Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 155302 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siagian, Matheus Nathanael
"

Munculnya berbagai perdebatan mengenai Daya Paksa (Overmacht) di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari keterbatasan rumusan undang-undang yang begitu singkat. Ketentuan mengenai Daya Paksa (Overmacht) pada Pasal 48 KUHP menyebutkan: barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana. Undang-undang tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai persyaratan maupun unsur-unsur dari Daya Paksa (Overmacht). Dengan metode penelitian yuridis normatif, penelitian ini hendak membahas 3 (tiga) pertanyaan penelitian: Pertama, mengenai hal-hal yang harus dipertimbangkan hakim dalam menentukan keadaan Daya Paksa (Overmacht). Kedua, mengenai perbandingan konsep Daya Paksa (Overmacht) di negara-negara civil law system (Indonesia & Belanda) dan negara-negara common law system (Britania Raya & Australia). Ketiga, mengenai bagaimana hakim mempertimbangkan Daya Paksa (Overmacht) pada putusan pengadilan pidana di Indonesia. Penelitian ini memperlihatkan bahwa pemahaman terhadap Daya Paksa (Overmacht) di Indonesia masih sangat beragam. Oleh karena itu, hakim dalam mengadili perkara Daya Paksa (Overmacht) seyogyanya mempertimbangkan dan menguji persyaratan/asas-asas penguji atau elemen-elemen Daya Paksa (Overmacht), yaitu: asas proporsionalitas, asas subsidiaritas, dan asas culpa in causa. Selain itu, peran aktif hakim untuk menggunakan sumber hukum lain di samping undang-undang, seperti yurisprudensi dan doktrin juga sangat diperlukan dalam menghasilkan putusan Daya Paksa (Overmacht) yang tepat dan adil.


The emergence of various debates concerning the defense of duress (Overmacht) in Indonesia cannot be separated from the fact that there are not many provisions regarding it. Article 48 of the Indonesian Criminal Code states: anyone who commits an act under duress is not punishable. The law does not provide further elucidation regarding the requirements or elements of duress (Overmacht). By conducting normative research, this study aims to answer three research questions. First, on the matters that the judge must consider in determining the state of duress (Overmacht). Second, on the comparison between concepts of duress (Overmacht) in civil law jurisdictions (Indonesia & Netherlands) and common law jurisdictions (United Kingdom & Australia). Third, on how judges in Indonesia adjudicate the defense of duress (Overmacht) in criminal court decisions. This thesis observes that there are still divergent understanding of duress (Overmacht) in Indonesia. Consequently, judges in deciding cases of duress (Overmacht) need to consider and examine the elements of duress (Overmacht), which are: the principle of proportionality, the principle of subsidiarity, and the principle of culpa in causa. Furthermore, the use of other legal sources, such as landmark cases and doctrines, is essential in order to produce a judgment on duress (Overmacht) which is just and proper.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moudy Rachim Kusuma
"

Skripsi ini membahas mengenai restitusi sebagai salah satu hak korban tindak pidana. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah peraturan-peraturan mengenai hak atas restitusi bagi korban tindak pidana di Indonesia; penerapan pemberian restitusi bagi korban tindak pidana khususnya terhadap kasus tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana penganiayaan, dan perkara yang melibatkan anak ditinjau dari putusan pengadilan; dan peran dan tantangan LPSK dalam pemenuhan hak atas restitusi bagi korban tindak pidana. Penelitian ini menggunakan metode normatif yang pengumpulan data berdasarkan studi kepustakaan dan didukung dengan wawancara sebagai pelengkap atas data yang telah diperoleh. Hasil penelitian menunjukkan adanya ketidakharmonisan dalam menguraikan pengertian restitusi di antara peraturan perundang-undangan yang ada sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda di antara para penegak hukum dan kurangnya ketentuan subsider dalam UU No. 31 Tahun 2014, sebagai ketentuan yang mengubah UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, beserta peraturan pelaksananya sehingga menjadi kurang efektif apabila pelaku ternyata tidak dapat membayar restitusi. Penguatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban RI juga sangat diperlukan karena temuan dalam penelitian memperlihatkan bahwa dalam tiga tahun terakhir terjadi penurunan performa dari LPSK dengan tidak membantu fasilitasi restitusi bagi korban tindak pidana umum seperti yang telah dilakukan sebelumnya.


This research discusses about restitution as one of the rights of the victim of crime. The aims of this research are first, to show the critical analysis of the regulation of victims rights to receive restitution in Indonesia; second, to analyze the implementation of giving restitution to victim of crime precisely on human trafficking, battery, and relating to child abuse cases by reviewing criminal court decisions; and last but not least, to describe the role and obstacle of which LPSK has in fulfilling victims right to seek restitution. This research used normative methodology based on literature study and interview to support the existing data. The research founds that there is a slight disharmony in describing the definition of restitution between the laws, which affects the law enforcement officers especially judges to have different perceptions of the terminology; the lack of subsidiary provision in Law No. 31 of 2014 and its implementing regulations that causes ineffective protections of the victims if the perpetrator apparently unable to pay the restitution. On the other hand, in the last three years there has been a slight decline in performance of LPSK without facilitating victim(s) of crime to accomplish the restitution order.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuke Putri Amalia
"Dengan wilayah teritorial Indonesia yang luas dan terdiri atas lebih dari enam belas ribu pulau, membuat distribusi barang dagang memerlukan sarana yang mumpuni untuk menunjang kegiatan perdagangan. Saat ini, sudah banyak berdiri perusahaan jasa pengangkut barang yang bertanggung jawab atas proses pemindahan barang dagang. Penggunaan jasa pengangkutan ini menggunakan perjanjian pengangkutan sebagai dasar kerjasama. Perjanjian pengangkutan diatur dalam KUHPerdata, KUHD dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Walaupun perjanjian pengangkutan tidak diatur secara khusus dalam KUHPerdata, pembuatan perjanjian pengangkutan mengikuti syarah sahnya perjanjian yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dalam pemenuhan prestasi perjanjian dapat terjadi suatu keadaan tidak terduga yang tidak dapat dicegah dan memengaruhi proses pemenuhan perjanjian atau dapat disebut keadaan memaksa. Seperti yang termuat dalam kasus Putusan Nomor: 67/Pdt.G/2020/PN Pbr diajukan gugatan wanprestasi terhadap Tergugat yang ditolak oleh Majelis Hakim karena adanya keadaan memaksa. Oleh karena itu, penelitian ini akan membahas mengenai tanggung jawab pengangkut atas wanprestasi yang terjadi akibat keadaan memaksa dalam perjanjian pengangkutan. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang memilki pendekatan melalui peraturan perundang-undangan dan studi kasus. Dari penelitian ini dapat ditemukan bahwa dalam pemenuhan prestasi perjanjian pengangkutan dalam perkara ini terdapat wanprestasi yang disebabkan oleh keadaan memaksa sehingga tanggung jawab ganti rugi dari pengangkut dihapuskan.

With Indonesia's vast territorial territory consisting of more than sixteen thousand islands, distribution of trade goods requires adequate facilities to support trade activities. Currently, many goods carrier service companies have been established which are responsible for the process of moving merchandise. The use of this transportation service uses a transportation agreement as the basis for cooperation. Transportation agreements are regulated in the Civil Code, Commercial Code and other relevant laws and regulations. Even though transportation agreements are not specifically regulated in the Civil Code, the making of transportation agreements follows the legality of agreements as stated in Article 1320 of the Civil Code. In fulfilling the performance of an agreement, an unexpected situation may occur which cannot be prevented and affect the process of fulfilling the agreement or can be called a force majeure. As stated in case Decision Number: 67/Pdt.G/2020/PN Pbr, a lawsuit for breach of contract was filed against the Defendant which was rejected by the Panel of Judges due to compelling circumstances. Therefore, this research will discuss the carrier's responsibility for defaults that occur due to force majeure in the carriage agreement. This research is normative juridical research which has an approach through statutory regulations and case studies. From this research it can be found that in fulfilling the performance of the transportation agreement in this case there was a default caused by compelling circumstances so that the responsibility for compensation from the carrier was abolished.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puput Pratiwi Wulandari
"Praktik pemberian amnesti oleh Presiden Indonesia dari masa ke masa tidak ada keseragaman. Ketidakseragaman itu terlihat dari subjek yang diberi amnesti maupun tindak pidana yang dilakukan oleh penerima amnesti. Kasus pemberian amnesti kepada Baiq Nuril Maknun menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, karena selama ini di Indonesia umumnya amnesti yang diberikan berkaitan dengan alasan politik dan secara kolektif. Pemberian amnesti memiliki akibat hukum yaitu menghapuskan dasar penuntutan dan menjalankan pidana. Penelitian ini akan menjawab beberapa permasalahan seputar; pertama, kedudukan lembaga amnesti dalam ranah Hukum Tata Negara dan Hukum Pidana di Indonesia; kedua, problematika pengaturan dan praktik pemberian amnesti di Indonesia; dan ketiga, pengaturan ideal hak prerogatif presiden khususnya amnesti pada masa yang akan datang di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang menggunakan data sekunder, dengan didukung oleh data primer serta dianalisis secara deskriptif-kualitatif. Selain menggunakan pendekatan konseptual dan perundang-undangan yang menjadi ciri penelitian hukum normatif, dilakukan pula pendekatan historis dan komparatif. Hasil dari penelitian ini ialah; pertama, kedudukan lembaga amnesti di Indonesia tidak dapat dipisahkan secara tegas, karena pengaturan amnesti dalam hukum tata negara dan hukum pidana saling berkaitan dan tidak terpisahkan; kedua, pengaturan dan praktik pemberian amnesti di Indonesia masih abstrak dan tidak jelas; dan ketiga, pengaturan ideal dilakukan dengan merumuskan dan membuat Undang-Undang yang mengatur mengenai amnesti agar dapat terciptanya kepastian hukum.

There is no uniformity in the practice of granting amnesty by the President of Indonesia from time to time. This inconsistency can be seen from the subjects who were given amnesty as well as the crimes committed by the recipients of the amnesty. The case of granting amnesty to Baiq Nuril Maknun raises pros and cons in society, because so far in Indonesia generally amnesties are granted for political reasons and collectively. The granting of amnesty has legal consequences, namely eliminating the basis for prosecution and carrying out criminal acts. This research will answer several problems regarding; first, the position of the amnesty institution in the realm of constitutional law and criminal law in Indonesia; second, the problem of regulation and practice of granting amnesty in Indonesia; and third, the ideal arrangement of presidential prerogatives, especially amnesty in the future in Indonesia. This research is a normative legal research that uses secondary data, supported by primary data and analyzed descriptively-qualitatively. In addition to using a conceptual approach and legislation that characterizes normative legal research, historical and comparative approaches are also carried out. The results of this study are; first, the position of amnesty institutions in Indonesia cannot be separated explicitly, because amnesty arrangements in constitutional law and criminal law are interrelated and inseparable; second, the regulation and practice of granting amnesty in Indonesia is still abstract and unclear; and third, the ideal arrangement is carried out by formulating and enacting a law that regulates amnesty in order to create legal certainty."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Debora Vetra Mesia
"Skripsi ini membahas mengenai penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang berlaku baik di Indonesia, Belanda, maupun Singapura. Penyelesaian perkara pidana di luar persidangan atau dikenal dengan istilah Afdoening Buiten Proces merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan perkara di luar persidangan dengan cara membayar denda maksimum secara sukarela sebagaimana diatur dalam Pasal 82 KUHP Lama. Ketentuan ini juga terdapat dalam KUHP Baru, tepatnya dalam Pasal 132 ayat (1) huruf d-e. Sementara itu, di Belanda ketentuan ini diatur dalam Pasal 74 Wetboek van Strafrecht, sedangkan di Singapura dikenal mekanisme Deferred Prosecution Agreement yang memiliki konsep berbeda dengan yang diatur oleh Indonesia dan Belanda. Terdapat dua pembahasan utama dalam skripsi ini. Pertama, skripsi ini akan membahas mengenai bagaimana ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan dalam ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, Belanda, dan Singapura. Kedua, skripsi ini akan membahas mengenai bagaimana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Lama dalam mengakomodir kebutuhan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian normatif-yuridis yang menganalisis lebih lanjut tentang ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara. Adapun hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang berlaku di Indonesia, Belanda, dan Singapura masing-masing memiliki persamaan dan perbedaan. Selanjutnya, diketahui bahwa ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang diatur dalam Pasal 82 KUHP Lama selama ini tidak mengakomodir kebutuhan yang diperlukan oleh sistem peradilan pidana. Terakhir, ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan pada dasarnya memiliki tujuan yang baik dan dapat membantu meringankan beban sistem peradilan pidana, tetapi masih terdapat beberapa hambatan.

This thesis discusses the settlement of criminal cases outside the court which is valid in Indonesia, Netherlands, and Singapore. Settlement of criminal cases outside the court or known as Afdoening Buiten Process is one way to settle cases outside the court by paying the maximum fine voluntarily as stipulated in Article 82 of the Old Criminal Code. This provision is also contained in the New Criminal Code, specifically in Article 132 paragraph (1) letter d-e. Meanwhile, in the Netherlands this provision is regulated in Article 74 Wetboek van Strafrecht, while in Singapore the Deferred Prosecution Agreement mechanism is known, which has a different concept from that regulated by Indonesia and Netherlands. There are two main discussions in this thesis. First, this thesis will discuss how the provisions for settling criminal cases outside the court in the legal provisions in force in Indonesia, the Netherlands and Singapore. Second, this thesis will discuss how the Old Criminal Code accommodates the need for settlement of criminal cases outside of court. This research was conducted using a normative-juridical research method that further analyzes the legal provisions in force in a country. The results of this study state that the provisions for settling criminal cases outside the court in force in Indonesia, Netherlands and Singapore have similarities and differences, respectively. Furthermore, it is known that the provisions for settling criminal cases outside the court as regulated in Article 82 of the Old Criminal Code have so far not accommodated the needs required by the criminal justice system. Finally, provisions for the settlement of criminal cases outside the court basically have a good purpose and can help ease the burden on the criminal justice system, but there are still some obstacles."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harianto Wirjono
"Jasa pelayanan Safe Deposit Box merupakan salah satu usaha Bank Umum sesuai dengan yang terdapat di UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yaitu menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga. Dimana jasa pelayanan ini diharapkan dapat memberikan perasaan aman kepada masyarakat yang ingin menyimpan barang-barangnya yang berharga. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah metode penelitian hukum normatif dan yang bertujuan untuk mendapatkan data guna mendukung penulisan tesis ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan hukum yang terjadi antara pihak nasabah atau penyewa Safe Deposit Box dengan pihak bank sebagai pemilik dan pengelola Safe Deposit Box adalah hubungan hukum yang timbal balik, yaitu menimbulkan hak dan kewajiban di antara kedua belah pihak yang saling terikat dalam perjanjian sewa menyewa. Tanggung jawab bank yang paling utama, selaku pemilik dan pengelola Safe Deposit Box adalah menjamin keamanan barang simpanan penyewa atau nasabah, Namun sebaliknya bank tidak bertanggung jawab terhadap kerugian apabila barang simpanan itu hilang atau rusak akibat keadaan memaksa atau overmacht, alasan utama bank tidak bertanggung jawab adalah karena pihak bank sudah menerapkan klausula baku yang intinya membebaskan bank seluruhnya dari tanggung jawab dan kewajiban terhadap jasa pengamanan yang diberikan kepada penyewa. Tetapi sebagai tanggung jawab moral kepada penyewa safe deposit box terutama masyarakat, apabila sampai terjadi kehilangan maka langkah-langkah yang sebaiknya diambil oleh pihak bank adalah berusaha semaksimal mungkin untuk menjelaskan dan mencari sebab-sebab terjadinya kerusakan atau kehilangan barang simpanan milik penyewa serta membantu penyewa guna mengusut tuntas masalah tersebut.
Safe Deposit Box services is one of the bank's generally in accordance with that was found in the Act Number 10 Year 1998 concerning banking, which provides a place to store valuable goods and commercial papers. Where the services are expected to be able to give security to the people who want to keep their valuable belongings. The Method of Research that is used to write this thesis is the methods of legal norms, which intended to obtain the data to support the research of this thesis. The results of the study showed that legal relation between the customer or renter of safe deposit box with the bank as the owner and manager of Safe Deposit Box is the context of the reciprocal rights, which leads to the rights and duties between the two sides are intertwined in the agreement of the rent contract. Most of all the responsibility of the bank, as the owner and manager of safe deposit box is to guarantee the deposit security for renter or client, But bank would not rather be responsible for the loss when the deposit is lost or damaged by the force condition, the main reason that the bank is not responsible for overmacht was because the bank is already implementing standart clauses that essentially freed the bank entirely from responsibility and obligation to give the protection for the renter. But as moral responsibility to the renter of Safe Deposit Box particularly for the society, when there was lost and the actions that should be taken by the bank is as much as possible to try to explain and look for the cause of damage or loss for renter and will assist the renter to thoroughly investigate these problems."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T34965
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hernu Aulia Farhan
"Skripsi ini membahas mengenai urgensi kriminalisasi pemaksaan perkawinan dalam hukum pidana Indonesia. Termasuk didalamnya adalah membahas mengenai urgensi perlindungan korban kekerasan seksual khususnya pemaksaan perkawinan yang lebih optimal mengingat telah disahkannya UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Sebetulnya terkait tindak pidana kekerasan seksual dapat ditemukan pengaturannya secara sektoral dan tersebar dalam beberapa undang-undang, seperti UU PKDRT, UU Perlindungan Anak dan UU Hak Azasi Manusia. Akan tetapi secara khusus, pembahasan dalam penelitian ini, yaitu pemaksaan perkawinan yang dimaksud adalah perkawinan yang dilaksanakan secara terpaksa melalui tekanan-tekanan tertentu yang menyebabkan tidak dapat dicapainya persetujuan yang sesungguhnya oleh salah satu atau kedua pasangan sebagaimana yang telah diatur dalam UU TPKS. Bahwa perlindungan yang optimal merupakan suatu keharusan melihat fakta seringkali perempuan terjebak dalam pusaran ketidakadilan dalam hal penanganan kasus-kasus kekerasan seksual dalam koridor sistem peradilan pidana, baik dalam fase pra-penuntutan sampai dengan hasil vonis yang dijatuhkan yang tidak berpihak kepada korban. Bahwa dalam penilitian ini terungkap bahwa banyak sekali dampak-dampak destruktif yang dapat dihasilkan dari tindakan pemaksaan perkawinan. Dampak-dampak yang dimaksud dapat berupa dampak psikososial, kesehatan dan ekonomi pada korban. Sebagai instrumen pembantu penelitian ini akan dibandingkan juga regulasi berkaitan dengan pemaksaan perkawinan di Negara Inggis dan Jerman. Salah satu contoh yang dapat ditiru dalam perkembangan penanganan pemaksaan perkawinan di Indonesia adalah didirikannya lembaga pemerintah yang dapat menjadi garda terdepan perlindungan masyarakat terhadap kasus pemaksaan perkawinan seperti forced marriage unit (FMU) di Inggris dan sistem registrar di Jerman.

This thesis discusses the urgency of criminalizing the imposition of marriage in Indonesian criminal law. This study includes discussing the urgency of protecting victims of sexual violence, especially the victims of forced marriage considering the passage of Law No. 12 year 2022 of the Sexual Violence criminal Offence act (TPKS). Actually, related to the crime of sexual violence can be found on sectoral regulation and spread in several laws, such as the Domestic Violence Law, the Child Protection Law and the Human Rights Law. However, in particular, the discussion in this study, namely the coercion of marriage in question is a marriage that is carried out forcibly through certain pressures that cause the inability to reach true consent by one or both spouses as stipulated in the latest TPKS Law. Optimal victim protection is a must regarding the fact that women are often caught in a maelstrom of injustice in terms of handling cases of sexual violence in the corridors of the criminal justice system, both in the pre-prosecution phase and the results of sentences handed down that are not in favor of the victim. This study revealed that there are many destructive effects that can result from the act of coercion of marriage. These effects can be psychosocial, health and economic impacts on victims. As an auxiliary instrument, this research will also be compared with regulations related to the coercion of marriage in the UK and Germany. One example that can be imitated in the development of handling forced marriage in Indonesia is the establishment of government agencies that can be the frontline of public protection against cases of forced marriage such as forced marriage units (FMU) in the UK and the registrar system in Germany.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simbolon, Marthin James
"Mengirim uang, membicarakan hal-hal pribadi, berkomunikasi secara langsung maupun virtual seperti melalui telepon atau video call, dan unsur-unsur emosional lainnya merupakan hal-hal umum yang terjadi dalam sebuah hubungan. Namun, dimungkinkan ada keadaan di mana unsur emosional ini digunakan sebagai sarana manipulasi untuk mendapatkan keuntungan atau dikenal sebagai Love Scam. Bila hal tersebut terjadi sulit memastikan apakah pemberian korban sepenuhnya bersifat sukarela atau merupakan hasil upaya manipulasi yang dipergunakan pelaku. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemenuhan unsur tindakan love scam terhadap aturan perbuatan manipulasi, perbuatan curang, dan/atau penipuan di Indonesia menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Bentuk dari penelitian ini adalah yuridis normatif, dimana sumber data diperoleh dari data sekunder yang dilengkapi dengan pandangan Aparat Penegak Hukum dalam menangani dan menyelesaikan setiap kasus berkenaan dengan love scam, yang kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diperoleh hasil yaitu love scam tidak diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, tetapi upaya penegakan hukum terhadap tindakan love scam ini tetap dapat dilakukan dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 378 KUHP dan Pasal 35 UU ITE.

Sending money, talking about personal things, communicating in person or virtual such as via telephone or video calls, and other emotional elements are common things that happen in a relationship. However, there may be circumstances in which this emotional element is used as a means of manipulation for profit otherwise known as the Love Scam. When this happens, it is difficult to ascertain whether the victim's gift is completely voluntary or is the result of manipulation by the perpetrator. Based on this, this study aims to find out how to fulfill the elements of love scam action against the rules of manipulation, fraud, and/or fraud in Indonesia according to the Criminal Code and the Information and Electronic Transaction Law. The form of this research is normative juridical, where the data source is obtained from secondary data which is equipped with the views of Law Enforcement Officials in handling and resolving each case regarding a love scam, which is then analyzed descriptively qualitatively. Based on the research, the results obtained are that love scams are not specifically regulated in Indonesian laws and regulations. However, law enforcement efforts against love scams can still be carried out based on the provisions of Article 378 of the Criminal Code and Article 35 of the ITE Law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sallata, Hans Giovanny Yosua
"Yurisdiksi Universal merupakan konsep yurisdiksi hukum pidana yang mengatur bahwa suatu negara dapat memberlakukan hukum pidana nasionalnya kepada pelaku tindak pidana, dimanapun pelaku tersebut berada tanpa memperdulikan kewarganegaraan dari pelaku tindak pidana maupun korbannya. Yurisdiksi universal telah dikenal dalam berbagai perjanjian internasional, jiga dalam hukum pidana nasional Indonesia. Oleh KUHP yurisdiksi universal dapat diberlakukan kepada kejahatan atas mata uang, pembajakan atau perompakan kapal serta kejahatan terhadap penerbangan sipil. Yurisdiksi universal kemudian diatur juga dalam KUHP baru yakni UU No. 1 Tahun 2023, oleh UU No. 1 Tahun 2023 yurisdiksi universal diatur secara lebih terbuka dan tidak dirumuskan secara terbatas terhadap tindak pidana terhadap mata uang, pembajakan dan perompakan kapal serta kejahatan terhadap penerbangan saja. Selain Indonesia beberapa negara sepeti Prancis dan Belanda juga mengatur mengenai yurisdiksi universal dalam hukum pidana nasionalnya. Terdapat beberapa perbedaan dan kesamaan antara Indonesia, Prancis dan Belanda dalam mengatur yurisdiksi universal, pada intinya pengaturan mengenai yurisdiksi universal pada hukum pidana nasional negara termasuk pada ketiga negara tersebut berkembang seiring waktu dan dipengaruhi oleh perkembangan hukum internasional.

Universal Jurisdiction is a concept of criminal jurisdiction which stipulates that a country can apply its national criminal law to perpetrators of crimes, wherever the perpetrators are located regardless of the nationality of the perpetrators of crimes or their victims. Universal jurisdiction has been recognized in various international treaties, as well as in Indonesian national criminal law. By Indonesian Criminal Code universal jurisdiction can be applied to crimes against currency, piracy and crimes against civil aviation. Universal jurisdiction is then also regulated in the new Criminal Code, namely Law no. 1 of 2023. By Law no. 1 of 2023 universal jurisdiction is regulated in an openly manner and is not formulated in a limited way against crimes against currency, piracy and crimes against aviation only. Apart from Indonesia, several countries such as France and the Netherlands also regulate universal jurisdiction in their national criminal law. There are several differences and similarities between Indonesia, France and the Netherlands in regulating universal jurisdiction, in essence the arrangement regarding universal jurisdiction in the national criminal law of countries including those three countries has developed over time and is influenced by the development of international law."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Yuanita Indriani
"Skripsi ini membahas mengenai kekerasan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang dipersempit ruang lingkupnya pada aparat kepolisian sebagai pejabat penyidik dalam proses interogasi. Kekerasan yang dilakukan oleh pejabat publik untuk tujuan-tujuan tertentu dikualifikasikan sebagai penyiksaan dalam Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT) yang telah diratifikasi ke dalam UU Nomor 5 Tahun 1998. Berdasarkan penelitian yang bersifat deskriptif-evaluatif ini, ditemukan putusanputusan yang memidana pelaku penyiksaan dengan pasal tentang penganiayaan dalam KUHP. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa penerapan pasal tentang penganiayaan masih belum tepat digunakan dalam memidana pelaku penyiksaan yang memiliki kualifikasi kejahatan yang lebih berat daripada tindak pidana penganiayaan.

The focus of this study is regarding violence committed by law enforcement officers (which in this particular study is narrowed down to the scope of police officers as investigators) in the interrogation process. Violence committed by a public official for certain purposes is qualified as torture as it is mentioned in the Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT) that has been ratified with Law No. 5 of 1998. Based on this descriptive-evaluative study, it is found that there are court decisions that convict perpetrators of torture with articles regarding persecution from the Indonesian Criminal Code (KUHP). The result of this study shows that the application of articles regarding persecution is still not yet appropriate to be used in convicting perpetrators of torture, since it is qualified as a more serious crime than the crime of persecution.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S57141
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>