Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 197584 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Miranda Cahyeni
"Magnesium (Mg) merupakan logam ringan. Namun, magnesium dan paduannya mengalami degradasi yang sangat cepat di dalam lingkungan yang basah. Selain itu sifat film alami pada paduan magnesium sangat tipis, sehingga paduan magnesium memiliki ketahanan korosi yang sangat rendah. Hal ini menyebabkan kekuatan mekanik pada paduan magnesium mengalami penurunan. Untuk menangani masalah tersebut maka dilakukan Plasma electrolytic Oxidation (PEO) untuk meningkatkan ketahanan korosi pada paduan magnesium. Lapisan film oksida yang dihasilkan dari proses PEO bersifat tebal dan keras, namun juga memiliki pori, retakan dan lapisan yang tidak rata. Proses PEO dilakukan dengan memvariasikan waktu PEO dan arus selama PEO yang berlangsung di dalam elektrolit 0.5 M Na3PO4 pada suhu 30°C ± 1°C. PEO dilakukan dengan variasi waktu 30, 60 dan 90 detik. Ketebalan yang dihasilkan untuk masing-masing variasi waktu adalah 16,23, 27,76 dan 33,11 μm. Sedangkan untuk variasi arus 0,2, 0,3 dan 0,4 A akan dihasilkan ketebalan film oksida 32,61, 55,65 dan 66,25 μm. Untuk mengetahui laju korosi paduan magnesium yang telah diberi perlakuan PEO dilakukan dengan uji polarisasi di dalam larutan 3,5% NaCl pada suhu 30°C. Hasil uji polarisasi untuk variasi waktu menunjukkan peningkatan ketahanan korosi yang ditandai dengan kenaikan potensial korosi pada substrat, 30, 60 dan 90 detik berturut-turut adalah -1.22, -1.26, -0.75 dan -1.03 VAg/AgCl dan penurunan arus korosi berturut-turut 94,79, 11.30, 0.36 dan 0,67 μA/cm2. Sedangkan untuk variasi arus 0,2, 0,3 san 0,4 A menunjukkan kenaikan potensial korosi berturut-turut  -1,24, -1,18 dan 0,41 VAg/AgCl dan penurunan arus korosi berturut-turut adalah 5,1, 4,6 dan 4,3 μA/cm2. Hasil tersebut menunjukkan bahwa PEO dapat meningkatkan ketahanan  korosi pada paduan magnesium AZ91.

Magnesium (Mg) is a lightweight metal. However, Magnesium and its alloys experience very rapid degradation in wet environments. In addition, the natural film properties of magnesium alloys are very thin, so magnesium alloys have very low corrosion resistance. This causes the mechanical strength of the magnesium alloy to decrease. To deal with these problems, a Plasma Electrolytic Oxidation (PEO) was performed to improve corrosion resistance in magnesium alloys. The oxide film layer produced from the PEO process is thick and hard, but also has pores, cracks and uneven layers. The PEO process is carried out by varying the time of the PEO and the current during the PEO that takes place in a 0.5 M Na3PO4 electrolyte at a temperature of 30 °C ± 1 °C. PEO is done with a time variation of 30, 60 and 90 seconds. The thickness produced for each time variation is 16.23, 27.76 and 33.11 μm. As for the current variations of 0.2, 0.3 and 0.4 A, an oxide film thickness of 32.61, 55.65 and 66,25 μm  To determine the corrosion rate of magnesium alloys that have been treated with PEO is done by polarization testing in a solution of 3.5% NaCl at 30 °C. The polarization test results for time variation show an increase in corrosion resistance which is characterized by an increase in corrosion potential on the substrate, 30, 60 and 90 seconds respectively -1.22, -1.26, -0.75 and -1.03 VAg/AgCl and a decrease in corrosion currents respectively 94.79, 11.30, 0.36 and 0.67 μA/cm2. As for the current variations of 0.2, 0.3 and 0.4 A, it shows a increase in corrosion potential of -1.24, -1.18 and 0.41 VAg/AgCl and an decrease in corrosion current respectively 5,1, 4,6 dan 4,3 μA/cm2. These results indicate that PEO can increase corrosion resistance in AZ91 magnesium alloys."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asweda Luluk Saptaningrum
"Magnesium dan paduannya telah digunakan di berbagai industri karena memiliki rasio kekuatan terhadap berat yang tinggi, modulus elastisitas dan densitas yang rendah, serta sifat mampu bentuk dan manufaktur yang baik. Namun, magnesium memiliki ketahanan korosi dan aus yang rendah. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan rekayasa permukaan pada paduan magnesium. Plasma Electrolytic Oxidation (PEO) menghasilkan lapisan keramik oksida yang dapat meningkatkan ketahanan korosi dan aus paduan magnesium. Jenis elektrolit yang digunakan karakteristik dan waktu hidup plasma. Dalam penelitian ini, proses PEO dilakukan pada paduan AZ91 dalam elektrolit berbasis campuran silikat, fosfat, dan hidroksida yaitu Na3PO4, Na2SiO3, dan KOH. Proses PEO dilakukan dengan menggunakan rapat arus konstan sebesar 533 A/m2 selama 10 menit. Parameter proses tersebut dipilih untuk memperlama waktu hidup plasma. Pada penelitian sebelumnya, plasma hanya dapat hidup selama 2 menit. Hasil analisis SEM-EDS menunjukkan bahwa lapisan PEO yang dihasilkan memiliki dua tipe warna, yaitu abu-abu dan putih dengan morfologi dan komposisi berbeda. Bagian putih memiliki morfologi yang tidak seragam dan banyak retakan, dibandingkan dengan bagian abu-abu yang memiliki sedikit pori dan retakan. Ketebalan lapisan yang terbentuk sebesar 53 ± 3 μm. Berdasarkan hasil analisis fasa XRD, terdapat fasa kristal dan amorf Mg2SiO4, Mg3(PO4)2, dan MgO pada lapisan PEO. Hasil tersebut dikonfirmasi oleh hasil analisis EDS dengan terdeteksinya unsur-unsur terkait. Bagian putih memiliki konsentrasi Si yang lebih tinggi dibandingkan bagian abu-abu. Bagian abu-abu memiliki daya tahan abrasi yang lebih tinggi dibandingkan lapisan putih yang ditunjukkan dari nilai spesifikasi abrasinya, yaitu 0,684 × 10-5 mm3/mm dibanding 1,48 × 10-5 mm3/mm. Hasil karakterisasi dan uji mekanik menunjukkan lapisan PEO yang terbentuk tebal dan memiliki ketahanan aus yang baik karena plasma dapat hidup sampai 10 menit.

Magnesium and its alloys have been used in various industries due to their high strength-to-weight ratio, low modulus of elasticity and density, as well as good formability and manufacturability. However, magnesium has low corrosion resistance and wear resistance. To overcome these challenges, surface engineering is required for magnesium alloys. Plasma Electrolytic Oxidation (PEO) produces a ceramic oxide layer that can enhance the corrosion resistance and wear resistance of magnesium alloys. The type of electrolyte used determines the characteristics and lifetime of the plasma. In this study, the PEO process was performed on the AZ91 alloy using an electrolyte based on a mixture of silicate, phosphate, and hydroxide, namely Na3PO4, Na2SiO3, and KOH. The PEO process was carried out using a constant current density of 533 A/m2 for 10 minutes. These process parameters were chosen to prolong the plasma lifetime. In previous studies, the plasma could only last for 2 minutes. The results of SEM-EDS analysis showed that the produced PEO layer had two different colors, namely gray and white, with different morphologies and compositions. The white part exhibited non-uniform morphology and numerous cracks compared to the gray part, which had fewer pores and cracks. The thickness of the formed layer was measured to be 53 ± 3 μm. Based on XRD phase analysis, crystal and amorphous phases of amorf Mg2SiO4, Mg3(PO4)2, and MgO were detected in the PEO layer. These findings were confirmed by EDS analysis, which detected related elements. The white part had a higher concentration of Si compared to the gray part. The gray part exhibited higher abrasion resistance compared to the white layer, as indicated by the abrasion specification values, which were 0,684 × 10-5 mm3/mm and 1,48 × 10-5 mm3/mm, respectively. The characterization and mechanical testing results indicated that the formed PEO layer was thick and had good wear resistance due to the plasma lifetime reaching 10 minutes."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia;Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia;Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia;Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia;Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Reynaldo Putrayadi
"Magnesium (Mg) merupakan logam ringan yang memiliki beragam aplikasi, termasuk dalam industri otomotif dan sebagai bahan implan biodegradable. Meskipun penting, kelemahan utama magnesium adalah ketahanan korosinya yang rendah terutama dalam lingkungan yang mengandung klorida. Oleh karena itu, perbaikan sifat korosi magnesium diperlukan melalui rekayasa permukaan. Salah satu metode yang efektif dalam rekayasa permukaan magnesium adalah metode plasma electrolytic oxidation (PEO). Penelitian ini bertujuan untuk memahami pengaruh perbedaan kation yang digunakan sebagai elektrolit untuk PEO terhadap sifat mekanik dan ketahanan korosi lapisan PEO pada paduan magnesium AZ31. Elektrolit yang dimaksud adalah KOH dan NaOH. Dalam penelitian ini, dilakukan proses PEO pada paduan magnesium AZ31 menggunakan larutan basa seperti KOH, NaOH, dan campuran KNa. Proses ini menggunakan rapat arus 1000 A/m2 pada suhu 30ºC dalam waktu 10 menit. Sampel yang dihasilkan kemudian dianalisis menggunakan beberapa metode, termasuk pengamatan morfologi dan komposisi dengan SEM-EDS, uji mekanik untuk mengukur ketahanan aus dan kekerasan, serta eksperimen elektrokimia dengan EIS dan PDP. Larutan KOH, NaOH, dan KNa dapat meningkatkan ketahan korosi dan sifat mekanik lapisan PEO pada paduan magnesium AZ31. Data uji korosi menunjukkan bahwa larutan KOH memiliki tingkat korosi paling tinggi dibandingkan dengan NaOH dan KNa dengan nilai rapat arus dan resistansi polarisasi sebesar 7,31 × 10-5 A/cm2 dan 280 Ω.cm2 . Uji mekanik mengindikasikan peningkatan kekerasan dan ketahanan aus pada sampel yang diuji dengan larutan campuran KNa dengan nilai kekerasan sebesar 71 Hv dan nilai spesifik abrasi sebesar 9,07 × 10-6 mm3 /mm. Hal ini disebabkan oleh nilai at% dari unsur O pada elektrolit KNa lebih tinggi dibandingkan elektrolit NaOH dan KOH.

Magnesium (Mg) is a lightweight metal with diverse applications, including the automotive industry and as a material for biodegradable implants. Despite its significance, magnesium's primary weakness lies in its low corrosion resistance, particularly in chloride-containing environments. Therefore, improving magnesium's corrosion resistance is essential through surface engineering. One effective method for surface engineering of magnesium is the Plasma Electrolytic Oxidation (PEO) technique. This research aims to understand the influence of different cations used as electrolytes for PEO on the mechanical properties and corrosion resistance of PEO coatings on the AZ31 magnesium alloy. The electrolytes in focus are KOH and NaOH. In this study, the PEO process was conducted on the AZ31 magnesium alloy using basic solutions such as KOH, NaOH, and a mixture of KNa. The process employed a current density of 1000 A/m2 at a temperature of 30ºC for 10 minutes. The produced samples were then analyzed using various methods, including morphology and composition observation with SEM-EDS, mechanical testing for wear resistance and hardness measurement, as well as electrochemical experiments using EIS and PDP. KOH, NaOH, and KNa solutions successfully enhanced the corrosion resistance and mechanical properties of PEO coatings on the AZ31 magnesium alloy. Corrosion test data indicated that the KOH solution exhibited the highest corrosion rate compared to NaOH and KNa, with corrosion current density and polarization resistance values of 7,31 × 10-5 A/cm2 and 280 Ω.cm2 , respectively. Meanwhile, mechanical tests indicated improved hardness and wear resistance in samples treated with the KNa mixed solution, showing a hardness value of 71 Hv and specific abrasion value of 9,07 × 10-6 mm3 /mm. This can be attributed to the higher atomic percentage of oxygen in the KNa electrolyte compared to NaOH and KOH."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alya Putri Khairunisa
"Penggunaan paduan magnesium sebagai material bio-metalik memiliki potensi untuk terurai secara alami dalam cairan tubuh dan berperan penting dalam struktur tulang. Dalam aplikasinya, modifikasi permukaan paduan magnesium diperlukan untuk meningkatkan sifat mekanik dan anti-korosinya. Salah satu metode pelapisan menjanjikan adalah Plasma Electrolytic Oxidation (PEO). Pada penelitian ini, dilakukan pelapisan paduan magnesium AZ31 dengan metode PEO menggunakan pendekatan one-step dan two-step. Parameter ditetapkan sama dalam penggunaan kedua metode ini yaitu meliputi waktu, rapat arus, sumber tegangan, dan suhu. Pada metode two-step PEO, lapisan HA (hidroksiapatit) disisipkan ke dalam lapisan oksida yang terbentuk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode two-step PEO menghasilkan lapisan dengan karakteristik lebih baik dibandingkan metode one-step PEO. Lapisan two-step PEO memiliki persentase pori lebih kecil, ketebalan lapisan lebih besar, dan nilai spesifik abrasi lebih rendah. Selain itu, fasa kristalin baru, yaitu Ca5(PO4)3OH atau HA, terdeteksi dalam lapisan two-step PEO. Penggunaan metode two-step PEO dengan penambahan hidroksiapatit memberikan hasil lebih baik dalam hal karakterisasi morfologi dan sifat ketahanan aus. Dalam konteks aplikasi biomedis, hal ini menunjukkan potensi penggunaan paduan magnesium dengan metode pelapisan two-step PEO sebagai material cocok untuk aplikasi tulang dan gigi manusia.

The use of magnesium alloy as a bio-metallic material has the potential to decompose naturally in body fluids and plays an essential role in bone structure. In its application, surface modification of magnesium alloy is required to improve its mechanical and anti-corrosion properties. One of the promising coating methods is Plasma Electrolytic Oxidation (PEO). In this study, the coating of magnesium alloy AZ31 was carried out using a one-step and two-step approach using the PEO method. The parameters used in both methods include the same time, current density, voltage source, and temperature. In the two-step PEO method, a HA (hydroxyapatite) layer is inserted into the formed oxide layer. The results showed that the two-step PEO method produced layers with better characteristics than the one-step PEO method. The PEO two-step coating has a smaller pore percentage, a larger layer thickness, and a lower abrasion-specific value. In addition, a new crystalline phase, namely Ca5(PO4)3OH or HA, was detected in the two-step PEO layer. The two-step PEO method with hydroxyapatite adds better morphology characterization and wear resistance properties. This demonstrates the potential use of magnesium alloys coated by the two-step PEO method as suitable materials for human bone and tooth applications in biomedical applications."
Depok: Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jordan Andrean Martin
"Paduan Feronikel (FeNi) merupakan salah satu produk utama yang dihasilkan dalam pengolahan bijih nikel laterit. Negara Indonesia merupakan salah satu negara dengan deposit nikel besar dalam bentuk bijih laterit. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kadar senyawa Magnesium melalui proses leaching menggunakan larutan asam klorida dengan variasi konsentrasi larutan dan waktu proses leaching. Sampel yang digunakan berupa Slag Feronikel yang telah diberikan penambahan aditif Na2CO3 dan telah dipanggang dengan temperatur 1100oC. Penelitian dilakukan dengan melakukan proses leaching sampel menggunakan larutan HCl 4M dan 6M. Proses leaching untuk setiap konsentrasi larutan kemudian divariasikan waktu proses leaching yang digunakan yaitu 2, 4, dan 6 Jam. Setelah proses leaching mencapai waktu yang ditentukan, dilakukan proses penyaringan untuk memisahkan filtrat dan residu yang dihasilkan. Pada filtrat hasil leaching dilakukan karakterisasi ICP-OES untuk mengidentifikasi unsur-unsur yang terlarut pada filtrat selama proses leaching berlangsung. Sedangkan residu hasil leaching dilakukan karakterisasi SEM/EDS untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada residu setelah proses leaching. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa adanya peningkatan kadar Magnesium dari kadar sebelum dilakukan proses leaching. Proses leaching menggunakan larutan HCl 6M menghasilkan peningkatan kadar Magnesium yang lebih besar. Selain itu, waktu proses leaching yang digunakan juga berpengaruh terhadap hasil yang dilakukan, dimana proses leaching Roasted Slag Feronikel memiliki waktu optimal untuk proses ekstraksi senyawa Magnesium. Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa larutan asam klorida (HCl) yang digunakan dalam proses leaching Roasted Slag Feronikel dapat meningkatkan kadar senyawa Magnesium pada filtrat. Proses leaching yang paling optimal pada penelitian ini menggunakan larutan HCl 6M selama 4 Jam, dengan persentase leaching sebesar 49,05%.

Feronickel Alloy (FeNi) is one of the main products produced in the processing of nickel laterite ore. Indonesia is one of the countries with a large nickel deposit in the form of laterite ore. This research aims to increase the levels of Magnesium compounds through the leaching process using hydrochloric acid solutions with varying solution concentrations and leaching process times. The sample used is the Feronickel Slag which has been given the addition of the Na2CO3 additive and has been baked at an 1100oC temperature. Research is conducted by conducting leaching process samples using a solution of HCl 4M and 6M. The leaching process for each solution concentration is then varied when the leaching process used are 2, 4, and 6 hours. After the leaching process reaches the specified time, the filtering process is performed to separate the filtrate and the resulting residue. In filtrate, leaching is performed ICP-OES characterization to identify the dissolved elements of the filtrate during the progress of the leaching process. Meanwhile, leaching residue is performed SEM/EDS characterization to know the changes occurring in residue after leaching process. The results of this study showed that the presence of increased levels of Magnesium from levels prior to leaching processes. The leaching process using a 6M HCl solution produces a greater increase in Magnesium levels. In addition, the leaching process time used also affects the results, where the leaching process of Roasted Slag Feronickel has the optimal time for the extraction process of Magnesium compounds. Based on the results of this study, it can be concluded that a solution of hydrochloric acid (HCl) used in the leaching process of Roasted Slag Feronikel can increase the levels of Magnesium compounds in filtrate. The most optimal leaching process in this study was using an 6M HCl solution for 4 hours, with a leaching percentage of 49,05%."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Pengetahuan mengenai manfaat klinis kadar magnesium serum baru dimulai akhir-akhir ini sering dengan adanya analisis dan penemuam bahwa kadar magnesium abnormal pada gangguan kardiovaskuler,metabolik dan neuromuskuler."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Suzanna Immanuel
"Pengetahuan mengenai manfaat klinis kadar magnesium serum baru dimulai akhir-akhir ini setting dengan adanya analisis dan penemuan bahwa kadar magnesium abnormal pada gangguan kardiovaskuler, metabolik dan neuromuskuler. Meskipun kadarnya di serum lidak menggambarkan kadar magnesium tubuh, tetapi saat ini yang dikenal Iuas penggunaannya hanya pemeriksaan kadar magnesium serum. Magnesium eritrosil saat ini dinilai lebih sensitif dari pada magnesium serum, karena magnesium eritrosit dapat mewakili penilaian status magnesium intrasel. Menurun NCCLS (National Committee for Clinical Laboratory Standards) setiap laboratorium dianjurkan memiliki nilai rujukan sendiri untuk pemeriksaan yang dikerjakannya, termasuk juga pemeriksaan magnesium. Nilai rujukan yang didapat sesuai dengan populasi dan dipengaruhi oleh metode serta teknik pemeriksaan. Penelitian ini bertujuan untuk menidapatkan nilai rujukan magnesium dalamn serum dan plasma serta mendapatkan nilai rujukan magnesium intrasel yaitu magnesium eritrosit dengan metode pemeriksaan langsung dan mengtlahui perbandingan hasil pemeriksaan antara magnesium serum dengan plasma. Bahan darah diambii dari 114 peserta donor darah di Unit Transfusi Darah Daerah (UTDD) Budhyarto PMl DKl Jakarta, terdiri dari 57 orang pria dan 57 orang wanita berusia antara 17-65 tahun, secara klinis sehat menurut kriteria donor darah PMl. Darah diambii dari selang blood set, langsung dimasukkan 4 mL ke dalam tabling vakum tanpa antikoagulan untuk pemeriksaan magnesium serum dan 3 mL kedalam tabling vakum dengan antikoagulan lithium heparin untuk pemeriksaan magnesium eritrosit dan plasma. Penetapan kadar magnesium dilakukan dengan alat kimia klinis olomatis Hitachi 912 dengan metode Xylidil Blue dengan prinsip kolorimetri.Pada penelitian ini didapatkan tidak ada perbedaan bermakna untuk hasil pemeriksaan magnesium ekstrasel memakai bahan serum maupun plasma heparin. Nilai rujukan untuk magnesium serum atau plasma adalah 1.30 - 2.00 mEtq/L dan magnesium eritrosit adalah 4.46-7.10 mEq/L. (Med J Iiidones 2006; 15:229-235).

The interest in the clinical importance of serum magnesium level has just recently begun with the analysis and findings of abnormal magnesium level in cardiovascular, metabolic and neuromuscular disorder. Although the serum level does not reflect the body magnesium level, but currently, only serum magnesium determination is widely used. Erylhrocyte magnesium is considered more sensitive than serum magnesium as it reflects intracelhdar magnesium status. According to NCCLS (National Committee for Clinical Laboratory Standards) every laboratory is recommended to have its own reference range for the tests it performs, including magnesium determination. The reference range obtained is appropriate for the population and affected by the method and technique. This study aimed to find the reference range of serum and plasma magnesium and also intracelhdar magnesium i.e. erythrocyte magnesium by direct method, and compare the results of serum and plasma magnesium. Blood was taken from 114-blood donor from Unit Transfusi Darah Daerah (UTDD) Budhyarto Palang Merah Indonesia (PMl) DKl Jakarta, consisted of 57 male and 57 female, aged 17 - 65 years, clinically healthy according to PMl donor criteria. Blood was taken from blood set, collected into 4 ml vacuum tube without anticoagulant for serum magnesium determination and 3 ml vacuum tube with lithium heparin for determination of erythrocyte and plasma magnesium Determination of magnesium level was performed with clinical chemistry auto analyzer Hitachi 912 by Xylidil Blue method color/metrically. This study showed no significant difference between serum and heparinized plasma extra cellular magnesium. The reference range for serum or plasma magnesium was 1.30 - 2.00 mEq/L and for erythrocyte magnesium was 4.46 - 7.10 mEq/L (MedJIndones 2006; 15:229-35)."
[place of publication not identified]: Medical Journal of Indonesia, 2006
MJIN-15-4-OctDec2006-229
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Lukman Hadi Surya
"Proses elektrolisis temperatur tinggi telah diaplikasikan untuk mendapatkan bubuk magnesium dari hidromagnesit dan magnesium oksida sebagai material umpan. Dalam proses elektrolisis, garam MgCl2 hidrat dipanaskan hingga 750 °C - 850 °C hingga menjadi lelehan elektrolit. Beda tegangan antara elektroda sebesar 0 - 12 V diberikan untuk mendapatkan bubuk magnesium. Ditemukan bahwa bubuk magnesium terbentuk pada katoda Pt sebagaimana warna dari lelehan garam berubah dari putih menjadi abu-abu seperti warna Mg. Pembentukan Mg juga diindikasikan dengan kenaikan arus pada pembacaan amperemeter. Sayangnya, proses dilakukan pada kondisi udara terbuka dan kemudian bubuk Mg segera teroksidasi menjadi bubuk MgO. Disimpulkan meskipun tidak ada bukti puncak-puncak difraksi dari Mg pada pola XRD dari sampel, bubuk Mg berhasil dihasilkan selama proses. Kata kunci: elektrolisis, magnesium.

High temperature electrolysis process has been applied to obtain magnesium powders from hydromagnesite and magnesium oxide as the feed materials. In the electrolysis process, hydrat MgCl2 salts were heated to 750 °C - 850 °C towards molten electrolyte. Voltage between electrodes of 0 - 12 V was then applied for obtaining Mg powders. It was found that Mg powders formed in the Pt cathode as color of molten salts changed from white to grey which is similar to that of Mg. Formation of Mg was also indicated by a current rise as read in amperemeter. Unfortunately, the process was carried out under open atmosphere and thus Mg powders were immediately oxidized to MgO powders. It is concluded that despite no evidence of diffraction peaks for Mg in XRD pattern of the sample, the Mg powders were successfully produced during process. Keywords: electrolysis, magnesium."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2008
S29012
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yuni Purnamasari
"Magnesium dan paduannya memiliki sifat biokompatibilitas yang baik dan karakteristik mirip dengan tulang, sehingga baik digunakan sebagai implan tulang di bidang ortopedi. Namun, reaktivitas yang tinggi menyebabkan magnesium dan paduannya mudah mengalami korosi. Salah satu modifikasi permukaan untuk meningkatkan ketahanan korosi pada magnesium dan paduannya adalah plasma elektrolisis atau disebut juga plasma electrolytic oxidation (PEO). Meningkatnya ketahanan korosi yang drastis pada paduan Mg menyebabkan sulitnya terbentuk mineral tulang apatit. Pada penelitian ini, proses PEO pada paduan Mg seri AZ31B dimodifikasi dengan penambahan serbuk nano apatit di dalam elektrolit Na3PO4-KOH. Penyisipan apatit di dalam lapisan diamati dengan memvariasikan waktu proses PEO yaitu 10, 15, dan 20 menit. Sel elektrolisis diberi perlakuan ultrasonikasi selama proses PEO (UPEO) untuk meningkatkan jumlah penyisipan apatit ke dalam lapisan. Berdasarkan hasil XRD, fasa Mg, Mg3(PO4)2, dan MgO terdeteksi pada semua lapisan, dan tambahan fasa Ca5(PO4)3OH terdeteksi pada lapisan UPEO. Hal ini didukung dengan komposisi Ca yang lebih tinggi pada hasil analisis EDS di lapisan UPEO dibandingkan lapisan PEO. Perlakuan ultrasonikasi menghasilkan permukaan lapisan dengan porositas 44% lebih tinggi. lapisan PEO dan UPEO menghasilkan kekerasan 3-5 kali dari substrat. Uji polarisasi menunjukkan nilai rapat arus korosi (Icorr) terendah dimiliki oleh sampel yang dilapisi selama 20 menit. Demikian pula data EIS menunjukkan nilai hambatan total (Rp) paling tinggi pada sampel yang dilapisi selama 20 menit. Analisis EDS setelah uji bioaktivitas di larutan ringer laktat termodifikasi, konsentrasi Ca pada lapisan PEO dan UPEO meningkat.

Magnesium and its alloys exhibit good biocompatibility and similar characteristics to bone, making them suitable for use as bone implants in the orthopedic field. However, its high reactivity causes magnesium and its alloys easily corrode. One of the surface modifications to increase the corrosion resistance of magnesium and its alloys is plasma electrolysis or also known as Plasma Electrolytic Oxidation (PEO). The drastic increase in corrosion resistance in Mg alloys makes it difficult to form apatite bone mineral. In this study, the PEO process in the Mg alloy AZ31B series was modified by adding apatite nanopowder in the Na3PO4-KOH electrolyte. The insertion of apatite in the layer was observed by varying the PEO processing time, namely 10, 15, and 20 minutes. The electrolyzed cell was ultrasonicated during the PEO (UPEO) process to increase the amount of apatite insertion into the coating. Based on XRD results, Mg, Mg3(PO4)2, and MgO phases were detected in all layers, and additional Ca5(PO4)3OH phases were detected in the UPEO layer. This is supported by the higher Ca composition in the EDS analysis results in the UPEO layer compared to the PEO layer. The ultrasonication treatment resulted in a coating surface with 44% higher porosity. PEO and UPEO coatings produce a hardness of 3-5 times that of the substrate. The polarization test showed that the lowest corrosion current density (Icorr) was owned by the coated sample for 20 minutes. Similarly, the EIS data showed the highest total resistance value (Rp) in the samples that were coated for 20 minutes. EDS analysis after the bioactivity test in modified Ringer's lactate solution, the concentration of Ca in the PEO and UPEO layers increased compared to before the test."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arfan Badeges
"Dalam penatalaksanaan trauma maksilofasial diperlukan material implan sampai terjadi penyembuhan tulang. Magnesium memiliki potensi sebagai material implan tulang, dengan syarat memiliki laju biodegradasi yang baik. Proses equal channel angular pressing (ECAP) merupakan salah satu metode untuk memperbaiki sifat biodegradasi dari material logam.
Tujuan: Mengkaji proses biodegradasi magnesium ECAP pada cairan fisiologis.
Metode: Laju biodegradasi dan tingkat evolusi hidrogen didapatkan dari uji perendaman pada larutan DMEM dengan metode weight loss dan spektrometri dengan menggunakan dua belas spesimen magnesium ECAP dan enam spesimen magnesium murni sebagai kontrol. Pola biodegradasi didapatkan dari analisis struktur permukaan mikro. Analisis data menggunakan uji T independen.
Hasil: Terdapat perbedaan yang signifikan antara laju biodegradasi dan tingkat evolusi hidrogen antara magnesium ECAP dengan magnesium murni. Magnesium ECAP memiliki pola biodegradasi yang homogen.
Kesimpulan: Magnesium ECAP memiliki laju biodegradasi dan tingkat evolusi hidrogen yang lebih baik dibandingkan dengan magnesium murni.

Implant material are used in the management of maxillofacial trauma until bone healing occur. Magnesium has the potential to be a bone implant material, but it requires a good biodegradation rate. The process of equal channel angular pressing (ECAP) is a method to improve the biodegradation properties of metallic materials.
Purpose: To observe the biodegradation process of magnesium ECAP in physiological fluid.
Method: The biodegradation and hydrogen evolution rate were obtained from immersion test in a DMEM solution, using weight loss and spectrometric method within twelve magnesium ECAP specimens and six specimens of pure magnesium as a control. Biodegradation pattern were obtained from the micro surface structures analysis. The result was statistically analyzed with independent T test.
Results: There were significant difference between the biodegradation and hydrogen evolution rate between magnesium ECAP and pure magnesium. Magnesium ECAP has a homogeneous biodegradation pattern.
Conclusion: Magnesium ECAP has better biodegradation and hydrogen evolution rate than pure magnesium.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2012
T33021
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>