Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 179800 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Situmeang, Bisuk Martahan M
"

Indonesia-Australia Comprehensive Partnership Agreement (IA-CEPA) akan berkekuatan hukum tetap pada Juli 2020. Seperti perjanjian investasi bilateral pada umunya, perjanjian baru ini menimbulkan banyak pertanyaan mengenai hubungan antara hak-hak investor dan hak regulasi negara. Rumusan-rumusan masalah adalah 1) Bagaimana klausa Fair and Equitable Treatment dalam IA-CEPA mengatur hubungan antara investor dan negara, beserta dengan hak dan kewajiban mereka masing-masing? Dan 2) Mengingat IA-CEPA tidak mengandung klausa explisit mengenai kewajiban investor, apakah ada klausa-klausa lain yang membatasi klaim investor dalam rangka mencapai keseimbangan hak dan kewajiban para pihak secara substantif? Riset dilakukan secara Doctrinal Legal Research dan menggunakan metode-metode komparatif. Kesimpulannya adalah, IA-CEPA tidak memiliki inovasi yang signifikan dalam menyeimbangkan hak dan kewajiban para pihak di dalam perjanjian investasi bilateral. Namun, IA-CEPA telah mengimplementasikan doktrin Clean Hands untuk menghindari klaim investor yang mungkin illegal. Secara keseluruhan, IA-CEPA masih merefleksikan perjanjian investasi bilateral pada umunya dan tidak mengkontribusikan inovasi signifikan.

 


The Comprehensive Partnership Agreement (IA-CEPA) between Indonesia and Australia will enter into force in July 2020. Similar to any newly ratified bilateral investment treaty, it arises questions towards investors rights and the states right to regulate. The research questions are 1) How does the Fair and Equitable Treatment clause in the IA-CEPA strikes the balance between the host states’ obligations towards foreign investors on the one hand and the foreign investors’ expectations with respect to their investment in the host state on the other? And 2) Considering that IA-CEPA does not include any explicit obligations for investors, is substantive balance between investors and States achieved by placing jurisdictional conditions for foreign investor’s protection under IIA, in particular limitations of an access to Investor-State Dispute Settlement for fraudulent and illegal conduct? The form of research is a doctrinal legal research with comparative methods. The conclusions are that the IA-CEPA has not introduced significant innovations to balance the state’s right to regulate with the investors’ private rights under the treaty. However, it should be mentioned that it has managed to codify the lean hands doctrine to the text of the treaty, in order to dismiss claims for investors that may have been illegal in establishing the investment. Overall, it is still merely a reflection of the previous investment treaties and have not contributed to the development of International Investment Treaties.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bianka Renzanova Kusuma
"Bilateral Investment Treaty (“BIT”) Indonesia dan Singapura yang dibentuk pada tahun 2005 diputuskan untuk tidak dilanjutkan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2016 karena Pemerintah Indonesia memilih untuk menegosiasikan BIT yang baru. Pada tahun 2018, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Singapura telah berhasil membentuk BIT dengan ketentuan yang jauh berbeda dibandingkan dengan BIT terdahulu. Penelitian ini mencoba untuk meneliti perbandingan ketentuan dalam BIT Indonesia dan Singapura tahun 2005 dengan BIT dan Singapura tahun 2018. Selain itu, penelitian ini mencoba untuk mengetahui dampak BIT terhadap penanaman modal asing langsung di Indonesia. Bentuk penelitian ini bersifat yuridis-normatif dengan tipologi deskriptif analitis yang didukung oleh studi bahan pustaka dan wawancara sebagai alat pengumpul data. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa BIT Indonesia dan Singapura tahun 2018 dirumuskan secara lebih terperinci dan jelas dan memasukan banyak safeguard di dalamnya. Selain itu, BIT diketahui tidak memiliki dampak langsung untuk mendorong nilai investasi asing di Indonesia, tetapi kehadiran BIT tetap diperlukan untuk memberikan perlindungan dan meningkatkan kepercayaan investor Singapura, mendorong pembentukan iklim peraturan yang baik, dan pelengkap instrumen hukum perlindungan investasi. Saran yang dapat diberikan adalah Badan Koordinasi Penanaman Modal dalam merumuskan perjanjian investasi internasional kedepannya tetap mempertahankan rumusan perjanjian investasi yang jelas dan rinci demi menghindari penafsiran yang berbeda antara host state dengan penanam modal.

Bilateral Investment Treaty (“BIT”) between Indonesia and Singapore that was signed in 2005 was discontinued by the Government of Indonesia in 2016 because the Government of Indonesia elected to renegotiate a new BIT. In 2018, the Government of Indonesia and the Government of Singapore successfully agreed on a new BIT with new and different provisions. This research tries to do a comparative analysis on the BIT Indonesia and Singapore 2005 and BIT Indonesia and Singapore 2018. This research also looks to determine the impact of BIT on foreign direct investment. The research method of this thesis is juridical-normative with a descriptive research approach through literature review and desk study, and key informant interviews as a tool for collecting data. This research concludes that BIT Indonesia and Singapore 2018 was formulated with more details, containing explicit clauses and safeguards. This thesis also argues that BIT does not have any direct impact on increasing foreign direct investment in Indonesia. Nevertheless, the presence of BIT is still necessary and effective to provide protection of investment and increase investor confidence, encourage the creation of favourable regulatory climate, and complement other legal instruments for investment protection. In the future, the Indonesian Investment Coordinating Board (BKPM) should seek to establish international investment agreements that maintain a clear and detailed clause of investment agreements in order to avoid different interpretations between the host state and investors."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andhika Farhan Mahadi
"Penelitian ini mengkaji standar Full Protection and Security (FPS) dalam Bilateral Investment Treaties (BITs), dengan fokus pada perannya secara historis dalam menjamin perlindungan fisik dan kontroversi terkait perluasannya ke perlindungan hukum. Secara tradisional, FPS mewajibkan negara tuan rumah untuk melindungi investor asing dan aset mereka dari ancaman fisik, seperti kekerasan atau kerusuhan sipil. Namun, putusan arbitrase baru-baru ini telah memperluas cakupan FPS untuk mencakup keamanan hukum, yang memunculkan kritik terkait ketidakjelasan, tumpang tindih dengan standar Fair and Equitable Treatment (FET), serta beban yang berlebihan pada negara tuan rumah. Sementara kasus seperti Azurix v. Argentina dan CME v. Czech Republic mendukung interpretasi yang diperluas ini, kasus lain seperti Suez and Vivendi v. Argentina dan Infinito Gold v. Costa Rica menegaskan kembali fokus asli FPS pada perlindungan fisik, dengan menekankan pentingnya kejelasan dan kesesuaian dengan maksud historisnya. Penelitian ini menyimpulkan bahwa standar FPS sebaiknya tetap dibatasi pada perlindungan fisik untuk menjaga koherensi hukum dan mencegah kewajiban berlebihan bagi negara tuan rumah. Rekomendasi meliputi penentuan yang jelas tentang FPS dalam BITs di masa depan, mendorong majelis arbitrase untuk mempertahankan interpretasi tradisional, serta memastikan kewajiban yang seimbang yang menghormati otonomi regulasi negara tuan rumah. Langkah-langkah ini bertujuan untuk meningkatkan kepastian hukum dan stabilitas dalam hukum investasi internasional, terutama bagi negara-negara untuk menyempurnakan BIT-nya dan menghadapi tantangan dalam Investor-State Dispute Settlement (ISDS).

This research investigates the Full Protection and Security (FPS) standard in Bilateral Investment Treaties (BITs), focusing on its historical role in ensuring physical protection and its controversial expansion to legal protection. Traditionally, FPS obligated host states to protect foreign investors and their assets from physical harm, such as violence or civil unrest. However, recent arbitral decisions have broadened FPS to include legal security, leading to criticisms of vagueness, overlaps with the Fair and Equitable Treatment (FET) standard, and undue burdens on host states. While cases like Azurix v. Argentina and CME v. Czech Republic support this expanded interpretation, others, such as Suez and Vivendi v. Argentina and Infinito Gold v. Costa Rica, reaffirm FPS's original focus on physical security, emphasizing the need for clarity and adherence to its historical intent. The study concludes that the FPS standard should remain limited to physical protection to maintain legal coherence and prevent excessive obligations for host states. Recommendations include clearly defining FPS in future BITs, encouraging tribunals to uphold its traditional interpretation, and ensuring balanced obligations that respect host states' regulatory autonomy. These measures aim to enhance legal certainty and stability in international investment law, especially for countries to refine its BITs and addressing Investor-State Dispute Settlement (ISDS) challenges."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Hesky Ondo
"Skripsi ini dilatarbelakangi oleh permasalahan adanya inkonsistensi putusan dan perdebatan para ahli terkait pengaturan mengenai hukum yang berlaku dalam Pasal 42 Konvensi ICSID. Hal ini menjadi semakin rumit dengan dipengaruhinya penerapan Pasal 42 Konvensi ICSID dalam sengketa ICSID yang didasarkan pada Investment Treaty. Untuk membahas permasalahan ini, maka akan digunakan penelitian hukum normatif dengan analisa yuridis-normatif. Hasil dari penelitian ini adalah, adanya fungsi dari investment treaty untuk memberlakukan hukum internasional ketika digunakan sebagai dasar arbitrase. Selain itu, investment treaty juga dapat menjadi metode pilihan hukum dalam sengketa ICSID sesuai dengan Pasal 42 Konvensi ICSID.

This study is motivated by the inconsistency of awards and scholars debate regarding the applicable law in investment disputes under Article 42 of the ICSID Convention. Such situation became more complex when a dispute is initiated under an investment treaty. This affects the application of Article 42 of the Convention. This study uses normative legal research and juridical-normative analysis to address the issue. The outcome of this study is to point out the proper functionality of investment treaties to enforce international law when investment treaty is used as a basis for arbitration. Furthermore, such an investment treaty can also be applied as a choice of law method in ICSID disputes in accordance with Article 42 of the ICSID Convention."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S53830
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Ramadinan Saptara
"

Pasal 25(4) Konvensi ICSID memperbolehkan suatu negara untuk melakukan pemberitahuan mengenai golongan sengketa penanaman modal yang dikecualikan dari yurisdiksi ICSID. Berdasarkan ketentuan ini, pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 31 Tahun 2012 (“Keputusan Presiden 31/2012”) telah melakukan pemberitahuan untuk  mengecualikan sengketa penanaman modal yang timbul dari keputusan tata usaha negara yang diterbitkan oleh pemerintah kabupaten. Namun, pemberitahuan mengenai pengecualian sengketa dianggap tidak dapat diberlakukan kecuali dimasukkan kedalam pasal dalam perjanjian investasi yang mengandung persetujuan negara terkait terhadap yurisdiksi ICSID. Selanjutnya, ketentuan dalam pemberitahuan pengecualian Indonesia belum dimasukkan dalam seluruh perjanjian investasi yang mengikat Indonesia. Penelitian ini membahas, pertama, dampak hukum dari Keputusan Presiden 31/2012 terhadap pembatasan yurisdiksi ICSID. Selanjutnya, penelitian ini membahas metode untuk menginkorporasi ketentuan dalam Keputusan Presiden 31/2012 dan pemberitahuan pengecualian Indonesia ke dalam klausul persetujuan terbatas dalam suatu perjanjian investasi. Penelitian ini juga membahas sejauh mana klausul persetujuan terbatas tersebut dapat digunakan untuk menolak yurisdiksi ICSID.  Dengan melakukan penelitian yuridis-normatif, dapat disimpulkan bahwa keberlakuan Keputusan Presiden 31/2012 akan membuat penyelesaian sengketa yang dikecualikan terbatas pada penyelesaian melalui Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia. Ketentuan dalam Keputusan Presiden 31/2012 harus dimasukkan dalam perjanjian investasi melalui cara reproduksi atau perubahan klausul persetujuan terbatas yang mengandung pengecualian dalam Keputusan Presiden 31/2012 juga tidak akan memiliki dampak terhadap penolakan yurisdiksi ICSID.

 


Article 25(4) of the ICSID Convention allows a state to notify the exclusion of certain classes of investment disputes from ICSID jurisdiction. Pursuant to this provision, the Indonesian government through Presidential Decree No. 31 of 2012 (“Presidential Decree 31/2012”) made a notification to exclude investment disputes arising from administrative decisions issued by the regency governments. Notifications of exclusion, however, are considered inoperable unless incorporated into the investment treaty provision expressing the notifying state’s consent to ICSID jurisdiction. Moreover, the terms of Indonesia’s notification of exclusion have not been included in any investment treaty that Indonesia is a party to. This research discusses, firstly, the legal consequence of Presidential Decree 31/2012 with regards to limiting ICSID jurisdiction. Secondly, this research discusses the methods through which the terms of Presidential Decree 31/2012 and Indonesia’s notification of exclusion may be incorporated into a limited consent clause of an investment treaty. Thirdly, this research also discusses the extent to which such a limited consent clause may be invoked to deny ICSID jurisdiction. By conducting a juridical normative legal research, it can be concluded that the operation of Presidential Decree 31/2012 would limit the forum for the settlement of the excluded disputes to the Indonesian Administrative Judiciary. Moreover, the terms of Presidential Decree 31/2012 would have to be incorporated into an investment treaty by way of reproduction or amendment. Further, a consent clause that expresses the exclusion made in Presidential Decree 31/2012 would be inconsequential in denying ICSID jurisdiction.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chintya Pramasanti
"Penelitian ini bertujuan menganalisis manfaat keikutsertaan Indonesia dalam rencana aksi Base Erosion Profit Shifting (BEPS) nomor 15 Multilateral Instrument on Tax Treaty /MLI) yang mencakup mengenai latar belakang bergabungnya Indonesia dalam MLI, manfaat posisi Indonesia dalam MLI, implikasi MLI terhadap Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia yang berlaku saat ini dan juga kecukupan posisi Indonesia di MLI dalam kaitannya untuk menangkal praktik BEPS. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan teknik analisis data kualitatif. Indonesia bergabung dalam MLI adalah wujud komitmen Indonesia sebagai anggota G-20, langkah efisien untuk menerapkan rencana aksi BEPS yang terkait dengan P3B, memperbaiki ketentuan penyalahgunaan P3B dengan memasukkan ketentuan anti avoidance rule berupa Principle Purpose Test (PPT) dan juga memperbaiki ketentuan P3B Indonesia yang dicakup dalam MLI dengan rekomendasi MLI. Dengan menandatangani naskah MLI, maka P3B Indonesia yang tercakup dalam MLI akan dimodifikasi dengan rekomendasi MLI dengan cara mengganti atau menambahkan ketentuan P3B Indonesia yang berlaku saat ini. Posisi Indonesia dalam MLI dinilai cukup ekstensif jika dibandingkan dengan negara lain sehingga dianggap relatif optimal untuk menangkal praktik BEPS di Indonesia melalui jalur P3B. Namun demikian, diperlukan perubahan ketentuan domestik agar dapat MLI diimplementasikan secara maksimal.

This study aims to analyze the benefits of Indonesias participation in the Base Erosion Profit Shifting (BEPS) action plan 15 (Multilateral Instrument on Tax Treaty/MLI) which covers the rationals of Indonesias joining the MLI, the benefits of Indonesias position in the MLI, MLIs implications for the current Indonesias Double Tax Avoidance Agreement (DTA) and also the adequacy of Indonesias position at the MLI in relation to counter the practice of Base Erosion Profit Shifting (BEPS). The method used in this study is descriptive qualitative with qualitative data analysis techniques. Indonesia joined MLI as a manifestation of Indonesias commitment as a member of the G-20, an efficient way to implement BEPS action plans related to DTA, avoiding improper use of DTA by including the provisions of the Anti-Avoidance rule in the form of Principle Purpose Test (PPT) and also improving the current Indonesian DTA which covered in MLI with MLI recommendations. By signing the MLI, the Indonesian DTA covered in MLI will be modified by the MLI recommendation by replacing or adding to the current Indonesian DTA provisions. Indonesias position in MLI is considered quite extensive when compared to other countries, so it is considered relatively optimal to counter the BEPS practice in Indonesia in the context of DTA. However, changes in domestic regulations are needed for MLI can be well-implemented."
[Depok;Depok, Depok]: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ivan Ferdiansyah Agustinus
"Tesis ini membahas mengenai permasalahan dasar hukum Perjanjian Bilateral Mengenai Peningkatan Dan Perlindungan Penanaman Modal baik berdasarkan hukum internasional maupun hukum nasional, fungsi dari perjanjian serta substansi perjanjian yang dilakukan oleh berbagai negara di dunia, selanjutnya tesis ini juga melakukan studi kasus terhadap Persetujuan Antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Federasi Rusia Mengenai Peningkatan dan Perlindungan Penanaman Modal. Pembahasan ini penting untuk mengetahui tujuan dari perjanjian tersebut sehingga dapat memberikan pemahaman mengenai Perjanjian Bilateral Mengenai Peningkatan Dan Perlindungan Penanaman Modal lebih mendalam. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif. Penelitian ini merupakan telaah mengenai perjanjian bilateral mengenai peningkatan penanaman modal, yang dilatar belakangi adanya keinginan investasi transnasional yang aman oleh karena itu perlu adanya jaminan hukum dari kedua belah pihak yang melakukan perjanjian.Yang menjadi dasar hukumnya bukan hanya dasar hukum perjanjian internasional akan tetapi hukum nasional dari negara terkait juga harus disesuaikan. Substansi dari perjanjian bilateral mengenai peningkatan dan perlindungan penanaman modal selain adanya perlindungan hukum dari kedua negara terkait dengan investasi, perjanjian ini juga merupakan bentuk dari pengakuan kedaulatan dari kedua negara, adanya upaya untuk menjaga perdamaian dunia dengan upaya-upaya penyelesaian sengketa secara damai. Untuk mentelaah lebih jauh maka dilakukan stidu kasus terhadap Persetujuan Antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Federasi Rusia Mengenai Peningkatan Dan Perlindungan Penanaman Modal.

This thesis addresses issues on the legal basis for bilateral agreements on the increase and protection of investment under the international law and the national law, functions and substance of the agreements which are entered into by various countries in the world and a case study on the agreement between Indonesian government and the government of the Russian Federation on the increase and protection of investment. The discussion of the issues is of great importance in order to learn about the objective of the agreements, resulting in deep understanding of bilateral agreements on the increase and protection of investment. The research uses a normative method. The background of the research is the need to have safe transnational investment which requires legal guarantee from both parties to the agreement. The legal bases are not only limited to the legal basis of international law since the national law of the relevant countries should also be adjusted. The substance of bilateral agreements on the increase and protection of investment includes legal protection from both countries and such an agreement is also a form of acknowledgment of the sovereignty of both countries and represents an effort to maintain world peace through amicable dispute resolutions. To review it further, a case study is conducted on the agreement between the Indonesian government and the government of the Russian Federation on the increase and protection of investment."
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T30808
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Simarmata, Varida Megawati
"Dalam penelitian ini terdapat dua pokok permasalahan, yaitu Pertama, berkaitan dengan kedudukan hukum Undang-Undang yang Meratifikasi Perjanjian Internasional dalam sistem hukum nasional Indonesia, dan Kedua, mengenai pengujian Undang-Undang yang meratifikasi perjanjian internasional tersebut terhadap UUD NRI 1945 dengan menganalisis Putusan MK No. 33/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pengesahan Piagam Asean. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang menggunakan data sekunder dan disajikan secara deskriptif analitis.
Hasil penelitian menunjukan bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan menurut UU No. 12 Tahun 2011 tidak melakukan pembedaan kedudukan hukum undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional dengan undang-undang pada umumnya. Apabila dikaitkan dengan wewenang Mahkamah Konstitusi untuk menguji konstitusionalitas suatu undang-undang, maka Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional.

This research focus on two main problems. First, the legal position of the Ratification of Treaties Act in Indonesian legal system. Second, Ratification of Treaties Act review toward UUD NRI 1945 by Constitutional Court by analyzing Constitutional Court Verdict No. 33/PUU-IX/2011 on Law No. 38 year 2008 on Ratification of Asean Charter. The method used in this research is judicial-normative, using secondary data, this research will also be presented in the form of descriptive-analytical.
The result shows that Law No. 12 year 2011 which regulates the hierarchy of legal norms not distinguish the legal position of ratification of treaties act and law in general. Regarding to Constitutional Court competence to review any Law alleged to be in conflict with the Constitution, therefore Constitutional Court has competence to review ratification of treaties act.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46484
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Tri Kamal Mulyawan
"Penelitian ini membahas tentang perjanjian Bilateral antara Amerika Serikat dan India serta kepentingan nasional Amerika Serikat dalam pengembangan nuklir di India, perjanjian tersebut bernama India-United States Civil Nuclear Agreement. India-United States Civil Nuclear Agreement merupakan perjanjian yang memfokuskan terhadap pengembangan teknologi nuklir untuk sipil dan juga militer yang disepakati oleh India-AS pada 18 Juli 2005. Penelitian ini berpendapat bahwa Amerika menjadikan India sebagai mitra dalam kerjasama karena memiliki motif tertentu yaitu untuk menyaingi Cina dalam perekonomian dan juga menahan agresi Cina. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan data yang diperoleh dari studi pustaka. Teori yang digunakan untuk menganalisis ialah Teori Kepentingan Nasional dan Teori Kerja Sama Internasional. Hasil dari temuan penelitian ini adalah India-United States Civil Nuclear Agreement memiliki keuntungan yang didapat Amerika dan India dan perjanjian ini dinilai sebagai jalan Amerika Serikat untuk merealisasikan kepentingan nasional negaranya, perjanjian tersebut juga membuat hubungan kedua negara tersebut semakin erat dari sebelumnya.

This research explain Bilateral agreement between the United States and India as well as the US national interest in nuclear development in India, the agreement is called India-United States Civil Nuclear Agreement. The India-United States Civil Nuclear Agreement is an agreement focusing on the development of nuclear technology for civilians and also the military agreed by India-US in 18th July  2005. This research argues that America makes India a partner in cooperation because it has a certain motive to rival China in economy and also withstand China aggression. This research uses qualitative method with data obtained from literature study. The theory used to analyze is the National Interest Theory and Theory of International Cooperation. The result of this research is that India-United States Civil Nuclear Agreement has the advantage of America and India and this agreement is considered as the United States road to realize the national interests of the country, the agreement also makes the relationship between the two countries more closely than ever.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cahyani
"Yordania memandang perkembangan yang terjadi di kawasan Timur Tengah sebagai kesempatan untuk melakukan terobosan dalam hubungan bilateral demi menjaga stabilitas ekonomi dan keamanan negaranya. Namun masalah ekonomi dan keamanan Yordania mungkin lebih kompleks ketika hubungan tersebut harus melibatkan Iran. Teori Balance of Interest serta konsep geopolitik digunakan dalam penelitian agar dapat mengalisis bagaimana tantangan hubungan kedua negara dari perspektif negara Yordania, serta dampak yang dihasilkan bagi ekonomi dan keamanan Yordania akibat dari faktor geopolitiknya. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan dan wawancara. Berdasarkan hasil penelitian, hubungan Yordania-Iran akan menghadapi banyak tantangan mengingat dinamika hubungan kedua negara sejak 2003 dan faktor Iran dalam ekonomi dan keamanan Yordania. Tantangan yang akan dihadapi Yordania dalam hubungan dengan Iran dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tingkatan yang saling terkait; tantangan internal, regional, dan internasional. Atas dasar tersebut, hubungan Yordania-Iran sulit terwujud untuk menjadi hubungan yang lebih harmonis jika Iran masih terus menggunakan sebuah doktrin agama untuk tujuan politik untuk memaksakan ambisi ekspansionisnya di Timur Tengah.

Jordan views the developments in the Middle East region as an opportunity to make a breakthrough in bilateral relations in order to maintain the country's economic stability and security. But Jordan's economic and security issues may be more complex when the relationship involves Iran. The Balance of Interest theory and geopolitical concepts are used in this research in order to be able to analyze the challenges of relations between the two countries from the perspective of the Jordan, as well as the impact on Jordan's economy and security as a result of its geopolitical factors. Data collection techniques were carried out through literature studies and interviews. Based on the research results, Jordan-Iran relations will face many challenges given the dynamics of relations between the two countries since 2003 and the Iranian factor in Jordan's economy and security. The challenges that Jordan will face in relations with Iran can be classified into three interrelated levels; internal, regional and international challenges. Based on that, it will be difficult for Jordan-Iran relations to become more harmonious if Iran continues to use a religious doctrine for political purposes to impose its expansionist ambitions in the Middle East."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>