Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 145415 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Amani Fidella
"ABSTRAK
Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan outsourcing atau alih daya di Indonesia diatur dalam Pasal 59, 64, 65, dan Pasal 66 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Tesis ini membahas mengenai pelaksanaan pengalihan pekerjaan penunjang pada perusahaan dengan sisten outsourcing menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasca Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan data sekunder sebagai sumber datanya, yang diperoleh melalui studi dokumentasi. Hasil penelitian, penggunaan sistem outsourcing pada saat ini masih relevan, namun dalam praktek penggunaannya di Indonesia belum mendekati tujuan outsourcing yang sebenarnya, yaitu dalam rangka meningkatkan profesionalisme kerja dan usaha. Dalam hal hubungan hukum antara karyawan outsourcing dengan perusahaan setelah adanya uji materi (judicial review) terhadap pasal-pasal 59, dan pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003, maka hubungan kerja antara perusahaan outsourcing dengan pekerja/buruh dapat dilakukan/diperjanjikan melalui Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) atau melalui Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Apabila hubungan kerja diperjanjikan dengan PKWT, pekerja harus tetap mendapat perlindungan atas hak-haknya sebagai pekerja dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja (Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE), apabila terjadi pergantian perusahaan pemberi kerja atau perusahaan outsourcing. Pekerjaan sebagai hak setiap warga negara harus dilindungi oleh hukum. Dan semua pihak wajib melakukan segala upaya untuk menyelesaikan perselisihan antara pengusaha dengan pekerja, yang disebut dengan perselisihan hubungan industrial. Kata kunci: Hubungan Kerja, Outsourcing Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011.

ABSTRACT
Implementation of Specific Time Work Agreements and outsourcing or outsourcing in Indonesia are regulated in Articles 59, 64, 65, and Article 66 of Law No. 13 of 2003 concerning employment. This thesis discusses the implementation of the transfer of supporting work to companies with outsourcing systems according to Law Number 13 of 2003 concerning Manpower after the Decision of the Constitutional Court Number 27/PUU-IX/2011. This study uses normative juridical research methods with secondary data as the source of the data, obtained through documentation studies. The results of the study, the use of the outsourcing system at this time is still relevant, but in practice its use in Indonesia has not approached the actual outsourcing goal, namely in the context of increasing the professionalism of work and business. In the case of a legal relationship between outsourcing employees and the company after a judicial review of articles 59, and article 64 of Law No. 13 of 2003, then the employment relationship between outsourcing companies and workers/laborers can be done/agreed through an Indefinite Time Work Agreement (PKWTT) or through a Specified Time Work Agreement (PKWT). If the employment relationship is agreed with PKWT, the worker must continue to be protected by his rights as a worker by applying the principle of transfer of undertaking protection for employees (TUPE), in the event of a change of employer or outsourcing company. Work as a right of every citizen must be protected by law. And all parties must make every effort to resolve disputes between employers and workers, which is called industrial relations disputes. Keywords: Employment Relations, Outsourcing Post Constitutional Court Decision No.27/PUU-IX/2011."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vincentius Oesman
"Penelitian ini mengangkat permasalahan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011. Menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan UU untuk permasalahan pertama, serta penelitian hukum empiris untuk permasalahan kedua. Dengan lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011, maka menimbulkan permasalahan baru karena melegalkan prinsip outsourcing dan hubungan kerja yang salah selama ini dalam outsourcing melalui mekanisme penyediaan jasa pekerja. Selain itu, Putusan tersebut bertentangan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator serta bertentangan dengan asas kepribadian dalam perjanjian. Dalam praktek Putusan ini tidak dilaksanakan, alasan utamanya adalah karena belum adanya UU yang mengatur sebagai tindak lanjut dari suatu putusan Mahkamah Konstitusi. Sebagai saran, seharusnya pemerintah segera membuat UU terkait tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi dengan catatan memperbaiki prinsip outsourcing dan hubungan kerja yang salah dalam penyediaan jasa pekerja.

This study raised the problem in Constitustional Court's Verdict No. 27 PUU IX 2011. Using the normative law method with enactment approach for the first problem, and empirical law research for the second one. With the birth of the Constitutional Court's Verdict No. 27 PUU IX 2011, new problems are arisen because it is permitted outsourcing principal and incorrect work relationship of outsorcing through the mechanism of the service provider. Beside, the Verdict against the Constitutional Court's authority as negative legislator and also against the personality principal in an agreement. In practice, the Verdict is not enforced, the main reason is because there isn't enactment yet that sets as the follow up of a Constitutional Court's Verdict. As a recommendation, the government should immediately forms an enactment as the follow up for this Verdict, with some notes to repair the outsourcing principle and incorrect work relationship in a service provider.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T47854
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizkita Mandraguna Fatah
"Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan outsourcing atau alih daya di Indonesia diatur dalam Pasal 59, 64, 65, dan Pasal 66 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Pengertian outsourcing atau alih daya adalah adalah suatu tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain (outside provider), dimana tindakan ini terikat dalam suatu kontrak kerjasama. Dengan kata lain, perusahaan memanfaatkan sumber daya dari luar menggantikan sumber daya dari dalam perusahaan untuk menyelesaikan tugas tertentu yang selama ini dianggap kurang efisien. Hak pengambilan keputusan yang dimaksudkan disini adalah tanggung jawab untuk mengambil keputusan terhadap aspek-aspek penting yang terkait dengan aktifitas yang dialihkan tersebut. Jadi untuk melakukan pekerjaan dan/atau produksi, perusahaan penerima pekerjaan sepenuhnya menggunakan fasilitas dan aset yang dimiliki oleh perusahaan penerima pekerjaan, termasuk menurut kualifikasi dan keahlian khusus yang dimilikinya.
Sebagai contoh adalah produsen pesawat terbang BOEING yang mengalihkan pekerjaan pembuatan mesin pesawat nya kepada Rolls Royce, dan produsen kendaraan bermotor Mercedes Benz yang mengalihkan pekerjaan pembuatan komponen peredam kejut nya kepada BILLSTEIN, atau produsen pesawat terbang AIRBUS yang mengalihkan pekerjaan pembuatan mesin pesawatnya kepada General Electrics. Jadi dapat dipahami konstruksi outsourcing adalah hubungan bisnis murni yang tidak perlu dan tidak boleh serta tidak dapat diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Namun definisi, penerapan dan pengaturan outsourcing di Indonesia malah diatur dalam Pasal 64, 65, dan 66 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sehingga sangat menyimpang jauh dari sifat pengalihan pekerjaan yang seharusnya dan menimbulkan celah hukum yang menganga untuk memuluskan praktek perbudakan modern (modern slavery). Konsep atau konstruksi hukum mengenai outsourcing di Indonesia adalah adanya suatu perjanjian kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (perusahaan outsourcing) dengan pekerja otsourcing, lalu adanya perjanjian antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (perusahaan outsourcing) dengan perusahaan pemberi kerja/perusahaan pengguna jasa, dimana diperjanjikan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (perusahaan outsourcing) akan mengirimkan dan menempatkan karyawan nya/ pekerja pada perusahaan pemberi kerja/pengguna jasa. Dengan demikian konsep outsourcing di Indonesia adalah konsep pengalihan pekerja/buruh dan bukanlah pengalihan pekerjaan, pekerja/buruh diposisikan sebagai komoditi yang dapat disewakan atau diperjualbelikan. Seringkali penerapan dan pelaksanaan outsourcing juga ?dipaketkan? dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, sehingga selain status pekerja menjadi tidak jelas, juga tidak terdapat kepastian mengenai kontinitas pekerjaan. Hal ini dipandang sebagai perbudakan modern (modern slavery) dan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan "Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang Iayak bagi kemanusiaan", dan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan "Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan Iayak dalam hubungan kerja". Berdasarkan hal-hal tersebut, maka diajukanlah Uji Materi pada Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 59, 64, 65, dan Pasal 66 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

The implementation of the Pecific Time Employment Agreement and outsourcing in Indonesia regulated under Article 59, 64, 65, and Article 66 of Law No. 13 Year 2003 on Manpower. Definition of outsourcing is an act of diverting some of the company's activities and decision rights to another party (outside provider), where the action is bound in a contract of cooperation. In other words, the company utilizes outside resources replaces the resources of the company to complete a specific task that is considered less efficient. Thus decision rights meant the responsibility to take decisions on important aspects related to the transferred activities. So to do the work and / or production, the company fully use the facilities and assets owned by the company which implementing production, including by qualifications and expertise of its. An example is aircraft manufacturer Boeing were transferred manufacturing operations of its aircraft engines to Rolls Royce, and motor vehicle manufacturer Mercedes Benz that transfer the job of making its shock absorbers to Billstein, or the aircraft manufacturer AIRBUS which divert the aircraft engine manufacturing operations to General Electrics. So it can be understood outsourcing construction is purely a business relationship that is not necessary and should not be and can not be regulated in Employment / Manpower Act. But definition, the implementation and outsourcing arrangement in indonesia instead arranged in article 64, 65, and 66 the act of no. 13 year 2003 on manpower so that highly distorted far of the nature of the transfer of work that is supposed to be and cause a gaping legal loophole to smooth over the practice of modern slavery. Concept or construction law regarding outsourcing in Indonesia is the existence of a working agreement between the worker/labor service provider company (outsourcing company) with otsourcing workers, and the agreement between the worker/labor service provider company (outsourcing company) with user company, where the worker/labor service provider company (outsourcing company) will send and puts their employees / workers at user company. Thus the concept of outsourcing in Indonesia is the concept of the transfer of workers / laborers and not a transfer of work, the worker / laborer is positioned as a commodity that can be leased or sold. Often the application and implementation of outsourcing also "bundled" with the Specific Time Employment Agreement, so in addition to the status of workers is not clear, nor is there certainty about job continuity. This is seen as modern slavery (modern slavery) and contrary to Article 27 paragraph (2) of the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 which states " Every citizen shall have the right to work and to earn a humane livelihood.", and Article 28D (2 ) of the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 which states " Every person shall have the right to work and to receive fair and proper remuneration and treatment in employment.". Based on these things, it is referred to the Constitutional Court Judicial Review of Articles 59, 64, 65, and Article 66 of Law No. 13 of 2003 on Manpower."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T41479
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Kehadiran UU ketenagakerjaan sering mendapat tantangan dari para pendukung kepentingan terutama dari pihak pekerja, terutama yang berkaitan dengan pengaturan perjanjian kerja Outsourcing di Indonesia. Alasan para penentang tersebut antara lain adalah, bahwa pengaturan outsourcing hanya mengeksploitasi dan memarjinnalisasi sisi kemanusiaan mereka yang telah dijamin oleh konstitusi. Berbagai upaya telah mereka lakukan agar aturan yang dinilai diskriminatif ini dihapus dari praktik ketenagakerjaan di Indonesia, termasuk pilihan hukum dengan melalakukan uji material aturan tersebut ke mahkamah konstitusi (MK). Akhirnya, melalui putusan No. 27/PUU-IX/2011, MK mengabulkan permohonan pekerja dengan menyatakan inkonstitusional sebagai ketentuan tentang perjanjian kerja outsourcing. Dalam menyikapi putusan MK tersebut, pemerintah melalui kemenakertrans menerbitkan permenakertrans No. 19 tahun 2012"
JK 11 (1-4) 2014
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Loura Hardjaloka
"Adanya ketidakpastian hukum pekerja alih daya dalam hubungan kerja mengakibatkan pekerja alih daya kehilangan keamanan kerja (job security) untuk mendapatkan penghasilan serta minimnya penghasilan telah melanggar hak konstitusional pekerja alih daya berdasarkan UUD 1945. Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011, maka menentukan dua model PKWT untuk melindungi hak-hak pekerja. Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dengan perusahaan alih daya tidak berbentuk PKWT, melainkan berbentuk Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan alih daya. Dengan menggunakan model TUPE, maka perjanjian kerja yang terdahulu akan dialihkan kepada perusahaan alih daya yang baru padahal pihaknya tidak mengetahui dan tidak mengikatkan diri sama sekali dalam perjanjian kerja tersebut. Hal ini tentu tidak sesuai dengan prinsip perjanjian sebagaimana dapat dilihat dari pengertian perjanjian perburuhan dalam Pasal 1601 huruf (a) Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Pasal 1 ayat (14) UU No. 13 Tahun 2003 serta bertentangan dengan Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sahnya perjanjian. Selain itu, prinsip TUPE ini dianggap memiliki kelebihan dan kelemahan berdasarkan perspektif masing-masing pihak yakni pihak PT X dan PT Y serta pekerja alih daya, jika model TUPE akan dilaksanakan dalam waktu dekat ini.

Legal uncertainty outsourced workers in employment resulted in the job security to earn an income as well as lack of income has violated the constitutional rights of workers outsourced by the 1945 Constitution. With the Constitutional Court Decision No. 27/PUU-IX/2011, then determine the two models PKWT to protect workers' rights. First, by requiring that agreements between workers and companies are not outsourcing form, but the form of PKWTT. Second, applying the principle of the transfer of protective measures for workers/laborers (Transfer of Undertaking Protection of Employment or TUPE) who work in companies that perform outsourced work. Using the TUPE model, the previous labor agreement will be transferred to the new outsourced/user company but it did not know and did not engage in the employment agreement. This is unecessary with the contract principle as ruled on Article 1601 sub (a) Civil Law Code dan Article 1 paragraph (14) Law No. 13 Year 2003, and contrary to Article 1320 Civil Code regarding the validity of the agreement terms. Moreover, the principle of TUPE is considered to have advantages and disadvantages from the perspective of each party that the PT X and PT Y and outsourced workers, if the model Tupe will be implemented in the near future."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45133
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akta Wijaya Pramasakti
"Upaya paksa yang dilakukan dalam rangka Penyidikan maupun PenuntutanTindak Pidana oleh lembaga yang berwenang dalam hal ini Polri atau Penuntut Umumdapat dikontrol melalui Lembaga Praperadilan. Tujuan lembaga ini dibentuk agar hakhaktersangka dapat dilindungi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada,tindakan yang dimaksud terutama dalam hal penangkapan maupun penahanan yang tidaksah serta adanya penghentian penyidikan maupun penuntutan. Walaupun lembagapraperadilan tersebut telah diatur dalam hukum positif yakni Undang-Undang Nomor 8Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana KUHAP, namun seiring perkembanganzaman dan perkembangan kehidupan bermasyarakat serta perkembangan hukumdimasyarakat, KUHAP dirasa belum mengakomodir perlindungan hukum terhadapmasyarakat. Hal ini sesuai dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:21/PUU-XII/2014 tanggal 16 Maret 2015, bahwa Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangandengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.Permasalahan yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah bagaimanalembaga praperadilan pasca putusan Mahkamah Kontitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014tanggal 16 Maret 2015 dan pengaruhnya terhadap fungsi, tugas dan wewenang Polrisebagai penyidik dalam terjadinya tindak pidana. Penelitian ini menggunakan metodependekatan yuridis normatif dengan meneliti data sekunder yang menitikberatkan padastudi kepustakaan, dengan cara mengumpulkan, mengkaji dan mengolah data secarasistematis, bahan-bahan kepustakaan atau studi dokumen yang berkaitan dengankebijakan formulasi lembaga praperadilan dan penerapannya secara analisis kualitatif,kemudian dibuat kesimpulan yang secara menyeluruh diharapkan dapat menggambarkanperanan dan fungsi lembaga praperadilan saat ini dan menjadikan lembaga praperadilanpada posisi yang sebenarnya sesuai dengan cita-cita pembentukan KUHAP.

Forceful measures undertaken in the framework of the Investigation and Prosecutionof Crime by competent authorities in this case the police or public prosecutor can be controlledthrough Pretrial Institution. The purpose of this institution was established so that the rights ofsuspects can be protected in accordance with the laws and regulations that exist, the action ismainly in terms of arrests and illegal detention as well as the termination of the investigationand prosecution. Although the pretrial institutions have been arranged in the positive law ofthe Law No. 8 of 1981 on Criminal Proceedings Criminal Procedure Code, but over the timesand the development of social life and the development of community law, the CriminalProcedure Code is felt not provide legal protection of the public. This is in accordance with theConstitutional Court Decision Number 21 PUU XII 2014 dated March 16, 2015, that Article77 letters a in the Criminal Procedure Code is on the contrary to the 1945 Constitution Of TheRepublic Of Indonesia to the extent not interpreted as including the designation of suspects,search and seizure.The problems that are the focus of this research is how the pretrial institution after thedecision of the Constitutional Court Number 21 PUU XII 2014 dated March 16, 2015 andits influence on the functions, duties and authority of the Police as investigators in the criminalact. This study uses normative juridical approach by examining secondary data which focuseson the study of literature, by collecting, reviewing and processing data systematically, materialslibrary or study documents relating to policy formulation institutions pretrial andimplementation qualitative analysis, then made overall conclusions are expected to describethe role and functions of the current pretrial agencies and make pretrial agencies on the actualposition in accordance with the ideals of the establishment of the Criminal Procedure Code
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Winarta
"Penelitian ini menganalisis bagaimana prinsip-prinsip negara hukum diejawantahkan hakim konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023. Penelitian ini juga memeriksa bagaimana dampak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 terhadap kondisi terkini negara hukum di Indonesia serta respons warga masyarakat terhadap hal itu. Putusan tersebut dianalisis berdasarkan tiga elemen negara hukum yang dikemukakan oleh Adriaan Bedner, yaitu elemen prosedural, substansial, dan mekanisme kontrol. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiolegal, yaitu dengan melihat law in action dengan metode penelitian doktrinal dan nondoktrinal. Penelitian ini mengumpulkan data dengan melakukan wawancara kepada informan serta melakukan analisis putusan, peraturan perundang- undangan, dan literatur terkait. Sayangnya, justru elemen negara hukum lebih banyak terlihat dalam dissenting opinion dibandingkan opinion of the court dan concurring opinion. Berdasarkan analisis dari wawancara informan, masyarakat menilai bahwa Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 berdampak buruk bagi negara hukum, bahkan merobohkan negara hukum, terutama mengenai independensi kekuasaan kehakiman sebagai elemen penting dalam negara hukum. Fenomena yang terjadi Indonesia telah membuktikan bahwa justru melalui fasilitas-fasilitas negara hukum itu sendiri, negara hukum dirusak. Demokrasi sebagai penyangga negara hukum juga membunuh dirinya sendiri melalui cara-cara demokratis. Negara hukum di Indonesia berada di ujung tanduk.

This research examines the Constitutional Court Decision Number 90/PUU-XXI/2023 to determine how constitutional judges exemplify rule of law principles. The research further considers how the Constitutional Court Decision Number 90/PUU-XXI/2023 has affected the rule of law in Indonesia and its reception by the public. The decision is analyzed based on three elements of the rule of law as proposed by Adriaan Bedner, namely procedural, substantial, and control mechanism elements In this regard, sociolegal research is utilised which looks at doctrinal and non-doctrinal approaches for studying law in action. Data were collected through interviews with informants and analysis of the decision, legislation, and relevant literature. Unfortunately, the elements of the rule of law are more evident in the dissenting opinion than in both opinion of the court and concurring opinion. According to informant interview analysis there is a general assesment among public that Constitutional Court Decision Number 90/PUU- XXI/2023 has negatively impacted on the rule of law in general, it even undermines particularly with reference to judicial independence as a crucial part of rule of law. The phenomenon occuring in Indonesia demonstrate that the rule of law is being undermined from within by the very instituions meant to uphold it. Democracy, as the pillar of the rule of law, is also eroding itself through democratic processes. The rule of law in Indonesia is teetering on the edge of collapse."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nindya Putri Ferina
"Skripsi ini didasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013 yang mengukuhkan status kekayaan negara yang bersumber dari keuangan negara dan dipisahkan dari APBN untuk disertakan menjadi penyertaan modal BUMN tetap menjadi bagian dari rezim keuangan negara. Penelitian ini membahas dua permasalahan utama. Pertama, implikasi yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013 terhadap status hukum piutang kredit bermasalah bank BUMN. Kedua, mekanisme penyelesaian kredit bermasalah pada Bank BUMN pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013. Skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yaitu dengan tipe penelitian deskriptif analitis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013 membuat adanya perbedaan penafsiran akan status hukum kredit bermasalah bank BUMN. Dengan demikian, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013 membuat terciptanya ketidakpastian akan status hukum kredit bermasalah bank BUMN serta membuat kewenangan pengurusan dalam penyelesaian kredit bermasalah tidak sepenuhnya menjadi kewenangan Bank BUMN terutama dalam hal mekanisme penyelesaian kredit bermasalah melalui hapus tagih. Untuk itu, diperlukan sinkronisasi dan harmonisasi pemikiran, penafsiran serta pengaturan akan pengertian serta ruang lingkup keuangan negara dalam peraturan perundang-undangan agar dapat menciptakan kepastian hukum bagi status serta mekanisme penyelesaian kredit bermasalah pada Bank BUMN. Selain itu, diperlukan pula peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang kewenangan bagi bank BUMN dalam penyelesaian dan penghapusan kredit bermasalah sehingga nantinya bank BUMN dapat melaksanakan mekanisme penyelesaian kredit bermasalah dengan mekanisme korporasi yang dapat meningkatkan kinerja bank BUMN agar dapat berada di level of playing field yang sama dengan bank-bank swasta.

This thesis is based on the Decision of the Constitutional Court Number 62 / PUU-XI / 2013 which confirms the status of state assets originating from state finances and separated from the state budget to be included in the equity participation of state-owned enterprises which remain part of the state financial regime. This study addresses two main problems. First, the juridical implications of the Decision of the Constitutional Court Number 62 / PUU-XI / 2013 on the legal status of accounts receivable (non-performing loans) of state-owned banks. Second, the mechanism for resolving non-performing loans at State-Owned Banks after the Decision of the Constitutional Court Number 62 / PUU-XI / 2013. This thesis uses a normative juridical research method, ie the research refers to positive law or written legal norms.
The results of the study indicate that the Decision of the Constitutional Court Number 62 / PUU-XI / 2013 made a difference in the interpretation of the legal status of non-performing loans of state-owned banks. Thus, the Constitutional Court Decision Number 62 / PUU-XI / 2013 made uncertainty about the legal status of non-performing loans of state-owned banks and made the authority to manage non-performing loans not entirely under the authority of state-owned banks, especially in the mechanism of resolving non-performing loans through hair cut. For this reason, synchronization and harmonization of thought, interpretation and regulation of the understanding and scope of state finances are needed in legislation so that legal certainty can be created for the status and mechanism for resolving non-performing loans at state-owned banks. In addition, legislation is needed which specifically regulates the authority of state-owned banks in the settlement and elimination of non-performing loans so that later state-owned banks can implement the mechanism for solving non-performing loans with a corporate mechanism that can improve the performance of state-owned banks to be at the level of playing the same field as private banks.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imansyah Auliaputra Mahidin
"Skripsi ini membahas mengenai hubungan perkawinan dengan pengakuan anak luar kawin menurut peraturan perundang - undangan di Indonesia pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan metode kualitatif dan tipe penelitian deskriptif. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengubah ketentuan Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan sehingga anak yang dilahirkan di luar perkawinan dapat memiliki hubungan keperdataan tak hanya dengan ibu dan keluarga ibu namun juga dengan ayah dan keluarga ayah selama dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan / atau alat bukti lain mempunyai hubungan darah. Untuk dapat memiliki hubungan keperdataan dilakukan pengakuan anak luar kawin yang diatur oleh KUHPerdata, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 sebagai peraturan terbaru setelah Putusan Mahkamah Konstitusi dikeluarkan. Hasil penelitian menghasilkan kesimpulan bahwa pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, pengakuan anak luar kawin tetap harus memenuhi syarat yang terdapat dalam Pasal 49 ayat 2 Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2013 dan Hakim tidak konsisten menerapkan dasar hukum dalam mengabulkan Penetapan No. 175/Pdt.P/2015/PN.JKT.TIM.

This undergraduate thesis discusses about relation between marriage and child acknowledgment according to regulations in Indonesia after Constitutional Court Order Number 46 PUU VIII 2010. This research used normative juridical and qualitative method with descriptive as type of research. The Constitutional Court Order Number 46 PUU VIII 2010 change the condition of Article 43 verses 1 Law Number 1 Year 1974 which a child born out of lawful wedlock could have civil relationships not only with the mother and her family but also with the father and his family as long as it can be proven by science and technology and or other evidence resulting a blood relation. To acquire civil relationship, child acknowledgment could be done which is regulated under Book of the Law of Civil Law, Law Number 23 Year 2006, and Law Number 24 Year 2013 as the newest regulation after the Constitutional Court Order. The conclusions are after the Constitutional Court Number 46 PUU VIII 2010, child acknowledgment still have to qualify the term regulated by Article 49 verses 2 Law Number 24 Year 2013 and panel of Judges has been inconsistent in case of applying legal basis to grant Court Order Number 175 Pdt.P 2015 PN.JKT.TIM.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asril P.
"Penulisan tesis ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dengan data sekunder sebagai sumber datanya. Yang menjadi permasalahan adalah mengapa alat-alat berat dan alat-alat besar dikategorikan sebagai objek pajak kendaraan bermotor dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan apakah sudah tepat pajak kendaraan bermotor terhadap alat-alat berat dan alat-alat besar dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah jika dibandingkan dengan dari Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan Dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa alasan menjadikan alat-alat berat sebagai perluasan objek pajak kendaraan bermotor adalah untuk meningkatkan sumber penerimaan daerah dari sektor pajak. Jika ditinjau dari Undang-Undang Jalan dan Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Umum dengan Undang- Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah masih terdapat perbedaan definisi tentang alat berat. Timbulnya perbedaan penafsiran karena dalam Undang- Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tidak ada definisi alat berat. Dalam Undang-Undang tersebut tidak ditemukan definisi apa yang dimaksud dengan alat berat melainkan hanya mencantumkan jenis-jenis alat berat.

This writing of this thesis is using library research methods with secondary data as the source. The problem is why heavy and large equipments are categorized as the object of vehicles taxation based on Act Number 28 of 2009 about Tax and Regional Levies and Is it correct if compared to Act Number 38 of 2004 about Road and Act Number 22 of 2009 about Traffic and Road Transport.
The result study concluded that why heavy equipments are the object of taxation vehicle is to increase regional inputs from its taxation. If it is reviewed from Act of Road and Act of Traffic and Road Transport compared to Ant of Taxation and Regional Levies it has different definition on the equipments. The occurance of different point of view is that, theret is no exact definition about heavy equipment on law of taxation and regional levies. The law is only mention the types.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>