Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 156587 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tambunan, Dora Virgolin
"

Agunan yang diambil alih (AYDA) merupakan salah satu upaya yang dilakukan Bank untuk menyelesaikan kredit bermasalah yang bertujuan menurunkan rasio non performing loan (NPL) dan menjaga kualitas kredit Debitur. Dalam ketentuannya terdapat 3 (tiga) mekanisme yang dapat dilakukan Bank dalam melaksanakan AYDA yaitu melalui lelang, penyerahan sukarela oleh pemilik agunan, atau surat kuasa menjual diluar lelang. Agunan yang di AYDA dalam pembahasan ini berupa objek Hak Tanggungan yang mana dalam proses pelaksanaanya Debitur ternyata mengalami Pailit. Permasalahan yang akan dibahas adalah implikasi hukum kepailitan tersebut terhadap Bank yang telah melaksanakan AYDA namun dalam prosesnya Debitur ternyata dinyatakan Pailit. Tesis ini bertujuan untuk meneliti kepastian hukum yang ditimbulkan pada saat Bank melaksanakan AYDA melalui mekanisme tertentu yang dipilih oleh Bank sehubungan dengan harta boedel pailit dan aset yang telah dilakukan pengambilalihan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan undang-undang dengan studi kepustakaan mengacu pada data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi, literature dan buku-buku yang relevan. Adapun hasil penelitian ini terhadap ketiga mekanisme AYDA tersebut ternyata memiliki implikasi hukum yang berbeda ketika Debitur dinyatakan Pailit, yaitu terhadap proses pengambilalihan melalui PPJB dan/atau Surat Kuasa menjual di Luar Lelang ternyata aset yang di AYDA melalui cara tersebut tetap dimasukkan ke dalam harta Pailit. Bank yang telah melakukan AYDA sesuai ketentuan yang berlaku membutuhkan kepastian hukum bahwa hak-haknya dilindungi dalam pelaksanaan AYDA tersebut.

 

 


Foreclosed collateral (AYDA) is one of the efforts undertaken by the Bank to settle problem loans with a non-performing loan ratio (NPL) and guarantee the quality of Debtor loans.  In order, there are three mechanism that Bank can use in AYDA through auction, voluntary surrender by the collateral owner, or selling authority letter through the auction.  The collateral in AYDA in this discussion is the object of the Mortgage which in the process of implementation The issue to be discussed is the implication of bankruptcy law against the Bank that has implemented AYDA but in the process.  The debtor is declared bankrupt.  This thesis discusses the legal protection that arises when the Bank implements AYDA through certain regulations chosen by the Bank related to bankrupt bank assets and assets that have been carried out must be transferred.  The research method used is normative legal research using laws with a literature study on secondary data such as legislation, official documents, literature, and relevant books.  The following are the results of research conducted on this AYDA that claims to have different implications from the compilation of Debtors declared Bankrupt, namely to the transition process through PPJB and/or Power of attorney selling outside the Auction, looking for assets in AYDA through this method available to each  - with the bankrupt property.  Banks that have conducted AYDA in accordance with the provisions that require legal certainty about their rights approved in the implementation of AYDA.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zefanius Fransisco
"Salah satu praktek dalam perbankan adalah adanya keberadaan jaminan/agunan di dalam melakukan perjanjian kredit. Dalam perkembangannya dalam melakukan pemberian kredit terdapat masalah saat ternyata agunan yang diberikan dalam proses perkreditan ternyata merupakan hasil dari tindak pidana yang menyebabkan terjadinya penyitaan untuk pengembalian kerugian negara. Penelitian ini mencoba menganalisis mengenai apakah penyitaan tersebut sesungguhnya dapat menghilangkan hak preferent maupun hak parate eksekusi yang dimiliki oleh bank sesaat setelah melakukan peletakan hak tanggungan terhadap asset yang dijadikan jaminan. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan teknik pengumpulan data sekunder atau bahan pustaka. Dari penilitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa pada
konsep hukumnya sendiri hak preferent dan hak parate eksekusi tidak dapat dirampas oleh negara karena adanya asas droit de suite dan droit de preferent, akan tetapi apabila terjadi perampasan yang dilakukan oleh negara maka hilanglah kedua hak tersebut karena walau dapat dimintakan kembali agunan tersebut tapi harus melawati proses yang panjang yang menghilangkan hak parate eksekusi maupun hak preferent. Maka dari itu penulis menyarankan seharusnya undang-undang lebih diperbaharui sehingga dapat lebih menjelaskan lagi mengenai agunan yang terbukti merupakan hasil tindak pidana. Serta penegak hukum yang melakukan penyitaan harusnya melakukan pemeriksaan terhadap benda yang akan disitanya, apakah diatas benda tersebut terdapat hak pihak ketiga yang dilindungi oleh Undang-undang.

In bankin practice making credit agreements there are existence of collateral. In its development in giving credit there was a problem when it turned out that the collateral provided in the credit process turned out to be the result of a criminal act that caused seizure of the object to recover state losses. This study attempts to analyze whether the confiscation can actually eliminate preferential right and parate execution right held by the bank shortly after placing the mortgage right on the assets that are used as collateral. Approach method used in this research is normative juridical with technique of collecting of secondary date or library material, which then analyzed by using qualitative method. From the research conducted, it can be concluded than in the legal concept the preferential right and parate execution right cannot be confiscated by the state beause the legal concept the preferential rights and parate execution rights cannot be confiscated by the state because the principle of droit de suite and droit de preferent, but if there is a seizure carried out by the state it meants then the two rights are lost because even if the bank can collect the collateral again but bank had to go through a long process that eliminated the parate execution and preferential rights. Therefore the authors suggest that the law should be renewed so that it can further explain about collateral which is proven to be the result of a criminal act. As well as law enforcers who carry out seizures should conduct an inspection of the objects before confiscated it, whether there are rights to the third party which are protected by law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52709
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Kurnia Saputra
"Tesis ini membahas penyelesaian kredit macet oleh Bank dengan melakukan pengambilalihan agunan debitur (AYDA). Pada praktiknya penyelesaian kredit macet melalui mekanisme pengambilalihan agunan debitur (AYDA) tidaklah mudah dan ditemui beberapa masalah dan hambatan. Oleh karena penelitian ini bermaksud menganalisis pelaksanaan pengambilalihan agunan debitur (AYDA) pada praktik yang ada di lapangan khususnya dalam hal ini pada PT Bank X sebagai alternatif penyelesaian kredit macet dan mengidentifikasi apa saja hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan AYDA pada PT Bank X serta upaya yang perlu dilakukan Bank untuk mengatasi hambatan tersebut. Penulisan tesis ini menggunakan metodologi penelitian yuridis normatif yaitu mengkaji Peraturan Perundang-undangan, teori hukum dan yurisprudensi yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Data penelitian yang dipergunakan meliputi data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan melalui wawancara serta data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Tipologi penelitian ini adalah deskriptif analitis dan metode analisis data dengan yuridis kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa penyelesaian kredit macet pada PT Bank X melalui mekanisme AYDA dilakukan berdasarkan rekomendasi Komite Remedial dan pengambilalihan diserahkan kepada Divisi Penyelesaian Kredit (DPYK) baik melalui jual beli secara langsung, pelelangan ataupun pemberian surat kuasa oleh pemilik agunan. Setelah pengambilalihan agunan, Bank juga wajib melakukan pengelolaan, perawatan dan monitoring secara berkala terhadap penyelesaian AYDA yang dimiliki. Hambatan dalam pelaksanaan AYDA pada PT Bank X dapat timbul baik dari aspek internal seperti biaya AYDA yang cukup besar dan pengendalian internal yang lemah dalam pelaksanaan AYDA, serta aspek eksternal seperti hambatan dari pihak ketiga/pemilik agunan dan hambatan yang berasal dari Negara (Pemerintah).

This thesis discusses the settlement of bad debts by the Bank by acquisition of the debtor collateral (Foreclosed Collateral). In practice, the settlement of bad debts through the mechanism of debtor collateral acquisition is not easy and encountered several problems and obstacles. Therefore this study intends to analyze the implementation of the debtor collateral acquisition (Foreclosed Collateral) on practices, especially in this case at PT Bank X as an alternative bad debts settlement and explain what obstacles are encountered in implementing Foreclosed Collateral at PT Bank X as well as necessary efforts conducted by the Bank to overcome these obstacles. This thesis uses a normative juridical research methodology, including studying legislation rules, legal theory and jurisprudence that are relevant to the problem under study. The research data used includes primary data which is data obtained directly from the field through interviews and secondary data obtained through the study of literature. The typology of this research is analytical descriptive and the data analysis method used is qualitative juridical. The results showed that the settlement of bad debts at PT Bank X through the Foreclosed Collateral mechanism was carried out based on the Remedial Committee recommendations and the collateral acquisition was carried out by the Credit Settlement Division (DPYK) either through direct buying and selling, auctions or the issuance of a power of attorney. After the Bank has taken over the debtor`s collateral (Foreclosed Collateral), Bank is required to manage, maintain and monitor periodically the Foreclosed Collateral settlement. Obstacles in the implementation of debtor collateral acquisition (Foreclosed Collateral) in PT Bank X can arise either from internal aspects such as big cost and weak internal controls in the implementation of debtor collateral acquisition (Foreclosed Collateral), as well as external aspects such as obstacles from third parties/owners of collateral and obstacles originating from the State (Government). "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52548
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas Prayuda Aprindo
"Perlindungan yang diberikan oleh hukum bagi Kreditur atau perbuatan debitur yang dapat merugikan kreditur adalah melalui lembaga actio pauliana. Actio Pauliana dilakukan oleh kreditur untuk melindungi budel pailit dari perbuatan debitur yang tidak diwajibkan untuk dilakukannya atau dilarang sebelum putusan pailit diucapkan. Mengingat pentingnya penerapan actio pauliana sebagai instrument perlindungan bagi para kreditur maka, berdasarkan latar belakang penelitian ini menghasilkan tiga (3) permasalahan yang dibahas, yakni: 1) Bagaimanakah sistem pembuktian terhadap suatu tindakan debitur dapat dinyatakan memenuhi syarat-syarat berlakunya actio pauliana 2). Bagaiamana perlindungan hukum terhadap kreditur maupun pihak ketiga terkait lembaga actio pauliana? 3). Apa yang menjadi kelemahan-kelemahan actio pauliana dalam memberikan perlindungan hukum kepada kreditur?
Adapun metode penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini yakni menggunakan metode yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis adalah penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan hukum, asas-asas hukum serta peraturan hukum yang ada hubungannya dengan pokok bahasan. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara library research dan field research.
Berdasarkan penelitian hukum dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Sistem pembuktian dalam actio pauliana adalah sistem pembuktian terbalik dimana dalam hal ini membebankan pembuktian terhadap perbuatan hukum debitur yaitu debitur pailit apabila perbuatan hukum debitur tersebut dilakukan dalam waktu sebelum putusan pailit diucapkan. Sebaliknya, jika kurator menilai bahwa perbuatan hukum tersebut merugikan kepentingan kreditur atau harta pailit, maka yang wajib membuktikan adalah kurator dengan membuktikan bahwa perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan oleh mereka dan perbuatan hukum tersebut merugikan harta pailit. (2) Perlindungan hukum terhadap kreditur maupun pihak ketiga terkait lembaga actio pauliana yaitu kreditur mempunyai hak untuk mengajukan pembatalan kepada pengadilan terhadap perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur sebelum dinyatakan pailit yang mengakibatkan kerugian bagi kreditur dan bagi pihak ketiga memberikannya hak untuk tampil sebagai Kreditur konkuren untuk mendapatkan hak-haknya. (3) Kelemahan-kelemahan actio pauliana dalam memberikan perlindungan hukum kepada kreditur ketidakjelasan pengadilan mana yang berwenang memutus perkara actio pauliana, pembuktiannya yang tidak sederhana, tidak adanya tolak ukur itikad baik dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, legal standing kurator yang lemah, dan kemungkinan pengalihan aset ke pihak lain sehingga mempersulit kurator dalam melakukan pembuktian.

The protection provided by law for creditors or debtor actions that can harm creditors is through the Pauliana Action Agency. Actio Pauliana is carried out by the creditor to protect the bankrupt bankrupt from the actions of the debtor that are not required to be carried out or prohibited before the bankruptcy decision is pronounced. Given the importance of implementing actio pauliana as an instrument of protection for creditors, based on the background of this study, three (3) issues were discussed, namely: 1) How can the system of proof for an act of a debtor be declared to fulfill the requirements for the validity of actio pauliana 2). How is the legal protection for creditors and third parties related to the actio pauliana institution? 3). What are Actio Pauliana's weaknesses in providing legal protection to creditors?The research method used in this research is using a normative juridical method which is descriptive analytical in that it is a legal research of literature which is carried out by examining legal materials, legal principles and legal regulations that are related to the subject matter. Data collection techniques were carried out by means of library research and field research.Based on legal research, it can be concluded as follows: (1) The evidentiary system in actio pauliana is a reversed evidentiary system which in this case imposes a burden of proof on the legal actions of the debtor, namely the bankrupt debtor if the debtor's legal actions were carried out before the bankruptcy decision was pronounced. Conversely, if the curator considers that the legal action is detrimental to the interests of creditors or bankrupt assets, then it is the curator who is obliged to prove by proving that the legal action is not obligatory to be carried out by them and the legal action is detrimental to the bankrupt assets. (2) Legal protection for creditors and third parties related to the actio pauliana institution, namely the creditor has the right to submit an cancellation to the court of legal actions carried out by the debtor before being declared bankrupt which results in losses for the creditor and for third parties gives him the right to appear as a concurrent creditor for get their rights. (3) Actio pauliana's weaknesses in providing legal protection to creditors is unclear which court has the authority to decide on the actio pauliana case, the evidence is not simple, there is no good faith benchmark in Law Number 37 of 2004, weak legal standing of curators, and the possibility of transferring assets to other parties, making it difficult for the curator to prove."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lestari Chairani
"Ada beberapa permasalahan yang perlu dikemukakan dalam tulisan ini, yaitu alasan-alasan apa saja yang ditetapkan oleh suatu bank dalam menentukan debitur wanprestasi dan perlu atau tidaknya penyelesaian kredit macet melalui AYDA berupa tanah dan bangunan? Bagaimana proses pelaksanaan penyelesaian kredit macet melalui AYDA pada suatu bank? Dan hambatan-hambatan apa saja yang terjadi dalam proses pelaksanaan penyelesaian kredit macet melalui AYDA tersebut? Sedangkan dalam menganalisa permasalahan tersebut di atas digunakan pendekatan yuridis normatif, dengan cara meneliti bahan pustaka dan data sekunder berkenaan dengan pokok masalah dan dikaitkan dengan prakteknya di lapangan. Alasan-alasan yang digunakan bank dalam menentukan kredit bermasalah/macet didasarkan pada 3 (tiga) aspek penilaian, yaitu prospek usaha, performance dan kemampuan bayar. Dari ketiga aspek tersebut dapat ditentukan tingkat kolektibilitas, yaitu lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan dan macet. Jika kredit macet, maka bank akan melakukan berbagai upaya penyelesaian, salah satunya melalui pengambilalihan asset debitur (AYDA) yang dijaminkan pada bank. AYDA dilakukan karena peliknya eksekusi Hak Tanggungan dan meningkatnya jumlah kredit macet dalam waktu singkat yang berpengaruh negatif terhadap tingkat kesehatan bank. Dalam prakteknya, AYDA dilakukan melalui Perjanjian Perikatan Jual Bell (PPJB) dan Kuasa Jual yang tentunya berisiko bagi bank itu sendiri karena PPJB belum mengalihkan status kepemilikan atas jaminan kepada pembeli. Hal ini dilakukan karena masih adanya hambatan dalam pelaksanaan AYDA, seperti ketentuan hukum yang membatasi subyek yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, pajak yang tinggi, jangka waktu pengambilalihan yang singkat dsbnya. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu terobosan terhadap ketentuan perundang-undangan yang dapat mengakomodir semua hambatan-hambatan dalam pelaksanaan AYDA, salah satunya seperti yang diberlakukan kepada BPPN. Untuk mewujudkan terbentuknya ketentuan perundang-undangan tersebut di atas, maka diperlukan adanya kerjasama diantara lembaga-lembaga berwenang yang terkait di dalam pelaksanaan AYDA tersebut."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18473
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mia Rizkasari
"Kredit Sindikasi merupakan solusi untuk memenuhi kebutuhan pendanaan dalam jumlah yang besar tanpa melanggar ketentuan Peraturan Bank Indonesia (PBI) mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). Kredit Sindikasi merupakan pembiayaan yang diberikan oleh dua Kreditor atau lebih untuk membiayai satu Debitor yang sama, dengan syarat dan ketentuan dan dokumentasi kredit yang sama dan dengan jaminan kredit yang sama yang diikat secara pari passu. Agen Jaminan ditunjuk oleh Para Kreditur Sindikasi berdasarkan Perjanjian Kredit Sindikasi untuk melaksanakan pengikatan jaminan kredit untuk kepentingan dan atas nama Para Kreditor Sindikasi, maupun melaksanakan hakhak Para Kreditor Sindikasi terhadap jaminan kredit termasuk dalam hal Debitor dinyatakan pailit. Ketika Debitor dinyatakan pailit, terdapat permasalahan dimana pihak Kurator menganggap bahwa Agen Jaminan tidak berwenang untuk melaksanakan hak tagih Para Kreditor Sindikasi sebagai kreditor separatis dan sebagai kreditor konkuren.
Tesis ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan analisis data secara kualitatif. Dari hasil analisis dapat ditarik kesimpulan bahwa Agen Jaminan berwenang untuk melaksanakan hak tagih Para Kreditor Sindikasi sebagai kreditor separatis dengan jaminan Hak Tanggungan dan sebagai kreditor konkuren dalam hal terdapat sisa tagihan yang tidak tercover dengan penjualan jaminan yang telah diikat Hak Tanggungan tersebut.

Loan Syndication is a solution to meet a large number of funding needs without breaching Bank Indonesia Regulation (PBI) on Legal Lending Limit. A syndicated loan is a loan made by two or more Creditors to finance a Debtor, on similar terms and condition, using common documentation and administrated by common agent and secured by the same securities in pari passu. Security Agent appointed by Creditors based on Credit Syndication Agreement to encumber the security for the benefits and on behalf of the Creditors, and to exercise any right, power, authority the Creditor`s rights to the credit security documents including if the Debtor has declared bankrupt. In the terms the Debtor has been declared bankruptcy by the court. There is a problem when the Curator assume that the Security Agent have no authority to exercise the Syndication Creditor`s claim as secured creditor and as unsecured creditor.
The method of analysis that is used in this research writing is juridis normative and qualitative method in data processing. The result of the analysis concluded that Security Agent have an authority to exercise the Syndication Creditor`s claim as secured creditor with Hak Tanggungan security and as unsecured creditor for the remain claim uncovered by execution of Hak Tanggungan.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T44870
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siallagan, Ketzia Stephanie Edine
"Penelitian ini membahas Putusan Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3162 K/PDT/2021 mengenai Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang batal demi hukum dalam proses penyelesaian utang dengan cara Agunan Yang Diambil Alih (AYDA). Putusan ini hanya mempertimbangkan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka penelitian ini akan memberikan pandangan dari Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) serta Undang-Undang Perbankan (UU Perbankan) sebagai implementasi asas lex specialis derogate lex generalis. Permasalahan yang diangkat adalah bagaimana perlindungan hukum yang diberikan bagi para pihak dalam PPJB yang batal demi hukum pada proses AYDA serta tanggung jawab oleh Notaris. Metode penelitian yang digunakan adalah doktrinal. Hasil penelitian dalam kasus Putusan ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum telah diberikan terhadap para pihak sebagaimana Pasal 12 UUHT untuk mempertahankan prinsip bahwa Obyek Hak Tanggungan sejatinya ada sebagai media untuk menjamin pelunasan kredit, bukan untuk dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan. Dalam hal dilakukannya AYDA, Obyek Hak Tanggungan harus dialihkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sebagaimana Pasal 12 UU Perbankan. Dalam kasus putusan ini, ditemukan bahwa PPJB tidak dibuat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga PPJB tersebut batal demi hukum. Berdasarkan hal tersebut, maka Para Pihak tidak mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana telah diberikan UUHT maupun UU Perbankan. Berkaitan dengan PPJB yang batal demi hukum, putusan ini tidak memberikan sanksi apapun bagi Notaris, sedangkan Notaris seharusnya ikut bertanggungjawab atas perbuatan yang berkaitan dengan kewenangannya dalam membuat suatu akta autentik. Notaris dapat diberikan sanksi baik secara perdata, pidana maupun administratif. Perbuatan Notaris sebagaimana kasus putusan ini, dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana norma yang diatur dalam Pasal 264 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

This study discusses about the Supreme Court Decision of the Republic of Indonesia Number 3162 K/PDT/2021 regarding the Deed of Binding Purchase Agreement (PPJB) which was null and void in the The Acquisition of Debtor's Asset Process (AYDA). This decision only considers the provisions in the Civil Code, so this research will provide a view of the Mortgage Law (UUHT) and the Banking Law (Banking Law) as the implementation of the lex specialis derogate lex generalis principle. The issue raised is how legal protection is provided for the parties in the PPJB which is null and void in the AYDA process and the responsibility of the Notary. The research method used is doctrinal. The results of the research in the case of this decision show that legal protection has been given to the parties in accordance with Article 12 UUHT to maintain the principle that the object of mortgage rights actually exists as a medium to guarantee repayment of credit, not to be owned by the holder of mortgage rights. In the case of The Acquisition of Debtor's Asset Process, the Mortgage Object must be transferred within a maximum period of 1 (one) year as stated in Article 12 of the Banking Law. In the case of this decision, it was found that the PPJB was not made in accordance with the applicable laws and regulations, so that the PPJB was null and void by law. Based on this, the Parties do not receive legal protection as granted by the UUHT and the Banking Law. Regarding to PPJB which is null and void by law, this decision does not provide any sanction for the Notary, while the Notary should also be responsible for actions related to his/her authority in making an authentic deed. Notaries can be given civil, criminal or administrative sanctions. The Notary's actions as in the case of this decision, can be subject to criminal sanctions according to the norms regulated in Article 264 of the Criminal Code."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Clarissa Angeline
"Transaksi dalam perbankan membutuhkan lembaga jaminan untuk kepastian hukum bagi kreditur melalui Hak Tanggungan. Dalam eksekusi Hak Tanggungan, acte de command yang dibuat oleh notaris berfungsi penting dalam pelunasan kredit macet karena memberikan hak kepada kreditur (bank) untuk membeli aset jaminan kreditnya sendiri melalui lelang. Acte de command merupakan bagian dari mekanisme Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) yang memungkinkan bank untuk mengambil alih agunan debitur sebagai salah satu cara penyelesaian kredit bermasalah. Namun dalam kenyataannya, tidak semua bank mematuhi ketentuan dalam PMK Nomor 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang yang mengharuskannya untuk menunjuk pembeli yang sebenarnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun. Sebagaimana dalam kasus pada Putusan Pengadilan Tinggi Papua Barat Nomor 8/PDT/2024/PT MNK yang disimulasikan dalam penelitian ini. Untuk itu masalah yang diteliti berkaitan dengan penerapan ketentuan mengenai penggunaan acte de command dalam eksekusi Hak Tanggungan melalui mekanisme AYDA dan peran notaris dalam pembuatan dan pengesahan acte de command. Penelitian doktrinal ini mengumpulkan data sekunder melalui studi kepustakaan yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis dapat dijelaskan bahwa: 1) Penerapan ketentuan mengenai penggunaan acte de command dalam eksekusi Hak Tanggungan melalui mekanisme AYDA seringkali memicu terjadinya ketidakpatuhan bank sebagai kreditur yang memiliki kepentingan atas objek Hak Tanggungan, dan bank cenderung langsung membalik nama objek Hak Tanggungan untuk dijual kembali, mengabaikan kewajiban menunjuk pembeli final dalam 1 (satu) tahun sesuai PMK a quo; 2) Peran notaris dalam pembuatan dan pengesahan acte de command sebagai syarat bagi bank untuk menjadi peserta lelang dalam eksekusi Hak Tanggungan melalui mekanisme AYDA sangatlah krusial karena notaris menjamin keabsahan, keautentikan, dan kepastian hukum instrumen tersebut dengan memastikan acte de command sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan terkait, serta memeriksa kelengkapan dokumen, dan menjamin isinya tidak bertentangan dengan hukum.

Transactions in banking require a guarantee institution to confirm the existence of legal certainty for creditors through the Right of Dependency. In the execution of the Right of Dependency, the acte de command made by the notary serves an important function in the repayment of bad loans because it gives the creditor (bank) the right to purchase its own credit-collateral assets through auction. The acte de command is part of the Foreclosed Collateral (AYDA) mechanism which allows banks to take over debtors' collateral as a way of resolving non-performing loans. However, in reality, not all banks comply with the provisions in PMK Number 213/PMK.06/2020 concerning Auction Implementation Guidelines which require them to appoint an actual buyer within a period of 1 (one) year. As seen in the case of the West Papua High Court Decision Number 8/PDT/2024/PT MNK which was simulated in this study. For this reason, the problem being studied is related to the application of provisions regarding the use of acte de command in the execution of Dependent Rights through the AYDA mechanism and the role of notaries in making and ratifying acte de command. This doctrinal research collects secondary data through literature studies which are then analyzed qualitatively. From the results of the analysis, it can be concluded that: 1) The application of provisions regarding the use of acte de command in the execution of the Right of Dependency through the AYDA mechanism often triggers the non-compliance of the bank as a creditor who has an interest in the object of the Right of Dependency, and the bank tends to immediately reverse the name of the object of the Right of Dependency for resale, ignoring the obligation to appoint a final buyer in 1 (one) year in accordance with the applicable laws; 2) The role of the notary in making and ratifying the acte de command as a condition for banks to become auction participants in the execution of the Right of Dependency through the AYDA mechanism is very crucial because the notary guarantees the validity, authenticity, and legal certainty of the instrument by ensuring the acte de command in accordance with the applicable laws, as well as checking the completeness of documents, and ensuring that the contents do not contradict the law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Clara Riza
"Tesis ini meneliti tentang keberlakuan surat kuasa membebankan hak tanggungan disaat debitur pelaksana kredit meninggal dunia sebelum terpasang hak tanggungan pada objek yang akan dijadikan jaminan kredit. Perekonomian yang sekarang berlangsung dinamis dalam kehidupan masyarakat secara tidak langsung berdampak pada roda perekonomian Indonesia. Salah satu ciri dinamisnya perekonomian adalah meningkatnya pinjaman kredit yang diberikan oleh Bank sebagai salah satu modal usaha. Dalam memberikan perjanjian kredit, terkadang kreditur dalam hal ini Bank memerlukan suatu jaminan untuk menjamin pelunasan hutang tersebut. Hak Tanggungan adalah jaminan yang sering dipakai dalam proses pinjam meminjam dimana objek yang dijadikan jaminan adalah berupa tanah beserta bangunan di atasnya. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan merupakan pernyataan pemberian kuasa khusus yang diberikan oleh pemberi kuasa / pemberi Hak Tanggungan dalam bentuk tertulis atau autentik yang dibuat oleh dan di hadapan Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan maksud untuk digunakan pada waktu melakukan pemberian Hak Tanggungan dalam hal pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir sendiri di hadapan Pejabat Akta Tanah dalam rangka pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan, namun dalam perkembangannya banyak terjadi permasalahan yang terjadi seiring dengan berjalannya kredit, masalah juga terjadi pada kredit Bank "PT BPR TKI" dan "BSL" dimana "BSL" selaku debitur perjanjian kredit meninggal dunia pada saat perjanjian kredit masih berlangsung dan objek yang dijaminkan belum sempat dibebani Hak Tanggungan namun sudah terlebih dahulu dibuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang menurut Undang - Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996 tidak dapat berakhir dan dicabut selain karena sudah habis masa berlakunya.

This thesis examines the validity of a power of attorney to charge mortgage loans when borrowers die before the mortgage is attached to the object to be used as loan collateral. The economy is now dynamic occurred in people's lives indirect impact on the economy of Indonesia. One characteristic of the dynamic economy is growing loans granted by the Bank as one of the capital. In providing credit agreements, sometimes creditors in this case the Bank requires collateral to guarantee repayment of a debt. Mortgage insurance is often used in the process of lending and borrowing in which the object is used as collateral in the form of land and buildings on it. Power of Attorney for Mortgage impose a special authorization statement provided by the authorizing / giver Mortgages in writing or authentically created by and in the presence of Notary or Land Deed Official (PPAT) with a view to use when conducting delivery Mortgages in Mortgage providers it can not present itself in the presence of officials in order to manufacture the Land Deed Granting Mortgage Deed, but in its development much going problems occurred with the passing of the credit, credit problems also occur in the "PT. BPR TKI" and "BSL" where "BSL"credit Agreement as the debtor dies during the loan agreement is still ongoing and the objects have not been encumbered collateral Mortgages however have first made Attorney Impose a Statutory Mortgages - Mortgages Act No. 4 of 1996 and the end can not be revoked except as expired."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T32597
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ike Puspitasari
"ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk membahas perlakuan PPN atas Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) dan Implikasi terhadap Kegiatan Usaha Bank. Mengacu pada perspektif teoritis dan paradigma penelitian yang digunakan, maka sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Analisis penelitian dengan menggunakan analisis kualitatif.
Hasil analisis menemukan bahwa perlakuan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap AYDA didasarkan atas karakter PPN dikenakan atas keadaan objek pajaknya dan tidak terikat oleh legalitas formalnya saja (yuridis) dalam pendefinisian kegiatan usaha bank serta prinsip pajak lebih memperhatikan substansinya. Pengenaan PPN atas AYDA dianggap menggangu aktivitas kegiatan usaha (ekonomi) bank karena menimbulkan ketidak pastian (uncertainty) bahkan prinsip ease of administration secara keseluruhan. Pengenaan PPN atas AYDA tidak mempunyai landasan hukum yang tepat dalam Undang-undang PPN sehingga berpotensi menimbulkan dispute dalam pelaksanaannya.

ABSTRACT
This study was conducted to discuss the treatment of VAT on foreclosed properties (repossessed assets) and Implications for Bank Operations. Referring to the theoretical perspectives and research paradigms used, the nature of this research is descriptive research. Analysis of research using qualitative analysis.
The analysis finds that the treatment imposition of Value Added Tax (VAT) on repossessed assets are based on the character of VAT levied on the tax and the state of the object is not bound by formal legality only (legally) in the definition of banking activities as well as more attention to the substance of the tax principles. VAT on repossessed assets are considered to interfere with the activity of business (economic) because the bank raises uncertainty (uncertainty) and even the principle of ease of administration as a whole. VAT on AYDA not have proper legal basis in the VAT Act that could potentially lead to dispute in the implementation."
2013
T35139
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>