highest frequency of each classification is Class C of 46.08%, distoangular impaction of 35.3%, and impaction of type 4 by 60.78%. Conclusion : Classification of maxillary third molar impact can be a reference in determining the difficulty level of odontectomy treatment."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>