Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 185238 dokumen yang sesuai dengan query
cover
An Nisa Rizqa Permatasari
"Pemantauan Terapi Obat pada Neonatus Kurang Bulan, Bayi Berat Lahir Rendah, dan Sepsis di Ruang Neonatus Intensive Care Unit (NICU) RSUP Fatmawati Bulan September 2020.

Neonates, especially preterm infants have weak physical defenses and immature immune function, making them susceptible to bacterial invasion. One of the efforts to achieve the Sustainable Development Goals (SDGs), which is to reduce the incidence of neonatal mortality to 12 per 1,000 live births, it is necessary to collaborate between health workers in treating patients. Pharmacists in hospitals need to carry out their roles, one of which is by monitoring the therapy given. Data were collected directly by looking at the cardex and patient's medical records with the following criteria: less-month neonatal patients, receiving polypharmacy, patients with antibiotic therapy, and length of stay in the hospital ≥5 days. The data obtained were analyzed using the SOAP method and identified problems related to drugs. From the Monitoring of Drug Therapy (PTO), it was found that drug-related problems that occurred were dose mismatches and frequency mismatches, and analysis of the evaluation of antibiotic administration (EPA) with the Gyssens method found that the use of antibiotics was found in category IIIa, namely giving meropenem too long and category IIa, which was not the right dosage."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adinda Ayu Rafika Apriliani
"Seorang apoteker memiliki peran penting dalam praktek pelayanan kesehatan di rumah sakit dan apotek. Apoteker harus memenuhi standar kompetensi sebagai persyaratan untuk memasuki dunia kerja dan menjalani praktek keprofesiannya. Standar kompetensi apoteker di Indonesia terdiri dari sepuluh standar kompetensi sebagai kemampuan yang diharapkan oleh apoteker saat lulus dan masuk ke tempat praktek kerja profesi. Sebagai bekal dan pengalaman calon apoteker untuk dapat memahami peran apoteker dan meningkatkan kompetensi, maka dilaksanakan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di RSUP Fatmawati dan Apotek Dini selama periode bulan Februari-Juni 2020. Selama PKPA, calon apoteker diharapkan dapat memperluas wawasan, pemahaman, dan pengalaman untuk melakukan pekerjaan kefarmasian di tempat praktik kerja profesi.


A pharmacist has an important role in health services in hospitals and pharmacies. Pharmacists must meet competency standards as a requirement to enter professional work practice and undergo professional practice. Pharmacist competency standards in Indonesia consist of ten competency standards as the skills expected by pharmacists when they graduate and enter professional work practices. As a provision and experience for prospective pharmacists to be able to understand the role of pharmacists and improve competence, an internship was carried out at RSUP Fatmawati and Apotek Dini during the period February-June 2020. During internship, prospective pharmacists are expected to broaden their horizons, understanding, and experience doing pharmaceutical work in a professional work practices."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arini Fitria Zain
"Di Indonesia proporsi Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) <2500 gram pada bayi umur 0-59 bulan masih cukup tinggi, yaitu 6,2% di tahun 2013-2018. Padahal kondisi BBLR memiliki risiko lebih besar untuk mengalami morbiditas dan mortalitas dari pada bayi dengan berat badan normal. Salah satu masalah terbesar yang sering dialami BBLR adalah peningkatan risiko untuk terserang infeksi maupun sepsis, sehingga obat yang paling banyak digunakan di unit perawatan intensif neonatus adalah dari golongan antibiotik. Oleh sebab itu, diperlukannya peran Apoteker dalam melakukan praktik profesi berupa Pemantauan Terapi Obat (PTO) dalam proses pengobatan agar dapat membantu dalam mengoptimalkan efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki sehingga prognosisnya dapat menjadi lebih baik. Pelaksanaan PTO dilakukan pada tanggal 15-24 September 2020 bertempat di ruang perinatologi 2B di gedung bougenville RSUP Fatmawati berdasarkan laporan kasus yang bersifat kualitatif dengan melakukan pengamatan langsung atau observasi. Data yang diperoleh kemudian diidentifikasi terkait Drug Related Problems (DRPs) menurut Cipolle dan dianalisis rasionalitasnya pada domain antibiotik dengan metode Gyssens. Dari analisa yang dilakukan ditemukan beberapa masalah DRP menurut Cipolle yaitu terkait lama pemberian obat meropenem yang terlalu panjang; pemberian dosis yang terlalu rendah pada obat fluconazole dan ketorolac; pemilihan obat bactesyn yang tidak rasional; adanya interaksi obat fluconazole dengan omeprazole yang bersifat moderat, serta interaksi obat gentamicin dengan bactesyn yang bersifat minor jika digunakan secara bersamaan. Sementara hasil evaluasi menggunakan metode Gyssens pada penggunaan antibiotik menunjukkan obat meropenem termasuk kategori IIIa (penggunaan antibiotik terlalu lama); gentamicin termasuk kategori 0 (penggunaan antibiotika tepat/bijak); bactesyn termasuk katagori IVa (ada antibiotik lain yang lebih efektif) dan katagori IIa (penggunaan antibiotik tidak tepat dosis) apabila tetap dipertahankan penggunaannya.

In Indonesia, the proportion of Low Birth Weight Babies (LBW) <2500 grams in infants aged 0-59 months is still quite high at 6.2% in 2013-2018. In fact, LBW conditions have a greater risk of experiencing morbidity and mortality than babies with normal weight. One of the biggest problems that are often experienced by LBW is the increased risk for infection and sepsis, so the most widely drugs used in neonatal intensive care units are from the antibiotic class. Therefore, a pharmacist's role is needed in carrying out professional practice with Drug Therapy Monitoring (DTM) in order to help optimize the effect of therapy and minimize unwanted effects, so the prognosis can be better. The implementation of DTM was carried out on September 15-24, 2020 at the perinatology room 2B in the bougenville building of RSUP Fatmawati based on qualitative case reports by direct observation. Then the data was identified using the Drug Related Problems (DRPs) classification according to Cipolle and analyzed their rationality in the antibiotic domain using the Gyssens method. From the analysis conducted, it was found that several DRP problems were related to the the long duration of administration of meropenem; too low a dose of fluconazole and ketorolac; irrational choice of bactesyn; There is a moderate drug interaction between fluconazole and omeprazole, as well as a minor drug interaction between gentamicin and bactesyn when used concurrently. Meanwhile, the results of the evaluation using the Gyssens method on antibiotic use showed that meropenem was included in category IIIa (the use of antibiotic is too long); gentamicin was included in category 0 (the use of antibiotics is appropriate/wise); bactesyn was included category IVa (there are other antibiotics that are more effective) and category IIa (the use of antibiotics is not in the right dose) if its use is maintained."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Fatkhur Rohman
"Penggunaan antibiotik yang tinggi pada pasien sepsis dapat memicu penggunaan antibiotik yang tidak rasional. Upaya untuk memaksimalkan penggunaan antibiotik yang rasional merupakan salah satu tanggung jawab apoteker. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas dan kuantitas penggunaan antibiotik pada pasien sepsis di ruang rawat Intensive care unit (ICU) dengan metode Gyssens dan ATC/DDD dan mengevaluasi pengaruh intervensi apoteker dalam meningkatkan kualitas penggunaan antibiotik dan outcome terapi. Penelitian dilakukan secara prospektif selama periode Agustus-November 2018 dengan menggunakan rancangan studi pra eksperimen one grup pretest-posttest. Rekomendasi diberikan kepada penulis resep terhadap masalah ketidaktepatan penggunaan antibiotik yang ditemukan. Evaluasi kualitatif dengan metode Gyssens diperoleh hasil bahwa penggunaan antibiotik pada pasien sepsis yang rasional sebesar 85,09 % dan yang tidak rasional sebesar 14,91 %. Jenis antibiotik, jenis terapi antibiotik, jumlah antibiotik  dan lama penggunaan antibiotik berpengaruh terhadap kualitas penggunaan antibiotik. Intervensi meningkatkan ketepatan penggunaan antibiotik (0 % menjadi 64,71 %), menurunkan masalah pemilihan antibiotik (88,24 % menjadi 32,35 %), masalah lama pemberian antibiotik (5,88 % menjadi 0 %) dan masalah rute pemberian obat (5,88 % menjadi 0 %). Kualitas penggunaan antibiotik yang rasional dan yang tidak rasional berpengaruh terhadap hasil terapi. Kuantitas penggunaan antibiotik sebesar 63,84 DDD/patient-day dengan nilai terbesar pada antibiotik meropenem yaitu 32,91 DDD/patient-day.

High use of antibiotics in sepsis patients can lead to irrational use of antibiotics. Pharmacist has responsibility to improve appropriate antibiotics usage. This study was proposed to evaluate quality and quantity of antibiotics usage in sepsis patients in the Intensive care unit (ICU) ward with the Gyssens and ATC/DDD methods and evaluate whether intervention of pharmacy can improve quality of antibiotics usage and therapy outcome. The study was conducted prospectively during the period August - November 2018 using pre experiment one grup pretest-posttest design. Recommendations were given to prescribers to solve the problems of inappropriate antibiotics usage. Qualitative evaluation using that about 85.09 % antibiotic prescriptions were appropriate, and 14.91 % were inappropriate. Type of antibiotics, type of antibiotic therapy, total and duration antibiotics used by patients have effect on quality and quantity antibiotics usage. Intervention of pharmacist improve appropriateness of antibiotics (0% to 64.71 %), decrease drug choice problems (88.24 % to 32.35 %), duration problems (5.88 % to 0 %) and route of administration problems (5.88 % to 0 %). Appropriate used of antibiotics had significant different effect to outcome therapy compare with inappropriate used of antibiotics. The quantity of antibiotic use is 63.84 DDD/patient-day with the greatest value on meropenem antibiotics is 32.91 DDD/patient-day."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
T53678
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Meningkatnya kompleksitas obat-obat yang digunakan dalam pengobatan dan
berkembangnya polifarmasi, memungkinkan terjadinya interaksi obat makin
besar. Berdasarkan hasil analisa resep pasien ICU di depo farmasi IGD dan IRI
bulan Agustus 2008, didapatkan berbagai interaksi obat berdasarkan literatur
yang meliputi : 44 % interaksi farmakodinamik, 34,5 % interaksi farmasetik dan
21,5 % interaksi farmakokinetik. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh
banyaknya item obat dan makanan yang diberikan kepada pasien dengan interaksi
obat ? obat dan interaksi obat ? makanan yang terjadi. Survei yang dilakukan pada
70 pasien yang dirawat di ruang ICU RSUP Fatmawati periode Maret ? April
2010 berdasarkan instruksi harian dan rekam medik pasien. Dari hasil survei
menunjukan bahwa sebagian besar interaksi obat ? obat yang terjadi merupakan
interaksi farmakodinamik (54,87 %) dan farmakokinetik (20,35 %) dan farmasetik
(24,78 %). Interaksi yang banyak terjadi, umumnya adalah obat-obat golongan
diuretik (furosemid). Interaksi obat ? makanan yang terjadi secara farmakokinetik
(68,18 %) dan farmakodinamik (31,82 %). Berdasarkan perhitungan Chi Square
Test ada hubungan antara jumlah obat yang diberikan secara bersamaan dengan
banyaknya interaksi obat ? obat yang terjadi dan tidak ada hubungan antara
jumlah makanan yang diberikan secara bersamaan dengan banyaknya interaksi
obat ? makanan yang terjadi."
Universitas Indonesia, 2010
S33196
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rezki Yuni Adelia
"Pemantauan terapi obat (PTO) merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memastikan terapi obat aman, efektif, dan rasional bagi pasien. Pemantauan terapi obat dilakukan dengan menganalisis pilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respon terapi, reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD), serta rekomendasi perubahan maupun alternatif terapi. Pemantauan terapi obat telah termasuk sebagai salah satu pelayanan farmasi klinis pada standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit, puskesmas, dan apotek yang diatur oleh kementerian kesehatan RI. Sepsis merupakan respons sistemik pejamu terhadap infeksi, saat patogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan dengan tingkat kejadian kasus serta kematian yang cukup tinggi dan terus meningkat di seluruh dunia. Meskipun telah terdapat berbagai panduan terkait terapi sepsis yang dibuat oleh para ahli untuk menurunkan angka kematian akibat sepsis, minimnya pengetahuan SDM, ketersediaan pemeriksaan penunjang dan modalitas terapi menjadi alasan sulitnya pengimplementasian panduan terapi sepsis secara menyeluruh di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan pengambilan data menggunakan metode retrospektif. Pengumpulan data dilakukan dengan mengambil data dari rekam medis pasien yang kemudian dianalisis untuk mengetahui apakah terdapat masalah terkait obat atau DRP (Drug Related Problem). Data yang diambil berupa data identitas pasien, kajian status klinik, hasil pemeriksaan penunjang, dan profil penggunaan obat. Daari data yang dikumpulkan, dilakukan beberapa analisis, yakni interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium, analisis penggunaan antibiotik, analisis ketepatan terapi, dan analisis masalah terkait obat/DRP. Berdasarkan hasil pemantauan terapi obat, dapat disimpulkan bahwa pengobatan yang diberikan mayoritas sudah sesuai dan tidak ada masalah. Namun, terdapat beberapa masalah terapi yang kemudian dianalisis DRP nya dengan metode SOAP pada pasien. Solusi yang diberikan yaitu perlunya dilakukan pengecekan terhadap masalah terapi obat yang muncul terutama potensi interaksi obat bagi pasien yang mendapatkan obat polifarmasi, serta selalu melakukan pemantauan terhadap tanda-tanda vital pasien maupun pemeriksaan lab apabila ada kemungkinan muncul efek samping obat.

Drug therapy monitoring is an activity carried out to ensure the drug therapy is safe, effective and rational for patients. Drug therapy monitoring is carried out by analyzing drug choices, dosages, methods of drug administration, therapeutic response, adverse drug reactions (ADR), as well as recommendations for changes or alternative therapies. Drug therapy monitoring has been included as one of the clinical pharmacy services at pharmaceutical service standards in hospitals, health centers, and pharmacies regulated by the Indonesian Ministry of Health. Sepsis is a systemic response of the host to infection, when pathogens or toxins are released into the blood circulation resulting in the activation of the inflammatory process. Sepsis is a health problem with a high incidence of cases and deaths and continues to increase throughout the world. Although there have been various guidelines related to sepsis therapy made by experts to reduce mortality, the lack of knowledge of human resources, the availability of supporting examinations, and therapeutic modalities are the reasons for the difficulty in implementing comprehensive sepsis therapy guidelines in Indonesia. This research was carried out by collecting data using a retrospective method. Data collection was carried out by taking data from the patient's medical record which was then analyzed to find out whether there were drug-related problems or DRP. The data taken including the patient identity data, clinical status studies, results of supporting examinations, and drug use profiles. From the data collected, several analyzes were carried out, namely interpretation of laboratory examination results, analysis of antibiotic use, analysis of appropriateness of therapy, and analysis of drug-related problems/DRP. Based on the results of drug therapy monitoring, it can be concluded that the majority of the treatment given is appropriate and there are no problems. However, there were several potential therapeutic problems which were then analyzed by DRP using the SOAP method in patients. The solution given is the need to check drug therapy problems that arise, especially the potential for drug interactions for patients receiving polypharmacy drugs, and always monitor the patient's vital signs and lab tests if there is a possibility of drug side effects."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sharfina Fulki Adilla Hidayat
"Prevalens SNAD NKB < 34 minggu dan atau BLSR di Indonesia masih tinggi. Asuhan antenatal yang tidak adekuat, gejala infeksi saat lahir yang sulit dibedakan dengan prematuritas, dan modalitas diagnostik yang suboptimal membuat diagnosis SNAD pada populasi ini sulit. Presepsin salah satu marker infeksi meningkat saat awal infeksi berpotensi dijadikan salah satu parameter diagnostik SNAD. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat akurasi presepsin sebagai salah satu parameter diagnosis SNAD dan dibandingkan dengan CRP. Studi ini merupakan studi potong lintang terhadap 71 NKB < 34 minggu dan atau BLSR dengan faktor risiko SNAD lebih tinggi atau faktor risiko SNAD rendah yang menunjukkan gejala sepsis di Unit Perinatologi RSCM. Penelitian ini mencari nilai batas presepsin sebagai parameter diagnostik SNAD pada berbagai waktu pengambilan, kemudian membandingkannya dengan CRP. Kurva ROC dikerjakan untuk menentukan nilai batasan optimal presepsin. Penelitian ini mendapat nilai presepsin lebih tinggi pada kelompok SNAD dibandingkan dengan non-sepsis (median 814, 802, dan 693 pg/mL, p<0,05). Presepsin mencapai nilai puncaknya pada T1 sedangkan CRP pada T24. Nilai batas optimal, batas bawah dan batas atas presepsin T1 adalah 621,5, 458, 808 pg/mL. Pada T4 yaitu 733, 518,5, 733 pg/mL serta T24 yaitu 667,5, 556,5, 820,5 pg/mL. Nilai batas presepsin T1 memiliki sensitivitas 82,14%, spesifisitas 81,4%, NDP 74,19%, NDN 87,5%, dan akurasi 81,69%. Sedangkan presepsin T4 memiliki sensitivitas 60,71%, spesifisitas 93,02%, NDP 85%, NDN 78,43% dan akurasi 80,28%. Nilai batasan presepsin T24 memiliki sensitivitas 64%, spesifisitas 86%, NDP 75% dan NDN 78,7% dan akurasi 77,46%. Sebagai kesimpulan, presepsin meningkat sesaat setelah lahir jika terjadi infeksi. Presepsin T1 dapat digunakan sebagai parameter skrining SNAD dengan menggunakan nilai batasan optimal 621,5 pg/mL. Presepsin dengan berbagai nilai batasan tertentu memiliki fungsi yang berbeda dan dapat diaplikasikan ke dalam alur diagnosis dan tata laksana SNAD berdasarkan faktor risiko populasi tersebut.

Early onset neonatal sepsis prevalence in Indonesia remains high among preterm neonates born at <34 weeks' gestation and or VLBW. Inadequate antenatal care, infectious symptoms at birth that are confusing to distinguish from prematurity, and poor predictive performance of laboratory tests made diagnosis of EOS is wearisome. Presepsin, one of the biomarkers, increases early in onset of infection has potential to become diagnostic tools for EOS. The objective of this study is to find the accuracy of presepsin as one of EOS diagnostic tools and compared it with CRP. This study is a cross-sectional study of of 71 neonates born at < 34 weeks' gestation and or VLBW at higher risk of EOS or at lower risk for EOS that showing some degree of respiratory or systemic instability. Presepsin which was collected in different time interval (T1, T4 and T24), compared to diagnostic criteria of sepsis as the gold standard. The accuracy of CRP with currently cut-off points also analyzed in this study. The ROC curve was performed to determine the optimal cut-off points of presepsin. Presepsin values were higher in the EOS group than in uninfected group at T1(median 814 vs 438 pg/mL; p<0.05) T4 (802 vs 445 pg/mL; p<0.05), and T24 (693 vs 469 pg/ mL; p <0.05). Presepsin achieved best accuracy at T1 and reaches its peak value at T1 while CRP have it at T24. Optimal cut-off points, the lower limit and the upper limit of presepsin at T1 are 621.5, 458, 808 pg/mL. At T4 are 733, 518.5, 733 pg/mL and T24 are 667.5, 556.5, 820.5 pg/mL. With those optimal cut-off value, presepsin has 82.14% sensitivity, 81.4% specificity, 74.19% PPV, 87.5% NPV, and accuracy of 81.69%. Whereas presepsin at T4 has 60.71% sensitivity, 93.02% specificity, 85% PPV, 78.43% NPV and an accuracy of 80.28%. Presepsin at T24 has a sensitivity of 64%, a specificity of 86%, an NDP of 75% and an NDN of 78.7% and an accuracy of 77.46%. In conclusion, presepsin increases shortly after birth in EOS group. Presepsin at T1 can be used as EOS screening tools by using an optimal cut-off value of 621.5 pg/mL. Presepsin with certain boundary values have different functions and perhaps can be applied to the EOS diagnosis and management pathways in RSCM."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ainun Alfatma
"Upaya untuk memaksimalkan penggunaan antibiotik yang rasional merupakan salah satu tanggung jawab penting dari pelayanan farmasi. Penggunaan obat dikatakan rasional jika obat yang digunakan sesuai indikasi, kondisi pasien dan pemilihan obat yang tepat terkait jenis, sediaan, dosis, rute, waktu dan lama pemberian, mempertimbangkan manfaat dan resiko dari obat yang digunakan. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat menyebabkan pengobatan lebih mahal, efek samping lebih toksik, meluasnya resistensi dan timbulnya kejadian superinfeksi yang sulit diobati. Setelah melakukan pemantauan terapi obat pada pasien di ruang ICU RSUP Fatmawati, kesimpulan yang didapat: Pengobatan yang diterima oleh Nn. TRA sudah sesuai dengan indikasi penyakit, yaitu abses submandibularis, dengan frekuensi pengobatan dan dosis antibiotik juga dinilai sudah tepat. Pada Ny. AAH, didapatkan adanya obat yang tidak sesuai indikasi, yaitu tigecycline dan penggunaan meropenem serta levofloxacin juga tidak tepat dosis dan tidak tepat frekuensi pemakaian. Sepanjang penggunaan tigecycline, kondisi pasien justru memburuk hingga kemudian dinyatakan meninggal pada tanggal 11 April 2022 akibat gagal ventilasi dan sepsis pneumonia. Penggunaan tigecycline kemungkinan tidak efektif. Perhitungan DDD/100 patient-days, meropenem memiliki nilai DDD tertinggi,  kemudian disusul oleh amikasin, levofloxacin, metronidazole, dan tigecycline secara berurutan. Pada perhitungan DU 90 %, meropenem, amikacin, dan levofloxacin termasuk dalam segmen tersebut. Antibiotik yang memiliki nilai DDD/100 patient-days yang tinggi dan termasuk dalam segmen 90 % perlu diawasi penggunaannya dengan baik karena penggunaan yang tinggi dapat meningkatkan resiko terjadinya resisten antibiotik.

Efforts to maximize the rational use of antibiotics is one of the important responsibilities of pharmaceutical services. The use of drugs is said to be rational if the drugs used are according to the indications, the patient's condition and the selection of the right drug regarding type, preparation, dose, route, time and duration of administration, considering the benefits and risks of the drug used. Inappropriate use of antibiotics can cause more expensive treatment, more toxic side effects, widespread resistance and the emergence of superinfections that are difficult to treat. After monitoring drug therapy on patients in the ICU at Fatmawati Hospital, the conclusion was obtained: The treatment received by Ms. TRA is in accordance with the indications of the disease, namely submandibular abscess, with the frequency of treatment and dosage of antibiotics also considered to be appropriate. To Mrs. AAH, it was found that there were drugs that were not according to indications, namely tigecycline and the use of meropenem and levofloxacin, which also included incorrect doses and incorrect frequency of use. Throughout the use of tigecycline, the patient's condition worsened until he was declared dead on April 11 2022 due to ventilation failure and pneumonia sepsis. The use of tigecycline may not be effective. Calculating DDD/100 patient-days, meropenem has the highest DDD value, followed by amikacin, levofloxacin, metronidazole, and tigecycline in sequence. In the 90% DU calculation, meropenem, amikacin, and levofloxacin are included in this segment. Antibiotics that have a high DDD/100 patient-days value and are included in the 90% segment need to be monitored carefully because high use can increase the risk of antibiotic resistance."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tias Hastutie
"Antibiotika golongan sefalsoporin merupakan salah satu antibiotika yang banyak digunakan oleh pasien ICU RSUP Fatmawati Jakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengevalusi penggunaan antibiotika golongan sefalosporin pada pasien ICU. Penelitian ini dilakukan dengan metode survey yang bersifat deskriptif analitis retrospektif-prospektif. Data dikumpulkan dari Catatan Medis dan hasil pemeriksaan laboratorium (uji kultur dan sensitivitas) pasien ICU yang dirawat pada bulan Januari-September 2006.
Hasil penelitian ini menunjukkan 323 pasien ICU (68,43%) menggunakan antibiotika golongan sefalosporin. Antibiotika golongan sefalosporin yang banyak digunakan adalah seftazidim 32,68%, seftriakson 29,05% dan sefpirom 14,50%. Pada evaluasi penggunaan antibiotika golongan sefalosporin terdapat 17,96% ketidaktepatan dosis.
Hasil uji kultur dan sensitivitas menunjukkan bahwa antibiotika golongan sefalosporin telah mengalami resistensi yaitu sefaleksin (73,24%), sefotiam (71,83%), sefotaksim (63,38%), seftriakson (60,56%) dan sefpirom (60,34%). Data diuji dengan metode kai Kuadrat dan hasil yang diperoleh menunjukkan ada hubungan bermakna antara tingkat penggunaan antibiotika golongan sefalosporin dengan resistensi kuman terhadap antibiotika golongan sefalosporin di ICU RSUP Fatmawati.
Cephalosporin is the most frequently antibiotics used at Intensive Care Unit, Fatmawati Hospital Jakarta. The objective of this study is to know the description and to evaluate the cephalosporin use at Intensive Care Unit. The study conducted with analytical descriptive retrospective-prospective method. The data collected from Medical Record and laboratory test result (Culture and Sensitivity Test) of ICU patient during January until September 2006.
The result of this study indicated that 323 patient (68,43%) used cephalosporin. The most frequently cephalosporin used by ICU patient was ceftazidime 32,68%, followed by ceftriaxone 29,05% and cefpirome 14,50%. Evaluation of cephalosporin used indicated 17,96 % an incorrect doses of cephalosporin.
The result of Culture and Sensitivity Test showed that cephalosporin has been resistance including cefotiam (71,83%), cefotaxime (63,38%), ceftriaxone (60,56%) and cefpirome (60,34%). The data from the study examined with Chi Square Test Method and the result show that there was a correlation between the level of cephalosporin use and the resistance of microbe to cephalosporin at Intensive Care Unit, Hospital Jakarta.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2006
S32869
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Antarini Idriansari
"Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh developmental care terhadap fungsi fisiologis (saturasi oksigen dan denyut nadi) dan perilaku tidur-terjaga bayi berat lahir rendah (BBLR). Rancangan penelitian ini adalah quasi experimental dengan self-controlled study design. Sampel penelitian sebanyak 15 BBLR yang dirawat di ruang perinatologi RSUP Fatmawati Jakarta dan dipilih dengan teknik purposive sampling. Data dianalisis dengan paired t test dan wilcoxon test.
Hasil analisis menunjukkan terdapat pengaruh yang signifikan dari pemberian developmental care terhadap perilaku tidur-terjaga yaitu peningkatan tidur tenang (p=0,002) dan penurunan tidur aktif (p=0,003) serta penurunan denyut nadi (p=0,020), namun tidak signifikan terhadap peningkatan saturasi oksigen (p=0,234). Developmental care dapat memfasilitasi pencapaian fase istirahat yang lebih baik (yang ditandai dengan keteraturan fungsi fisiologis dan pencapaian perilaku tidur tenang), sehingga perlu diimplemetasikan dalam perawatan BBLR di ruang rawat perinatologi.

The purpose of this study was to identify the impact of developmental care on physiological function (oxygen saturation and heart rate) and sleep-awake behavior of low birth weight (LBW) infants. This study used quasi experimental with selfcontrolled study design. The samples size were 15 LBW infants in neonatal unit in RSUP Fatmawati Jakarta and whom were choosen by purposive sampling technique. Collected data were analyzed by using paired t test and wilcoxon test.
There were significant differences of developmental care on increasing quiet sleep (p=0.002), decreasing active sleep (p=0.003) and decreasing heart rate (0.020), but there was no significant difference on increasing oxygen saturation (p=0.234). This study recommend that developmental care can be implemented in caring for LBW infants in neonatal unit.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2011
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>