Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 104847 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Putri Monasari
"

Latar belakang: Kanul dalam trakea yang dibersihkan secara rutin sangat penting untuk pencegahan infeksi. Belum diketahui cara pencucian kanul trakea yang baik untuk mengurangi kemungkinan terjadinya koloni bakteri pembentuk biofilm dan pertumbuhan kuman serta pola kuman pada kanul trakea.

Tujuan penelitian: Memperbaiki tatalaksana perawatan kanul trakea terkait dengan penghambatan koloni bakteri pembentuk biofilm, resistensi kuman terhadap antibiotika dengan kombinasi pencucian kanul trakea menggunakan klorheksidin dan NaCl 0,9% pada pasien yang menggunakan kanul trakea.
Metode: Terdapat 40 subjek yang dikelompokkan menjadi 20 subjek kelompok kontrol (dilakukan pencucian kanul menggunakan NaCl 0,9 % dicuci 100 ml selama 10 menit) sedangkan kelompok studi (pencucian kanul menggunakan NaCl 0,9 % sebanyak 100 ml lalu dicuci dengan cairan klorheksidin 2,5 % minimal 20 ml secara merata selama 10 menit). Penelitian ini menggunakan uji klinis acak terkontrol paralel 2 kelompok dengan penyamaran tunggal.
Hasil: Dari 40 subjek yang diteliti, didapatkan 17 subjek (85 %) masing-masing kelompok yang menghasilkan bakteri pembentuk biofilm sebelum dilakukan intervensi. Setelah dilakukan intervensi pada kelompok studi didapatkan, 15 subjek negatif biofilm dan 5 subjek positif biofilm p=0,001. Bakteri paling banyak ditemukan pada kelompok kontrol adalah Pseudomonas aeruginosa sedangkan pada kelompok studi masih didapatkan bebrapa bakteri seperti Acinetobacter sp. dan Proteus mirabilis. Amoxicilin-Clavulanat memiliki resisten yang paling tinggi terhadap bakteri pembentuk biofilm pada kedua kelompok. Piperacilin, ceftazidime, ciprofloxacin dan meropenem memiliki sensitifitas yang paling tinggi terhadap bakteri pembentuk biofilm.
Kesimpulan: Terdapat penurunan yang bermakna jumlah koloni yang menghasilkan biofilm pada kanul trakea pada kelompok studi dibandingkan kelompok kontrol dalam pencucian kanul trakea (p=0,001).

Background: Regular cleaning of the cannula in the trachea is very important for infection prevention. How to wash the tracheal cannula which is good to reduce the possibility of colonies of biofilm-forming bacteria and the growth of germs and the pattern of germs on the tracheal cannula is still unknown.
Aim : To improve the treatment of tracheal cannula related to inhibition of biofilm-forming bacterial colonies, resistance to antibiotics with a combination of washing the tracheal cannula using chlorhexidine and NaCl 0.9% in patients using tracheal cannula.
Methods: There were 40 subjects who were grouped into 20 subjects in the control group (washing the cannula using 0.9% NaCl washed 100 ml for 10 minutes) while the study group (washing cannula using 0.9% NaCl as much as 100 ml then washed with 2.5% chlorhexidine solution at least 20 ml evenly for 10 minutes). This study used a parallel randomized controlled trial of 2 groups with a single blinded.
Results: Of the 40 subjects studied, 17 subjects (85%) each group produced biofilm-forming bacteria prior to intervention. After intervention in the study group, 15 subjects were biofilm negative and 5 biofilm positive subjects p = 0.001. The most common bacteria found in the control group is Pseudomonas aeruginosa, while in the study group some bacteria such as Acinetobacter sp. and Proteus mirabilis. Amoxicilin-Clavulanate had the highest resistance to biofilm forming bacteria in both groups. Piperacillin, ceftazidime, ciprofloxacin and meropenem have the highest sensitivity to biofilm-forming bacteria.
Conclusion: There was a significant decrease in the number of colonies that produced biofilm in the tracheal cannula in the study group compared to the control group in tracheal cannula washing (p = 0.001).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Najib Ali
"Kanul trakeostomi merupakan salah satu alat medis yang umum diaplikasikan pada pasien. Pemasangan kanul trakeostomi berisiko menyebabkan pembentukan biofilm, terutama pada pemasangan jangka panjang. Pembentukan biofilm pada kanul trakeostomi dapat menimbulkan infeksi kronis dengan angka kekambuhan yang tinggi dan tata laksana yang sulit. Keberadaaan biofilm ini dapat diperiksa dengan beberapa metode, misalnya metode tabung dan microtiter plate (MTP). Penelitian ini bertujuan untuk menilai performa diagnostik metode tabung menggunakan media tryptic soy broth (TSB) dengan dan tanpa suplementasi glukosa 1% terhadap metode MTP sebagai baku emas. Diperoleh 100 isolat bakteri hasil biakan spesimen swab kanul trakeostomi yang berasal dari pasien dewasa Poliklinik Telinga Hidung Tenggorok Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Juni-Juli 2020. Total isolat bakteri yang menghasilkan biofilm berdasarkan metode MTP adalah 25%. Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri dengan tingkat produksi biofilm yang paling tinggi (66,7%). Metode tabung TSB murni dan TSB glukosa 1% memiliki sensitivitas yang sama (96%), namun metode TSB glukosa 1% lebih unggul dalam hal spesifisitas (29,3% berbanding 24%), nilai duga positif (31,2% berbanding 29,6%), nilai duga negatif (95,6% berbanding 94,7%), dan akurasi (46% berbanding 42%). Nilai kappa metode tabung TSB murni adalah 0,893 (IK 0,791-0,995) sedangkan TSB glukosa 1% adalah 0,890 (IK 0,785-0,995). Berdasarkan hasil tersebut, pemeriksaan biofilm metode tabung TSB glukosa 1% dapat digunakan sebagai skrining deteksi biofilm pada kanul trakeostomi.

Tracheostomy cannula is one of the medical devices commonly applied to patients. Application of tracheostomy cannula is at risk of causing biofilm formation, especially in long-term use. Biofilm formation in the cannula may cause chronic infection, which has a high relapse number and difficult treatment. The presence of biofilm can be detected by several methods, including the tube method and the microtiter plate (MTP) method. This study aimed to assess the diagnostic performance of the tube method using tryptic soy broth (TSB) with or without glucose supplementation to the MTP method as the gold standard. There were 100 bacterial isolates obtained from tracheostomy cannula swab culture from adult patients in Otorhinolaryngology Outpatient Clinic in Cipto Mangunkusumo Hospital from June to July 2020. Twenty-five percent of isolates were biofilm-producing bacteria. Pseudomonas aeruginosa had the highest biofilm production rate (66,7%). Both tube methods using TSB with or without 1% glucose supplementation had the same sensitivity (96%); however, TSB with 1% glucose supplementation was better in specificity (29,3% versus 24%), positive predictive value (31,2% versus 29,6%), negative predictive value (95,6% versus 94,7%), and accuracy (46% versus 42%). Kappa value of tube method of TSB only was 0,893 (CI 0,791-0,995) while TSB with 1% glucose supplementation was 0,890 (CI 0,785-0,995). Based on those results, the tube method of TSB with 1% glucose supplementation can be used as a screening tool to detect biofilm in tracheostomy cannula"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Puspito Sari
"Biofilm adalah struktur kompleks tiga dimensi yang terdiri dari bakteri hidup dalam matriks ekstraselular atau excreted polymeric substance (EPS) yang mengandung polisakarida, asam nukleat dan protein. Infeksi yang diakibatkan biofilm sulit untuk dieradikasi, karena EPS pada biofilm dapat meningkatkan resistensi bakteri dan menghambat antibiotik mencapai bakteri tersebut. Biofilm dapat melekat pada alat-alat kesehatan seperti kanul trakeostomi.  Pembentukan kolonisasi bakteri biofilm pada kanul trakeostomi dapat menyebabkan inflamasi kronik yang memicu infeksi stoma dan saluran pernapasan bawah, serta pembentukan jaringan granulasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan mengenai biofilm dan mikroba pembentuk biofilm, serta faktor risiko yang mempengaruhi pembentukannya. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang, dilakukan di poliklinik THT FKUI-RSCM Dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan Februari 2019 sampai dengan Agustus 2019 terhadap pasien yang terpasang kanul trakeostomi usia dewasa. Dari penelitian ini terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara faktor risiko penyakit komorbid dengan peningkatan pembentukan biofilm pada pasien terpasang kanul trakeostomi.

Biofilm is a three-dimensional complex structure consisting of living bacteria in an extracellular matrix or excreted polymeric substance (EPS) containing polysaccharides, nucleic acids and proteins. Infections caused by biofilms are difficult to eradicate, because EPS in biofilms can increase bacterial resistance and prevent antibiotics from reaching the bacteria. Biofilms can be attached to medical devices such as tracheostomy cannula. The formation of bacterial colonization of biofilms in tracheostomy cannulas can cause chronic inflammation that triggers stoma and lower respiratory tract infections, and the formation of granulation tissue. This study aimed to increase knowledge about biofilms and biofilm-forming microbes, and risk factors that influence its formation. This cross-sectional designs study, conducted at the ENT polyclinic FKUI-RSCM Dr. Cipto Mangunkusumo on February 2019 to August 2019 of adult patients with tracheostomy cannula.There was a statistically significant correlation between risk factors of comorbid disease with an increase of the biofilms formation in patients with tracheostomy cannula."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58832
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Salim S. Alatas
"Biofilm merupakan struktur yang dibentuk oleh komunitas mikroorganisme yang saling terikat dan terfiksasi dengan melekat pada suatu permukaan dalam matriks polimer ekstraseluler yang dihasilkan oleh mikroorganime tersebut. Pembentukan biofilm dilaporkan cukup tinggi pada kanul trakeostomi dan berhubungan dengan inflamasi kronis, serta infeksi oleh mikroorganisme yang resisten terhadap antimikroba. Beberapa metode pemeriksaan deteksi biofilm telah diperkenalkan, termasuk diantaranya adalah metode microtiter plate assay (MPA), congo red agar (CRA), dan congo red agar modifikasi (CRA modifikasi). Penelitian ini merupakan uji diagnostik dengan desain potong lintang yang bertujuan untuk mengevaluasi kinerja diagnostik pemeriksaan deteksi biofilm bakterial metode CRA dan CRA modifikasi yang dianggap lebih sederhana dan mudah terhadap metode MPA yang dianggap sebagai baku emas. Deteksi biofilm bakterial metode MPA, CRA, dan CRA modifikasi pada penelitian ini dikerjakan pada 100 isolat bakteri yang diperoleh dari biakan spesimen swab kanul trakeostomi pasien dewasa Poliklinik Telinga Hidung Tenggorok Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Juni-Juli 2020. Pembentukan biofilm bakterial terdeteksi sebesar 25% berdasarkan metode MPA dengan bakteri penyusun terbanyak adalah Pseudomonas aeruginosa. Sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif (NPP), nilai prediksi negatif (NPN), dan akurasi metode CRA didapati sebesar 36%, 63%, 24%, 75%, 56%. Metode CRA modifikasi didapati tidak memiliki kinerja diagnostik yang lebih baik dibandingkan dengan metode CRA, yaitu dengan sensitivitas, spesifisitas, NPP, NPN, dan akurasi sebesar 52%, 35%, 21%, 68%, 39%. Kesesuaian hasil interobserver deteksi biofilm bakterial metode CRA dan CRA modifikasi didapati sangat kuat (Kappa 0,927, p = 0,035 untuk metode CRA dan Kappa = 0,856, p = 0,042 untuk metode CRA modifikasi).

Biofilm is a structured formed by a community of microorganisms that are bound to each other and fixated by adhering to a surface in the extracellular polymer matrix produced by these microorganisms. Biofilm formation has been reported high in tracheostomy cannule and related to chronic inflammation, as well as infection with antimicrobial-resistant microorganisms. There are several biofilm detection methods, including Microtiter Plate Assay (MPA) Method, Congo Red Agar (CRA)iMethod, and modified Congo Red Agar (modified CRA) Method. This study is a diagnostic study with cross sectional design that aims to evaluate the diagnostic performance of bacterial biofilm detection by CRA and modified CRA method, which are considered easier and simpler than MPA method, which is considered as the gold standard. Bacterial biofilm detection using CRA, modified CRA, and MPA method in this study was carried out on 100 bacterial isolates obtained from tracheostomy cannule swab cultures of adult patients at Otorhinolaryngology Outpatient Clinic Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital in June-July 2020. Bacterial biofilm formation was detected by 25% based on MPA methods with the most bacterial constituent is Pseudomonas aeruginosa. Sensitivity, specificity, positive predictive value (PPV), negative predictive value (NPV), and accuracy of CRA methods were 36%, 63%, 24%, 75%, 56%. Modified CRA method did not have a better diagnostic performance than CRA method, with sensitivity, specificity, NPP, NPN, and accuracy were 52%, 35%, 21%, 68%, 39%. The concordance of interobserver bacterial biofilm detection using the CRA and modified CRA methods was found to be very strong (Kappa 0.927, p = 0.035 for the CRA method and Kappa = 0.856, p = 0.042 for the modified CRA method)"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erlina Hasriati
"

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas antibakteri obat kumur klorheksidin dan larutan kitosan terhadap total bakteri dan bakteri Red-Complex pada daerah leher Mini Implan Ortodontik (MIO) yang digunakan oleh pasien yang sedang menjalani perawatan ortodontik.

Metode: Desain penelitian ini adalah eksperimental klinis dan laboratorik. Penelitian dilakukan di Klinik Ortodonti RSKGM FKG UI dan laboratorium Biologi Oral Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia pada bulan Februari 2019 – Juli 2019. Penelitian ini merupakan double blinded test yang melibatkan 30 subjek penelitian yang terbagi menjadi tiga kelompok uji. Setiap kelompok berkumur dengan larutan kumur kitosan/ obat kumur klorheksidin/ aquadest steril (kontrol) yang disamarkan, sebanyak 10 ml dua kali sehari selama empat hari. Jumlah koloni bakteri Red-complex (terdiri dari Porphyromonas gingivalis, Tannerella forsythia, dan Treponema denticola) yang didapat dari sampel plak di leher MIO, baik sebelum dan sesudah menggunakan obat kumur, dianalisis di laboratorium menggunakan Real-time Polymerase Chain Reaction. Kemudian data diolah dan dianalisis secara statistik.

Hasil: Obat kumur klorheksidin dan larutan kitosan efektif secara signifikan menurunkan total bakteri peri-MIO (P<0,05). Penurunan total bakteri peri-MIO setelah berkumur selama empat hari dengan larutan kitosan 1% tidak berbeda bermakna dengan berkumur menggunakan obat kumur klorheksidin 0,2% (P≥0,05). Efektivitas antibakteri larutan kitosan terhadap bakteri red-complex menunjukkan hasil yang terbaik pada bakteri T.denticola yaitu penurunan sebesar 58% jumlah bakteri.

Kesimpulan: Kitosan memiliki efektivitas antibakteri yang sebanding dengan klorheksidin untuk digunakan dalam larutan kumur untuk mencegah infeksi peri-MIO.

 

Kata Kunci: Mini Implan Ortodontik; kitosan, klorheksidin; bakteri red-complex; obat kumur.

 

 


Introduction: Inflammation is one of the most common complication occurred when using orthodontic miniscrew. Chlorhexidine mouthwash can be used to prevent and reduce the inflammation, but long-term use of chlorhexidine mouthwash may exhibit some side effects. Chitosan is a biomaterial that has antibacterial properties which may beneficial in maintaining peri-miniscrew hygiene and preventing inflammation.

Objectives: The aim of the study is to evaluate the antibacterial effect of 1% chitosan compare to 0.2% chlorhexidine mouthwash on bacterial level around orthodontic miniscrew.

Materials and Methods: Randomized double-blind clinical trial was conducted in RSKGM University of Indonesia from February to July 2019. Thirty subjects, 25 female and 5 male, were randomly assigned to rinse with 1 % chitosan (n=10), 0.2% chlorhexidine digluconate (n=10), and aquadest (n=10) in addition to their usual oral hygiene procedure for four days. Peri-miniscrew clinical inflammation signs were recorded and peri-miniscrew plaque were collected before and after four days rinsing. The total bacterial and red-complex bacteria count in plaque samples were evaluated by real-time PCR.

Results: Chitosan and Chlorhexidine has antibacterial activity to reduce total bacterial count in peri-miniscrew (P < 0,05). Antibacterial activity of chitosan on total bacteria is not different significantly with chlorhexidine (P ≥ 0,05). Antibacterial activity of chitosan on red-complex bacteria shows best result on T.denticola with 58% bacteria count reduction.

Conclusion: Chitosan has potential antibacterial activity to be used in mouthwash to maintain the peri-miniscrew hygiene.

Keywords: orthodontic miniscrew; chitosan; chlorhexidine; red-complex bacteria; mouthwash

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Ary Al Asy` Ari
"Permasalahan utama yang banyak dihadapi dalam penelitian dengan tujuan mengkaji potensi mikroalga adalah sulitnya mendapatkan densitas mikroalga dalam jumlah yang besar. Salah satu penyebabnya adalah faktor nutrien dalam media. Bakteri pemfiksasi nitrogen A. Brasilense dapat diaplikasikan dalam kultivasi Chlorella vulgaris dalam kultur campuran. Penggunaan bakteri pemfiksasi nitrogen untuk peningkatan pertumbuhan pada tanaman tingkat tinggi merupakan hal yang sering dilakukan. Pada penelitian ini, digunakan media BG-11 dan M-838 untuk C. vulgaris dan A. brasilense yang dikultivasi dalam tabung L berukuran 10 mL selama 5 hari dengan OD awal 0,2. Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa dengan perbandingan NC. vulgaris : NA.brasilense 1:1 memberikan hasil yang paling optimal untuk menunjang pertumbuhan C. vulgaris dengan nilai laju petumbuhan spesifik (µ) sebesar 0,088 per hari.

The main problems encountered in many studies with the aim of assessing the potential of microalgae is difficult to get the density of microalgae in large numbers. One reason is the factor of nutrient in media. Nitrogen-fixing bacterium A. brasilense can be applied in the cultivation of Chlorella vulgaris in a mixed culture. The use of nitrogen-fixing bacteria for growth promotion in higher plants is often performed. In this research, use of BG-11 and M-838 media for C. vulgaris and A.brasilense were cultivated in a 10 mL L-tube for 5 days with initial OD 0,2. From this research showed that the ratio of NC. vulgaris : NA.brasilense 1:1 gives the most optimal result to support the growth of C. vulgaris with a spesific value around growth rate (µ)0,088 per day."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S46427
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Maureen Senjaya
"Latar Belakang: Propolis merupakan bahan alami yang mulai digemari dalam kedokteran gigi. Secara komersial, propolis dapat dijadikan dalam bentuk obat kumur. Sifat anti-bakterial pada propolis memiliki efek kariostatik sehingga mampu untuk mencegah proses terjadinya karies. Bakteri Streptococcus sanguinis adalah bakteri komensal yang ditemukan pada rongga mulut yang dikaitkan dengan biofilm sehat. Sedangkan, bakteri penyebab utama karies adalah Streptococcus mutans. Keduanya berinteraksi secara antagonis, dimana rasio kedua bakteri pada rongga mulut diyakini dapat menentukan tingkat terjadi karies seseorang.
Tujuan: Menetapkan pengaruh pemberian obat kumur propolis 5% terhadap pertumbuhan biofilm dan interkasi pada biofilm dual-spesies Streptococcus mutans dan Streptococcus sanguinis. 
Metode: Digunakan uji Crystal Violet untuk menentukan massa dan persentase pertumbuhan biofilm, serta persentase inhibisi obat kumur propolis 5%. 
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna pada massa biofilm yang terbentuk antara intervensi obat kumur propolis 5% dibandingkan kontrol negatif.
Kesimpulan: Terdapat interaksi antagonis antara bakteri Streptococcus mutans dan Streptococcus sanguinis, serta tidak adanya pengaruh pemberian obat kumur propolis 5% terhadap interaksi antagonis kedua bakteri. Obat kumur propolis 5% mampu menurunkan massa biofilm dual-spesies Streptococcus mutans dan Streptococcus sanguinis. Akan tetapi, obat kumur propolis 5% tidak dapat menghentikan pertumbuhan biofilm dual-spesies tersebut.

Introduction: Propolis is a natural substance that’s gaining popularity in dentistry. Commercially, propolis can be used in the form of mouthwash. The anti-bacterial properties of propolis have a cariostatic effect to prevent caries. Streptococcus sanguinis bacteria are commensal bacteria found in the oral cavity. Meanwhile, the main cause of caries is Streptococcus mutans. Both of them interact antagonistically, where the ratio of the two in the oral cavity is believed to determine the level of caries occurrence of a person. 
Objective: To determine the effect of 5% propolis mouthwash on biofilm growth and interactions in dual-species Streptococcus mutans and Streptococcus sanguinis biofilms. 
Method: The Crystal Violet Assay was used to determine the mass and proportion of biofilm growth, as well as the percentage of inhibition of 5% propolis mouthwash. 
Results: There was no significant difference in the mass of the biofilm formed between the 5% propolis mouthwash intervention and the negative control. 
Conclusion: There is an antagonistic interaction between Streptococcus mutans and Streptococcus sanguinis bacteria, and there is no effect of 5% propolis mouthwash on this interaction. 5% propolis mouthwash was able to reduce biofilm mass of dual-species Streptococcus mutans and Streptococcus sanguinis biofilms. However, 5% propolis mouthwash could not stop the growth of the dual-species biofilm.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priscilla Arlyta S.
"Latar Belakang : Enterococcus faecalis merupakan bakteri yang mampu membentuk biofilm dan banyak ditemukan pada kasus kegagalan perawatan saluran akar.
Tujuan : Melihat daya antibakteri kitosan dan klorheksidin terhadap E. faecalis dalam biofilm.
Metode : Deteksi dan kuantifikasi E. faecalis dalam biofilm yang hidup pasca pemaparan bahan uji, dengan real time PCR.
Hasil : Terdapat perbedaan jumlah bakteri yang signifikan antara kedua kelompok bahan uji terhadap kontrol (p ≤ 0,05), tetapi tidak terdapat perbedaan bermakna antara kelompok kitosan dan klorheksidin.
Kesimpulan : Daya antibakteri kitosan 2% terhadap biofilm E. faecalis sebanding dengan klorheksidin 2%.

Background : Enterococcus faecalis has an ability to form biofilms and become a predominant bacteria that plays a major role in the etiology of persistent lesions after root canal treatment.
Aim : To analyze the efficacy of chitosan and chlorhexidine against E. faecalis in biofilms.
Methods : Detection and quantification of E. faecalis DNA that survive and live after immersing the biofilm in antibacterial solution, with real time PCR.
Result : Statistically there is significant difference of living E. faecalis between chitosan and control and between 2% chlorhexidine and control (p ≤0,05). But there is no significant different between chitosan and chlorhexidine (p>0,05).
Conclusion : Antibacterial effectivity of chitosan is equal to chlorhexidine against E. faecalis in biofilm.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shaffa Amalia
"ABSTRAK
Zinc Zn merupakan mineral yang terkandung dalam salah satu enzim alkaline phosphatase dalam cairan krevikular gingiva. Volume cairan krevikular gingiva ini diketahui berhubungan berat dengan gingivitis. Gingivitis pada anak disebabkan oleh akumulasi plak dan bakteri. Plak merupakan lapisan di permukaan gigi yang mengandung bakteri. Bakteri Streptococcus mutans S. mutans paling banyak ditemukan di plak dan berkoloni pada permukaan gigi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan kadar Zn dalam cairan krevikular gingiva dengan terjadinya gingivitis dan pertumbuhan koloni S. mutans pada anak di wilayah DKI Jakarta. Subyek penelitian berusia 12-14 tahun, sebanyak 30 anak. Sampel penelitian berupa kadar Zn yang terdapat di dalam cairan krevikular gingiva. Kadar Zn diukur dengan menggunakan metode spektofotometri serapan atom. Terdapat hubungan lemah dan tidak bermakna dengan arah korelasi positif antara kadar Zn dalam cairan krevikular gingiva dengan terjadinya gingivitis
"hr>"
"b>ABSTRACT
"
Zinc Zn is a mineral that is contained in one of the enzyme alkaline phosphatase in gingival crevicular fluid. The volume of gingival crevicular fluid are considered to have a relationship with gingivitis. Gingivitis in children is caused by the accumulation of plaque and bacteria. Plaque is a layer on the surface of the tooth that contains bacteria. Streptococcus mutans S. mutans is the most commonly found on plaque and colonize on the tooth surfaces. This research was conducted to determine relationship Zn levels in gingival crevicular fluid to gingivitis and S. Mutans colony growth in children. Subjects aged 12 14 years old, 30 children. Zn levels were measured using atomic absorption spectrophotometry method. There is weak and no significant relationship with positive correlation between Zn levels in gingival crevicular fluid and gingivitis p"
2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Billy Aprianto
"Optimalisasi morfologi dan kristalinitas TiO2 nanotubes (TNT) yang difabrikasi pada permukaan Ti6Al4V dengan metode anodisasi dan dikristalisasi menggunakan variasi metode, yaitu pemanasan menggunakan furnace yang dialiri udara dengan variasi suhu operasi 500° - 800°C dan metode hydrothermal treatment dengan variasi suhu 150°-200°C selama 3 jam telah dilakukan.
Hasil karakterisasi pada sampel menunjukkan adanya peralihan fase kristal dari anatase menjadi rutile pada rentang suhu 600°C - 650°C dengan ukuran kristal rata-rata pada setiap variasi adalah 18 nm.
Hasil uji pembentukan biofilm secara in vitro dengan bakteri Streptococcus mutans menunjukkan sampel Ti6Al4V/TNT yang dikristalisasi pada suhu 600°C memiliki kinerja fotokatalitik yang paling baik, dengan hasil sebesar 21% konsentrasi bakteri yang menempel pada plat Ti6Al4V/TNT dibandingkan dengan model kontrol pada jam ke-24 pengukuran.
Hasil ini menunjukkan sampel Ti6Al4V/TNT dengan suhu kristalisasi 600°C merupakan kondisi optimum untuk menghambat pembentukan biofilm dalam penelitian ini. Kinerja fotokatalitik pada bahan Ti6Al4V/TNT berpotensi untuk ditingkatkan menggunakan kombinasi teknologi lainnya.

Morphology and crystalinity optimalization of TiO2 nanotubes (TNT) on Ti6Al4V using anodization method and various crystalization method (heat treatment by furnace within air stream at 500°-800°C and heat treatment using hydrothermal treatment method at 150°-200°C) had been done.
Characterizations of the samples show that there are a crystal phase changing from anatase to rutile at 600°-650°C in heat treatment using furnace, with 18 nm for crystal size in average.
Biofilm's test exhibit that Ti6Al4V/TNT sample that crystalized at 600°C has the best performance in inhibiting biofilm formation, which can achieve 19% of biofilm concentration on the material, compared to the control.
The result show that Ti6Al4V/TNT that crystalized at 600°C has the optimum morpholgy and crystalinity to inhibit the biofilm formation. The modified Ti6Al4V has great potential in biomedical application, due to its photocatalytic performance and TiO2 characteristics that can be combined with others technology to make better implants.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
T41808
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>