Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 199855 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Marcello Mikhael Kadharusman
"

Pendahuluan: Sebuah karakteristik penuaan adalah penurunan kepuncaan, sebuah kondisi yang disebabkan oleh proliferasi dan diferensiasi sel punca yang berlebihan. Alhasil, risiko penyakit tidak menular seperti kanker, diabetes, dan penyakit neurodegenerative, meningkat dengan usia. Salah satu terapi regeneratif untuk penyakit tersebut adalah pembatasan diet, khususnya puasa, karena penelitian telah menunjukkan manfaatnya terhadap kepuncaan lokal. Namun, hubungan pembatasan diet dengan pluripotensi masih belum jelas. Studi terbaru menunjukkan bahwa octamer-binding transcription factor 4 (Oct4), faktor transkripsi pluripotensi, bersama dengan hepatocyte nuclear factor 4 alpha (Hnf4a) memiliki peran dalam regenerasi sel punca dan diferensiasi menjadi sel hati. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki kapasitas regeneratif puasa dengan cara membandingkan ekspresi Oct4 dalam sel hati kelinci puasa dengan kelinci diet ad libitum.

Metode: Kelinci dirawat dengan 3 diet yang berbeda. Kelompok pertama menjalani diet ad libitum, kedua menjalani puasa intermiten (16 jam), dan ketiga menjalani puasa berkepanjangan (40 jam). Kemudian, RNA diekstraksi dari jaringan hati dari masing-masing kelinci, dan dianalisis melalui qRT-PCR. Metode Livak digunakan untuk mengukur ekspresi relatif gen Oct4.

Hasil: Dibandingkan dengan kelinci dengan diet ad libitum, terdapat peningkatan secara tidak signifikan di ekspresi relatif gen Oct4 di hati kelinci yang melalui puasa intermiten dan penurunan secara signifikan di kelinci yang melalui puasa berkepanjangan.

Kesimpulan: Berdasarkan penurunan yang signifikan, puasa berkepanjangan mungkin menyebabkan kerusakan jaringan hati dan menurunkan kepuncaan. Penelitian lebih lanjut harus menjelaskan pengaruh ekspresi protein Oct4 terhadap regenerasi sel hati.


Introduction: A characteristic of aging is stem cell exhaustion, a condition caused by excessive proliferation and differentiation of stem cells. Consequently, the risk of non-communicable diseases, e.g. cancer, diabetes, and neurodegenerative diseases, increases with age. A regenerative therapy for these pathologies is dietary restriction (DR), specifically fasting, as studies have demonstrated benefits on local stemness. However, the relationship of DR towards pluripotency remains unclear. Recent studies show that octamer-binding transcription factor 4 (Oct4), a vital pluripotent transcription factor, with hepatocyte nuclear factor 4 alpha (Hnf4a) has a role in the self-renewal of stem cell and differentiation to hepatocytes. Therefore, this research aims to investigate the regenerative ability of fasting by comparing the expression of Oct4 in liver cells of fasted rabbits with rabbits fed ad libitum.

Methods: The rabbits were conditioned into 3 different groups. The first was subjected to ad libitum diet, second to intermittent fasting (16- hours fasting), and third to prolonged fasting (40-hours fasting). Afterward, the RNA was extracted from the liver tissues of each rabbit and analyzed via real-time quantitative reverse transcriptase polymerase chain reaction (qRT-PCR). The relative expression was calculated using the Livak method.

Results: In comparison to the ad libitum diet, there was a statistically insignificant increase in the relative expression of Oct4 in the liver of intermittent fasted rabbits, and a statistically significant decrease in prolonged fasted rabbits.

Conclusion: Prolonged fasting possibly leads to starvation-induced liver injury and decreased stemness, as seen from the decreased expression of Oct4. Future studies should highlight the effect of different expression of Oct4 proteins towards liver cell regeneration.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febrika
"DNA adduct dapat menjadi suatu biomarker dari senyawa kimia
genotoksik. Pembentukan adduct merupakan salah satu indikator awal
terjadinya mutagenesis dan karsinogenesis. Penelitian ini dilakukan untuk
mempelajari potensi formaidehid dan benzaldehid dalam menyebabkan
terbentuknya adduct pada basa-basa DNA. Sebagai basa DNA digunakan 2-
deoksiguanosin (dG) dan 2-deoksiguanosin-5-monofosfat (dGMP). Analisis
dilakukan dengan mbnggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
fase terballk kolom 018 dan 08, eiuen larutan dapar fosfat: metanol (9;1).
Has!! yang diperoieh menunjukkan formaidehid terbukti mampu membentuk
adduct dengan dG dan dGMP, sedangkan benzaldehid belum terbukti. Dari
sampling lapangan yang dilakukan, diketahui terdapat penggunaan
formaidehid (formalin) sebagai bahan pengawet dalam makanan. Penelitian
mengenai peranan formaidehid dan benzaldehid dalam menyebabkan
mutagenesis dan karsinogenesis perlu dilakukan"
Depok: [Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia;, ], 2005
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Nurhidayat
"Pada penelitian ini, dilakukan identifikasi pembentukan DNA adduct 8-hidroksi deoksiguanosin (8-OHdG) sebagai biomarker penyebab kanker yang terbentuk dari paparan trikloro etilen dan ion logam Cu (II) secara in vitro dan in vivo. Paparan TCE 200 ppm terhadap deoksiguanosin terbukti dapat memicu pembentukan 8-OHdG setelah inkubasi selama 6 jam. Penambahan ion Cu (II) dan H2O2 dalam inkubasi terbukti meningkatkan pembentukan 8-OHdG. Pada Studi in vivo, DNA adduct 8-OHdG Terdeteksi pada urin seluruh tikus percobaan. Paparan TCE terbukti meningkatkan kadar 8-OHdG yang diamati. Kadar DNA adduct dalam urin juga terlihat meningkat secara signifikan pada kelompok tikus yang diberikan paparan TCE dan Cu (II). Penelitian ini memberikan pemahaman baru pada pembentukan DNA-adduct dari senyawa kimia yang umum dipakai masyarakat.

In this study, The formation of DNA adduct 8-hydroxy deoxiguanosin (8-OHdG) as a cancer-causing biomarker formed from exposure to trichloro ethylene and Cu (II) metal ions in vitro and in vivo was identified. Exposure to TCE 200 ppm to deoxiguanosin has been shown to trigger the formation of 8-OHdG after 6 hours of incubation. The addition of Cu (II) and H2O2 was shown to increase the formation of 8-OHdG. DNA adduct 8-OHdG was detected in the urine of all mice, including the control group. This phenomenon indicates that oxidative stress conditions occur naturally in the metabolic system. exposure to TCE was shown to increase the 8-OHdG levels. The levels of DNA adduct in urine were also seen to be significantly increased in the group of mice exposed to TCE and Cu (II). This research provides a new understanding on the formation of DNA-adducts from chemical compounds commonly used by the public.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Afdila
"Malondialdehyde (MDA) telah banyak dilaporkan sebagai biomarker, produk genotoksik endogen yang terbentuk dari hasil lipid peroksidasi dan stress oksidatif dapat mengikat dan memodifikasi protein, phospholipid maupun DNA membentuk adduct yang stabil. Peningkatan stress oksidatif memicu dalam pembentukan adduct telah dikaitkan dengan berbagai pola penyakit seperti kanker, penyakit kardiovaskular dan neurodegeneratif. Studi ini salah satunya bertujuan untuk mengetahui efek sinergis pembentukan DNA Adduct (8-hydroxy-2-deoxyguanosine (8-OHdG) secara in vitromakibat reaksi dari malondialdehyde (MDA) dan/atau paparan Cr (VI) dengan bantuan H2O2 melalui reaksi Fenton terhadap DNA murni 2’-deoxyguanosine (dG) pada variasi suhu 37oC dan 60oC, pH 7,4 dan 8,4 serta lama inkubasi 3 dan 16 jam. Sedangkan studi in vivo dilakukan dengan treatment pada kelompok tikus (Rattus norvegicus) galur Wistar dengan paparan MDA (10 mg/kgBB), dan kelompok tikus dengan paparan campuran MDA (10mg/kgBB) dan Cr(VI) (0,4mg/kgBB) selama 28 hari. Sampel urin dikumpulkan setiap minggu. Pembentukan 8-OHdG secara in vitro dianalisis dengan HPLC, sedangkan pembentukan 8-OHdG pada sampel urin tikus dianalisis dengan menggunakan LC-MS/MS dengan kromatografi fasa terbalik. Dari hasil penelitian ini diperoleh nilai validasi instrumen UHPLC dengan nilai regresi linier (R) 0,9973 dengan LOD adalah 11,03 μg/L dan nilai LOQ adalah 36,77 μg/L. Pada perlakuan secara in vitro paparan senyawa MDA pada kondisi suhu inkubasi 60oC selama 3 jam, pH 7,4 dihasilkan konsentrasi 8-OHdG paling tinggi yaitu 404,09 μg/L. Pada penelitian secara in vitro juga diperoleh data bahwa terdapat efek sinergis peningkatan konsentrasi 8-OHdG yang dihasilkan dari reaksi in vitro 2’deoksiguanosin dengan MDA + Cr (VI) sebagai senyawa radikal bebas yang memicu terjadinya kerusakan DNA. Pada pengamatan secara in vivo terhadap tikus percobaan yang dipaparkan senyawa xenobiotik (MDA dan Cr (VI) juga ditemukan gejala klinis penurunan berat badan sebelum dan sesudah paparan. Hasil analisis sampel urin perlakuan in vivo dengan instrument LCMS/MS terlihat adanya efek sinergis pada paparan MDA + Cr (VI).

Malondialdehyde (MDA) has been widely reported as a biomarker, an endogenous genotoxic product that is formed from the results of lipid peroxidation and oxidative stress that can bind and modify proteins, phospholipids and DNA to form stable adducts. Increased oxidative stress triggers in adduct formation have been linked to various disease patterns such as cancer, cardiovascular and neurodegenerative diseases. One of the purposes of this study is to determine the synergistic effect of the formation of DNA Adduct (8-hydroxy-2-deoxyguanosine (8-OHdG) in vitro due to the reaction of malondialdehyde (MDA) and /or exposure to Cr (VI) with the presence of H2O2 through the Fenton reaction to DNA. 2'-deoxyguanosine (dG) at various temperatures of 37oC, 60oC, pH 7.4 and 8.4 and incubation time of 3 and 16 hours. In vivo study has been carried out on exposed groups of rat (10 mg / kgBW) MDA, and Cr (VI) (0.4mg / kgBW) for 28 days. Urine samples were collected every week. 8-OHdG formation in vitro was analyzed by HPLC, while the formation of 8-OHdG in rat urine samples was analyzed using LC-MS / MS with reverse phase chromatography. The results of this study obtained the validation value of the UHPLC instrument with a linear regression value (R) 0.9973, LOD was 11.03 μg/L and the LOQ value is 36.77 μg/L. In in vitro treatment, exposure to MDA compounds at an incubation temperature of 60oC for 3 hours, pH 7.4 resulted in the highest 8-OHdG concentration of 404.09 μg / L. In in vitro studies, data also showed that there was a synergistic effect of increasing the concentration of 8-OHdG resulting from the in vitro reaction of 2'deoxiguanosine with MDA + Cr (VI) as free radical compounds that trigger DNA damage. In vivo observations of rat exposed to xenobiotic compounds (MDA and Cr (VI) also found clinical symptoms of weight loss before and after exposure. The results of the analysis of urine samples treated in vivo with the LCMS / MS instrument showed a synergistic effect on MDA + Cr (VI) exposure."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Afdila
"Malondialdehyde (MDA) telah banyak dilaporkan sebagai biomarker, produk genotoksik endogen yang terbentuk dari hasil lipid peroksidasi dan stress oksidatif dapat mengikat dan memodifikasi protein, phospholipid maupun DNA membentuk adduct yang stabil. Peningkatan stress oksidatif memicu dalam pembentukan adduct telah dikaitkan dengan berbagai pola penyakit seperti kanker, penyakit kardiovaskular dan neurodegeneratif. Studi ini salah satunya bertujuan untuk mengetahui efek sinergis pembentukan DNA Adduct (8-hydroxy-2-deoxyguanosine (8-OHdG) secara in vitromakibat reaksi dari malondialdehyde (MDA) dan/atau paparan Cr (VI) dengan bantuan H2O2 melalui reaksi Fenton terhadap DNA murni 2’-deoxyguanosine (dG) pada variasi suhu 37oC dan 60oC, pH 7,4 dan 8,4 serta lama inkubasi 3 dan 16 jam. Sedangkan studi in vivo dilakukan dengan treatment pada kelompok tikus (Rattus norvegicus) galur Wistar dengan paparan MDA (10 mg/kgBB), dan kelompok tikus dengan paparan campuran MDA (10mg/kgBB) dan Cr(VI) (0,4mg/kgBB) selama 28 hari. Sampel urin dikumpulkan setiap minggu. Pembentukan 8-OHdG secara in vitro dianalisis dengan HPLC, sedangkan pembentukan 8-OHdG pada sampel urin tikus dianalisis dengan menggunakan LC-MS/MS dengan kromatografi fasa terbalik. Dari hasil penelitian ini diperoleh nilai validasi instrumen UHPLC dengan nilai regresi linier (R) 0,9973 dengan LOD adalah 11,03 μg/L dan nilai LOQ adalah 36,77 μg/L. Pada perlakuan secara in vitro paparan senyawa MDA pada kondisi suhu inkubasi 60oC selama 3 jam, pH 7,4 dihasilkan konsentrasi 8-OHdG paling tinggi yaitu 404,09 μg/L. Pada penelitian secara in vitro juga diperoleh data bahwa terdapat efek sinergis peningkatan konsentrasi 8-OHdG yang dihasilkan dari reaksi in vitro 2’deoksiguanosin dengan MDA + Cr (VI) sebagai senyawa radikal bebas yang memicu terjadinya kerusakan DNA. Pada pengamatan secara in vivo terhadap tikus percobaan yang dipaparkan senyawa xenobiotik (MDA dan Cr (VI) juga ditemukan gejala klinis penurunan berat badan sebelum dan sesudah paparan. Hasil analisis sampel urin perlakuan in vivo dengan instrument LCMS/MS terlihat adanya efek sinergis pada paparan MDA + Cr (VI).

Malondialdehyde (MDA) has been widely reported as a biomarker, an endogenous genotoxic product that is formed from the results of lipid peroxidation and oxidative stress that can bind and modify proteins, phospholipids and DNA to form stable adducts. Increased oxidative stress triggers in adduct formation have been linked to various disease patterns such as cancer, cardiovascular and neurodegenerative diseases. One of the purposes of this study is to determine the synergistic effect of the formation of DNA Adduct (8-hydroxy-2-deoxyguanosine (8-OHdG) in vitro due to the reaction of malondialdehyde (MDA) and /or exposure to Cr (VI) with the presence of H2O2 through the Fenton reaction to DNA. 2'-deoxyguanosine (dG) at various temperatures of 37oC, 60oC, pH 7.4 and 8.4 and incubation time of 3 and 16 hours. In vivo study has been carried out on exposed groups of rat (10 mg/kgBW) MDA, and Cr (VI) (0.4mg/kgBW) for 28 days. Urine samples were collected every week. 8-OHdG formation in vitro was analyzed by HPLC, while the formation of 8-OHdG in rat urine samples was analyzed using LC-MS/MS with reverse phase chromatography. The results of this study obtained the validation value of the UHPLC instrument with a linear regression value (R) 0.9973, LOD was 11.03 μg/L and the LOQ value is 36.77 μg/L. In in vitro treatment, exposure to MDA compounds at an incubation temperature of 60oC for 3 hours, pH 7.4 resulted in the highest 8-OHdG concentration of 404.09 μg/L. In in vitro studies, data also showed that there was a synergistic effect of increasing the concentration of 8-OHdG resulting from the in vitro reaction of 2'deoxiguanosine with MDA + Cr (VI) as free radical compounds that trigger DNA damage. In vivo observations of rat exposed to xenobiotic compounds (MDA and Cr (VI) also found clinical symptoms of weight loss before and after exposure. The results of the analysis of urine samples treated in vivo with the LCMS/MS instrument showed a synergistic effect on MDA + Cr (VI) exposure."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Nahla Karima
"ABSTRAK
Bisphenol A BPA merupakan bahan kimia yang banyak digunakan dalam bahan kemasan pangan. Manusia rentan terhadap paparan BPA karena BPA dapat bermigrasi ke dalam makanan dan minuman yang tersimpan dalam kemasan yang mengandung zat tersebut. Pada lingkungan biologis BPA dapat memicu terjadinya stress oksidatif seluler yang berkontribusi dalam pembentukan radikal. Selain itu paparan logam berat dari lingkungan juga dapat menyebabkan kelebihan kadar Cu II di dalam tubuh yang berkontribusi menambah jumlah radikal. Radikal yang terbentuk dapat menyerang DNA menyebabkan terjadinya kerusakan oksidatif dan menghasilkan senyawa 8-OHdG yang merupakan biomarker risiko karsinogenis. Studi pembentukan DNA adduct berupa 8-OHdG dilakukan secara in vitro terhadap DNA Calf thymus dan basa DNA 2-dG yang direaksikan dengan senyawa bisphenol A dengan adanya reaksi Fenton-like oleh logam Cu II . Pada pengujian ini dilakukan variasi pH 7,4 dan 8,4 , pada suhu 37? C dan 60?, serta waktu inkubasi selama 7 dan 12 jam. DNA adduct 8-OHdG yang terbentuk dianalisis menggunakan HPLC kromatografi fasa terbalik dengan detektor UV/Vis pada panjang gelombang 254 nm. Kondisi optimum untuk menganalisis 8-OHdG menggunakan eluen dengan campuran buffer fosfat pH 6,7 10 mM dan metanol pada rasio 90:10. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa konsentrasi 8-OHdG akibat adanya paparan BPA dan adanya reaksi Fenton-like meningkat. Bertambahnya suhu dan waktu inkubasi memberikan efek sinergis terhadap kenaikan konsentrasi 8-OHdG. Kenaikan pH tidak memberikan efek sinergis terhadap konsentrasi 8-OHdG yang dihasilkan.

ABSTRACT
Bisphenol A BPA is a chemical widely used in food packaging materials. Human are susceptible to BPA exposure because BPA can migrate into foods and beverages stored in packs containing these substances. In the biological environment BPA can overcome cellular oxidative stress that contributes to radical formation. In addition, exposure to heavy metals from the environment can also lead to excess levels of Cu II in the body that increase the amount of radical. The formed radicals can attack the DNA causing oxidative damage and formed 8 OHdG compound as a biomarker of carcinogenic risk. The study of DNA formation of 8 OHdG was performed in vitro with Calf thymus DNA and DNA base 2 dG reacted with bisphenol A through Fenton like reaction in the presence of Cu II . The variations used are pH 7,4 and 8,4, temperature at 37 C and 60 , and incubation time for 7 and 12 hours. The DNA adduct 8 OHdG formed was analyzed using HPLC reverse phase chromatography with UV Vis detector at a wavelength of 254 nm. The optimum condition for analyzing 8 OHdG is using buffer phosphate mixture pH 6.7 10 mM and methanol at 90 10 ratio as eluent. The results obtained the 8 OHdG concentration is increase due to BPA exposure and Fenton like reaction. Incubation time and temperature rise give synergistic effect of 8 OHdG concentration increase. The increase in pH does not have a synergistic effect on the 8 OHdG concentration."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Alifian Remifta Putra
"Pendahuluan: Fork-head transcription factor of the O class 3 (FOXO3) merupakan gen yang berfungsi dalam berbagai proses metabolisme dan menjaga keseimbangan regulasi energi. FOXO3 memiliki peran penting dalam mekanisme respon terhadap berbagai stressor yang bersifat sitoprotektif, sehingga mampu mempengaruhi jangka hidup organisme dan bersifat anti-aging. Studi ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh puasa berjangka (16 jam) dan puasa panjang (40 jam) dengan pengaruhnya terhadap ekspresi gen FOXO3 sebagai biomarka anti-aging menggunakan Kelinci New Zealand White sebagai model. Metode: Sampel liver Kelinci New Zealand White diekstrak dari masing-masing tiga kelompok kelinci yaitu kelompok kontrol, puasa berjangka, dan puasa panjang. Selanjutnya, dilakukan isolasi RNA liver menggunakan RNA Isolation Kit. Quantitative real time polymerase chain reaction (qRT-PCR) digunakan untuk mengukur tingkat ekspresi mRNA FOXO3. ANOVA dengan aplikasi IBM SPSS digunakan untuk perhitungan statistik. Hasil: Ekspresi mRNA FOXO3 ditemukan meningkat secara signifikan (p<0.05) pada kelompok puasa berjangka dibandingkan kontrol (2.17-kali), sedangkan kelompok puasa panjang dibandingkan kontrol tidak bermakna signifikan. Ekspresi mRNA FOXO3 pada kelompok puasa berjangka ditemukan juga lebih tinggi secara signifikan (p<0.05)  dibandingkan kelompok puasa panjang (2.5-kali). Kesimpulan: Ekspresi FOXO3 ditemukan meningkat pada kelompok puasa berjangka. Hal ini menunjukkan bahwa puasa berjangka dapat meningkatkan ekspresi biomarker anti-aging yaitu gen FOXO3.

Introduction: Fork-head transcription factor of the O class 3 (FOXO3), a gene that has various functions in energy metabolism and metabolic balance. FOXO3 plays an important role in initiating response toward various stressors by eliciting the cytoprotective effect that affects the lifespan of an organism. This research was conducted to study the impact of intermittent (16 hours) and prolonged fasting (40 hours) on the expression of FOXO3 gene expression in New Zealand White (NZW) Rabbits. Methods: Liver samples are taken from each group of NZW Rabbits (control, intermittent, and prolonged fasting). Further, the RNA sample is isolated from the liver by using the RNA Isolation Kit. qRT-PCR was used to measure the FOXO3 gene mRNA expression rate. ANOVA was performed with IBM SPSS application for statistical analysis. Results: mRNA expression of FOXO3 was found significantly higher (p<0.05) in the intermittent fasting group compared to control (2.17-fold), while prolonged fasting group compared to the control group not showing any statistically significant changes. mRNA FOXO3 expression in intermittent fasting was increased in a statistically significant (p<0.05) level compared to a prolonged group (2.5-fold). Conclusion: FOXO3 gene expression found to be higher in the intermittent fasting group. This result shows that intermittent fasting increases the expression of the FOXO3 gene."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Gittanaya Anindyanari
"Latar belakang: Ketidak seimbangan dalam kadar antioksidan dan level radikal bebas dapat menyebabkan terjadinya stres oksidatif. Puasa sudah terbukti dapat meningkatkan kadar antioksidan dan menurunkan produksi radikal bebas, yang akan menghasilkan penurunan stres oksidatif. Selain itu, durasi waktu puasa juga mempengaruhi dampak puasa dalam menurunkan stres oksidatif. Banyak penelitian yang sudah membahas efek puasa tersebut, namun, belum diteliti pada jaringan jantung. Oleh sebab itu, penelitian ini ditujukan untuk meneliti perbedaan efek durasi puasa terhadap kadar katalase pada jaringan jantung kelinci New Zealand White. Metode: Sampel dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan perlakuan yang dilakukan selama satu minggu. Kelompok pertama, kelompok kelinci dengan pemberian pakan yang normal. Kelompok kedua, kelompok puasa intermiten dengan 16 jam periode puasa dan 8 jam periode makan. Kelompok terakhir, kelompok puasa berkepanjangan dengan 40 jam periode puasa dan 8 jam periode makan. Selanjutnya, absorbansi aktivitas katalase dan kadar protein diukur dengan spectrofotometer. Pembagian aktivitas katalase dengan kadar protein dilakukan untuk mendapatkan aktivitas spesifik katalase. Hasil: Rata-rata dari aktivitas spesifik katalase pada kelompok kontrol adalah 1,104 ± 0,244 UI/mg protein, rata-rata pada kelompok puasa intermiten adalah 0,892 ± 0,093 UI/mg protein, dan rata-rata pada kelompok puasa berkepanjangan adalah 1,126 ± 0,098 UI/mg protein dengan perbedaan yang tidak signifikan (p > 0,05). Kesimpulan: Perlakuan puasa intermiten dan puasa berkepanjangan selama satu minggu tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap aktivitas spesifik enzim katalase pada jantung kelinci New Zealand White.

Introduction: An imbalance in the antioxidant and free radical levels will develop oxidative stress. Fasting has increased antioxidant levels and decreased free radical production, ultimately reducing oxidative stress. Furthermore, the duration of fasting is also known to have a role in decreasing oxidative stress. Previous studies have been done on the effect of fasting on oxidative stress, however, none has been done on the heart. Hence, this study is aimed to discover the difference of fasting duration on its effect towards catalase level in New Zealand White rabbits. Method: Samples are divided into three groups based on their treatment for a week. First, the control group with a regular feeding schedule. Second, intermittent fasting group with 16 hours of the fasting period and 8 hours of the feeding period. Lastly, prolonged fasting with 40 hours of fasting and 8 hours of feeding periods. Then, a spectrophotometer is used to calculate the catalase activity and protein level. A division of catalase activity by protein level is done to obtain specific catalase enzyme activity. Result: The mean of specific catalase activity in the heart of the control group sample are 1.104 ± 0.244 UI/mg protein, the mean in the intermittent fasting group are 0.892 ± 0.093 UI/mg protein, and the mean in the prolonged fasting group is 1.126 ± 0.098 UI/mg protein with an insignificant difference (p > 0.05). Conclusion: Neither intermittent nor prolonged fasting conducted in a period of one week will have significant effect on the specific catalase activity level in the heart of New Zealand White rabbit."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shefilyn Widjaja
"Penuaan adalah salah satu faktor resiko signifikan untuk sejumlah penyakit tidak menular degeneratif dan sering bermanifestasi sebagai penyakit kardiovaskular, kognitif dan metabolik. Studi terbaru telah mengidentifikasi peroxisome proliferator-activated receptor γ co-activator α (PGC-1α) sebagai pengatur utama fungsi mitokondria, yang sering dihubungkan dengan teori penuaan. Karena keterlibatannya dalam metabolisme energy, kegagalan energy akibat puasa mungkin dapat merangsang ekspresi PGC-1α, khususnya pada organ yang aktif secara metabolic seperti hati dan jantung. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki manfaat anti-penuaan dari puasa dengan cara menganalisis ekspresi PGC-1α dalam sel hati kelinci yang dipuasakan. Tiga kelompok kelinci yang telah (1) diberi makan secara ad libitum; (2) dipuasakan selama 16 jam (puasa intermiten); (3) dipuasakan selama 40 jam (puasa berkepanjangan). RNA diekstraksi dari jaringan hati kelinci dari masing-masing kelompok. qRT-PCR dilakukan untuk mencari ekspresi relative gen PGC-1α sebagai biomarker anti-penuaan. Terdapat peningkatan signifikan ekspresi relative PGC-1α pada hati kelinci yang dipuasakan dibanding kelinci yang diberi makan ad libitum. Penelitian lebih lanjut yang melibatkan pemantauan kelinci diperlukan untuk mengamati sifat anti-penuaan pada kelinci yang telah dipuasakan dibandingkan kontrol untuk menyimpulkan sebesar apa efek puasa terhadap penundaan penuaan.

Ageing is a significant risk factor for various of non-communicable diseases, often manifesting as cardiovascular, cognitive and metabolic degenerative diseases. Recent studies have identified peroxisome proliferator-activated receptor γ co-activator α (PGC-1α) as a major regulator of mitochondrial function, a common feature in the many theories of ageing. Due to its involvement in energy metabolism, it is theorised that energetic failures due to fasting may be able to stimulate the expression of PGC-1α. This research aims to investigate anti-ageing benefits of fasting by analysing the expression of PGC-1α in liver cells of fasted rabbits compared to rabbits fed ad libitum. Three groups of rabbits were (1) fed ad libitum; (2) subjected to intermittent (16-hour) fast; and (3) subjected to prolonged (40-hour) fast. RNA was extracted from the liver tissues of the rabbits. The relative expression of PGC-1α mRNA as a biomarker of anti-ageing was analysed by qRT-PCR. There was a significant increase in relative expression of PGC-1α in fasted rabbits than those fed ad libitum. Further research involving the monitoring of the rabbits is needed to observe for anti-ageing traits in fasted rabbits as opposed to the control to conclude the extent of the effect of fasting on delaying ageing."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stephanie Gosal
"Pendahuluan: Karbonil merupakan hasil akhir dari kerusakan ireversibel oksidatif pada protein. Akumulasi karbonil pada jaringan tubuh baik secara lokal maupun sistemik, dapat memicu berkembangnya penyakit terpaut usia. Meskipun demikian, puasa intermiten telah terbukti dapat mengurangi stres oksidatif mitokondria pada jaringan tubuh. Dengan demikian penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh siklus puasa time-restricted feeding (TRF) dan puasa berkepanjangan (PB) pada jaringan hati dan plasma secara spesifik. Metode: Penelitian ini menggunakan sampel jaringan hati dan plasma 16 kelinci New Zealand White yang sudah diberi perlakuan kontrol (tanpa puasa), puasa TRF (16 jam berpuasa), atau puasa berkepanjangan (40 jam berpuasa) satu minggu sebelumnya. Perhitungan kadar karbonil dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 390 nm dan kadar protein pada panjang gelombang 280 nm. Hasil Penelitian: Berdasarkan hasil penelitian, TRF dapat menurunkan kadar karbonil pada plasma dibandingkan kontrol (p=0,916) dan PB (p=0,026), serta meningkatkan kadar karbonil pada jaringan hati (p=0,162). Di sisi lain, PB dapat meningkatkan kadar karbonil pada plasma dibandingkan kontrol (p=0,055) dan TRF (p=0,026), serta meningkatkan kadar karbonil pada jaringan hati (p=0,162). Kesimpulan: Meskipun tidak bermakna, puasa intermiten time-restricted feeding secara tujuh hari lebih optimal dalam menurunkan kadar karbonil plasma, serta lebih kurang meningkatkan kadar karbonil hati dibandingkan puasa berkepanjangan.

Introduction: Carbonyl is the end product of irreversible oxidative damage on protein. Both local or sysmtemic accumulation of carbonyls could lead to the progression of age-related diseases. On the other hand, intermittent fasting has been proven could decrease mitochondrial oxidative damage on the tissues. Therefore, this study aimed to investigate the effects of intermittent fasting cycles, such as time-restricted feeding (TRF) and prolonged fasting (PF), on carbonyl levels in New Zealand White Rabbit’s plasma and liver tissue. Methods: 16 New Zealand White Rabbits were previously treated as control group (no fasting), TRF group (16 hours fasting), or PF group (40 hours fasting) for one week. Levels of carbonyl and protein were assessed with spectrophotometry at 390 nm and 280 nm wavelength respectively. Results: According to the findings of the study, TRF could decrease the carbonyl levels in plasma compared to control group (p=0.916) and PF group (p=0.026), and increase the carbonyl levels in liver tissue (p=0.162). Nevertheless, PF could increase the carbonyl levels in plasma compared to control group (p=0.055) and TRF group (p=0.026), and increase the carbonyl levels in liver tissue (p=0.162). Conclusion: Time-restricted feeding as intermittent fasting for one week is more optimal in decreasing carbonyl levels in plasma and less likely increase the carbonyl levels in liver tissue compared to prolonged fasting, even though it is not significant."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>