Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160516 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Putri Kalingga Hermawan
"Kebutuhan manusia yang begitu banyak sering kali tidak dapat dipenuhi dengan dana yang ia miliki sehingga manusia memerlukan suatu lembaga yang memberikan fasilitas yang bertujuan untuk memberikan dana penunjang untuk memenuhi kebutuhannya, yakni lembaga jaminan. Dalam pelaksanaannya, setiap lembaga jaminan mengatur tata cara eksekusi nya masing-masing. Hukum Indonesia yang mengenal dua lembaga jaminan yakni lembaga jaminan gadai dan fidusia, mengatur bahwa pelaksanaan eksekusi terhadap benda jaminan khususnya benda bergerak dapat dilakukan melalui lembaga parate executie yang dilakukan tanpa melibatkan proses peradilan dan rieel executie yang dilakukan melalui proses peradilan. Disini diketahui bahwa dalam pelaksanaan eksekusi benda jaminan, negara Indonesia masih melibatkan badan peradilan. Hal tersebut berbeda dengan negara Australia yang pelaksanaan eksekusi benda jaminannya tidak melibatkan badan peradilan. Di negara Australia, hak jaminan benda bergerak yang bernaung dalam satu lembaga yakni lembaga Personal Property Securities, mengatur bahwa terkait pelaksanaan eksekusi nya, para pihak dalam perjanjian penjaminan mengemban hak dan kewajibannya masing-masing berdasarkan Personal Property Securities Act 2009. Sehingga, pelaksanaannya tidak perlu melibatkan badan peradilan. Adanya perbedaan ketentuan tersebut, menjadi dasar penulis untuk melakukan perbandingan terkait pengaturan pelaksanaan eksekusi jaminan benda bergerak antara kedua negara. Dengan itu, dalam skripsi ini akan dibahas mengenai persamaan dan perbedaan pelaksanaan eksekusi lembaga jaminan benda bergerak di Indonesia dan Australia berikut dengan penjelasan umum terkait hukum jaminan yang berlaku di kedua negara. 

Human need often can not be fulfilled because of the limited amount of funds they have, therefore humans need an institution that provides facilities that aim to provide supporting funds to meet their needs, such as security institution.  In practice, every security institution regulates the procedure of its own execution. Indonesia security law, provides two types of security in personal property which is pawn and fiduciary guarantee, both types of security regulate that the execution of collateral can be enforce through parate executie and rieel executie. Enforcing collateral through parate executie does not requaries the court act , while the implementation of rieel executie is involving the court decision. Thus, it is known that the execution of collateral in Indonesian still involves the court act. In the other side, execution of personal property in Australia security law does not involve the court. In Australia, security interest in personal property regulated under one institusion, namely Personal Property Securities. Under the Personal Property Securities, execution of personal property can be enforced by the parties in the security agreement by complying the rights and obligations regulated under Personal Property Securities Act 2009. As a result, the execution of collateral in Australia security law does not requires the court act. The difference in these provisions becomes the basis for the author to make a comparisons related to the execution of personal property between the two countries. Therefore, this thesis will discuss the similarities and differences in the execution of personal property security in Indonesia and Australia along with general explanation related to the security law in both countries. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adara Skyla Sakinah
"Jaminan terhadap benda bergerak di Indonesia terdiri atas lembaga jaminan gadai, fidusia, dan resi gudang. Terhadap jaminan benda bergerak tersebut diatur dalam undang-undang yang berbeda-beda, sehingga pengaturan terkait jaminan gadai, fidusia, maupun resi gudang memiliki beberapa perbedaan. Sementara itu, pengaturan terkait jaminan benda bergerak di Amerika Serikat diatur secara seragam pada satu pengaturan terkodifikasi, yaitu pada Article 9 Uniform Commercial Code. Ketentuan terkait pelaksanaan proses eksekusi jaminan fidusia di Indonesia baru saja mengalami perubahan dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, khususnya mengenai cidera janji dan eksekusi jaminan fidusia, menjadi berubah penafsirannya. Pengaturan tersebut berbeda dengan tata cara eksekusi yang terdapat di Amerika Serikat. Hal ini tentunya menimbulkan berbagai perdebatan di kalangan ahli hukum. Oleh karena itu, sebagai fungsi inspiratif, dilakukan suatu perbandingan hukum konsep jaminan benda bergerak antara Indonesia dengan Amerika Serikat dengan metode perbandingan berbentuk yuridis-normatif. Dengan adanya penelitian tersebut, dapat dilihat persamaan maupun perbedaan pengaturan terkait konsep jaminan benda bergerak di Indonesia dan Amerika Serikat
. Security interest in movable property in Indonesia consists of pledge, fiduciary, and warehouse receipts. All of them are regulated in different laws, so that arrangements regarding pledge, fiduciary and warehouse receipts have several differences. Meanwhile, the regulation regarding security interest in movable property in the United States is uniformly regulated in a codified law, namely in Article 9 of the Uniform Commercial Code. The concept of fiduciary security in Indonesia which is regulated in the Law No. 42 of 1999 concerning Fiduciary Security has recently undergone amendments with the Constitutional Court Decision No. 18/PUU-XVII/2019. These arrangements differ from those in the United States of America. This of course has led to various debates among legal experts. Therefore, as an inspirational function, a legal comparison of the concept of movable property security between Indonesia and the United States is carried out using the juridical-normative comparison method. With this research, it can be seen the similarities and differences in regulations related to the concept of movable property collateral in Indonesia and the United States."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Sanjaya
"Penulis mencoba untuk mengidentifikasi praktik-praktik terbaik pengaturan eksekusi objek jaminan kebendaan bergerak, berwujud, dan non-possessory dengan kekuasaan sendiri di antara negara-negara dalam peringkat 10 besar EODB untuk indikator “getting credit”, kemudian membandingkannya dengan pengaturan di Indonesia, guna mencari tahu apakah pengaturan di Indonesia sudah sesuai dengan praktik-praktik terbaik itu. Dari penelusuran peraturan perundang-undangan ke-10 negara yang menjadi objek perbandingan, penulis mencoba untuk menggali inspirasi mengenai pengaturan ideal yang menyeimbangkan kepentingan debitor dan kreditor yang beritikad baik dan dapat diterapkan di Indonesia dengan memperhatikan segala partikularitasnya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif, sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan undang-undang (statutory approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan eksekusi objek jaminan kebendaan bergerak, berwujud, dan non-possessory di Indonesia masih banyak yang tidak sesuai dengan praktik terbaik di antara negara-negara dalam peringkat 10 besar EODB untuk indikator “getting credit”. Salah satu perbedaan yang paling mencolok adalah, sejak terbitnya Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019, eksekusi objek jaminan fidusia dengan kekuasaan sendiri hanya dapat dilakukan apabila terdapat kesepakatan ­post-default bahwa debitor telah wanprestasi, dan kesukarelaan dari debitor untuk menyerahkan objek jaminan fidusia untuk dieksekusi. Tidak ada satupun dari 10 negara yang diperbandingkan yang mengatur persyaratan serupa. Pada bagian saran diuraikan beberapa rekomendasi pengaturan yang terinspirasi dari penelusuran peraturan-peraturan di negara-negara yang diperbandingkan.

The author attempts to identify the best practices in regulating the self-help enforcement of non-possessory security interests in tangible personal properties among countries in the top 10 EODB ranking for the “getting credit” indicator, and compare it with the regulation in Indonesia, to find out if Indonesia's arrangements are in line with these best practices. Drawing inspiration from the principles found in the laws and regulations of these 10 countries, the author then attempts to offer several suggestions on the ideal arrangements that strike a balance between the interests of good-faith debtors and good-faith creditors that can be applied in Indonesia after taking into account the country’s particularities. The research method used is the normative juridical research method, while the approaches used are the statutory approach, the conceptual approach, and the comparative approach. The results show that there are still many arrangements for the enforcement of non-possessory security interests in tangible personal properties in Indonesia that are not in accordance with the best practices among countries in the top 10 EODB for the indicator "getting credit". One of the most striking differences is, since the issuance of the Constitutional Court Decision Number 18 / PUU-XVII / 2019, self-help enforcement of the security interests can only be carried out if there is a post-default consensus between the parties that the debtor has defaulted and the debtor's willingness to hand over the collaterals to be executed. None of the 10 countries compared have similar requirements. In the suggestions section, some regulatory recommendations inspired by tracing the regulations in the countries being compared are offered"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anodya Sangun Gagahdo
"ABSTRAK
Guna mendapatkan bentuk jaminan di Indonesia yang ideal di masa yang akan datang maka perlu dikaji mengenai pengaturan jaminan terhadap pesawat udara di negara lain. Skripsi ini mencoba untuk mengkaji jenis jaminan pesawat udara di Perancis guna mendapatkan gambaran yang memadai mengenai bentuk jaminan yang ideal terhadap pesawat udara. Tulisan ini akan mengkaji mengenai bentuk jaminan terhadap pewawat terbang yang berlaku di Perancis, bagaimana proses penjaminannya serta bagaimana cara melakukan eksekusinya apabila debitur wanprestasi. Hasil kajian tersebut akan dibandingkan dengan pengaturan dan praktek penjaminan pesawat terbang di Indonesia sehingga dapat diketahui hal-hal apa saja yang perlu diatur dalam ketentuan jaminan pewawat terbang di Indonesia pada masa yang akan datang. Penulis menggunakan metode perbandingan hukum dengan menjadikan Indonesia sebagai acuan atau primum comparandum dan hukum positif Perancis sebagai pembanding atau secundum comparandum. Setelah penulis memaparkan hukum jaminan terhadap pesawat udara di masing-masing negara, kemudian penulis dapat melakukan perbandingan yang nantinya akan diperoleh persamaan dan perbedaan diantara kedua negara tersebut. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah, peneliti menemukan bahwa pengaturan mengenai bentuk hukum jaminan bagi pesawat udara di Indonesia belum diatur secara jelas, di Indonesia hanya bagian-bagian tertentu dari pesawat udara yang dapat dijaminkan dengan fidusia, dan di Perancis telah terdapat ketentuan khusus yang mengatur tentang jaminan terhadap pesawat udara berupa jaminan hipotik pesawat udara serta lembaga pendaftaran khususnya.

ABSTRACT
In order to obtain the ideal form of security in Indonesia in the future, it is necessary to review the regulation of aircraft securities in other countries. This article attempts to assess the type of aircraft securities in France in order to get an adequate picture of the ideal form of security towards an aircraft. This paper will examine the form of securities towards French aircraft applicable in France, how the security process and how to execute if the debtor defaults. The results of the study will be compared with the arrangement and practice of aircraft security in Indonesia so that it can be known what matters that need to be regulated in terms of securities of aircraft Indonesia in the future. The author uses the comparative method of law by making Indonesia as a reference or primum comparandum and French positive law as a comparandum or secundum comparandum. After the authors explain the security interest law in aircraft in each country, then the author can do a comparison that will be obtained equations and differences between the two countries. The conclusion of this study is that the researchers found that the regulation of the legal form of security for aircraft in Indonesia has not been clearly regulated, in Indonesia only certain parts of aircraft can be pledged with fiduciary, and in France there are special provisions which stipulates the guarantees of aircraft in the form of aircraft mortgage warrants as well as the registration agencies in particular. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Audrey Ramadhani
"Ditemukan dalam suatu putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 89/K/Pdt/2016 kreditur mohon eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia tidak sesuai dengan peraturan perundang ndash;undangan. Kreditur dalam putusan juga mohon sita eksekusi atas harta benda debitur yang sudah dibebankan dengan Hak Tanggungan oleh kreditur lain, untuk pelunasan piutang yang pelunasannya sudah dijaminkan dengan Jaminan Fidusia. Rumusan permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana ketentuan tentang pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia dan bagaimana kesesuaian permohonan eksekusi oleh kreditur penerima jaminan fidusia atas objek jaminan fidusia dan harta benda debitur yang telah dijaminkan dengan hak tanggungan menurut ketentuan pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 89/K/Pdt/2016. Tujuan penelitian skripsi ini adalah mengetahui dan menganalisis permohonan eksekusi oleh kreditur penerima jaminan fidusia atas objek jaminan fidusia dan kebendaan milik debitur yang telah dijaminkan dengan hak tanggungan. Metode penelitian pada skripsi ini adalah yuridis normatif dengan menganalisis undang ndash; undang dan yuripsrudensi mahkamah agung untuk menentukan apakah sudah tepat permohonan eksekusi kreditur pemegang jaminan fidusia atas objek jaminan fidusia dan kebendaan milik debitur yang sudah dijaminkan dengan hak tanggungan kepada kreditur lain.
Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia, lelang eksekusi objek jaminan dan dalam hal pemberi Fidusia tidak bersedia menyerahkan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia, penerima Fidusia mengambil objek Jaminan Fidusia dengan bantuan pihak yang berwenang sudah diatur saat ini berdasarkan hukum positif. Permohonan eksekusi oleh kreditur penerima jaminan fidusia atas objek jaminan fidusia dan kebendaan milik debitur yang telah dijaminkan dengan hak tanggungan kepada kreditur lain pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 89/K/Pdt/2016 adalah tidak tepat, menurut sifat kedudukan kreditur pemegang jaminanan kebendaan berdasarkan Undang ndash; Undang Jaminan Fidusia dan Undang ndash; Undang Hak Tanggungan. Hasil penelitian menyarankan bahwa kreditur pemegang jaminan fidusia seharusnya memahami hak ndash; hak yang timbul atas jaminan kebendaan yang telah diletakkan terhadap perikatan pokok antara krditur dan debitur.

It is found in a verdict of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No 89 K Pdt 2016, that the request of an execution of objects by creditor which is the object of fiduciary security is not in accordance with legislation. Creditors in the verdict also request the execution of the confiscation of property of the debtor that has been charged by Indonesian Security Right upon Land by another creditor, for the repayment that has been secured by the Fiduciary Security. The research problem in this thesis is how is the provisions on the execution of fiduciary security and how the application of the execution that is request by creditor for the object of fiduciary security and property of the that has been secured by security rights under the terms of the execution of fiduciary is accordance with the prevailing law. The purpose of this thesis research is to learn and analyse the application of execution by creditors which receive the fiduciary security for the object of fiduciary and property of the debtor who has been pledged with mortgage rights. The research method in this thesis is normative judicial method with analysing the regulation and jurisprudence of supreme court to determine whether the application of execution creditor holders of fiduciary and material objects belonging to the debtor that has been secured by deed of mortgage to another lender is in accordance with the law.
From the results, it can be concluded that the execution of the fiduciary, tender execution security object and in terms of giving Fiduciary is not willing to give up things that become the object of Fiduciary, the receiver Fiduciary retrieve fiduciary objects with the help of the authorities that has been set at this time is based on the positive law. Request of an execution by creditors that receive fiduciary security on fiduciary objects and material belonging to the debtor which has been secured by deed of mortgage to another lender in the decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 89 K Pdt 2016 is not appropriate, according to the nature of the position of creditors holders of Guarantees material based The Fiduciary Security Act and the Insurance Rights Act. The results suggest that fiduciary lenders should understand the rights arising from material security that has been laid against the principal bond between the creditor and the debtor.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S68466
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zefanya Christian
"Dalam perkembangan ekonomi di dunia, teknologi finansial menjadi salah satu bagian yang mengalami kemajuan pesat. Equity crowdfunding sendiri merupakan salah satu bagian teknologi finansial dengan metode pengumpuan dana untuk mengembangkan usaha dengan reward berupa saham bagi para peserta yang ikut menghimpun dana. Indonesia dan Australia adalah negara yang telah menerapkan aturan mengenai equity crowdfunding. Di Indonesia di atur oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 37 tahun 2018 dan di Australia di atur oleh Corporate Amendment (Crowd-Sourced Funding) Act 2017 dan Corporate Amendment (Crowd-Sourced Funding for propritary company) Act 2018. Dalam pengaturannya terdapat perbedaan dan persamaan dari equity crowdfunding di Indonesia dan Australia.
Skripsi ini pun di tulis untuk menjawab dua pertanyaan.  Yang pertama yaitu apa saja regulasi dan syarat dari equity crowdfunding di Indonesia dan Australia dan yang kedua yaitu apa saja persamaan dan perbedaan dari regulasi dan syarat serta cara kerja dari equity crowdfunding di Indonesia dan Australia. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, skripsi ini menunjukan aturan dan syarat equity crowdfunding di Indonesia dan Australia serta perbedaan dan peramaan dari aturan dan syarat serta cara kerja equity crowdfunding di Indonesia dan Australia.
Dari penelitian ini ditemukan bahwa terdapat persamaan dalam cara kerja equity crowdfunding di Indonesia dan Australia dan perbedaan terletak pada syarat untuk menjadi investor, operator, penerbit saham. Australia mempunyai peraturan yang lebih terbuka terhadap investor sehingga membuat angka pertumbuhan equity crowdfunding cukup tinggi. Saran diberikan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk membuat peraturan yang lebih terbuka terhadap investor untuk meningkatkan angka pertumbuhan equity crowdfunding di Indonesa.
In the world economic development, financial technology is one part that is experiencing rapid progress. Equity crowdfunding itself is one of financial technology with methods of raising funds to develop businesses with rewards in the form of shares for participants who participate in raising funds. Indonesia and Australia are among the countries that have implemented rules regarding equity crowdfunding. In Indonesia it is regulated by Financial Services Authority Regulation Number 37 of 2018 and in Australia it is regulated by the Corporate Amendment (Crowd-Sourced Funding) Act 2017 and the Corporate Amendment (Crowd-Sourced Funding for proprietary company) Act 2018. In its regulation there are differences and similarities from equity crowdfunding in Indonesia and Australia.
This thesis was written to answer two questions. The first question is what are the regulations and requirements of equity crowdfunding in Indonesia and Australia and the second  one is what are the similarities and differences of the regulations and terms and ways of working for equity crowdfunding in Indonesia and Australia. Using normative legal research methods, this thesis shows the equity crowdfunding rules and conditions in Indonesia and Australia as well as the differences and similarities of the rules and conditions and the workings of equity crowdfunding in Indonesia and Australia.
From this study it was found that there are similarities in business operation of equity crowdfunding in Indonesia and Australia and the differences lies in the requirements to become an investor, intermediaries, and issuer. Australia has more open regulations on investors, so the equity crowdfunding growth rate is quite high. Suggestions are given to the Financial Services Authority to make regulations more open to investors to increase equity crowdfunding growth rates in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Afie Abdullah
"Skripsi ini membahas mengenai perbandingan isi perjanjian perkawinan di Indonesia dengan Australia. Di Australia, perjanjian perkawinan dikenal dengan istilah binding financial agreements. Perjanjian perkawinan dibuat dengan tujuan untuk mencegah masalah berkepanjangan dikemudian hari antara pasangan suami istri. Oleh karena itu, perlu diberlakukan pengaturan yang jelas mengenai ketentuan hukum mengenai perjanjian perkawinan. Permasalahan yang akan penulis bahas yaitu perihal perbandingan pengaturan mengenai perjanjian perkawinan di Indonesia dengan Australia dan perbandingan terhadap hal-hal yang dapat diatur dari isi perjanjian perkawinan di Indonesia dengan Australia. Bentuk penelitian ini bersifat yuridis normatif. Penelitian ini juga menggunakan metode pendekatan peraturan perundang-undangan dan perbandingan karena mendasarkan pada metode perbandingan hukum terhadap dua negara yang berbeda yaitu Indonesia dengan Australia. Dalam penelitian ini, akan dijelaskan mengenai persamaan dan perbedaan pengaturan mengenai isi dari perjanjian perkawinan di Indonesia dengan Australia.

This research purpose is about to analyze the comparison of the content of prenuptial agreement in Indonesia and Australia. In Australia, Prenuptial Agreement known as the binding financial agreements. Prenuptial agreement made with the purpose to prevent further problems in the future between husband and wife. Therefore, an obvious regulations must be provided. Issues that will be explored by the author are regarding to the comparison regulation about Prenuptial Agreement in Indonesia with Australia and comparison to things that can be set from the contents of the Prenuptial Agreement in Indonesia with Australia. This research form method is normative. This research also uses the comparative approach because based on methods of comparative law against two different countries, Indonesia and Australia. In this research, there will be analyze about the similarities and differences in regulation regarding the content of the prenuptial agreement in Indonesia and Australia.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S61745
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silitonga, Anggi Christina
"Skripsi ini membahas mengenai pengaturan gadai benda bergerak di Indonesia dan di Republik Rakyat Tiongkok sesuai dengan Hukum Perdata yang berlaku di dalam kedua negara tersebut. Pernyataan mendasar dari skripsi ini adalah bagaimana pengaturan gadai yang berlaku di Indonesia dan di Republik Rakyat Tiongkok beserta perbandingannya antara kedua negara tersebut. Skripsi ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui dan meneliti secara mendalam mengenai pengaturan gadai benda bergerak sesuai dengan peraturan yang berlaku pada kedua negara tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk yuridis-normatif dengan tipe penelitian deskriptif.
Hasil dari penelitian ini menggambarkan bahwa dengan memperbandingkan kedua negara tersebut, ditemukan persamaan dan perbedaan pengaturan hukum tentang gadai benda bergerak di Indonesia dan di Republik Rakyat Tiongkok, dimana di Indonesia terakit dengan pengaturan gadai diatur di dalam KUHPerdata khususnya dalam Pasal 1150-1160. Sementara di Republik Rakyat Tiongkok terkait dengan pengaturan gadai diatur di dalam undang-undang nasional yang secara khusus mengatur tentang hukum jaminan pada negara tersebut yaitu Guarantee Law of the People`s Republic of China dan diatur juga di dalam undang-undang yang mengatur tentang properti, yaitu Property Law of the People`s Republic of China. Dengan demikian, Pemerintah Indonesia dirasa perlu untuk membuat undang-undang khusus terkait hukum jaminan yang juga mengatur tentang gadai secara spesifik.

This study explains about the regulation of pledge over movables property in Indonesia and People rsquo s of Republic China according to their civil law. Basic question in this study is that how the arrangement of pledge over movables property that applies both in Indonesia and in the People rsquo s Republic of China along with the comparison between those two countries. This study is made with the purpose to know and examine in depth about the regulation of pledge over movables property that applies in both countries. This research method used in this study is in the form of juridical normative with descriptive type.
The results of this study illustrate that by comparing the countries, there are similarities and differences in the legal arrangement of the pledge over movables property in Indonesia and in the People rsquo s Republic of China, which in Indonesia is arranged in KUHPerdata and in People rsquo s Republic of China is regulated in national law which specifically regulates the law of guarantee in that country that called Guarantee Law of the People rsquo s Republic of China and is regulated also in Property Rights of the People rsquo s Republic of China. Therefore, the Government of Indonesia is deemed necessary to enact specific legislation relating to the law of guarantee which also specifically regulates about pledge."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sheila Mirah Tiara
"Skripsi ini membahas mengenai Pengaturan tentang Corporate Social Responsibility di Negara Indonesia, Australia, dan Inggris. Mencoba menelaah Corporate Social Responsibility di setiap negara Indonesia, Australia dan Inggris dari segi Regulasi yang mengatur, aparat yang melaksanakan, efektifitas dari peraturan tersebut, panduan pelaksana atas peraturan yang telah dibuat, peran masyarakat dalam pelaksanaan peraturan tersebut, serta yang terakhir sanksi yang diberikan bila para pelaku usaha tidak melaksanakan Corporate Social Responsibility.
Atas hasil penelitian ini terdapat kesimpulan yang dapat diambil yaitu setelah menjabarkan dari masing-masing Negara, apakah peraturan yang telah di terapkan di Negara Australia dan Inggris dapat di terapkan di Indonesia. Ini bertujuan agar Indonesia dapat lebih baik lagi dalam menerapkan Corporate Social Responsibility di Indonesia, karena ini sangat penting bagi Negara Indonesia. Dan apakah penerapan nya efektif bagi Negara Indonesia, dengan melihat peraturan yang terdapat di Australia dan Inggris, Negara Indonesia dapat mencontoh hal-hal yang sudah berjalan dengan efektif di ke dua Negara tersebut, dengan mencocokan sistem yang di anut di Negara di Indonesia.

This thesis discusses about regulations on Corporate Social Responsibility in Indonesia, Australia and United Kingdom. The discusses focused on some problems, such as the regulations, the officials who have duty to carrying out, the effectiveness of the regulations, the implementation guide, the role of the community and the sanction if Corporate Social Responsibility the businesses do not implemented. This study focused on comparative study method. The data retrieval methods focus on the study of literature.
The results concluded that Australia and United Kingdom have better Corporate Social Responsibility system, either the regulations and the implementations. Indonesia can use the Australia and United Kingdom Corporate Social Responsibility system as the pattern for a better Corporate Social Responsibility system.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S52960
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Josephine Rachel Natalia Hansiga
"Pengadaan barang dan/atau jasa yang diselenggarakan oleh Pemerintah seringkali berkaitan dengan persaingan usaha tidak sehat, yaitu persekongkolan tender. Kegiatan persekongkolan ini memiliki dampak negatif bagi persaingan dalam menciptakan hambatan untuk saling bersaing antar pelaku usaha. Di sisi lain, Australia memiliki kebijakan dalam menghadapi persekongkolan tender yang sudah terbukti secara efektif dapat mengurangi perilaku persekongkolan. Kebijakan tersebut adalah leniency program yang dalam praktiknya disebut sebagai civil immunity dan criminal immunity. Kebijakan ini memberikan imunitas terhadap sanksi maupun pengurangan denda kepada pelaku usaha yang bersedia untuk bekerja sama dengan otoritas persaingan usaha dalam mengungkap praktik kartel, termasuk persekongkolan tender. Terdapat dua pokok permasalahan dalam penelitian ini, yakni perbedaan perspektif Indonesia dan Australia dalam menangani persekongkolan tender dan potensi pelaksanaan leniency program bagi kasus persekongkolan tender di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji larangan persekongkolan tender dalam pengadaan barang dan jasa di bawah hukum persaingan usaha antara Indonesia dan Australia. Penelitian ini merupakan penelitian doktrinal yang memaparkan peraturan terkait suatu kategori hukum tertentu secara sistematis, menganalisis hubungan antar peraturan, dan mengidentifikasi potensi dari peraturan tersebut di masa depan. Adapun hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa perbedaan perspektif Indonesia dan Australia dalam menanggapi persekongkolan tender dapat dilihat dari ketentuan hukum persaingan usaha Australia yang menggolongkan persekongkolan tender sebagai bagian dari kartel. Persekongkolan tender tidak diatur secara eksplisit dalam satu pasal tersendiri sebagaimana diatur dalam UU Anti Monopoli di Indonesia. Perbedaan perspektif tersebut mengakibatkan implikasi terhadap persekongkolan tender di Australia mendapatkan kebijakan yang sama dengan kartel, salah satunya leniency program. Berdasarkan efektivitas leniency program di Australia, Indonesia memiliki urgensi untuk menerapkan kebijakan tersebut dalam hukum persaingan usaha. Adapun penerapan leniency program di masa depan dapat merujuk pada kebijakan Australia.

The Government’s procurement of goods and/or services is often related to unfair business competition, namely bid-rigging. This collusion activity has negative impacts on competition by creating barriers for businesses to compete with each other. On the other hand, Australia has a policy that has proven to be effective in reducing bid-rigging. This policy is called the leniency program, known in practice as civil immunity and criminal immunity. This policy provides immunity from sanction and fine reductions to businesses who are willing to cooperate with authorities in exposing cartel conduct, including bid- rigging. There are two main issues in this research, namely the different perspectives between Indonesia and Australia in handling bid-rigging and the potential implementation of the leniency program for bid-rigging cases in Indonesia. This research aims to examine the prohibition of bid-rigging in the procurement of goods and services under competition law between Indonesia and Australia. This research is a doctrinal study that systematically outlines regulations related to a certain legal category, analyzes the relationship between regulations, and identifies the potential of these regulations in the future. The results of this research state that the differences in perspectives between Indonesia and Australia in responding to bid-rigging can be seen in Australia’s competition law which classifies bid- rigging as part of a cartel provision. Bid-rigging is not explicitly regulated in a separate article as stipulated in Indonesia's Anti-Monopoly Law. These differences result in implications for bid-rigging in Australia receiving the same policy as a cartel, including the leniency program. Based on the effectiveness of the leniency program in Australia, Indonesia has the urgency to implement such a policy in competition law. The future implementation of the leniency program may refer to Australia’s policy."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>