Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 195147 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dinda Retnoati Rozano Prakoeswa
"Di Indonesia, sebuah negara dengan 17.491 pulau dan 1.340 suku bangsa berbeda
memungkinkan terdapat banyak individu multikultural dan terjadinya akulturasi dalam
kehidupan sehari-hari. Menurut Berry (2005), akulturasi adalah proses dari perubahan
budaya dan psikologis yang berlangsung sebagai hasil kontak antara dua atau lebih
kelompok budaya dan anggotanya. Di sisi lain, menurut Huynh et al. (2018) pengalaman
individu yang terpapar dan menginternalisasi lebih dari satu budaya, dianggap bikultural
atau multikultural. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara akulturasi dan
multikulturalisme pada dewasa muda di Indonesia. Partisipan terdiri dari 479 Warga
Negara Indonesia, memiliki minimal dua kebudayaan, usia 20-35 tahun, yang terdiri dari
1 agender, 201 laki-laki, dan 277 perempuan. Data dikumpulkan dengan Mutual
Intercultural Relations In Plural Societies (MIRIPS) dan Bicultural Identity Integration
Scale (BIIS-2) Pancultural Version 2.4.0. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi
positif antara integrasi dan harmoni (r(479) = 0,226, p<0,01), korelasi positif antara
integrasi dengan blendedness (r(479) = 0,125, p<0,01), namun juga ditemukan korelasi
positif antara marginalisasi dengan harmoni (r(479) = 0,207, p<0,01) dan korelasi positif
antara marginalisasi dengan blendedness (r(479) = 0,135, p<0,01).

In Indonesia, a country with 17,491 islands and 1,340 different ethnic groups, it becomes
possible to have many multicultural individuals and have acculturation happens in
everyday life. According to Berry (2005), acculturation is a process of cultural and
psychological change that takes place as a result of contact between two or more cultural
groups and their members. On the other hand, according to Huynh et al. (2018)
experiences of individuals who are exposed to and internalize more than one culture, is
considered as bicultural or multicultural. This study aims to see the relationship between
acculturation and multiculturalism in young adults in Indonesia. Participants consisted of
479 Indonesian citizens, having two cultures, aged 20-35 years, consisting of 1 agender,
201 men, and 277 women. Data were collected using the Mutual Intercultural Relations
In Plural Societies (MIRIPS) and the Bicultural Identity Integration Scale (BIIS-2)
Pancultural Version 2.4.0. The results showed positive evidence between integration and
harmony (r (479) = 0.226, p <0.01), indicating that integration with blendedness (r (479)
= 0.125, p <0.01), but also found positive between marginalization. with harmony (r (479)
= 0.207, p <0.01) and a positive connection between marginalization and blendedness (r
(479) = 0.135, p <0.01)."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia , 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mauluna Salsabila
"Konsep bahasa cinta menguraikan bagaimana kita mengekspresikan cinta dan memperoleh perasaan dicintai melalui lima bahasa cinta utama yaitu: word of affirmation, quality time, act of service, receiving gift, dan physical touch. Mengenali perbedaan dalam bahasa cinta dapat berdampak signifikan pada keberhasilan suatu hubungan romantis karena dapat memenuhi kebutuhan emosional pasangan dengan tepat. Sementara itu, tingkat kebutuhan emosional seseorang untuk dicintai berasal dari pola kelekatan di masa kecil. Eksplorasi dari kemungkinan hubungan keduanya berkontribusi pada pemahaman hubungan romantis dan dapat meningkatkan kemampuan untuk menavigasi hubungan intim. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi hubungan antara pola kelekatan dan bahasa cinta dewasa awal di Indonesia. 142 peserta yang pernah atau sedang berada dalam hubungan romantis dengan rentang usia 18-25 tahun dan tinggal di Indonesia (N=142) mengikuti penelitian ini. Pola kelekatan diukur menggunakan Experienced in Close Relationships-Revised (ECR-R) dan bahasa cinta diukur menggunakan Five Love Languages Scale (FLLS). Pada penelitian ini ditemukan hubungan yang signifikan antara pola kelekatan dan bahasa cinta sehingga hipotesis penelitian terbukti dan dapat diterima. Penelitian ini dapat digunakan sebagai preliminary study dalam menyelidiki dinamika hubungan antara pola kelekatan dan bahasa cinta.

One aspect of romantic relationships that is currently becoming a topic of conversation is the concept of love languages introduced by Chapman. His theory outlines how we express love and get the feeling of being loved through five main love languages: word of affirmation, quality time, act of service, receiving gifts, and physical touch. Recognizing the differences in love languages can significantly impact the success of a relationship because it can properly address the emotional needs of a partner. Meanwhile, the level of one's emotional need to be loved comes from attachment patterns in childhood. Further exploration of the two's possible relationships contributes to a more comprehensive understanding of romantic love and ultimately enhances our ability to navigate intimate relationships. This research aims to explore the relationship between love language and attachment style. 142 participants who had or were in a romantic relationship aged 18-25 years and lived in Indonesia (N=142) participated in this study. Attachment styles were measured using Experienced in Close Relationships-Revised (ECR-R) and love language was measured using the Five Love Languages Scale (FLLS). In this study, a significant relationship was found between attachment patterns and love language so that the research hypothesis was proven and accepted. This research can be used as a preliminary study in investigating the dynamics of the relationship between attachment patterns and love language."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yona Felinda Putri
"Dalam melewati masa transisi, dewasa muda di Indonesia mengalami berbagai masalah yang berkaitan dengan tahap perkembangannya. Untuk dapat menjalani kehidupannya dengan lebih baik, dewasa muda membutuhkan religiusitas. Religiusitas terbagi ke dalam dua orientasi, yaitu orientasi intrinsik dan ekstrinsik. Diketahui bahwa religiusitas salah satunya dipengaruhi oleh keterlibatan ayah. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat hubungan antara keterlibatan ayah dengan orientasi religiusitas intrinsik dan orientasi religiusitas ekstrinsik pada dewasa muda. Terdapat 193 orang, laki-laki (N=79) dan perempuan (N= 114) yang berpartisipasi dalam penelitian ini. Keterlibatan ayah diukur dengan menggunakan alat ukur Father Involvement Scale (FIS) dan religiusitas dengan menggunakan alat ukur Religious Orientation Scale-Revised(ROR-R). Uji korelasi dilakukan dengan teknik korelasi Spearman, dan menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara keterlibatan ayah dengan orientasi religiusitas intrinsik ( (193)= 0,160, p<0,05, one-tailed) dan orientasi religiusitas ekstrinsik ( (193)= 0,274, p<0,05, one-tailed). Artinya, peningkatan skor keterlibatan ayah disertai dengan peningkatan orientasi religiusitas intrinsik dan orientasi religiusitas ekstrinsik pada individu. Untuk itu, untuk meningkatkan orientasi religiusitas, ayah perlu meningkatkan keterlibatannya dalam pengasuhan.

In passing through the transition period, emerging adults in Indonesia experience various problems related to their stage of development. To be able to live their lives better, emerging adults need religiosity. Religiosity is divided into two orientations, namely intrinsic and extrinsic orientations. It is known that religiosity is influenced by father involvement. This study aims to see if there is a relationship between father involvement with intrinsic religiosity orientation and extrinsic religiosity orientation in emerging adults. There were 193 people, male (N=79) and female (N=114) who participated in this study. Father involvement was measured using the Father Involvement Scale (FIS) and religiosity using the Religious Orientation Scale-Revised (ROR-R). Correlation tests were conducted using the Spearman correlation technique, and showed that there was a positive and significant relationship between father involvement and intrinsic religiosity orientation (r_s(193)= 0.160, p<0.05, one-tailed) and extrinsic religiosity orientation (r_s(193)= 0.274, p<0.05, one-tailed). This means that an increase in father involvement score is accompanied by an increase in intrinsic religiosity orientation and extrinsic religiosity orientation in individuals. Therefore, to improve religiosity orientation, fathers need to increase their involvement in parenting."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azka Nada Fatharani
"Dewasa awal merupakan masa peralihan dari remaja menuju dewasa. Di Indonesia ditemukan data bahwa tingkat pernikahan sekaligus perceraian didominasi oleh pasangan dari kelompok dewasa awal. Untuk mengurangi perceraian, dibutuhkan kesiapan menikah. Salah satu aspek dalam kesiapan menikah adalah agama. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah religiusitas berhubungan dengan kesiapan menikah pada dewasa awal di Indonesia. Sebanyak 610 dewasa awal berusia 19-30 tahun di Indonesia menjadi partisipan pada penelitian ini. Perhitungan menggunakan Spearman Correlation dan ditemukan koefisien korelasi sebesar r=0.0373, N=610, P<0.00. Berdasarkan temuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara religiusitas dengan kesiapan menikah. Hal tersebut menandakan bahwa semakin religius seseorang, maka semakin tinggi pula kesiapan menikah yang dimilikinya.

Emerging adulthood is a period of transition from adolescence to adulthood. In Indonesia, it was found that the rate of marriage and divorce is dominated by couples from emerging adulthood. To reduce divorce, it takes readiness to marry. One of the aspect that can influence marriage readiness is religion. This study aims to determine whether religiosity is related to readiness for marriage in emerging adulthood in Indonesia. A total of 610 early adults aged 19-30 years in Indonesia were participants in this study. Calculations using Spearman Correlation and found a correlation coefficient r=0.0373, N=610, P<0.00. Based on these findings, it can be concluded that there is a significant and positive relationship between religiosity and marriage readiness. This indicates that the more religious a person is, the higher his marriage readiness will be."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dana Carera
"ABSTRAK
Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara konflik peran gender dan
agresivitas fisik, dilakukan penelitian pada sejumlah 281 orang mahasiswa
Universitas Indonesia (136 orang laki-laki) pada usia dewasa muda (18 ? 25
tahun). Partisipan diminta untuk mengisi Gender role conflict scale ? short form
(GRCS ? SF) untuk mengukur tingkat konflik peran gender, sementara variabel
agresivitas fisik diukur menggunakan Buss ? Perry Aggression Questionnaire sub
? skala agresivitas fisik. Hasilnya ditemukan adanya hubungan yang signifikan
antara konflik peran gender dan agresivitas fisik pada usia dewasa muda. Hasil
dari penelitian ini didiskusikan kemudian.

ABSTRACT
This research aimed to examine the relationship between gender role conflict and
physical aggression among emerging adults. Gender role conflict was measured
by using Gender role conflict scale ? short form (GRCS ? SF) and physical
aggression was measured by using physical aggression sub-scale from Buss ?
Perry Aggression Questionnaire. A total of 281 undergraduate students of
Universitas Indonesia participated in this study. The result showed that there is a
significant relationship between gender role conflict and physical aggression. The
findings of this study are discussed."
2016
S62810
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haura Athaya Rachman
"Masa dewasa muda merupakan sebuah masa transisi dari remaja ke dewasa di mana individu memiliki tanggung jawab yang lebih besar, mempunyai ekspektasi masa depan, dan banyak tuntutan di saat yang sama. Banyaknya tantangan yang dialami dewasa muda menyebabkan dewasa muda menjadi rentan terhadap gangguan mental. Kematangan emosi menjadi salah satu aspek penting yang harus dimiliki oleh dewasa muda agar mereka dapat menghadapi periode yang kompleks ini. Salah satu faktor yang paling berperan dalam membentuk kematangan emosi dewasa muda merupakan bahasa cinta orang tua. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara bahasa cinta orang tua dan kematangan emosi pada dewasa muda. Partisipan terdiri dari 260 dewasa muda yang berusia 18-25 tahun dan berdomisili di seluruh Indonesia. Kematangan emosi diukur menggunakan Emotional Maturity Scale (EMS) dan bahasa cinta orang tua diukur menggunakan Parental Love Language Scale (PLLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara bahasa cinta orang tua dengan kematangan emosional. Diantara lima bahasa cinta yang paling tinggi korelasinya adalah perkataan afirmasi (r = .374, p < .01), diikuti dengan waktu berkualitas (r = .197, p < .01), tindakan melayani (r = .152, p < .01), penerimaan hadiah (r = .160, p < .01), dan sentuhan fisik (r = .126, p < .05) dengan tingkat kematangan emosi.

Emerging adulthood is a transitional phase from adolescence to adulthood, marked by increased responsibilities, future expectations, and simultaneous demands. The numerous challenges faced during this period make young adults vulnerable to mental health disorders. Emotional maturity is identified as a crucial aspect for young adults to navigate this complex period successfully. One significant factor shaping emotional maturity in young adults is the parental love language. The purpose of this study was to examine the relationship between parental love languages and emotional maturity in emerging adult. The study involved 260 young adults aged 18-25 from various regions in Indonesia. Emotional maturity was assessed using the Emotional Maturity Scale (EMS), while the parental love language was measured using the Parental Love Language Scale (PLLS). The results indicated a positive and significant relationship between parental love languages and emotional maturity. Among the five parental love languages, the highest correlation is found in words of affirmation (r = .374, p < .01), followed by quality time (r = .197, p < .01), acts of service (r = .152, p < .01), receiving gifts (r = .160, p < .01), and physical touch (r = .126, p < .05), all associated with emotional maturity."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadhira Melati Putri
"Cara pandang atau evaluasi seorang individu terhadap dirinya sendiri akan cenderung positif apabila ia memiliki self-esteem yang baik. Individu pada tahap perkembangan dewasa muda (usia 18-29 tahun) dihadapi dengan berbagai tugas perkembangan serta tuntutan kehidupan di kesehariannya, sedangkan disisi lain penting juga untuk menerapkan perilaku mempromosikan kesehatan. Individu yang memiliki self-esteem yang baik diharapkan lebih mampu untuk melakukan perilaku mempromosikan kesehatan dengan lebih baik.
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti mengenai hubungan antara perilaku mempromosikan kesehatan dan self-esteem pada dewasa muda. Responden dalam penelitian ini berjumlah 798 orang dari berbagai macam daerah di Indonesia. Perilaku mempromosikan kesehatan diukur dengan Health Promoting Lifestyle Profile II (HPLP II) dan self-esteem diukur dengan Rosenberg Self Esteem Scale (RSES). Kedua alat ukur tersebut telah di adaptasi ke dalam bahasa Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada dimensi perkembangan spiritual terdapat hubungan yang positif dan signifikan dengan self-esteem. Sementara itu, pada dimensi tanggung jawab kesehatan, hubungan interpersonal, aktivitas fisik, nutrisi, dan manajemen stres tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan self-esteem.

The way individuals perceives or evaluates themselves are tend to be more positive when they have a good self-esteem. Individuals in the phase of emerging adulthood (18-29 years old) are faced with various developmental task and the demands of life, but on the other hand, to put in mind it is also important for them to implement health promoting behavior on daily basis.
This study aims to investigate the relationship between health promoting behavior and self-esteem in emerging adulthood. Respondents in this study consist of 798 emerging adulthood from various regions in Indonesia. Health promoting behavior were measured by Health Promoting Lifestyle Profile II (HPLP-II) and self esteem were measured by Rosenberg Self Esteem Scale (RSES). Both of this instrument has been adapted in Bahasa Indonesia.
The results shows that spiritual growth is positively and significantly correlated with self-esteem. Meanwhile, health responsibility, interpersonal relationships, physical activity, nutrition, and stress management are not significantly correlated to self-esteem.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Salsabila Putri Herfina
"Nilai merupakan tujuan yang bervariasi dalam kepentingannya dan berfungsi sebagai pedoman dalam kehidupan manusia. Sosialisasi budaya pada kehidupan individu juga dapat memengaruhi pemilihan perilaku mereka, serta prioritas nilai yang mungkin terbentuk dalam hidup mereka. Salah satu bentuk orientasi budaya merupakan budaya kolektivisme, dimana individu mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari kelompok dan mengutamakan tujuan kelompok. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat hubungan antara nilai dan kolektivisme pada emerging adulthood. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Portrait Value Questionnaire (PVQ)-21 untuk pengukuran nilai dan The Individualism-Collectivism Interpersonal Assessment Inventory (ICIAI) untuk pengukuran kolektivisme. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 258 partisipan emerging adults menggunakan analisis korelasional menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara 9 tipe nilai, yaitu stimulation, hedonism, achievement, power, security, conformity, tradition, benevolence, dan universalism dan empat jenis hubungan kolektivisme, yaitu keluarga, teman dekat, kolega, dan orang yang tidak dikenal, pada emerging adulthood. Adanya korelasi antara nilai dan kolektivisme diharapkan dapat menjadi sarana penanaman nilai yang positif dalam masyarakat untuk pencapaian tujuan bersama yang positif.

Values are goals that vary in importance and serve as guidelines in human life. Cultural socialization in an individual's life can also influence their choice of behavior, as well as the value priorities that may form in their lives. One form of cultural orientation is collectivism, where individuals identify themselves as part of a group and prioritize group goals. This study aims to see if there is a relationship between values and collectivism in emerging adulthood. The instruments used in this study are the Portrait Value Questionnaire (PVQ)-21 for measuring values and The Individualism-Collectivism Interpersonal Assessment Inventory (ICIAI) for measuring collectivism. The results of a study conducted on 258 emerging adults using correlational analysis showed that there is a significant relationship between 9 types of values, which are stimulation, hedonism, achievement, power, security, conformity, tradition, benevolence, and universalism and four types of collectivism relationships, which are family, close friends, colleagues, and strangers, in emerging adulthood. The correlation between value and collectivism is expected to be a means of instilling positive values in society for the achievement of positive common goals."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hana Salsabila Mahdiyah
"Indonesia merupakan negara yang beragama dan agama menjadi salah satu aspek penting dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Allport dan Ross (1967) ketaatan terhadap agama atau religiusitas individu dapat dilihat berdasarkan orientasinya, yaitu orientasi religiusitas intrinsik dan orientasi religiusitas ekstrinsik. Dalam proses individu memaknai agama dalam hidupnya, dapat dilihat dari bagaimana nilai atau value yang tertanam dalam dirinya. Nilai atau value merupakan pedoman bagi individu untuk berperilaku, mengambil keputusan, dan mengevaluasi peristiwa. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara tipe-tipe nilai Schwartz dengan orientasi religiusitas. Peneliti menggunakan alat ukur PVQ-21 untuk mengukur nilai dan Religious Orientation Scale- Revised (ROS-R) untuk mengukur orientasi religiusitas, dengan metode Pearson Correlation. Melalui penyebaran kuesioner, peneliti memperoleh 241 partisipan emerging adulthood dan menemukan hasil yang cukup beragam. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara nilai dan orientasi religiusitas. Lebih spesifik, tipe-tipe nilai yang berkorelasi dengan orientasi religiusitas intrinsik adalah benevolence, conformity, tradition, dan stimulation, sedangkan nilai yang berkorelasi dengan orientasi religiusitas ekstrinsik adalah benevolence, achievement, stimulation, tradition, hedonism, dan conformity.

Indonesia is a religious country and religion is one of the important aspects of daily life. According to Allport and Ross (1967), adherence to their religion or religiosity can be seen based on their orientation, which is intrinsic religiosity orientation and extrinsic religiosity orientation. In the process of how individuals perceive religion in their lives, it can be seen based on how values are embedded in them. Values are guidelines for individuals to behave, make decisions, and evaluate events. The purpose of this study is to see the relationship between Schwartz's value types and religiosity orientation. The researcher used the PVQ-21 to measure values and the Religious Orientation Scale- Revised (ROS-R) to measure religiosity orientation, using the Pearson Correlation method. Through the distribution of questionnaires, researchers obtained 241 emerging adulthood participants and found quite diverse results. The results showed there is a relationship between types of several values and religiosity orientation. More specifically, the types of values that correlate with intrinsic religiosity orientation are benevolence, conformity, tradition, and stimulation, while the values that correlate with extrinsic religiosity orientation are benevolence, achievement, stimulation, tradition, hedonism, and conformity."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fathan Akbar
"Indonesia dapat dikatakan sebagai negara yang kaya akan keragaman suku, agama, ras, dan budaya. Keragaman demikian salah satunya mendorong penerapan budaya kolektivisme di mana tercermin melalui semangat gotong royong. Selain itu, Indonesia turut dipandang sebagai negara beragama. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara religiusitas dan kolektivisme pada emerging adulthood. Studi kuantitatif korelasional dilaksanakan terhadap sebanyak 241 partisipan yang merupakan Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia, berusia 18-25 tahun, minimal telah menempuh pendidikan SMA/SMK sederajat, serta penganut salah satu dari enam agama yang sah di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa religiusitas dan kolektivisme memiliki hubungan positif yang signifikan pada emerging adulthood. Individu dapat membangun religiusitas sebagai sarana memupuk budaya gotong royong dan mengeksplorasi identitas melalui penerapan budaya kolektivisme.

Indonesia is a counry rich in ethnic, religious, racial and cultural diversity. Such diveristy encourages the application of a culture of collectivism, which is reflected through the spirit of gotong royong. In addition, Indonesia is also seen as a religios country. This study aims to examine the relationship between religiosity and collectivism in emerging adulthood. A quantitative correlation study was conducted on 241 participants who were citizens of the Republic of Indonesia, aged 18 – 25 years, had at least a high school education, and adhered to one of the six legal religions in Indonesia. The results showed that religiosity and collectivism have a significant positive relationship in emerging adulthood. Individuals can build religiosity as a means of fostering a culture of gotong royong and exploring identity through the application of a culture of collectivism."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>