Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 186146 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jimmy Sunny
"Latar belakang: MRCP merupakan teknik pencitraan tidak invasif untuk mengevaluasi anatomi dan mendeteksi kelainan sistem bilier. Cairan di saluran bilier akan memperlihatkan sinyal yang tinggi pada MRCP. Salah satu keterbatasan pemeriksaan MRCP ialah cairan di saluran gastrointestinal juga memberikan sinyal tinggi yang dapat mengganggu evaluasi saluran bilier. Sari buah nanas dapat menjadi kontras oral negatif untuk menurunkan sinyal di gastrointestinal. Belum terdapat penelitian penggunaan sari buah nanas pada pemeriksaan MRCP di Indonesia dan belum terdapat penelitian yang menilai visualisasi cabang-cabang duktus intrahepatikus setelah pemberian sari buah nanas. Tujuan: Mengukur perbedaan SNR gaster dan duodenum serta perubahan tingkat visualisasi cabang-cabang duktus bilier intrahepatikus sesudah pemberian sari buah nanas pada pemeriksaan MRCP. Metode: Dilakukan pemeriksaan MRCP sebelum dan sesudah pemberian sari buah nanas pada subjek penelitian. Mengukur perbedaan rerata SNR gaster dan duodenum serta mengukur perubahan tingkat visualisasi cabang-cabang duktus bilier intrahepatikus sebelum dan sesudah pemberian sari buah nanas. Perbedaan rerata SNR gaster dan duodenum dianalisis menggunakan uji Wilcoxon dan perubahan tingkat visualisasi dianalisis dengan uji McNemar untuk menilai diskordans. Hasil: Didapatkan 25 subjek penelitian yang menjalani pemeriksaan MRCP sebelum dan sesudah pemberian sari buah nanas. Terdapat penurunan bermakna SNR gaster dan duodenum setelah pemberian sari buah nanas, 127,1 (18,7-1194,6) menjadi 42.2 (4,2-377,1) untuk gaster dan 64,1 (3,8-613.4) menjadi 44,6 (6,5-310,3) untuk duodenum (p < 0,05). Terdapat perubahan bermakna tingkat visualisasi duktus bilier intrahepatikus (p < 0,05, diskordans >50%) dengan peningkatan tingkat visualisasi duktus intrahepatikus kanan segmen anterior pada 66% pengamatan, duktus intrahepatikus kanan segmen posterior pada 58% pengamatan, dan 70% pengamatan untuk duktus intrahepatikus kiri. Simpulan: Pemberian sari buah nanas dapat menurunkan sinyal gaster dan duodenum pada pemeriksaan MRCP dan mempengaruhi tingkat visualisasi cabang-cabang duktus bilier intrahepatikus.

Background: MRCP is a non-invasive imaging technique for evaluating anatomy and detecting abnormalities of the biliary system. Fluid in biliary tract will show high signal on MRCP. One of the limitations of MRCP is high signal in gastrointestinal fluid which can interfere biliary tract evaluation. Pineapple juice as negative oral contrast can reduce signal in gastrointestinal tract. There have been no studies on the use of pineapple juice for MRCP in Indonesia, and no studies assessed the visualization of intrahepatic ductal branches after administration of pineapple juice. Objective: Measuring difference in gastric and duodenal SNR and changes of visualization of intrahepatic biliary ductal branches after administration of pineapple juice on MRCP. Methods: MRCP before and after administration of pineapple juice were performed on subjects. Gastric and duodenal SNR mean difference were measured, and analysis were done with Wilcoxon test. Level of visualization of intrahepatic biliary ductal branches were also measured and analysed with McNemar test for discordances. Results: There were 25 subjects underwent MRCP. Gastric and duodenal SNR were statistically decreased after administration of pineapple juice, 127.1 (18.7-1194.6) vs 42.2 (4.2-377.1) and 64.1 (3.8-613.4) vs 44.6 (6.5-310.3) respectively (p <0.05). Statistically significant difference was observed in visualization of intrahepatic ductal branches (p<0,05), discordance >50%) with increase in visualization of right duct anterior segment in 66% observation, right duct posterior segment in 58% observation, and 70% observation in left intrahepatic bile duct. Conclusion: Use of pineapple juice as negative oral contrast significantly reduce gastric and duodenal signal in MRCP also affect visualization of the intrahepatic biliary duct branches.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jimmy Sunny
"Latar belakang: MRCP merupakan teknik pencitraan tidak invasif untuk mengevaluasi anatomi dan mendeteksi kelainan sistem bilier. Cairan di saluran bilier akan memperlihatkan sinyal yang tinggi pada MRCP. Salah satu keterbatasan pemeriksaan MRCP ialah cairan di saluran gastrointestinal juga memberikan sinyal tinggi yang dapat mengganggu evaluasi saluran bilier. Sari buah nanas dapat menjadi kontras oral negatif untuk menurunkan sinyal di gastrointestinal. Belum terdapat penelitian penggunaan sari buah nanas pada pemeriksaan MRCP di Indonesia dan belum terdapat penelitian yang menilai visualisasi cabang-cabang duktus intrahepatikus setelah pemberian sari buah nanas. Tujuan: Mengukur perbedaan SNR gaster dan duodenum serta perubahan tingkat visualisasi cabang-cabang duktus bilier intrahepatikus sesudah pemberian sari buah nanas pada pemeriksaan MRCP. Metode: Dilakukan pemeriksaan MRCP sebelum dan sesudah pemberian sari buah nanas pada subjek penelitian. Mengukur perbedaan rerata SNR gaster dan duodenum serta mengukur perubahan tingkat visualisasi cabang-cabang duktus bilier intrahepatikus sebelum dan sesudah pemberian sari buah nanas. Perbedaan rerata SNR gaster dan duodenum dianalisis menggunakan uji Wilcoxon dan perubahan tingkat visualisasi dianalisis dengan uji McNemar untuk menilai diskordans. Hasil: Didapatkan 25 subjek penelitian yang menjalani pemeriksaan MRCP sebelum dan sesudah pemberian sari buah nanas. Terdapat penurunan bermakna SNR gaster dan duodenum setelah pemberian sari buah nanas, 127,1 (18,7-1194,6) menjadi 42.2 (4,2-377,1) untuk gaster dan 64,1 (3,8-613.4) menjadi 44,6 (6,5-310,3) untuk duodenum (p < 0,05). Terdapat perubahan bermakna tingkat visualisasi duktus bilier intrahepatikus (p < 0,05, diskordans >50%) dengan peningkatan tingkat visualisasi duktus intrahepatikus kanan segmen anterior pada 66% pengamatan, duktus intrahepatikus kanan segmen posterior pada 58% pengamatan, dan 70% pengamatan untuk duktus intrahepatikus kiri. Simpulan: Pemberian sari buah nanas dapat menurunkan sinyal gaster dan duodenum pada pemeriksaan MRCP dan mempengaruhi tingkat visualisasi cabang-cabang duktus bilier intrahepatikus.

Background: MRCP is a non-invasive imaging technique for evaluating anatomy and detecting abnormalities of the biliary system. Fluid in biliary tract will show high signal on MRCP. One of the limitations of MRCP is high signal in gastrointestinal fluid which can interfere biliary tract evaluation. Pineapple juice as negative oral contrast can reduce signal in gastrointestinal tract. There have been no studies on the use of pineapple juice for MRCP in Indonesia, and no studies assessed the visualization of intrahepatic ductal branches after administration of pineapple juice. Objective: Measuring difference in gastric and duodenal SNR and changes of visualization of intrahepatic biliary ductal branches after administration of pineapple juice on MRCP. Methods: MRCP before and after administration of pineapple juice were performed on subjects. Gastric and duodenal SNR mean difference were measured, and analysis were done with Wilcoxon test. Level of visualization of intrahepatic biliary ductal branches were also measured and analysed with McNemar test for discordances. Results: There were 25 subjects underwent MRCP. Gastric and duodenal SNR were statistically decreased after administration of pineapple juice, 127.1 (18.7-1194.6) vs 42.2 (4.2-377.1) and 64.1 (3.8-613.4) vs 44.6 (6.5-310.3) respectively (p <0.05). Statistically significant difference was observed in visualization of intrahepatic ductal branches (p<0,05), discordance >50%) with increase in visualization of right duct anterior segment in 66% observation, right duct posterior segment in 58% observation, and 70% observation in left intrahepatic bile duct. Conclusion: Use of pineapple juice as negative oral contrast significantly reduce gastric and duodenal signal in MRCP also affect visualization of the intrahepatic biliary duct branches.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jimmy Sunny
"Latar belakang: MRCP merupakan teknik pencitraan tidak invasif untuk mengevaluasi anatomi dan mendeteksi kelainan sistem bilier. Cairan di saluran bilier akan memperlihatkan sinyal yang tinggi pada MRCP. Salah satu keterbatasan pemeriksaan MRCP ialah cairan di saluran gastrointestinal juga memberikan sinyal tinggi yang dapat mengganggu evaluasi saluran bilier. Sari buah nanas dapat menjadi kontras oral negatif untuk menurunkan sinyal di gastrointestinal. Belum terdapat penelitian penggunaan sari buah nanas pada pemeriksaan MRCP di Indonesia dan belum terdapat penelitian yang menilai visualisasi cabang-cabang duktus intrahepatikus setelah pemberian sari buah nanas. Tujuan: Mengukur perbedaan SNR gaster dan duodenum serta perubahan tingkat visualisasi cabang-cabang duktus bilier intrahepatikus sesudah pemberian sari buah nanas pada pemeriksaan MRCP. Metode: Dilakukan pemeriksaan MRCP sebelum dan sesudah pemberian sari buah nanas pada subjek penelitian. Mengukur perbedaan rerata SNR gaster dan duodenum serta mengukur perubahan tingkat visualisasi cabang-cabang duktus bilier intrahepatikus sebelum dan sesudah pemberian sari buah nanas. Perbedaan rerata SNR gaster dan duodenum dianalisis menggunakan uji Wilcoxon dan perubahan tingkat visualisasi dianalisis dengan uji McNemar untuk menilai diskordans. Hasil: Didapatkan 25 subjek penelitian yang menjalani pemeriksaan MRCP sebelum dan sesudah pemberian sari buah nanas. Terdapat penurunan bermakna SNR gaster dan duodenum setelah pemberian sari buah nanas, 127,1 (18,7-1194,6) menjadi 42.2 (4,2-377,1) untuk gaster dan 64,1 (3,8-613.4) menjadi 44,6 (6,5-310,3) untuk duodenum (p < 0,05). Terdapat perubahan bermakna tingkat visualisasi duktus bilier intrahepatikus (p < 0,05, diskordans >50%) dengan peningkatan tingkat visualisasi duktus intrahepatikus kanan segmen anterior pada 66% pengamatan, duktus intrahepatikus kanan segmen posterior pada 58% pengamatan, dan 70% pengamatan untuk duktus intrahepatikus kiri. Simpulan: Pemberian sari buah nanas dapat menurunkan sinyal gaster dan duodenum pada pemeriksaan MRCP dan mempengaruhi tingkat visualisasi cabang-cabang duktus bilier intrahepatikus.

Background: MRCP is a non-invasive imaging technique for evaluating anatomy and detecting abnormalities of the biliary system. Fluid in biliary tract will show high signal on MRCP. One of the limitations of MRCP is high signal in gastrointestinal fluid which can interfere biliary tract evaluation. Pineapple juice as negative oral contrast can reduce signal in gastrointestinal tract. There have been no studies on the use of pineapple juice for MRCP in Indonesia, and no studies assessed the visualization of intrahepatic ductal branches after administration of pineapple juice. Objective: Measuring difference in gastric and duodenal SNR and changes of visualization of intrahepatic biliary ductal branches after administration of pineapple juice on MRCP. Methods: MRCP before and after administration of pineapple juice were performed on subjects. Gastric and duodenal SNR mean difference were measured, and analysis were done with Wilcoxon test. Level of visualization of intrahepatic biliary ductal branches were also measured and analysed with McNemar test for discordances. Results: There were 25 subjects underwent MRCP. Gastric and duodenal SNR were statistically decreased after administration of pineapple juice, 127.1 (18.7-1194.6) vs 42.2 (4.2-377.1) and 64.1 (3.8-613.4) vs 44.6 (6.5-310.3) respectively (p <0.05). Statistically significant difference was observed in visualization of intrahepatic ductal branches (p<0,05), discordance >50%) with increase in visualization of right duct anterior segment in 66% observation, right duct posterior segment in 58% observation, and 70% observation in left intrahepatic bile duct. Conclusion: Use of pineapple juice as negative oral contrast significantly reduce gastric and duodenal signal in MRCP also affect visualization of the intrahepatic biliary duct branches."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Rachman
"Translasi radiofarmaka dari hewan percobaan ke dosis manusia merupakan tugas yang menantang karena variasi biologis antar spesies dan kurangnya standarisasi dalam dosimetri kedokteran nuklir. Studi ini berfokus pada pengaruh seleksi model terhadap perhitungan dosis yang diserap radiasi pada kasus translasi biokinetik dari hewan ke manusia. Penelitian ini menggunakan data biokinetik rata-rata dan individu dari studi radiofarmaka 177Lu-OPS201 pada hewan dan manusia dengan menggunakan model Sum of Exponential (SoE). Analisis Goodness of Fit (GoF) dan corrected Akaike Information Criterion (AICc) digunakan untuk seleksi model. Model f_2 (t)=A_1 e^(-(λ_1+λ_phys )t) terpilih sebagai model terbaik untuk mencit, babi, dan manusia. Penggunaan data biokinetik rata-rata menghasilkan %wAICc sebesar 50,01%, TIAC referensi sebesar 5,41±0,29 jam (manusia), 1,35±0,07 jam (mencit), dan 2,23±0,17 jam (babi). Sementara penggunaan data biokinetik individu menghasilkan %wAICc sebesar 84,00%, TIAC referensi sebesar 5,41±0,24 jam (manusia), 1,35±0,07 jam (mencit), dan 1,68±0,12 jam - 2,85±0,28 jam (babi). Metode regresi linear dan allometric scalling digunakan dalam proses translasi biokinetik radiofarmaka 177Lu-OPS201 dari hewan ke manusia. Hasilnya, model terbaik dengan data biokinetik rata-rata dapat memprediksi TIAC sebesar 5,45±0,03 jam dan akurasi 99,20% mendekati referensi (regresi linear) dan TIAC prediksi sebesar 3,97±1,01 jam dan akurasi 73,50% mendekati referensi (allometric scalling).

The translation of radiopharmaceuticals from experimental animals to human doses is a challenging task due to biological variations between species and lack of standardization in nuclear medicine dosimetry. This study focuses on the influence of model selection on the calculation of radiation absorbed dose in the case of biokinetic translation from animals to humans. This study used average and individual biokinetic data from the 177Lu-OPS201 radiopharmaceutical study in animals and humans using the Sum of Exponential (SoE) model. Goodness of Fit (GoF) analysis and corrected Akaike Information Criterion (AICc) were used for model selection. The model f_2 (t)=A_1 e^(-(λ_1+λ_phys )t) was selected as the best model for mice, pigs and humans. The use of average biokinetic data resulted in %wAICc of 50.01%, reference TIAC of 5.41±0.29 hours (human), 1.35±0.07 hours (mice), and 2.23±0.17 hours (pigs). Meanwhile, the use of individual biokinetic data resulted in a %wAICc of 84.00%, a reference TIAC of 5.41±0.24 hours (human), 1.35±0.07 hours (mice), and 1.68±0.12 hours - 2.85±0.28 hours (pigs). Linear regression and allometric scaling methods were used in the process of translating the biokinetics of radiopharmaceutical 177Lu-OPS201 from animals to humans. As a result, the best model with average biokinetic data can predict TIAC of 5.45±0.03 hours and 99.20% accuracy close to the reference (linear regression) and predicted TIAC of 3.97±1.01 hours and 73.50% accuracy close to the reference (allometric scalling)."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
New York: McGraw-Hill Book Company, Inc., 1963
535.6 INF
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Riyanto
"Radiografer secara umum mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melakukan pemeriksaan pasien secara radiografi meliputi pemeriksaan untuk radiodiagnostik termasuk kedokteran nuklir dan ultrasonografi (USG) dan melakukan tindakan proteksi radiasi dalam mengoperasikan peralatan radiologi. Penelitian ini bertujuan memprakirakan risiko pajanan radiasi sinar-X pada pekerja radiasi di Departemen Radiologi RSUPN Cipto Mangunkusumo. Dalam perhitungan prakiraan risiko pajanan radiasi sinar-X, dosis pajanan radiasi sianr-X radiografer diperoleh dari hasil pengukuran film badge. Data pola aktifitas (lama kerja, frekuensi pajanan dan masa kerja) diperoleh berdasarkan hasil wawancara pada 35 radiografer di Departemen Radiologi RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan, nilai rata-rata Excess Cancer Risk (ECR) lifetime (4,8E-2) dan realtime (1,9E-2). Karena secara teoretis karsinogenisitas tidak mempunyai nilai ambang atau non threshold, maka prakiraan risiko dinyatakan unacceptable (dosis tidak dapat diterima) bila ECR < E4. Kisaran angka E-4 diperoleh dari nilai default karsinogenistas yang digunakan oleh US-EPA (1990). Berdasarkan perhitungan ECR lifetime dan ECR realtime diperoleh gambaran prakiraan risiko efek karsinogenik yang terjadi pada radiografer di Departemen Radiologi RSUPN CM, dinyatakan aceptable pada risiko kanker baik pada ECR lifetime maupun realtime.

Radiographer in general have a duty and responsibility to audit includes examined patients for radiodiagnostic including nuclear medicine and ultrasonography (USG), and radiation protection in radiology and operating equipment. This study aims to estimated the risk of X-ray radiation exposure to radiographer in the Department of Radiology RSUPN Cipto Mangunkusumo using Environmental Health Risk Analysis (ARKL). In calculating the estimated risk forecasts ARKL, risk of X-ray radiation exposure dose radiographer obtained from measurements of the film badge. Data patterns of activity (duration of work, frequency of exposure and years of work) obtained based on the results of a survey of 35 radiographers in the Department of Radiology RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Based on the calculations performed, the average value of Excess Cancer lifetime Risk (ELCR) is 4,8E-2 and the value of Excess Real-time Cancer Risk (ERRC) the average is 1,9E-2. Because theoretically carcinogenicity has non-threshold value, then the forecast is declared unacceptable when ECR < E-4. Range of numbers obtained from the E-4, carcinogenicity default values used by the US-EPA (1990). Based on the calculation of the ELCR and ERCR forecasts illustrate the risk of carcinogenic effects that occur in the radiographers in the Department of Radiology RSUPN CM, acceptable on cancer risk both in the ELCR and ERRC.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T43374
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zeth Rudy Manuel M.
"Helm sebagai salah satu alat keselamatan wajib digunakan untuk melindungi bagian kepala pemakainya dari benturan akibat kecelakaan ataupun keadaan lainnya. Dilihat dari bentuknya, helm yang baik adalah menutupi wajah dan kepala secara keseluruhan. Dimana pada bagian depannya dilengkapi kaca dari plastik untuk menghindari mata dari debu kotoran dan sinar berlebih, seperi sinar matahari atau lampu mobil atau motor lain. Sedangkan bagian atas dan belakangya tertutup rapat. Jika pada satu motor ditumpangi oleh dua orang yaitu pengendara dan penumpang tidak tertutup kemungkinan mereka sering mengadakan komunikasi. Helm sering kali menjadi penghambat komunikasi sehingga pengendara harus membuka bagian depannya dan harus menengok ke belakang. Karena hal tersebut tidak tertutup kemungkinan akan terjadi kecelakaan.
Terkait masalah di atas maka penulis tertarik untuk merancang alat komunikasi suara dengan media infra merah dimana proses pemodulasiannya menggunakan modulasi frekuensi. Selain itu alat ini mengguuakan LED sebagai sumber cahaya pada pemancar dan fototransistor sebagai detektor di sisi penerima.
Diharapkan tugas akhir ini dapat menjadi referensi mengenai prinsip kerja alat komunikasi (khususnya alat komunikasi suara menggunakan media infra merah) dan tentunya dapat menjadi acuan dalam perencanaan, perancangan maupun untuk pengembangan alat nantinya."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2006
S40725
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sibarani, Risma Laura
"Dalam penelitian ini, telah dilakukan pengukuran dosis ekuivalen di titik organ tiroid, sumsum tulang belakang, gonad dan jari tangan pada dua pekerja Instalasi Kedokteran Nuklir MRCCC Siloam serta pada dua pekerja RSPP. Hasilnya menunjukkan bahwa pengukuran telah berada di bawah nilai batas dosis (NBD) yang telah ditetapkan oleh IAEA dan BAPETEN dan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui laju dosis serta aktivitas radiasi pengion untuk setiap kegiatan dari pekerja di Instalasi Kedokteran Nuklir MRCCC Siloam dan RSPP. Evaluasi dosis ekuivalen kumulatif selama 3 bulan pada setiap organ 4 pekerja memiliki range dosis 0.05 mSv hingga 0.11 mSv pada tiroid, 0.1 mSv hingga 0.19 mSv pada sumsum tulang belakang, 0.08 mSv hingga 0.14 mSv pada gonad dan 0.05 mSv hingga 0.24 mSv pada jari tangan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dosis ekuivalen yang diterima pekerja di Instalasi Kedokteran Nuklir MRCCC Siloam dan RSPP tidak melewati batasan dosis untuk pekerja radiasi yaitu 20 mSv/tahun. Pengukuran laju dosis sesaat radiasi pengion paling besar dari setiap kegiatan pekerja ketika menginjeksi radiofarmaka kepada pasien sebesar (25.03±26.57) μGy/hr.
Within this research, measurement of equivalent doses have been conducted on the thyroid points, bone marrow, gonads and fingers for two employees at Nuclear Installation of MRCCC Siloam and two employees at RSPP. The result show that it has been below of the dose limit value (NBD) as determined by IAEA and BAPETEN and the purpose of this reasearch is to determine the dose rate of ionizing radiation in all of the activities every day of employees in Nuclear Installation of MRCCC Siloam and RSPP. The evaluation for cumulative equivalent dose of employees for 3 months on organ at risk of 4 employees have range dose 0.05 mSv to 0.11 mSv on thyroid, 0.1 mSv to 0.19 mSv on bone marrow, 0.08 mSv to 0.14 mSv on gonads dan 0.05 mSv to 0.24 mSv on fingers. This results show that radiation dose evaluation for the radiation employees in Nuclear Installation of MRCCC Siloam and RSPP is not exceed of the dose limit from BAPETEN for the radiation employee that is 20 mSv/ year. Measurement of highest dose rate in all of the employee activities is on the employee injection of radiopharmaceutical to patient that is (25.03±26.57) μGy/hr."
Depok: Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S55263
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Penjejak sinar infra merah merupakan alat untuk mendeteksi dan menunjukkan anal suatu benda yang mengeluarkan sinar infra merah di sekitamya. Penjejak sinar infra merah ini dapat pula menunjukkan suatu sumber infra merah yang bergerak. Pergerakkan sumber infra merah tersebut menyebabkan perubahan arah dari penjejak sinar infra merah, sehingga diperlukan pengendali umpan balik agar diperoleh hasil yang dunginkan. Dalam skripsi ini digunakan pengendali berbasis logika fuzzy, yaitu pengendali umpan balik yang mendasarkan pengendalinya pada teori logika fuzzy. Tujuan penerapan logika fuzzy tersebut adalah untuk memperbaiki tanggapan sistem kendali dalam mencapat kestabilannya. Perangkat keras yang digunakan dalam togas akhir ini terdiri dari tiga bagian, yaitu pendeteksi sensor, antarmuka PC, dan penggerak motor. Pendeteksi sensor memberikan masukkan pada perangkat lunak fuzzy melalui antarmuka PC. Antarmuka PC berfungsi untuk mengatur pengalamatan dan jalur data antara perangkat lunak dan perangkat keras, dan berdasarkan pengendali fuzzy, memberikan keluaran untuk menggerakkan motor. Dalam analisa respon keluaran sistem dipakai parameter rise time, settling time, percent over shoot, steady state error, dan kestabilan sistem. Hasil analisamenunjukkan bahwa pemakaian pengendali logika fuzzy dapat mempercepat rise time dan settling time, serta menghilangkan overshoot dan error steady state pada sistem kendali penjejak sinar infra merah."
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1997
S38804
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ercila Rizky Rolliana
"Latar belakang: Hampir 50% epilepsi adalah wanita terjadi pada usia reproduksi 15-49 tahun. Banyak penelitian menyebutkan bahwa terdapat interaksi antara epilepsi dengan hormon reproduksi wanita. Epilepsi temporolimbik dapat mengganggu regulasi aksis hipothalamus- hipofisis-ovarium (HHO) sehingga mengganggu hormon reproduksi dan pada akhirnya menyebabkan gangguan menstruasi. Oleh karena itu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui perubahan hormon reproduksi yang terjadi pada wanita dengan epilepsis. Pada penelitian ini juga akan dilakukan klasifikasi gangguan menstruasi pada wanita dengan epilepsi berdasarkan kriteria The International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO), dimana kriteria ini merupakan kriteria baru untuk mendefinisikan perdarahan uterus abnormal.
Metode penelitian: Penelitian ini dilakukan dengan studi potong lintang (cross sectional) untuk mengetahui karakteristik hormon reproduksi dan gangguan menstruasi pada wanita dengan epilepsi di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada September hingga Desember 2021. Data primer dan sekunder diperoleh dari rekam medis dan electronic health record (EHR) pada pasien wanita dengan epilepsi dan wanita tanpa epilepsi yang berobat ke RSUPN Cipto Mangunkusumo. Analisis data yang digunakan adalah bivariat Chi Square dan Mann Whitney. Hasil: Pada penelitian ini diperoleh 67 subjek wanita dengan epilepsi dan 50 subjek wanita tanpa epilepsi dengan rata-rata usia wanita dengan epilepsi 29,27  9,26 tahun. Onset terjadinya epilepsi adalah 18,57  9,857 tahun dengan usia menarche adalah 12,85  1,317 tahun. Onset epilepsi setelah menarche banyak terjadi sekitar 70,1%. Epilepsi lobus temporal merupakan sindrom epilepsi terbanyak sekitar 70,8%, dengan sisi kanan terbanyak sekitar 46,8%. Peningkatan hormon reproduksi khususnya hormon luteinizing hormon (LH) 10,1 (0,1-100,3) mIU/mL (p: 0,008) dan hormon estradiol 71,2 (0-3350) pg/mL didapatkan pada wanita dengan epilepsi dibandingkan dengan wanita tanpa epilepsi. Gangguan pada volume darah mentruasi didapatkan pada wanita dengan epilepsi lobus temporal dibandingkan dengan lobus ekstratemporal RR 4,255 (1,188-15,231), dengan nilai p: 0,022.
Kesimpulan: Peningkatan hormon LH dan estradiol pada wanita dengan epilepsi berhubungan dengan bangkitan epileptik yang mengganggu regulasi aksis hipothalamus- hipofisis-ovarium sehingga mengganggu hormon reproduksi.

Background : Approximately 50% of epilepsy occurs in women with the reproductive age of 15-49 years. Many studies said that there is an interaction between epilepsy and female reproductive hormones. Temporolimbic epilepsy can interfere the regulation of the hypothalamic-pituitary-ovarian (HPO) axis so that it interferes reproductive hormones and ultimately causes menstrual disorders. Therefore, this study aimed to determine the changes in reproductive hormones that occur in women with epilepsy. This study will also classify menstrual disorders in women with epilepsy based on the criteria of The International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO), where this criterion is a new criterion for defining abnormal uterine bleeding.
Method : This study was conducted with a cross sectional study to determine the characteristics of reproductive hormones and menstrual disorders in women with epilepsy at Cipto Mangunkusumo General Hospital from September to December 2021. Primary and secondary data were obtained from medical records and electronic health records (EHR) from women with epilepsy and women without epilepsy who seek treatment at Cipto Mangunkusumo General Hospital. Analysis of the data used Chi Square and Mann Whitney bivariate.
Result : In this study, there were 67 female subjects with epilepsy and 50 female subjects without epilepsy with the average age of women with epilepsy is 29,27  9,26 years. The onset of epilepsy was 18,57  9,857 years with the age of menarche is 12,85  1,317 years. The onset of epilepsy after menarche is mostly about 70.1%. Temporal lobe epilepsy is the most common epilepsy syndrome around 70.8%, with the right side being the most common around 46.8%. Increased reproductive hormones, especially luteinizing hormone (LH) 10.1 (0.1- 100.3) mIU/mL (p: 0.008) and estradiol hormone 71.2 (0-3350) pg/mL were found in women with epilepsy compared to women without epilepsy. Disorders of menstrual blood volume were found in women with temporal lobe epilepsy compared with extratemporal lobe epilepsy RR 4.255 (1.188-15.231), with p value: 0.022.
Conclusion : Elevated LH and estradiol hormones in women with epilepsy are associated with epileptic seizures that disrupt the regulation of the hypothalamic-pituitary-ovarian axis, thereby disrupting reproductive hormones.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>