Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 48503 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andi Wirapratama
"Pada tahun 2005, India dan Indonesia tertarik untuk membangun kerjasama ekonomi dengan menginisiasi Indonesia-India Economic Comprehensive Agreement (II-CECA). Namun, 15 tahun berlalu, Indonesia dan India belum sama sekali menandatangani kesepakatan ekonomi II-CECA. Penelitian itu mencoba untuk menjawab penyebab belum adanya kesepakatan II-CECA. Dengan menggunakan studi literatur melalu pendekatan kualitatif, penelitian ini mencoba menganalisis fenomena ini dengan menggunakan pendekatan Society Centred Approach (Moravscik, 1998) dan faktor domestik yang mempengeruhi kebijakan luar negeri (Hiscox, 2017). Penelitian ini menemukan fakta bahwa kondisi politik domestik India berpengaruh terhadap mandegnya perjanjian II-CECA. Kondisi tersebut berupa adanya 1) pergantian kepemimpinan dari INC ke BJP, 2) perbedaan persepsi politik antara kedua partai, dan kelompok kepentingan berpengaruh seperti kaum Nasionalis Hindu. Penelitian ini juga membuktikan bahwa ormas nasionalis Hindu di India memiliki pengaruh yang kuat di pemerintahan Modi, terutama di bidang kebijakan ekonomi luar negeri karena memiliki akses langsung ke kekuasaan lewat partai politik BJP.

In 2005, India and Indonesia initiated talks about Indonesia-India Economic Comprehensive Agreement (II-CECA) to strengthen the economic relations between the two countries. However, 15 years on, Indonesia and India have yet to sign the II-CECA economic agreement. This study examines this stagnation by looking at the domestic sources of foreign economic policy. With literature study and qualitative method, this research shall analyze the phenomenon using society centred approach (Moravscik, 1998) and domestic factor that influences economic foreign policy (Hiscox, 2017). This thesis argues that India's domestic factors contributed significantly to the stagnation of the II-CECA agreement. These factors are: (1) National leadership change from INC to BJP; (2) different political preferences among BJP and INC politians, and (3) the influence of powerful interest group such as the Hindu Nationalists. This research also proves that Hindu nationalist movement in India has a strong influence in the Modi’s government, through BJP, including in foreign economic policy."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juni Triani
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan alasan India memilih Korea Selatan
sebagai negara pertama di Asia Timur dalam Comprehensive Economic
Partnership Agreement (CEPA). Dalam pemaparannya, akan dibandingkan
hubungan politik dan ekonomi antara India dengan tiga negara di Asia Timur,
yaitu China, Jepang, dan Korea Selatan. Tujuannya adalah untuk mengetahui
posisi penting Korea Selatan di mata India dari dua negara yang lain. Selanjutnya,
akan dianalisis dua faktor internal, yaitu kebijakan Look East dan kebutuhan India
akan energi nuklir, serta satu faktor eksternal, yaitu dominasi China di kawasan
ASEAN dan sekitarnya, yang mendorong India meresmikan CEPA dengan Korea
Selatan.

ABSTRACT
This study aims to explain India’s objective in choosing South Korea as the first
country in East Asia on Comprehensive Economic Partnership Agreement
(CEPA). On the presentation, the political and economic relations between India
and three East Asia countries, namely China, Japan, and South Korea, will be
compared. The purpose is to find out South Korea’s important position from
India’s point of view if compared to the other two countries. Then, there will be
analysis of two internal factors, namely Look East Policy and India’s needs for
nuclear energy, as well as one external factor, namely China domination in
ASEAN region and beyond, which encourage India to sign CEPA with South
Korea."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noudy Naufal
"Keputusan India untuk mengundurkan diri dari rangkaian perundingan (atau negosiasi) perjanjian perdagangan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) menjadi salah satu kebijakan yang mengejutkan dalam perkembangan perdagangan internasional. Selain menghambat pelbagai agenda regionalisme antara India dengan kawasan Asia Pasifik secara keseluruhan, keputusan tersebut juga dapat dianggap bertentangan dengan upaya-upaya India untuk mengarahkan kebijakan luar negerinya menuju kawasan timur terutama di wilayah Asia Timur dan Tenggara (terutama dengan tersusunnya pelbagai free trade agreement FTA yang dilaksanakan oleh India). Tulisan ini mencoba untuk mencari penyebab mundurnya India dari meja perundingan pembahasan RCEP, dengan menunjukkan bahwa tekanan domestik memberi dorongan bagi India untuk menarik diri dari negosiasi RCEP dibandingkan melalui faktor eksternal (baik melalui tekanan aktor negara lain maupun dari institusi internasional).
Pada penelitian ini, penulis menggunakan kerangka konsep yang disusun oleh Thomas Risse Kappen mengenai penggolongan aktor-aktor domestik penentu pada kebijakan luar negeri suatu negara melalui sistem politik (dan birokrasi) serta kelompok masyarakat dalam memahami aktor-aktor domestik yang memberikan pengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap pengambilan keputusan pada kebijakan luar negeri India. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa selain kepentingan ekonomi India yang dianggap tidak menguntungkan jika bergabung dalam RCEP, tekanan kuat serta demonstrasi terutama dari aktor aktor kelompok nasionalis Hindu (terutama melalui Rashtriya Swayamsevak Sangh RSS) sebagai induk pendukung utama dari partai pemerintah yang dipimpin oleh perdana menteri Narendra Modi (Partai Bharatiya Janata BJP) menjadi pendorong dalam negeri utama untuk memahami akar mundurnya India dari perundingan RCEP."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulhajnie Wildayanti Limpas
"Setelah lima tahun perjanjian Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA), pihak Indonesia kemudian berinisiatif untuk mengajukan General Review (GR) di tahun 2013. Pengajuan GR pertama kali dilakukan oleh pihak Indonesia dengan alasan perjanjian IJEPA tidak memberikan hasil yang maksimal dan merugikan bagi Indonesia. Pemerintah Jepang saat itu tidak langsung menyepakati pengajuan tersebut dengan alasan Jepang ingin Indonesia untuk mengganti beberapa peraturan kementerian keuangan yang dianggap tidak sesuai dengan komitmen Indonesia dalam perjanjian. Kemudian pertanyaan yang muncul dari masalah ini adalah bagaimana proses GR IJEPA berlangsung hingga Indonesia memutuskan untuk mengubah kesepakatan dan melanjutkan perjanjian. Pertanyaan ini dijawab menggunakan kerangka teori two level game dari Robert D. Putnam dengan tujuan untuk melihat bagaimana proses dari GR IJEPA hingga keputusan melanjutkan perjanjian IJEPA. Untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan, penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan Causal Process Tracing. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa pada tingkat domestik, meskipun terdapat perbedaan kepentingan diantara Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Keuangan, semua pihak dapat mencapai kesepakatan untuk menjalankan GR-IJEPA, yaitu dengan mengubah beberapa peraturan perjanjian agar dapat menguntungkan pihak Indonesia. Pada tingkat internasional Indonesia akhirnya tetap melanjutkan perjanjian IJEPA dan melakukan GR-IJEPA dengan beberapa tawaran dari pihak Indonesia yang akhirnya disepakati Jepang dan persetujuan penambahan pos tariff sebagai solusi dari perubahan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang diminta oleh Jepang.

After five years of the Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) implementation, Indonesia took the initiative to propose a General Review (GR) in 2013. The GR proposal was first made by the Indonesian government on the grounds that the IJEPA agreement did not provide maximum results and was detrimental to Indonesia. The Japanese government, at that time, did not immediately agree to the proposal because Japan wanted Indonesia to amend several Ministry of Finance regulations deemed inconsistent with Indonesia's commitments in the agreement. The research question in this thesis is "How was the process of GR IJEPA until Indonesia decided to modify and continue the agreement?" The research question will be answered using a two-level game theory, by Robert D. Putnam, to see the process of GR-IJEPA and the decision of Indonesia to continue the agreement betweent two country. This study used a qualitative method with the Causal Process Tracing approach. This study found at the domestic level the Ministry of Industry, the Ministry of Trade, and the Ministry of Finance agreed to implemented GRIJEPA to change several agreement regulations in order to gain the benefit from the agreement. At the international level, Indonesia finally agreed to continued the agreement and continuing GR-IJEPA with several offers from Indonesia which finally agreed by Japan, and the approval of additional tariff posts as a solution the amendment to the Minister of Finance Regulation (PMK) that requested by Japan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nada Najiha
"Tesis ini membahas mengenai kesesuaian unsur ketentuan WTO+ dan/atau WTO-X pada RTA menurut Article XXIV GATT dan Artilce V GATS serta unsur ketentuan WTO+ dan WTO-X pada teks perjanjian IA-CEPA (Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership) sebagai RTA dengan konsep komprehensif antara Indonesia dan Australia yang berlaku secara efektif sejak 2020 lalu. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Adapun hasil penelitian mengemukakan bahwa ketentuan WTO+ sesuai dengan Article XXIV GATT, yang mensyaratkan preferensi tarif dan Article V GATS, yang membolehkan negara anggota WTO untuk membentuk kesepakatan perdagangan yang lebih liberal dibandingkan dengan apa yang sudah disepakati pada forum WTO dengan syarat mencakup ruang lingkup dan penghapusan diskriminasi. Mengenai unsur WTO-X, dalam pembentukan RTA tidak diwajibkan ada, namun pencantumkan ketentuan ini disilahkan kepada negara-negara yang hendak membentuk RTA. Dalam perjanjian IA-CEPA, unsur ketentuan WTO+ terletak pada preferensi tarif 0%, penyediaan pelatihan jasa, serta ketentuan investasi. Adapun unsur ketentuan WTO-X ditemukan pada ketentuan perdagagan elektronik (e-commerce), persaingan usaha dan kerja sama ekonomi. Melalui penelitian ini, WTO dan/atau Indonesia sebagai subjek hukum internasional, diharapkan mampu menginisasi pedoman pembentukan WTO+ dan WTO-X pada pembentukan RTA di kemudian hari.

This thesis discusses the suitability of the provisions of WTO+ and/or WTO-X in RTAs according to Article XXIV GATT and Article V GATS, and the provisions of WTO+ and WTO-X in IA-CEPA (Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership) text agreement as an RTA with the concept of comprehensive agreement between Indonesia and Australia which has been effective since 2020. The research method used in this thesis is a normative juridical approach. The results of the study express that the provisions of WTO+ are in accordance with Article XXIV GATT, which requires tariff preferences and Article V GATS, which allows WTO member countries to form trade agreements that are more liberal than what has been agreed in the WTO forum, in condition: they cover service’s scope and elimination of discrimination. Regarding the elements of WTO-X, is not required in the formation of an RTA but it is welcome to include this provision for countries wishing to form an RTA. In the IA-CEPA agreement, the elements of the WTO+ provisions lie in the 0% tariff preference, service training, and investment provisions. The elements of the provisions of WTO-X are found in the provisions of electronic commerce, competition law and economic cooperation. Through this thesis, the WTO and/or Indonesia as subjects of international law are expected to be able to initiate the guidelines for the formation of WTO+ and WTO-X in the formation of the RTA in the future."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Avina Nadhila Widarsa
"Setelah terlibat konflik politik selama lebih dari enam dekade, Cina mengambil sebuah kebijakan yang fenomenal dalam hubungannya dengan Taiwan. Pada tanggal 29 Juni 2010 disepakati suatu kerangka kerjasama ekonomi yang ditandatangani oleh Association for Relations Across Taiwan Straits (ARATS) yang mewakili pemerintah Cina dan Strait Exchange Foundation (SEF) yang mewakili pemerintah Taiwan. Penandatanganan Cross Strait Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA) ini menandai babak baru dalam hubungan lintas selat. Walaupun perjanjian tersebut bertujuan untuk meningkatkan kerjasama ekonomi yang resiprokal dan setara, dalam isi perjanjian ECFA justru lebih menguntungkan Taiwan daripada Cina. Dalam ECFA disepakati kedua pihak sepakat untuk menurunkan tarif pada produk - produk ekspornya hingga 0%. Cina bersedia menurunkan tarif bagi 539 produk impor dari Taiwan, sementara Taiwan hanya bersedia menurunkan tarif bagi 267 produk impor dari Cina. Jelas terdapat ketidakseimbangan dalam kesepakatan ekonomi tersebut. Menjadi pertanyaan yang menarik, mengapa Cina tetap mau menandatangani perjanjian yang sudah jelas merugikan baginya secara ekonomi Melalui kerangka pemikiran economic statecraft, penelitian ini mengidentifikasi bahwa Cina memiliki memiliki kepentingan di balik penandatanganan ECFA. Adapun kepentingan politik Cina dalam penandatanganan ECFA adalah sebagai tahap awal untuk mencapai reunifikasi secara damai dengan Taiwan dan sebagaim pembuktian upaya peaceful development yang dilakukan Cina di kawasan Asia Timur. Selain itu, Cina juga memiliki kepentingan ekonomi untuk menjaga aliran dana investasi langsung dari Taiwan yang menjadi salah satu penyumbang pertumbuhan ekonomi Cina.

After six decades full of hostility and political tension, China took an extraordinary action regarding her relation towards Taiwan. On June 29, 2010, an economic cooperation framework agreement was signed between Association for Relations Across Taiwan Straits (ARATS) as a representative of government of China and Strait Exchange Foundation (SEF) as a representative of government of Taiwan. The signing of Cross Strait Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA) was marking the new era of cross strait relations. While looking to improve economic cooperation reciprocally and equally, this agreement is more favor Taiwan instead of China. China agreed to reduce tariffs until 0% for 539 Taiwan export goods, while Taiwan only agreed to reduce tariffs for 267 China export goods. It is likely that China will face economic disadvantages because of this agreement. Then, the question is why China wants to sign this agreement although it doesn't give maximum advantages to her economy. Through the analysis from economic statecraft and economic cooperation as conceptual framework, this research pointed out that China has political and economic interest within this agreement. This research identified China's interest on ECFA as initial step to achieve peaceful reunification with Taiwan and as a way for China to prove the peaceful development strategy in East Asia region. Moreover, China also has economic interest towards ECFA which is to make sure Taiwan's FDI still come to China."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Haryanto
"Penelitian ini berfokus pada hubungan Jepang - Indonesia dalam penandatanganan Japan- Indonesia Economic Partnership Agreement (Jl-EPA). Perjanjian ini ditandatangani bulan Agustus 2007 di Jakarta dan menjadi babak baru keijasama ekonomi Jepang - Indonesia yang tersusun secara komprehensif.
Penelitian ini berusaha untuk mengidentifikasi kepentingan Jepang dan Indonesia dalam penandatanganan peljanjian. Penulis mengidentifikasi apa potensi Indonesia dibandingkan mitra Jepang yang lain.
Penulis menemukan tiga hal dalam hal ini, yaitu (1) Jepang ingin menjaga stabilitas perekonomian Jepang dan kawasan; (2) Jepang memandang Indonesia sebagai negara dengan cadangan gas yang cukup besar, padahal selama ini Jepang juga dikenal sebagai importir gas terbesar di dunia; dan (3) Jepang ingin meningkatkan perdagangan dengan Indonesia.
Di sisi yang lain, Indonesia memandang Jepang sebagai mitra terpenting dalam perekonomian. Jepang dan Indonesia menjalin hubungan lebih dari 50 tahun dalam banyak bidang, terutama perekonomian, pendidikan dan budaya. Tetapi hubungan yan erat ini menjadi renggang setelah krisis ekonomi 1997-1998. Penulis mengidentifikasi tiga kepentingan Indonesia dalam penandatangana JIEPA, yaitu (1) meningkatkan perdagangan dengan Jepang; (2) mengembalikan Jepang sebagai investor terbesar bagi Indonesia; dan (3) mengharapkan program capacity building dari Jepang untuk industri di Indonesia.

This research focus on Japan - Indonesia relations after signing Japan- Indonesia Economic Partnership Agreement (Jl-EPA). The partnership signed on August, 2007 and has became the most complete agreement between two countries.
This research try to identify Japan and Indonesia interest on Jl-EPA, mainly on political economy interest.
We found three Japan interest (I) Japan try to keep Japan and region stability on economy; (2) Japan look Indonesia as potential partnership for Japan energy source, mainly LNG; and (3) Japan try to enhance trade cooperation with Indonesia.
On the other side. Indonesia look Japan as the most important partner in economy. Japan and Indonesia has close relationship for the long time. But Its broken by 1997/1998 crisis. Indonesia bas three interest, (1) Increasing trade between two countries; (2) persuade Japan become investor; and (3) capacity building program for Indonesian industries.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2009
T32804
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Litania
"Kehadiran CJK FTA sebagai satu-satunya institusi formal di kawasan Asia Timur Laut menjadikan pembahasan akademik mengenai regionalisme ekonomi di Asia Timur Laut terpusat pada perkembangan institusi tersebut. TKA ini bertujuan untuk memetakan persebaran pandangan mengenai dinamika perkembangan CJK FTA melalui tiga klasifikasi taksonomi sebagai metode pengelompokkan literatur yakni (1) pengaruh aktor ekstra-regional; (2) pengaruh relasi CJK; (3) pengaruh aktor domestik. Tema pertama mencakup perdebatan akademisi mengenai peran AS dan ASEAN terhadap rivalitas CJK di kawasan Asia-Pasifik khususnya pengaruh TPP dan RCEP terhadap agenda CJK FTA. Tema kedua berfokus pada perdebatan untung-rugi CJK FTA melalui pembahasan karakter FTA ketiga negara, hubungan perdagangan intra-kawasan, hambatan sektor tarif dan hambatan aspek keamanan serta sentimen historis dalam proses negosiasi.
Tema ketiga membahas perdebatan akademisi mengenai peran institusi pemerintah dan kelompok kepentingan bisnis dalam agenda setting dan sosialisasi CJK FTA. Selain itu, tulisan ini mengidentifikasi empat perspektif teoritis dominan dan pengaruh pemikiran dalam perkembangan CJK FTA yakni realisme, liberalisme, neo-merkantilisme dan realisme neo-klasik. Berdasarkan hasil tinjauan pustaka ini, ditemukan adanya eskplorasi strategi kebijakan untuk mempercepat CJK FTA dan perlunya ragam penelitian yang mengkaji dampak regionalisme ekonomi CJK FTA terhadap kawasan diluar Asia Timur Laut.

The presence of the CJK FTA as the only formal institution in Northeast Asia has centred the academic discussion about economic regionalism on the development of this institution. This paper seeks to organize academics perspective regarding the development of CJK FTA based on taxonomic classification method, resulting three main concerns from scholars: (1) the influence of extra-regional actors; (2) relations between CJK; (3) influence of domestic actors. The first theme included academic debates about the role US and ASEAN in the rivalry of CJK in the Asia-Pacific region, particularly by the influence of TPP and RCEP upon CJK FTA agenda. The second theme focuses on CJK FTA profit and loss through comparison of FTA character, intra-regional trade relations, tariff sector, security and historical sentiments in the negotiation process.
The third theme focuses on the role of government institutions and the business sector in agenda setting and socialization of CJK FTA. Based on literature review, this paper identifies four dominant theoretical perspectives namely realism, liberalism, neo-mercantilism and neo-classical realism which are used to explain the economic regionalism in Northeast Asia. Furthermore, this paper showed an exploration of policy strategies by academics to accelerate the use of CJK FTA and further needs of studies to examine the impact of CJK FTA outside Northeast Asia.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hafiz Ghifari Berlianto
"Peringatan 50 Tahun KAA merupakan salah satu aktivitas politik luar negeri Indonesia yang berlangsung pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pertemuan ini berlangsung dari tanggal 22-24 April 2005 di Jakarta dan Bandung. Dalam pertemuan ini lebih dari 100 negara Asia dan Afrika hadir. Isu-isu yang dibahas dalam pertemuan ini adalah budaya-sosial, ekonomi, dan politik. Pertemuan ini menghasilkan sejumlah keputusan, namun yang paling penting adalah New Asian African Strategic Partnership (NAASP). Salah satu isinya adalah meningkatkan kerja sama di bidang ekonomi terutama di bidang seperti perdagangan, investasi, dan sumber daya manusia. Pengaruh Peringatan 50 Tahun KAA membawa perubahan dalam pelaksanaan politik luar negeri bilateral Indonesia. Indonesia kemudian meningkatkan hubungan bilateralnya dengan sejumlah negara di Asia dalam bidang ekonomi dari tahun 2006 hingga tahun 2009 yaitu dengan Cina, India, Jepang, dan Arab Saudi. Penulisan artikel ini menggunakan sumber primer yang mayoritas adalah surat kabar. Dalam artikel ini dicoba untuk dilihat peningkatan hubungan bilateral Indonesia dengan negara-negara di Asia setelah Peringatan 50 tahun KAA dalam bidang ekonomi. Diketahui bahwa peningkatan hubungan bilateral Indonesia dengan negara-negara Asia dalam bidang ekonomi merupakan salah satu bentuk implementasi Indonesia terhadap kesepakatan NAASP.

The 50th Anniversary of the Asia Africa Conference is one of Indonesia’s foreign policy activities that took place during the Presidency of Susilo Bambang Yudhoyono. This meeting was held from 22-24 April 2005 in Jakarta and Bandung. In this meeting more than 100 Asian and African countries attended this meeting. The main issues discussed were cultural, economic, and political issues.This meeting produced a number of agreements, with the main one being the New Asian African Strategic Partnership (NAASP). One of its main points is to increase economic relations, especially in fields such as trade, investment, and human resources. The influence of the 50th Anniversary of the Asia Africa Conference brought changes to the implementation of Indonesia’s foreign policy. Indonesia then increased its bilateral relations with a number of countries in Asia in the economic field from 2006 to 2009 namely with China, India, Japan, and Saudi Arabia. The writing of this article uses primary sources with the majority used are newspapers. In this article, the writer tries to explain the improvement of Indonesia’s foreign policy with countries in Asia after the 50th Anniversary of the Asia Africa Conference in the economic field. It is known that the increase of Indonesia's bilateral relations with Asian countries in the economic field is one form of Indonesia's implementation of the NAASP agreement.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Rollason, Russell G.
Chippendale, N.S.W.: Alternative Pub. Cooperative, 1981
337.1 ROL n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>