Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 51194 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Rina Djuariah
"Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 menetapkan perlunya kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap DAS dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat setempat. Namun degradasi hutan akibat berbagai aktlvitas legal maupun ilegal telah menyebabkan laju deforestasi + 2,8 juta ha/tahun selama kurun waktu 1997-2003 (Pusat Informasi Kehutanan, 2005). Di sisi lain pemanfaatan kawasan hutan yang berakibat pada pembukaan lahan hutan bagi kegiatan pertanian dan pernukiman semakin meningkat dengan bertambahnya penduduk. Program rehabilitasi hutan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan telah diwujudkan dalam Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) pada tahun 2003 serta program Hutan Kemasyarakatan (HKm) di luar Jawa dan Pengefolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Pulau Jawa. Upaya rehabilitasi hutan di hutan lindung sebagai safah satu fungsi hutan yang diperuntukkan bagi kepentingan fungsi tata air, di pihak lain juga menjadi tumpuan masyarakat sekitar hutan sebagai sumber pendapatannya. Guna mengintegrasikan kepentingan fungsi tata air dan pemanfaatan kawasan ofeh masyarakat di sekitar hutan lindung, maka permasalahan yang ditemui adalah bagaimana mengimplementasikan paradigma baru pengelolaan hutan berbasis masyarakat di hutan lindung, dengan mencermati perangkat kebijakan yang telah tersedia dan masih dibutuhkan, serta melakukan analisis dart sisi kelayakan proyek. Sehingga penelitian ini ditujukan untuk menganalisis kebijakan yang telah tersedia dan masih dibutuhkan guna mendukung PHBM di hutan lindung dan menilai kelayakan proyek terutama dari aspek kelembagaan dan aspek finansial pembuatan tanaman budidaya kopi yang diusuikan oleh masyarakat sebagai sumber pendapatan, dengan memperhatikan aspek tata air fungsi lindung di kawasan Hutan Lindung RPH Hanjawar Timur I, BKPH Sukanegara Utara, KPH Cianjur, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Hasil indentifikasi berbagai kebijakan yang terkait dengan pengelolaan hutan lindung bersama masyarakat di Pulau Jawa, menunjukkan ketersediaan program dan peraturan baik di tingkat nasional/pusat, propinsi, dan kabupaten, yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan, Perum Perhutani dan Pemerintah Propinsi Jawa Barat. Peraturan dimaksud meliputi antara lain SK Menteri Kehutanan tentang HKm, Pedoman dan Evaluasl PHBM, Pedoman dan Petunjuk Teknis pengelolaan kawasan lindung dari Perum Perhutani, Pembentukan Kelompok Tani/Nelayan dan Tani/Hutan Propinsi Jawa Barat, Penunjukan Kader PHBM oleh ADM/KKPH Cianjur, dan pembentukan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) di Desa Campaka Mulya. Dari analisis kebijakan dan kelayakan proyek yang dilakukan, ternyata walaupun dari aspek hukum sudah tersedia peraturan yang melandasi kebijakan pengelolaan hutan bersama masyarakat di hutan lindung, namun dalam implementaslnya belum didukung oleh mekanisme perencanaan dan operasional di lapangan yang memadai. Mekanisme perencanaan pengelolaan hutan lindung yang melibatkan masyarakat sekitar hutan tergantung kepada kondisi spesifik di masing-masing lokasi hutan lindung, serta pemahaman masyarakat tentang fungsi lindung yang umumnya terbatas. Kelembagaan untuk mengelola hutan lindung bersama masyarakat yang sudah dibentuk di lokasi penelitian, belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan karena masih memerlukan peningkatan pemahaman masyarakat. Sehingga upaya penguatan kelerrrbagaan masih diperlukan melalui peningkatan kualitas sosialisasi/pendarnpingan dan perencanaan partisipatif, dengan meningkatkan kualitas penyuluhan dan koordinasi antar lembaga terkait di tingkat operasional. Penyuluhan diperlukan dalam aspek hukum dan aspek Iingkungan yang terkait dengan fungsi tata air. Sejalan dengan hal tersebut koordinasi dan kerjasama dengan berbagai pihak terkait seperti dari unsur pemerintahan, perguruan tinggi dan lembaga penelitian, perlu diupayakan. Berdasarkan aspek finansial dan ekonomi dalarn anallsis biaya manfaat untuk pengusahaan/penahaman tanaman kopi dengan pola tanam wanatani multistrata bersama jenis tanaman semusim (jagung) dan kayu-ka yuan pada hutan lindung di lokasi penelitian, layak untuk dilaksanakan terutama dengan memperhatikan aspek pasar dari harga kopi beras (hasil pengeringan. Dari aspek finansial maupun ekonomi, NPV untuk hasil kopi tanpa pengeringan bernilai positif pada tingkat infasi 7% dan 8%, dengan BCR > 1. Sec angkan dengan proses pengeringan NPV bare bernilai positif dengan BCR > 1 ketika harga kopi beras Rp.12.000, 00 untuk analisis financial dan Rp. 10.000, 00 untuk analisis ekonomi pada kedua tingkat Inflasi. Pengusahaan tanaman kopi mutu/strata bersama tanaman semusim dan kayu-kayuan selain layak secara finansial dan ekonoml, juga dapat mengintegrasikan kepentingan masyarakat dl sekitar hutan lindung dan keberlangsungan fungsi tata air. Kegiatan ini memberi hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan kawasan yang hanya didominasi oleh pohon kayu-kayuan saja, atau sebaliknya terjadi alih guna lahan hutan menjadl lahan pertanlan oleh masyarakat, Pengayaan tanaman di hutan lindung dengan jenis buah-buahan guna meningkatkan pendapatan petani dengan pengolahan tanah yang minimal, dapat pula dilakukan sesual kondisi tanah hutan. Untuk kelestarlan fungsi Iindung, penataan kawasan hutan lindung memerlukan penetapan blok pemanfaatan dengan mempertimbangkan daya dukung kawasan hutan lindung tersebut. Sedangkan dari aspek finansial dan ekonomi diperlukan pula peningkatan informasi pasar kepada petani hutan baik untuk saprodi maupun produksi kopi dan hasil hutan non kayu lalnnya. Dari aspek soslal ekonomi, pemerataan kesempatan kepada warga Dena Campaka Mulya yang belum terlibat dalam pengelolaan hutan lindung, perlu diupayakan melalui sosialisasi dan pendampingan yang melibatkan lembaga desa secara partisipatif guna menghindarkan kecemburuan soslal yang akan mendorong tindakan a sosial."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T17115
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2006
S33909
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Andharie Rahasthera
"ABSTRAK
Keberadaan Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW) sangat penting karena salah satu fungsinya sebagai penyedia air bersih. Selain untuk Kota Balikpapan, air HLSW juga panting bagi penyediaan BBM nasional. Dalam perkembangannya, terdapat potensi perbedaan kepentingan antarpemangku kepentingan dalam pengelolaan air di HLSW. Berdasarkan permasalahan, tujuan penelitian adalah mengidentifikasi: 1) Siapa saja pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan air dari kawasan HLSW; 2) Bentuk konflik, posisi dan kepentingan yang diperjuangkan pars pemangku kepentingan terhadap permasalahan pengelolaan air dari kawasan HLSW; dan 3) Rumusan pendekatan alternatif penyelesaian konflik.
Kerangka teoretik penelitian didasari atas pendekatan ekosistem (hutan lindung dan DAS), analisis konflik, posisi dan kepentingan, analisis pemangku kepentingan, dan kemitraan dalam pengelolaan lingkungan hidup sebagai solusi konflik. Kerangka berpikir penelitian didasari atas asumsi bahwa konflik pengelolaan air di HLSW disebabkan karena adanya interaksi antara komponen lingkungan alam (HLSW), lingkungan buatan (industri, pertanian, permukiman) dan lingkungan sosial (kelembagaan sektor negara-masyarakat-swasta).
Penelitian dilakukan di Kota Balikpapan pada bulan Februari-Mei 2006 menggunakan metode kualitatif. Data primer diperoleh melalui wawancara semi terstruktur, diskusi kelompok terfokus (FGD), observasi, dan catatan lapang, sedangkan data sekunder diperoleh melalui penelusuran literatur dan bentuk data lainnya. Metode pencarian responden adalah metode bola salju (snowballing), dimana sampel adalah pemangku kepentingan pada pengelolaan air dari kawasan HLSW. Pemeriksaan keabsahan data dilakukan melalui triangulasi sumber dan dianalisis dalam uraian naratif.
Kesimpulan analisis hasil penelitian adalah sebagai berikut: 1) Para pemangku kepentingan dibagi menjadi tiap sektor, yaitu pemerintah, masyarakat sipil dan swasta..Pemerintah diwakili oleh PPLH Regional Kalimantan dan pihak pengelola HLSW yaitu Pemerintah Kota Balikpapan dan BPHLSW. Masyarakat sipil diwakili oleh Perkumpulan STABIL dan Pokja Masyarakat HLSW sebagai penyedia jasa, sedangkan sektor swasta diwakili oleh PT. Pertamina UP V yang juga pengguna air dari HLSW. 2) Konflik yang terjadi adalah bagaimana para pemangku kepentingan memahami pembayaran jasa ekosistem air HLSW, serta besaran nominal yang harus dibayar PT. Pertamina UP V untuk pengelolaan HLSW sebagai klaim dari pengelola dan. masyarakat sipil. Dengan demikian, konflik yang terjadi berkaitan dengan relasi pemangku kepentingan hulu dan hilir, atau secara lebih tegasnya adalah antara pihak pengelola HLSW dengan pengguna air dari HLSW. Konflik berkembang dengan rencana pembangunan Bendungan Sungai Wain yang mengancam eksistensi waduk dan kontinuitas air yang selama ini diperoleh PT. Pertamina UP V dari Waduk Sungai Wain Pertamina. Ancarnan ini dianggap dapat mengganggu kelancaran produksi BBM nasional. Posisi para pemangku kepentingan mengenai rencana pembangunan bendungan terbagi dua, dimana pihak pengelola HLSW berada pada posisi menyetujui, dan PT. Pertamina UP V berada dalam posisi tidak menyetujui. PPLH Regional dan Perkumpulan STABIL berada dalam posisi netral-kritis. Meskipun memiliki posisi yang berbeda, pada dasamya konflik terjadi karena ketidaksepahaman bahwa sebenarnya masing-masing pemangku kepentingan bergantung atas HLSW guna memenuhi kebutuhannya. Kepentingan PT. Pertamina UP V terhadap keberadaan HLSW adalah jaminan kontinuitas air dari HLSW untuk kegiatan operasional kilang minyak Balikpapan; bagi pihak pemerintah, keberadaan HLSW sebagai penyedia air alternatif bagi Kota Balikpapan menjadikan pemerintah berencana untuk membangun bendungan baru; bagi masyarakat di sekitar HLSW, kepentingan mereka adalah adanya kontribusi atas usaha mereka menjaga kawasan hulu serta pemenuhan kebutuhan air yang selama ini tidak didapatkan clan pemerintah maupun dari PT. Pertamina sebagai pengelola Waduk Wain Pertamina; dan bagi BPHLSW, fungsi dan nilai HLSW hendaknya dapat dinikmati oleh warga Balikpapan dan penggunaan aimya hams diselaraskan dengan upaya pemeliharaan oleh pihak pengguna. Terlihat bahwa masing-masing pihak masih mengedepankan etika antroposentrisme yang ekstrem dalam relasinya dengan HLSW.
3) Dalam penelitian, diajukan alternatif penyelesaian konflik antara pemangku kepentingan dengan beberapa tahap berikut. Pada tahap awal, rekonsiliasi perlu dilakukan sebelum melakukan negosiasi. Pembayaran jasa lingkungan HLSW dipertimbangkan sebagai salah satu solusi karena dipercaya semu pihak dapat menjadi sarana penyelesaian konflik. Selain itu, peneliti menyarankan dibentuknya lembaga multipihak berupa dewan sumberdaya air untuk rpengakamodasi dan menyelesaikan permasalahan pengelolaan DAS di HLSW.
Saran yang diajukan di dalam penelitian ini adalah: diperlukannya studi yang 1ebih mendalam khususnya mengenai penekanan pada dimensi lingkungan lainnya dalam pengelolaan air dari HLSW, konsep pembayaran jasa lingkungan sebagai metode konservasi mutakhir yang mulai diterapkan pada beberapa daerah di Indonesia.

ABSTRACT
The existence of the Sungai Wain Protected Forest (SWPF) has become important especially for the Balikpapan's citizens because one of its function as providing fresh water. In the progress, there is different interest between stakeholders on how to manage water from SWPF. Based on this problem, the aims of the study are to: 1) Identify stakeholders involved in water management from SWPF; 2) Identify position and interests of stakeholders in relation to water management from SWPF conflict; 3) To propose conflict resolution alternatives.
The theoretical framework of the research was based in ecosystem approach (the interconnectedness of protected forest and water basin management) and the concept of conflict analysis, position and interest(s), stakeholder analysis and partnership on environmental management as the conflict solution. The thinking framework of the research is then based on assumptions that the conflict of SWPF's water management is caused by the interaction between the natural environment (the existence of SWPF), the constructed environment (industries, agriculture, housing) and social environment (the institution of the state-society private sector).
The research conducted by using qualitative method. Primary data were attained by semi-structured interviews, FGD, observation and field reports, while secondary data were attained from literature and other document findings. Respondents were searched by snowballing method, where the respondents are the stakeholders of water management in SWPF. The observation of data validity was done by triangulation and analyzed narrative.
The conclusion of the research findings are as follows: 1) the stakeholders were divided into government, civil society and private sector. The government sector was represented by PPLH Regional Kalimantan and the executives of SWPF (The Government of The Regency of Balikpapan and The Board Management of SWPF). The civil society sector were represented by Perkumpulan STABIL and the SWPF Community Work Group (the ecosystem service provider), and the private sector was represented by PT. Pertamina UP V Balikpapan (the ecosystem service user). 2) The conflict is how stakeholders understand the payment for watershed environmental services from SWPF, and how much PT, Pertamina UP V has to pay in order to contribute the SWPF management as it claimed from the executives of SWPF and civil society. Thus, the conflict that occurs is connected to the relation of the upstream-downstream stakeholder, as to more clearly is between the executives of SWPF and PT. Pertamina UP V Balikpapan. The conflict the developed into the next stage when the East Kalimantan government's was planning to build a dam at the Sungai Wain downstream, which the site plan is adjacent to the Sungai Wain Reservoir owned by PT. Pertamina. UP V. This plan in the progress was considered to hinder the Pertamina's water continuity from HLSW that in the future might be threating the national oil's production: The stakeholders' position of the Sungai Wain Dam plan were divided into two: where the executives od SWPF at pros and PT. Pertamina UP V Balikpapan at contras. In neutral-critical level there sre PPLH Regional Kalimantan and Perkumpulan STABIL. Although having a different position, the conflicts basically occurred because the stakeholders are not realized that each of them has the same need, basic interest and dependency to the SWPF. The interest of PT. Pertamina UP V to SWPF is the water continuity for the operational of Balikpapan's refinery; to the Government of Balikpapan, their interest is to provide the alternative source of water for Balikpapan's citizens by building a new dam near the SWPF downstream; to the community especially who lived in and surround the SWPF upstream area, their interests are having a contribution for their effort on preserving SWPF and the fulfilment of their clean water needs which has never been obtained from the government or from PT. Pertamina UP V as the direct beneficiary of SWPF water. To the Board Management of SWPF, their interets are how SWPF function and values can be enjoyed by the citizens of Balikpapan Regency, and how its utilization can be harmonious to the conservation effort by users. This research has analyzed that the conflict has also caused of the extreme anthropocentrism that used by the stakeholder on its relation to SWPF's ecosystem services.
3) As an alternative, this research proposes an initiation of reconciliation between stakeholders before making any negotiation. The payment for watershed environmental services (PES) can be considered as one of many potential solutions because it is believed by the stakeholders that its implementation can resolve the conflict. Before that, the research also suggests to form the multi stakeholder collaborative institution (water board) that can accommodate and solve the SWPF watershed management problems in the future.
The suggestions of this research are the needs to the complementary praxis studies of the technical consideration on water management in SWPF, especially the environmental impact analysis if the dam is planned to be build. The same suggestion goes to the PES concept studies as the new conservation strategy that recently has been implemented to some areas in Indonesia.
"
2007
T20486
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Muslihudin Sharbinie
"Sumberdaya alam termasuk didalamnya sumberdaya hutan merupakan sumberdaya yang rentan terhadap konflik mengingat sumberdaya alam terikat dalam suatu lingkungan yang saling terkait. Suatu kegiatan tertentu yang dilakukan oleh individu akan berdampak terhadap lingkungan baik lingkungan sendiri atau lingkungan di luar dimana ia berada; sumberdaya alam terikat dalam suatu ruang sosial dimana hubungan yang komplek dan tidak seimbang terjalin yaitu antara berbagai aktor sosial seperti eksportir hasil bumi; petani, etnis minoritas maupun pemerintah; sumberdaya alam yang tersedia cenderung berkurang karena adanya perubahan-perubahan lingkungan yang pesat, permintaan yang cenderung meningkat dan distribusi yang tidak merata ; pemanfaatan sumberdaya alam dilakukan dalam cara-cara yang berbeda dan merupakan suatu simbol tertentu.
Karena faktor-faktor tersebut, konflik yang berkenaan dengan pengelolaan sumberdaya alam merupakan hal yang banyak ditemukan. Keadaan seperti itu terlebih lagi setelah berakhirnya Perang Dingin. Konflik dalam negara (intra-state conflict) terutama di negara-negara berkembang cenderung meningkat. Berbagai isu konflik muncul ke permukaan termasuk konflik yang berkenaan dengan isu lingkungan seperti konflik pengelolaan Hutan Lindung di Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung, Indonesia.
Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi konflik di Kabupaten Lampung Barat adalah dengan melakukan kerjasama dengan salah satu INGOs yaitu the International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF). Sejak tahun 2000 ICRAF telah melakukan mediasi dalam upaya mencari pemecahan konflik. Fenomena tersebut membuktikan bahwa sebagai aktor non-state INGOs memiliki peranan yang signifikan. Mediasi sebagai salah satu pendekatan pemecahan konflik memiliki potensi terhadap perubahan pada aktor-aktor yang terlibat konflik maupun pada kebijakan yang berlaku. Pertanyaannya adalah bagaimana peta konflik pengelolaan sumberdaya tersebut, apa dampak mediasi ICRAF terhadap kebijakan yang berlaku dan bagaimana implikasinya terhadap kebijakan pengelolaan sumberdaya Hutan Lindung di Kabupaten Lampung Barat di masa yang akan datang.
Peneltian ini bertujuan untuk mengkaji fenomena dampak mediasi ICRAF terhadap aktor-aktor yang terlibat konflik dan kebijakan pengelolaan Hutan Lindung di Kabupaten Lampung Barat. Untuk mengkaji fenomena tersebut digunakan perspektif pluralisme. Sebagai sebuah pendekatan pluralisme memandang bahwa gambaran hubungan internasional didasarkan pada empat asumsi pokok yaitu: Pertama, aktor non-negara, merupakan entitas yang penting dalam politik dunia. Organisasi internasional termasuk di dalamnya Non-Governmental Organisations (NGDs) misalnya dalam isu tertentu merupakan aktor yang independen. Mereka bukan hanya merupakan sebuah forum dimana negara-negara berlomba dan bekerjasama satu sama lain dengannya. Dalam organisasi internasional tertentu mereka memiliki kapasitas dalam hal menentukan agenda dan menyediakan informasi yang mampu mempengaruhi bagaimana suatu negara menentukan arah kebijakan tertentu. Kedua, bagi pluralis negara bukan merupakan aktor uniter. Negara merupakan aktor yang terdiri dari individu, kelompok kepentingan dan birokrat. Dalam pandangan pluralis, sebuah keputusan yang dibuat oleh suatu negara pada dasarnya merupakan sebuah keputusan yang sebenarnya dibuat oleh koalisi pemerintah, birokrat dan bahkan individu. Ketiga, bagi pluralis negara bukan merupakan aktor rasional. Pandangan ini bertentangan dengan asuinsi realis yang memandang bahwa negara merupakan aktor rasional. Keempat, bagi pluralis agenda politik internasional bersifat luas (ekstensif). Disamping isu keamanan negara isu-isu ekonomi, sosial, ekologi, perdagangan. moneter, energi, kelaparan dan degredasi lingkungan bagi pluralisme merupakan agenda internasional dan memerlukan pemecahan secara global.
Tesis ini membuktikan bahwa, mediasi ICRAF dalam pengelolaan konflik Hutan Lindung di Kabupaten Lampung Barat berdampak terhadap aktor dan kebijakan-kebijakan yang berlaku. Terbentuknya kelembagaan yang memiliki kapasitas dalam mengkaji potensi sumberdaya alam dan memiliki wewenang dalam memformulasikan kebijakan-kebijakan telah memungkinkan aktor terkait sebagai bagian yang turut menentukan arah kebijakan pengelolaan sumberdaya alam tersebut. Kepemilikan lahan (land tenure) dalam bentuk ijin HKm. (Hutan Kemasyarakatan) yang diberikan oleh pemerintah kepada petani merupakan salah satu indikator bahwa pemerintah telah menaruh kepercayaan kepada petani dalam pengelolaan sumberdaya tersebut. Adanya jaminan kepemilikan lahan, peningkatan kemampuan dalam pengelolaan konflik dan peningkatan teknologi pengelolaan sumberdaya tersebut akan memungkinkan terbentuknya satu sistem pengelolaan sumberdaya Hutan. Lindung yang sesuai dengan perspektif pandangan aktor-aktor terkait. Dengan demikian visi pembangunan kehutanan Kabupaten Lampung Barat yaitu untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari akan lebih mudah tercapai."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14096
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Hanafi Sofyan
Jakarta : Elex Media Komputindo (Gramedia), 2000
332.642 HAN p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Taufik Sukma Wijaya
"Kabupaten Solok Selatan mempunyai luas 357.533 Ha. Yang sebagian besar merupakan kawasan hutan seluas 235.734 ha (65,9 %), selain berfungsi sebagai kawasan lindung juga diperuntukan bagi hutan nagari dan atau hutan masyarakat. Aspek-aspek yang menjadi sorotan adalah telah terjadi kehilangan hutan di Kabupaten Solok Selatan sebanyak 6,37 persen atau setara dengan 21 ribu hektar. Pada tahun 1994 luas hutan di Solok Selatan tercatat 146 ribu hektar atau sekitar 43 persen, pada tahun 2002 terjadi penurunan menjadi 125 ribu hektar atau tinggal 36 persen dari total wilayah Solok Selatan. Penurunan tutupan hutan di Kabupaten Solok Selatan ini disebabkan karena perubahan fungsi kawasan menjadi perkebunan sawit. Tutupan hutan di Solok Selatan diperkirakan akan terus berkurang disebabkan karena di wilayah ini juga terdapat perusahaan yang memegang izin HPH.
Dari data yang dikumpulkan melalui wawancara mendalam, serta observasi ditemukan bahwa benar adanya masyarakat tidak mengetahui batas kawasan hutan sehingga menyebabkan masyarakat menyerobot hutan lindung. Penyebab masyarakat merambah hutan dikarenakan kurangnya lahan budidaya. Di Kabupaten Solok Selatan jumlah lahan yang dapat dibudidayakan oleh masyarakat hanya sebesar 30 % sisanya 70 % merupakan kawasan hutan lindung.
Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa Penulis mengapresiasi upaya Pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Kehutanan dan Perkebunan dalam upaya melestarikan hutan melalui program-program nya. Diharapkan program-program pembinaan, pendampingan dan pengawasan sebagaimana yang telah disusun oleh Dinas Kehutanan dapat menyentuh langsung masyarakat yang tinggal di kawasan hutan lindung.

Southern Solok district extends 357.533 Ha. Most of that region is 235.734 Ha forest area (65,9%), as a protected area is also designed for nagari forest or community forest village.The main aspects of forest loss has occuned 6,37% or 21 Ha. In 1994 Southern Solok forest are was 146.000 Ha or 43% and in the year of 2002 has been a declined to 125.000 Ha or about 36 % from the total range of Southern Solok. The reduction of the forest in Southern Solok is the changes of function from forest in to oil palm forest cover in southern solok is continue to decrease because in this region there is a company that holds the concession license.
The data collected through interview and observations,discovered that people do not know the forest boundaries that causing people grab the protected forest.In southern solok amount of land cultivated by the people only by 30 % and 70 % remaining is a protected forest area.
The results of the study concluded that the outher appreciate the efforts of a local government or Dinas Kehutanan dan Perkebunan to preserve the forest through the programs.the programs are expected to coaching,mentoring and supervision as it has been drafted by Dinas Kehutanan dan Perkebunan may directly touch the people that living close in protected forest"
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>