Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 81186 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dora Nina Lumban Gaol
"

Perkembangan lembaga negara mengalami dinamika sesuai dengan kebutuhan dalam menjalankan kekuasaan negara. Salah satu kebutuhan yang diangap penting oleh pengambil keputusan adalah pentingnya pembinaan ideologi Pancasila terhadap seluruh penyelenggara negara yang berujung pembentukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Lahirnya lembaga ini menjadi perdebatan mulai dari hal yang paling mendasar: ada tidaknya urgensi pembinaan ideologi di Indonesia. Pro kontra juga lahir terkait kedudukan, tugas, dan fungsinya yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Perbedaan pandangan mengenai hubungannya dengan lembaga negara lain pun menjadi perbincangan hangat dalam kajian Hukum Tata Negara. Dengan penelitian yuridis normatif, penelitian ini bertujuan menjelaskan kedudukan dan kewenangan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Penulis juga mengkaji potensi tumpang tindih dengan lembaga negara lain berkaitan tugas dan fungsinya. Sebagai pengayaan penulis membawa contoh pandangan konstitusi beberapa negara terkait ideologi.


The development of state institutions experiences dynamics in accordance with the need to exercise state power. One of the needs that is considered important by decision makers is the importance of fostering the ideology of Pancasila to all state administrators which ended in the creation of new state institutions called Pancasila Ideology Guidance Agency (BPIP). The existence of this institution became something debatable s from the most basic: the urgency of fostering ideology in Indonesia. Pros and cons were also born related to the position, duties, and functions as written in Presidential Regulation Number 7 Year 2018 about the Pancasila Ideology Guidance Agency. Differences views regarding its relationship with other state institutions also became an issue in the study of Constitutional Law. With normative juridical research, this study aims to explain the position and authority of the Pancasila Ideology Guidance Agency in the constitutional system in Indonesia. The author also examines the potential for overlapping with other state institutions regarding their duties and functions. As an enrichment the author brings an example of the views of the constitutions of several countries related to ideology.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muh Iqbal Romadhoni
"Era reformasi ditandai dengan adanya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang berdampak pada pesatnya perkembangan pembentukan lembaga-lembaga baru utamanya lembaga negara penunjang. Lembaga-lembaga tersebut dibentuk dengan peraturan perundang-undangan mulai dari undang-undang dasar hingga peraturan presiden. Hal ini dilakukan demi menyelenggarakan pemerintahan secara lebih efektif dan efisien apalagi ditambah dengan kompleksitas permasalahan suatu negara yang semakin rumit dan fungsi tersebut tidak dapat lagi dijalankan oleh lembaga yang ada sehingga dibutuhkan lembaga-lembaga baru untuk mengisi kekosongan tersebut. Salah satu dari lembaga-lembaga baru itu adalah Kantor Staf Presiden yang merupakan lembaga yang bertugas untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan oleh Presiden dan Wakil Presiden. Meskipun demikian, pembentukan Kantor Staf Presiden menimbulkan pro kontra dari berbagai kalangan dari mulai adanya indikasi tumpang tindih hingga pemborosan anggaran. Indikasi tumpang tindih ini didasari atas banyaknya lembaga “penasihat” presiden yang sudah terlebih dahulu dibentuk sehingga hal tersebut berpotensi adanya pemborosan anggaran akibat menghabiskan anggaran terhadap lembaga yang sebenarnya fungsinya telah dijalankan oleh lembaga lain. Oleh karena itu, Skripsi ini membahas mengenai kedudukan dan kewenangan Kantor Staf Presiden.: Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Penelitian ini memberikan jawaban terkait kedudukan dan kewenangan Kantor Staf Presiden dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Kemudian, potensi tumpang tindih akibat dibentuknya Kantor Staf Presiden dengan Lembaga pemerintah yang lainnya terkait tugas dan fungsi yang melekat pada lembaga-lembaga tersebut
The Reformation era was marked by the amendments of UUD 1945 which had impacts on the rapid development of forming of new institutions, especially state auxiliary bodies. These institutions are formed with regulations ranging from the constitution to presidential regulations. This is done in order to organize government more effectively and efficiently, especially coupled with the complexity of a nation's problems that are increasingly complex and this function can no longer be carried out by existing institutions so that new institutions are needed to fill the gap. One of the new institutions is Presidential Staff Office (Kantor Staf Presiden) which is an institution that tasked to support the administration of government by the President and Vice President. Although, the formation of the Presidential Staff Office raises the pros and cons of various groups ranging from indications of overlapping to wasteful budgets. This overlapping indication is based on the number of presidential "advisory" institutions that have been formed beforehand so that there is potential for a waste of budget due to spending the budget on an institution whose function has been carried out by other institutions. Therefore, this thesis discusses the position and authority of the Presidential Staff Office. This research use normative legal research method. This research provides answers related to the position and authority of the Presidential Staff Office in the constitutional law system in Indonesia. Then, the potential for overlapping as a result of the existence of the Presidential Staff Office with other government institutions related to the tasks and functions attached to these institutions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Racmat Ariwijaya
"Penelitian ini membahas dua pokok permasalahan: Pertama, bagaimana kedudukan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP-PPP) ditinjau dari Hukum Tata Negara Indonesia. Kedua, bagaimana kewenangan UKP-PPP ditinjau dari Hukum Tata Negara Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Pembahasan dimulai dari banyaknya lembaga negara bantu Presiden yang dibuat berdasarkan Peraturan Presiden. Salah satu lembaga negara bantu Presiden yang sangat memberi pengaruh terhadap lembaga negara di bidang eksekutif, terutama lembaga kementerian, adalah lembaga UKP-PPP. UKP-PPP mempunyai kewenangan mengawasi dan memberikan nilai pada setiap lembaga kementerian di Indonesia. Hal tersebut menimbulkan pertanyaaan dimana kedudukan lembaga UKP-PPP di lembaga negara Indonesia dan apa saja kewenangan yang dimiliki serta dalam ruang lingkup mana.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa Lembaga UKPPPP adalah lembaga negara bantu Presiden yang berkedudukan dibawah Presiden untuk membantu Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan. Kewenangan UKP-PPP lahir dari Pasal 4 ayat (1) UUD dan diatur berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2009 dan perubahannya Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2012. Dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan, seharusnya Presiden memaksimalkan lembaga negara konstitusional di ruang lingkup kekuasaan Presiden (Eksekutif), yaitu Wakil Presiden (Pasal 4 ayat (2)), Dewan Pertimbangan dan Penasihat Presiden (Pasal 16 UUD 1945) serta para menteri (Pasal 17 UUD 1945) sebelum membentuk lembaga Negara bantu baru, sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan antar lembaga negara dan terciptanya lembaga negara yang efektif sesuai dengan UUD 1945.

This research analyzes, (1) what is the position, and (2) what authority is assigned to the Presidential Work Unit for Development, Monitoring and Control of Indonesia from the perspective of the Indonesian Constitutional Law. This research employs the normative legal research method. Initially, this research analyzed the number of the President?s auxiliary unit as defined in the Presidential Decree. One of the most influential auxiliary unit is the Presidential Work Unit for Development, Monitoring and Control. This unit is assigned the authority to monitor and assess all of the Government Ministry in Indonesia. This raises the question where is the exact position of this unit within the formal organization of the Government, and the extent this unit has authority in the works of the executive body.
The results of this research indicates that the Presidential Work Unit for Development, Monitoring, and Control is positioned directly under the auspices of the President to advise and assist the President to execute his duty. The constitutional base for its existence is Article 4, (1) of the Indonesian Constitutional Law as further defined in Presidential Decree Number 54 of 2009, and Amended by Presidential Decree Number 10 of 2012. This research concludes that President should maximize the main Presidential Auxiliary Unit namely the Vice President?s Office (Article 4, (2),), the Presidential Advisory Council of the President (Article 16 of the Constitution Law of 1945), and the Ministerial Cabinet (Article 17 of the Constitution Law of 1945) prior to establishing a new auxiliary unit to avoid overlapping authorities and more effective state auxiliary unit as defined by the Constitutional Law of 1945.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56754
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ryan Muthiara Wasti
"ABSTRAK
Indonesia mengakui eksistensi masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya di dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945. Salah satunya adalah lembaga perwakilan masyarakat adat yang
memperlihatkan nilai-nilai tradisional yang masih hidup hingga sekarang.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa belum sepenuhnya
mengakomodir nilai-nilai adat di setiap daerah terutama perwakilan adat di Nagari
Minangkabau. Oleh sebab itu, terdapat dua pokok permasalahan: Pertama,
kedudukan dan kewenangan lembaga perwakilan adat dalam struktur
pemerintahan nagari di Minangkabau dan Undang-Undang tentang Desa dan
Kedua, konsep ideal mengenai lembaga perwakilan adat di Indonesia. Analisis
dilakukan dengan menggunakan teori hukum tata negara adat karena memiliki
kaitan erat dengan nilai-nilai ketatanegaraan Indonesia yang diikuti dengan
penerimaan terhadap keberadaan adat yang lahir dari sebuah persekutuan hukum
dan memiliki ciri khas tersendiri. Selain itu, dilakukan perbandingan pengaturan
masyarakat adat di Amerika Serikat, Australia, Kamerun dan China. Kesimpulan
adalah lembaga perwakilan adat nagari belum sepenuhnya terakomodir dalam
Undang-Undang tentang Desa sehingga dibutuhkan sebuah pengaturan ideal
untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat adat nagari di Minangkabau terutama
dalam unsur keanggotaan, metode pemilihan dan kedudukan dan kewenangan dari
lembaga perwakilan adat tersebut. Untuk itu, diperlukan perubahan terhadap
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dalam hal pengaturan
mengenai desa adat yang dapat dibandingkan dengan negara lain yang lebih
mempunyai pengaturan dan perlakuan terhadap desa adat di negarannya seperti di
AS, Kamerun, RRC dan Australia.

ABSTRACT
Indonesia acknowledges the existence of indigenous law communities
along with their traditional rights in Article 18 of the Indonesian 1945
Constitution. One of these institution is the traditional people representatives that
embrace traditional values that lives up to the present. Law Number 6 of 2014 on
Villages have not fully accommodated tradition values that exists in the respective
regions, particularly the traditional representation in Nagar Minangkabau. As
such, there are two issues: the position and authority of traditional representative
institutions within the governance structure of nagari in Minangkabau and the
Village Law; and, secondly, the ideal regulation on traditional representative
institutions in Indonesia. The analysis is conducted using the theory of traditional
constitutional law as it bears close relation to Indonesia?s state constitutional
values followed by acceptance of the diversity of customs that arise from an
amalgamation of laws that have their own characteristics. Additionally, a
comparison is carried out as regards regulations that govern indigenous
communities in the United State, Australia, Cameroon, and China. The conclusion
is that the nagari indigenous representative institution is not fully accommodated
in the Village Law and thus an ideal regulatory instrument to accommodate the
need of the nagari indigenous community in Minangkabau, among others
membership, method of election and the position and authority of the indigenous
representative institution."
2016
T46631
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Reindra Jasper H.
"Yurisprudensi tetap merupakan salah satu produk hukum dari Mahkamah Agung yang memiliki peranan penting dalam perkembangan ilmu hukum. Salah satu fungsi dari yurisprudensi tetap ialah sebagai rujukan hakim dalam mengadili perkara. Kendati demikian, yurisprudensi tetap sering diabaikan oleh hakim dalam mengadili suatu perkara. Hal ini terjadi dikarenakan, adanya pandangan bahwa yurisprudensi tetap, bukan merupakan suatu sumber hukum di civil law serta dianggap mencederai nilai-nilai kemerdekaan hakim. Meskipun demikian harus dipahami bahwa yurisprudensi tetap adalah norma undang-undang yang dikonkritkan, sehingga sebenarnya yurisprudensi tetap adalah salah satu sumber hukum tata negara di Indonesia. Oleh karenanya, yurisprudensi tetap tidak mencederai kemerdekaan hakim.
Precedent is one of the law products from Supreme Court that has important role in the development of the jurisprudence. One of the functions of the precedent is being a reference of the judges in adjudication. Nevertheless, precedent is often being ignored by the judge in adjudicating a case. This is happens because of some argument that said that the precedent is not a the source of law in civil law and considered wounded the judiciary independence. However it should be understood that the precedent is the norm of the statutes, that is being concreted, so the precedent is one of the sources of the constitutional law in Indonesia actually. Therefore, the precedent does not harm the judiciary independence."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S55634
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wicitra Wening Palupi
"Salah satu fenomena yang sangat penting pasca perubahan Undang-Undang Dasar 1945 adalah berkembang pesatnya lembaga-lembaga negara mandiri (state auxiliary agencies) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Lembaga-lembaga tersebut dibentuk dengan dasar hukum yang berbeda-beda, baik dengan konstitusi, undangundang, bahkan ada yang dibentuk dengan keputusan presiden saja. Lembagalembaga ini seringkali disebut dengan Lembaga Non Struktural. Skripsi ini membahas mengenai bagaimana perkembangan Lembaga Non Struktral di Indonesia pasca era reformasi yang lebih spesifik menganalisa tentang kedudukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Lembaga Non Struktural.
Bentuk penelitian ini adalah yuridis normatif dengan metode kualitatif. Lembaga Non Struktural di Indonesia berkembang sangat pesat setelah adanya perubahan UUD 1945 pada tahun 2002 lalu. Oleh karena itu, perlu dilakukannya pembahasan mendalam mengenai Lembaga Non Struktural yang ada di Indonesia agar lembaga lembaga baru yang bersifat independen ini tidak semakin menjamur, salah satunya dengan dibuat peraturan yang jelas menerangkan bagaimana ciri, syarat, dan urgensi untuk membentuk Lembaga Non Struktural. Dalam menganalisa, Komnas Perempuan dapat dikatakan sebagai LNS yang memiliki fungsi sebagai National Human Right Institution yang berfungsi mengawasi pelaksanaan dari hak-hak perempuan agar tidak terjadi pengabaian, pelanggaran HAM warga negara, serta melakukan upaya-upaya perlindungan dan pemajuan HAM.

A phenomenon that is very important after the amendment of the Constitution of 1945 is the rapid growth of independent state institutions (state auxiliary agencies) in the state system of Indonesia. These institutions formed by different legal basis, it can be formed with the constitutional mandate, acts, and some have formed by presidential decree only. These institutions are often called as non-structural institutions. This thesis will discuss about the development of Non Structural Agencies after reformation in Indonesia, specifically analyzing in the position of National Commission Anti Violence Against Women as an Non Structural Agencies.
This research is using normative juridical method, with qualitative data analysis. Non Structural institutions in Indonesia is rapidly growing after the amandement of 1945 constitution in 2002. Therefore, further research about Non Structural Agencies in Indonesia is necessary to be done. In order to reduce excessive independent agencies, which have been established earlier, we need to make an explicit regulation that explains characteristic features, and also the requisite urgencies in creating a new Non-Structural Agencies. In analyzing, Komnas Perempuan can be regarded as LNS that has a function as a National Human Rights Institution that watch the implementation of women's rights in order to avoid negligence, violation of human rights of citizens, and the efforts to protect and promote of human rights as well."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S64923
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Ilham Irmantyo
"Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Perubahan Kedua atas UU KPK), Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR) dan Pemerintah mendapatkan kritik keras dari masyarakat. Publik berpikir, bahwa apa yang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah ini bertujuan untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai institusi pemberantas korupsi. Disebut demikian, lantaran UU ini dianggap memuat aturan-aturan yang dapat melemahkan KPK. Hal yang paling dipermasalahkan oleh publik adalah pembentukan Dewan Pengawas KPK sebagai badan pengawas internal KPK yang memiliki wewenang pemberian izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Skripsi ini membahas, apakah wewenang seperti itu merupakan hal yang normal dan lazim diberikan dengan membandingkan wewenang badan pengawas pada lembaga negara lain di Indonesia serta badan pengawas lembaga anti korupsi di negara-negara lain. Metode penelitian yang digunakan untuk skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif dan studi komparatif. Dari riset yang dilakukan, penulis melihat, bahwa dengan mendirikan Dewan Pengawas KPK, pembentuk undang-undang bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas dari KPK. Namun, walaupun pendiriannya memang diperlukan, penulis menilai, bahwa wewenang Dewan Pengawas KPK dalam hal memberi izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan merupakan hal yang tidak lazim dan aneh karena pada praktik ketatanegaraan, baik di Indonesia maupun di negara lain, tidak ditemukan sistem atau pengaturan yang demikian.

By the entry into force of the Law Number 19 of 2019 on the Second Amendment to Law Number 30 of 2002 on the Corruption Eradication Commission, the Indonesia's House of Representatives (DPR) and Government were harshly criticized by the public. The public thought that what the DPR and the Government did aimed to weaken the Corruption Eradication Commission (KPK) as the state's institution eradicating corruption. This is because the new law was presumed to contains rules that could weaken the power of KPK. The most problematic thing according to the public is the establishment of the Supervisory Board of the KPK as the commission's internal supervisory body having the authority to grant the approval on the action of wiretapping, searching and confiscation. The thesis discusses whether such authority is normal and a common thing adopted in other countries by learning the authority of the supervisory body in other Indonesia's state institutions as well as the supervisory body of the anti-corruption institutions in other countries. The research method used for the thesis is normative juridical research as well as comparative study. From the research, the author see that by establishing the KPK's Supervisory Board, the legislators aim to increase the accountability of the KPK. However, although its establishment is indeed necessary, the author has an opinion that the above mentioned Supervisory Board authority is unusual and peculiar, as the practice has not been found, both in Indonesia's and other countries' constitutional system.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Satya Arinanto
"Penerbitan buku Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara tulisan Prof. Dr. Nugroho Notosusanto' pada tahun 1981 telah menimbulkan perdebatan mengenai kapan hari lahir dan siapa penggali Pancasila. Buku setebal 74 halaman yang diterbitkan oleh Balai Pustaka tersebut juga berisi tulisan Prof. Mr. A.G. Pringgodigdo yang berjudul Sekitar Pancasila dengan kata pengantar Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen P & K (saat itu) Prof. Dardji Darmodihardjo, S.H.
Tanggapan-tanggapan yang muncul terhadap penerbitan buku tersebut pada intinya berfokus pada dua h6l. Pertama, tanggapan yang berasal dari para ilmuwan yang menganggap bahwa secara metodologis tulisan Prof. Nugroho Notosusanto tersebut lemah. Kedua, yang lebih keras, datang dari kalangan yang selama i.ni menganggap bahwa tanggal 1 Juni 1945 merupakan hari lahir.
Pada saat itu ia sedang menjabat sebagai Kepala Pusat Sejarah ABRI dengan pangkat Brigadir Jenderal Tituler. Kemudian ia menjadi Rektor Universitas Indonesia dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia?"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewo Baskoro
"ABSTRAK
Indonesia merupakan negara yang rawan akan keadaan bahaya. Untuk itu, perangkat hukum yang ada haruslah memadai agar dapat mengatasi keadaan bahaya tersebut. Namun, kewenangan yang diberikan kepada Pemegang Kekuasaan Eksekutif pada saat negara berada di dalam keadaan bahaya seringkali diiringi dengan kesewenang-wenangan. Skripsi ini akan menjabarkan dan meninjau kembali kewenangan-kewenangan yang diberikan kepada Pemegang Kekuasaan Eksekutif dalam rangka mengatasi keadaan bahaya dari masa ke masa dan mengklasifikasi teori keadaan bahaya yang dianut dari masing-masing masa pengaturan tersebut. Penelitian ini juga akan membandingkan pengaturan konstitusi di Indonesia terkait Keadaan Bahaya dengan konstitusi di negara-negara lainnya. Akhirnya, skripsi ini menemukan bahwa Kewenangan Pemegang Kekuasaan Eksekutif terkait Keadaan Bahaya Indonesia dewasa ini mencakup bidang-bidang terkait orang, tempat, barang, kebebasan berekspresi, komunikasi, transportasi, dan perundang-undangan. Skripsi ini menyimpulkan bahwa Pengaturan Kewenangan Pemegang Kekuasaan Eksekutif di Indonesia saat ini condong kepada teori keadaan bahaya Carl Schmitt, dan pengaturan konstitusi di Indonesia sama sekali tidak mengikuti tren pengaturan negara-negara lain

ABSTRACT
Indonesia is full of state of emergency hazards. Therefore, it rsquo s law needs to be able to overcome those threats. But the given authority of the Executive in times of emergency could become a tool of abuse. This Thesis will describe and review those power in times of emergency from time to time and determine which theory of exception that it imply. This research will also compare constitutional statutes pertaining state of emergency in Indonesia with other countries. By the end of this thesis, we will be able to know the authority of the Executive of Indonesia in times of emergency which include the matter of individual freedom, places, the use and claiming of material things, freedom of expression, communication, transportation, and in regards of rules. We shall be able to conclude that the authority that are given to the Executive of Indonesia regarding state of emergency are more of a Carl Schmitt rsquo s state of exception view than the Hans Kelsen rsquo s one. This research will also show that the rule in the constitution of Indonesia pertaining state of emergency doesn rsquo t follow the current trend of rulling in many countries."
2017
S69431
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raihan Hudiana
"Polemik terkait sah atau tidaknya jabatan pimpinan DPD periode 2017 - 2019 terus menjadi isu yang hangat untuk diperbincangkan, bahkan hingga berakhirnya kepengurusan DPD. Menurut beberapa ahli hukum, pergantian pimpinan DPD yang dilakukan pada tahun 2017 bukan merupakan pergantian pimpinan yang sah, pasalnya pergantian tersebut dianggap menerobos aturan hukum yang ada. Namun yang menjadi masalah adalah sampai saat ini tidak ada pihak yang dapat menyelesaikan masalah ini. Oleh karena itu, penulis melakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa di internal DPD. Penelitian dilakukan dengan metode yuridis-normatif yaitu dengan mengkaji permasalahan berdasarkan norma hukum yang terdapat di berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan membandingkannya dengan beberapa negara. Hasil dari penelitian adalah permasalahan yang terjadi merupakan permasalahan etika anggota lembaga perwakilan. Oleh karena itu yang berwenang menyelesaikannya yaitu internal DPD sendiri melalui Badan Kehormatan DPD. Namun karena belum diatur secara rinci mengenai mekanisme evaluasi dan penyempurnaan peraturan DPD, akhirnya proses penyempurnaan dikembalikan kepada mekanisme politis yang sulit untuk tercapainya keadilan. Adapun alternatif untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan memperkuat peraturan DPD dan membentuk standar etika penyelenggara negara. Dengan demikian, DPD disarankan untuk memperbaiki peraturan tentang tata beracara badan kehormatan DPD. Dan disarankan kepada DPR RI untuk membuat rancangan undang-undang tentang etika penyelenggara negara.

The related polemic whether or not holding the leadership of the DPD for the period 2017 - 2019 continues to be a hot issue to be discussed, even to the end of the management of the DPD. According to some legal experts, the replacement of the leadership of the DPD conducted in 2017 is not a legitimate change of leadership, because the change is considered to break the existing legal rules. But the problem is that there are currently no parties who can solve this problem. Therefore, the author conducted a study to find out how to resolve disputes in the internal DPD. Research carried out by juridical-normative method is by examining problems based on laws related to the laws and regulations that apply in Indonesia and comparing them with various countries. The results of this study are the problems that occur are ethical issues of members of representative institutions. Therefore, what was agreed to solve was the internal DPD itself through the Honorary Board of DPD. DPD, finally the refinement process is related to a difficult political evaluation to achieve justice. As an alternative to resolve this problem by completing the regulations of the DPD and establishing ethical standards for state administration. Thus, DPD agreed to regulate the rules regarding the procedure for the proceedings of  DPD. And agreed to DPR RI to draft a law on the ethics of state administrators."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>