Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 181617 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Henrique Da Silva
"Perempuan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang ditinggal suami (mengalami penelantaran), menjadi bagian masyarakat yang terpinggirkan dalam berbagai program pemberdayaan di Timor-Leste. Sekretaria Estadu Igualdade no Inkluzaun (SEII) berupaya membantu korban KDRT. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berperspektif gender. Subjek penelitian berjumlah 9 orang terdiri atas 3 perempuan korban KDRT (bukan penerima program SEII), 3 anggota kelompok perempuan penerima manfaat program pemberdayaan ekonomi SEII, 2 subjek dari kementrian (SEII dan Kementerian Sosial Timor-Leste), serta seorang subjek dari NGO/LSM (Fokupers). Pengambilan data dilakukan di 3 desa di Timor-Leste yaitu suco Lau-hata, Maumeta, dan Vaviquinia, sebagai desa-desa yang menjadi bagian dari sasaran program SEII. Analisis pada penelitian ini didukung pemikiran atau teori Eileen McDonagh tentang Gender and State: Acomodating and Inclusion, Regina Frey tentang Paradox of Gender Budgeting, dan alat analisis gender model Sarah Longwe terkait perencanaan program pemberdayaan perempuan. Temuan penelitian menunjukkan bahwa untuk merealisasikan kebijakan, program dan anggaran yang baik dibutuhkan pengetahuan dan pemahaman tentang langkah-langkah perencanaan Anggaran Responsif Gender (ARG) yang didukung penggunaan alat analisis gender. Program pemberdayaan juga tidak selalu hanya menyasar kepada kelompok, namun perlu memikirkan program untuk individu perempuan korban KDRT yang berada dalam situasi atau kondisi khusus.

Women victims of Domestic Violence (DV) who are neglected and left by their husbands have become part of society who are marginalized in various empowerment programs in Timor-Leste. Sekretaria Estadu Igualdade no Inkluzaun (SEII) seeks to help victims of domestic violence through women's economic empowerment programs, using a Gender Responsive Budgeting (ARG). This research uses a qualitative approach with a gender perspective. The research subjects were 9 people consisting of 3 women victims of domestic violence (not recipients of the SEII program), 3 members of the SEII economic empowerment program beneficiary women group, 2 subjects from the ministry (SEII and the Ministry of Social Timor-Leste), and a subject from an NGO (Fokupers). Data were collected in 3 villages in Timor-Leste, namely Lau-hata, Maumeta, and Vaviquinia, as these villages have been part of the SEII program targets. The analysis of data in this study is supported by Eileen McDonagh's theory on Gender and State, Regina Frey's theory on the Paradox of Gender Budgeting, and Sarah Longwe's model of gender analysis tools related to program planning. The research findings show that in order to implement sound policies, programs and budgets, knowledge and understanding of the planning steps for Gender Responsive Budgeting (ARG) are needed, which are supported by the use of gender analysis tools. Empowerment programs also do not always only target groups, but need to think about programs for individual women victims of domestic violence who are in special situations or conditions."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sibarani, Ramadhanya Elwinne Huzaima
"Keterwakilan perempuan di parlemen merupakan salah satu aspek penting dalam meningkatkan kesetaraan gender di sebuah negara. Per pemilihan anggota parlemen 2019, keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) baru mencapai 21.4%. Angka tersebut berada jauh di bawah Timor-Leste dan Finlandia yang masing-masing memiliki 40% dan 47% keterwakilan perempuan di parlemen nasionalnya. Dalam rangka meningkatkan angka keterwakilan perempuan di parlemen, terdapat sebuah konsep yang disebut dengan kuota pemilihan perempuan. Untuk itu, penelitian ini mencoba membandingkan bagaimana kuota pemilihan perempuan diatur di Indonesia, Timor-Leste, dan Finlandia. Selain itu, penelitian ini juga meninjau kondisi keterwakilan perempuan di parlemen ketiga negara. Tujuannya adalah untuk melihat faktor-faktor yang dimiliki oleh Timor-Leste dan Finlandia, namun tidak dimiliki oleh Indonesia, yang menyebabkan kedua negara tersebut mampu memiliki keterwakilan perempuan di parlemen yang mumpuni. Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka dan wawancara dalam pengumpulan data. Kemudian, teori utama yang digunakan untuk analisis adalah Teori Keterwakilan yang dicetuskan oleh Hanna Pitkin, secara spesifik mengenai keterwakilan deskriptif dan substantif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dari segi keterwakilan deskriptif, Indonesia kekurangan karena kuota pemilihan perempuan dalam bentuk nomor urut tidak berjalan dengan maksimal; serta partisipasi politik perempuan yang kurang, terutama karena partai politik di Indonesia tidak menerapkan party quotas. Sementara, dari segi keterwakilan substantif, Timor-Leste dan Finlandia sama-sama unggul disebabkan oleh berjalannya komunikasi dengan masyarakat sipil dan kuatnya peran kaukus perempuan parlemen. Dari sana, dirumuskan beberapa strategi dalam rangka peningkatan keterwakilan perempuan di DPR RI, yakni peningkatan partisipasi politik perempuan, pembenahan kuota pemilihan perempuan berupa nomor urut, pembukaan ruang komunikasi yang besar antara anggota parlemen perempuan dengan masyarakat sipil, dan penguatan peran kaukus perempuan parlemen di dalam DPR RI. Terakhir, strategi yang tidak kalah penting adalah dengan memberikan edukasi politik terhadap perempuan di seluruh negeri.

Women’s representation in parliament is an important aspect in improving gender equality in a country. As of the 2019 parliamentary elections, women’s representation in the Parliament of the Republic of Indonesia (DPR RI) has only reached 21.4%. This figure is far below Timor-Leste and Finland, which respectively have 40% and 47% representation of women in their national parliaments. In order to increase the number of women’s representation in parliament, there is a concept called women's electoral quota. For this reason, this study attempts to compare how women’s electoral quotas are regulated in Indonesia, Timor-Leste and Finland. In addition, this study also reviews the condition of women’s representation in the parliaments of the three countries. The aim is to look at the factors that are owned by Timor-Leste and Finland, but not owned by Indonesia, which causes these two countries to be able to have adequate women’s representation in parliament. This research uses literature study and interview methods in collecting data. Then, the main theory used for analysis is the Representative Theory initiated by Hanna Pitkin, specifically regarding descriptive and substantive representation. The results of this study indicate that in terms of descriptive representation, Indonesia is lacking because the women’s electoral quota in the form of serial numbers does not work optimally; and women’s less political participation, especially because political parties in Indonesia do not apply party quotas. Meanwhile, in terms of substantive representation, Timor-Leste and Finland are both superior due to ongoing communication with civil society and the strong role of the women’s parliamentary caucus. From there, several strategies were formulated in the context of increasing women’s representation in the DPR RI, namely increasing women’s political participation, reforming women’s election quotas in the form of serial numbers, opening large communication spaces between women parliamentarians and civil society, and strengthening the role of women’s parliamentary caucus in DPR RI. Finally, an equally important strategy is to provide political education to women throughout the country."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Odilia Das Dores Ung Martins
"Kompleksitas Pencalonan dan Pemilihan Kepala Desa dan Implikasinya pada keterpilihan ldquo;Candidata Feto Chefi Suco rdquo; Perempuan Calon Kepala Desa . Studi Kasus di Desa Ma rsquo;abat, Aiteas, dan Ailili ndash; Distrik Manatuto ndash; Timor Leste.Banyak calon kepala desa perempuan gagal terpilih menjadi Kepala Desa di Timor Leste, merupakan kenyataan yang memprihati kan bagi perempuan dalam persaingan meraih posisi pengambilan keputusan di tingkat Desa. Penelitian ini berfokus pada perempuan dalam pemilihan kepala desa yang berlangsung di Distrik Manatuto. Sebagai studi kasus, penelitian ini mengangkat pengalaman lima perempuan calon kepala desa yang gagal pada pemilu 2016 di Desa Ma rsquo;abat, Aiteas, dan Ailili dengan pendekatatan penelitian kualitatif berperspektif feminis. Tujuan penelitian ini untuk mengkaji kegagalan perempuan calon kepala desa dalam pencalonan dan pemilihan kepala desa di Distrik Manatuto. Penelitian ini menghasilkan temuan sebagai berikut. Pertama, pelaksanaan pemilihan desa tidak sesuai dengan Undang-Undang No.9/2016, tentang Pemilihan desa. Pihak penyelenggara tidak netral dalam menjalankan tugas mereka, serta partai politik tidak mendukung perempuan dalam pencalonan diri menjadi kepala desa. Kedua, kuatnya pengaruh budaya yang menghambat pada pemilihan kepala desa di Timor Leste dan adanya pengaruh lingkungan/masyarakat yang patuh mengikuti himbauan tokoh adat untuk tidak memilih perempuan menjadi kepala Desa. Kata Kunci: perempuan kepala desa, kompleksitas, pencalonan, pemilihan kepala desa, patriarki.

The complexities of nominations and elections of village chiefs and their implications on the elections of women Village Chief Candidates. A case study in Ma 39 abat, Aiteas and Ailili Villages ndash the Municipality of Manatuto ndash Timor Leste. Many women village chief candidates failed in the village chief elections or were not elected to become village chiefs in Timor Leste is a fact that women are apprehensive about competition to gain decision making positions at the village level. This research focused on women in the elections of village chiefs in the Municipality of Manatuto. As a case study, this research raised the experiences of five women village candidates who failed in the 2016 elections in the villages of Ma 39 abat, Aiteas and Ailili, and the research applied a qualitative research with feminist perspectives. The purpose of this research was to examine the failure of women candidates for village chiefs in the village chief elections in Manatuto Municipality. This research resulted the following findings. First, the implementation of village election was not in compliance with the Law No. 9 2016 about Village Election. The Electoral body was not neutral in performing their duties, and lack of endorsement from political parties. Second, there were strong cultural influences impeding the village chief election in Timor Leste and there were influences of the environmental factors society which tended to dutifully follow the appeal from the traditional figures not vote for women to become the village chiefs. Keywords Women village chiefs, complexities, nomination, village chief elections, patriarchy."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T51353
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Quamila
"Wilayah perbatasan memiliki karakteristik yang berbeda sehingga strategi pembangunan juga berbeda. Banyak fakta menunjukkan bahwa daerah perbatasan cenderung tertinggal, miskin dan memiliki keterbatasan akses maupun pelayanan publik. Penelitian ini mencoba mengidentifikasi permasalahan utama apa saja yang dihadapi di perbatasan darat Indonesia. Berdasarkan identifikasi tersebut dapat ditentukan prioritas strategi kebijakan pembangunan ekonomi yang mampu mengatasinya.
Penulis menggunakan metode AHP (Analytical Hierarchy Process) untuk menjawab pertanyaan penelitian yang diajukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masalah kesejahteraan, khususnya kemiskinan menjadi permasalahan utama perbatasan darat Indonesia. Oleh karenanya kebijakan diarahkan untuk memperbaiki kesejahteraan perbatasan Indonesia. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa membangun pusat pertumbuhan sebagai strategi kebijakan untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Pemerintah pusat dianggap sebagai yang paling penting perannya dalam pembangunan kesejahteraan perbatasan darat Indonesia. Ada sedikit perbedaan persepsi antara responden pemerintah dengan non pemerintah. Responden pemerintah lebih memprioritaskan pertahanan dan keamanan karena kesejahteraan merupakan alat dalam pertahanan dan keamanan, jika masyarakat sejahtera dengan sendirinya mempunyai rasa kepedulian dan nasionalisme untuk menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan responden non pemerintah memprioritaskan pemerataan karena berpendapat bahwa dengan didukung oleh infrastruktur yang baik dapat meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi permasalahan kemiskinan.

The border regions have different characteristics so that development strategies are also different. Many facts show that the border regions are likely under develop, poor and have limited access to public services. This research tries to identify any major issued faced in the land border of Indonesia. Based on the identification, it can be determined the priority of economic development policy strategy that will able to overcome the issues.
The author uses AHP (Analytical Hierarchy Process) to answer question from the proposed research. The result showed that the welfare issue, particularly poverty is the main problem (issue) in the land border of Indonesia. Therefore, policies is aimed at improving that Indonesia border?s welfare. This study also shows that developing growth pole as the policies strategy to overcome the problems (issue).
The central government is considered as the most important institution in developing welfare of the land border of Indonesia. There are slight difference in perception between government and non-government respondents. Government respondents most likely have defense and security as priority because welfare is an instrument in defense and security. If the public can be prosperous by itself, have a sense of awareness and nasionalism to maintain the sovereignty of the Indonesia Republic. While non-government prioritize equalization because they found to be supported by good infrastructure can improve the well-being and reduce poverty issues."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
T42796
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia Sri Endang Purwatiningsih Vong
"Fertilitas di Timor-Leste luar biasa tinggL Banyak usaha yang diperlukan untuk memahami dan mengontrol beberapa faktor yang berpengaruh terhadap perilaku fertilitas di Negara ini. Studi ini bertujuan untuk meneliti faktor-faktor yang berpengaruh pada fertilitas di Timor-Leste, khususnya peranan pendidikan dan kematian anak sebagai faktor utama yang memberikan peiuang untuk mempunyai anak labir hidup lebih dari tiga anak Data yang digunakan dalam studi ini berasal dati basil Sensus Penduduk dan Perumahan Timor-Leste tahun 2004. Dummy pada variable terikat adalah jumJah anak lahir hldup. Variabel bebas diantaranya adalah: umur ibu, status perkawinan, pengalaman anak lahir rnati, pengalaman anak mati, tingk:at pendidikan, status ibu bekerja. tipe perumahan dan bahasa ibu. Analisis bivariat menggunakan table contingency dan ana1isis multivariate menggunakan regressi logistic binary.
Studi ini telah memperlihatkan basil; persentase perempuan untuk mendapatka.n a:nak 1ahir hidup lebih dari tiga, lebih tinggi: pada perempuan yang mempunyai karakteristik: usia tua. sudah menikah, punya pengalaman anak lahir mati, Plll1Y? pengalaman kematirul anak, be!pendidikan rendah, tidak bekelja, tinggal di rumah yang tidak Iayak, dan berbahasa ibu Mambai, Bunak. Kemak. Secant statistik semua faktor berpengaruh signifikan terbadap peluang untuk mendapatkan anak 1abir hidup lebih dari tiga anak. Pengalaman kematian anak adala.h fak:tor yang paling kunt berpengaruh terhadap kernungkinan untuk mendapat.kan anak Jahir hidup lebih darl tiga anak, kemudian diikuti dengan faktor pendidikan dan sosial economi lainnya. Ini menegaskan bahwa pendidikan dan kematian anak berperanan penting dalam mengontrol tingkat fertilitas
Fertility is exceptionally high in Timor-Leste. Many efforts are needed to understand the factors affecting fertility behavior in this countzy. The aim of this study is to investigate the factors influencing fertility in Timor-Leste. particularly the role of education and child death in determining the chance of having more than three live births. Data used for the study came from the results of the 2004 Timor-Leste and Housing Census. The dummy dependent variable is the number of live births. The independent variables are age of women, marital status. still-birth. child death experience, education. employment status. type of h-ousing and mother tongue. Bivariate analysis used contingency table and multivariate analysis using binary logistic regression, were employed in the study.
The study results show the percentage of wuman having more than three live births is higher among women who were older, were married, had stili-birth experience, had child death experience. had !ow education, and were unemployed, lived in improper twusing and spoke Mambai, Bunak, Kemak All factors analyzed statistically have significant effect on probability of having more than three live births. A.Ioong these factors. child death experience has the strongest influence and then followed by role of education and other socio economic in controlling fertility level.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2010
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Martins, Cesar Melito Dos Santos
"Angka kematian anak usia balita di Timor-Leste tergolong tinggi. Untuk menurunkan angka kematian anak usia balita diperlukan suatu pemahaman yang komprehensif tentang determinannya. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mempelajari kejadian kematian bayi dan anak balita pada rumah tangga berdasarkan faktor-faktor sosial, ekonomi, demograti, lingkungan dan kontrol kesehatan.
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis tabulasi silang dan analisis regresi logistik biner untuk mempelajari pengaruh faktor-faktor sosial ekonomi, demografi, lingkungan dan kontrol kesehatan terhadap kejadian kematian anak usia balita menggunakan data hasil SDKTL 2003.
Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa probabilitas kematian bayi dipengaruhi oleh umur melahirkan pertama, jumlah anak lahir hidup, pendidikan ibu, pemeriksaan kehamilan, penolong kelahiran, tempat melahirkan, pemedksaan anak pasca melahirkan, status kepemilikan jamban dan daerah tempat tinggal.
Hasil analisis regresi logistik biner menunjukkan bahwa probabilitas kematian anak usia balita dipengaruhi oleh jumlah anak lahir hidup, pemeriksaan kehamilan, penolong kelahiran, tempat melahirkan, pemeriksaan anak pasca melahirkan, status kepemilikan jamban, luas lantai dan daerah tempat tinggal.

The mortality rate of children aged under five in Timor-Leste is high. To reduce mortality of children aged under five needs a comprehensive understanding of its determinant. This research aims to study the incidence of infant and under five death experienced by households based on social, economic, demographic, and environmental factors and health controls.
The analytical method used in this study are the table contingency and binary logistic regression analysis to study the effect of socioeconomic, demographic, and environmental factors and health controls on the incidence of death of children aged under five using data from the 2003 Timor-Leste, demographic and health survey.
Results of logistic regression analysis show that the probability of infant mortality is influenced by the age of first birth, number of children bom alive, maternal education, antenatal care, birth attendant, place of birth, post~natal examination of children, latrine ownership status and area of residence.
Results of binary logistic regression analysis show that the probability of death of children aged under five is influenced by the number of children born alive, antenatal care, birth attendant, place of birth, post-natal examination of children, status of ownership of latrine, floor area and area of residence."
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T33296
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Kristian Thomas Djara
"Tesis ini mengkritik pendekatan human security PBB melalui implementsi resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 dalam isu kekerasan seksual (pemerkosaan dan perbudakan seksual) di Timor Leste pada masa konflik (1975-1999). Penulis menggunakan metode studi literature dengan dokumen Chega CAVR sebagai rujukan data kekerasan seksual di Timor Leste pada masa konflik. Teori yang digunakan adalah teori feminisme radikal kultural yang menekankan pada tiga konsep dasar, yakni budaya patriarki, power dan penindasan yang berdampak pada gagasan revolusioner untuk mengakhiri penindasan. Penulis ingin menunjukkan proses pengarusutaman gender dalam operasi perdamaian PBB (UNTAET) di Timor Leste sebagai implementasi resolusi 1325 yang berimplikasi pada pembentukan CAVR namun gagal melawan budaya bisu yang disebabkan oleh budaya patriarki. Budaya bisu perempuan Timor Leste ini membentuk impunitas pelaku kekersaan seksual di Timor Leste pada masa konflik dan berlanjut hingga kini. Tesis ini menemukan dua hal, yakni secara teoritis, adanya integrasi pendekatan human security PBB dengan lensa gender dalam isu kekerasan seksual dalam konflik. Secara empiris, CAVR bukanlah implementasi gagasan revolusioner teori feminisme radikal kultural. Mobilitas CAVR hanya merekomendasikan proses peradilan bagi milisi pro-integrasi di Timor Leste tetapi kurang menargetkan militer Indonesia sebagai pelaku utama kekerasan seksual terhadap perempuan Timor Leste pada masa konflik.

This paper criticizes UN human security approach through the implementation of UN Security Council resolution 1325 on sexual violence issue (rape and sexual slavery) in Timor Leste during the conflict (1975-1999). The method used is literature study with CAVR Chega document as reference for data on sexual violence in Timor Leste during the conflict. The theory used is cultural radical feminism which emphasizes three basic concepts, patriarchal culture, power and oppression impacted on revolutionary ideas to end oppression. The author show gender mainstreaming process in Timor Leste UN peace operations (UNTAET) as the implementation of resolution 1325 and the implications for the foundation of CAVR Commission that failed to change culture of silence caused by patriarchal culture. This silent culture of East Timorese women promotes impunity for perpetrators of sexual assault in Timor Leste during conflict period. This paper discovers two main things: theoretically, the integration of the UN human security approach with gender lens in sexual violence issue during conflict. Empirically, CAVR is not the implementation of revolutionary idea based on cultural radical feminism theory. The CAVR's mobility urges judicial process for pro-integration militias in Timor Leste but lacked demanding on Indonesian military as main perpetrator of sexual violence against East Timorese women during the conflict"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosalini Gomes
"Penelitian ini bertujuan untuk memperoieh pemahaman' yang. komprehensif mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan terhadap istri dari perspektif suami maupun istri dalam konteks sosial budaya. Data dikumpulkan melalui wawancara terfokus, dilakukan terhadap suami sebagai pelaku kekerasan dan suami yang diidentifikasi tidak melakukan kekerasan serta pihak terkait yang melakukan usaha untuk mencegah kekerasan terhadap istri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Janis kekerasan yang dilakukan suami adaiah mencakup kekerasan fisik, verbal dan ekonomi. Dari perspektif pelaku, kekerasan dianggap sebagai hal yang lumrah. Pelaku bersikap menutup-nutupi fakta atau mengambil rasionaiisasi mengenai apa yang sesungguhnya terjadi daiam keluarga dan menganggap apa yang telah dilakukannya adalah hak pribadinya sehinga orang Iuar tidak periu campur. Hal berbeda terjadi pada istri. Bila istri menyadari bahwa apa yang terjadi merupakan suatu perlakuan yang meianggar haknya yang tidak seharusnya terjadi akan lebih mudah mengungkapkan kejadian sesungguhnya. Tetapi bagi istri yang masih bimbang akan merasa malu bila masalah keluarga diketahui orang lain. Hal lain yang terungkap daiam peneiitian ini adaiah bahwa tradisi barfaque tidak berkontribusi langsung pada kekerasan terhadap istri. Namun yang menjadi akar permasalahan kekerasan terletak pada peran dan status subordinasi perempuan di dalam sistem sosial yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Selanjutnya penelitian pada suami,non kekerasan terungkap bahwa faktor komunikasi yang terbuka dapat mencegah konflik dalam keluarga. Rekomendasi yang diberikan adalah diperlukan suatu pendekatan yang terintegrasi, baik( dari segi pendidikan terhadap keluarga,masyarakat, profesional dan menciptakan suatu sistem hukum yang melindungi istri sebagai korban kekerasan domestik.

This study intends to gain a comprehensive insights on matters related to wife-abuse from the perspectives of husbands as perpetrators and wives as the victims in socio-cultural context. Data gathered through focused interviews to abusive and non-abusive husbands as well as competent authorities concerned with wife-abuse. Results of study reveal that types of abuse perpetrated by the husbands fall into three categories: physical assault, verbal abuse and economic violence. From the perpetrators' perspectives, violence is prevalent. They tend to conceal facts or rationalize what had happened at home. They also believe that it is their rights to do whatever they want to do with their wives and no outsider shall intervene his rights and privacy. From the victims' perspectives, in the case that the victim have already perceived that the act is a violation against their rights, they would find it easy to disclose the factual case to the public. On the other hand, if the wives still believe that violence against wives is a private matter, exposing the violence to the outsiders will bring a disgrace to them. Other finding shows that the tradition of barlaque does not directly account for the wife abuse. The root of problem is more to the subordinate roles and status of women within the prevailing social system than the barlaque alone. Study also finds that non-violent husbands believe that communication plays a key role to avoid domestic conflicts."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T16722
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jose Soares
"ABSTRAK
Pemolisian masyarakat (Community policing) mulai diperkenalkan di Polsek Cristo
Rei pada September 2008 oleh Polisi Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai Model perdana
Community policing di Timor-Leste. Ketika itu kekuasaan pengendalian keamanan masih
dalam tanggungjawab PBB hingga Desember 2012. Namun setelah munculnya Peraturan
Pemerintah nomor 9 tahun 2009 maka memberikan ruang bagi PNTL untuk
mengedepankan pendekatan Community policing dalam pelaksanaan tugasnya dan
didukung dengan struktur organisasi dari tingkat markas besar hingga pos polisi di desa.
Community policing di Polsek Cristo Rei mulai efektif pada 2013 setelah PNTL
menerima kewenangan keamanan kembali dari Polisi PBB di akhir 2012. Didukung
dengan kebijakan Mabes untuk menerapkan Community policing di Timor-Leste dengan
model Vissiblity, Involvement dan Professionalism (VIP) serta kebijakan untuk
menempatkan petugas CP di sekolah dan di desa, pembentukan Keamanan Sukarela Desa,
Dewan Pemolisian Komunitas dan Dewan Keamanan Munisipiu/Kabupaten sebagai
wujud desentralisasi kewenangan dan tanggungjawab masyarakat dengan polisi atas
permasalahan yang terjadi sehingga keduanya secara proaktif untuk mengidentifikasi,
mencegah dan mencari solusi atas permasalahan yang terjadi demi tercipta keamanan dan
ketertiban bagi masyarakat sehingga kualitas hidup masyarakat dapat diperbaiki.
Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah menggunakan pendekatan
kualitatif yaitu melalui wawancara, pengamatan dan studi dokumen. Penulis telah
mewawancara 24 orang informan yakni beberapa kepala sekolah, beberapa siswa,
perwakilan veteran, Ketua Pemuda, Perwakilan Perempuan, Perwakilan Ketua Adat,
Penyelesai Masalah, Camat, LSM, petugas OPS, OPE, Kapolsek, Kepala subseksi
Community policing Polres Dili, Wakalpolres, Wadir dan Direktur Community policing
tingkat Nasional.
Dari temuan penelitian di lapangan menunjukkan bahwa walaupun community
policing sedang berlangsung namun masyarakat belum merasa aman dan tentram karena
masih ada permasalahan-permasalah seperti kekerasan dalam rumah tangga,
persengketaan tanah, dan kejahatan lainnya yang terjadi di wilayah itu. Berdasarkan hasil
temuan di lapangan dapat disimpulkan bahwa perlu menambah anggota yang ditugaskan
di wilayah itu baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Dengan memperbanyak rasio
anggota sehingga dapat mengimbangi dengan jumlah penduduk yang ada di wilayah itu
karena sekarang rasionya 1:1.176 dan 1:1.351 pada aktivitas di siang hari. Pemberdayaan
masyarakat grass root level belum maksimal untuk menciptakan kondisi aman dan
tenteram bagi lingkungan, desa dan kecamatan. Anggaran dan sarana pendukung tugas
dan fungsi Community policing di wilayah itu masih minim karena CP belum memiliki
mata anggaran tetap tersendiri, kurangnya sarana transportasi sepeda motor, fasilitas
perumahan bagi anggota OPS serta sarana komunikasi dalam menunjang tugas di
lapangan

ABSTRACT
The Community policing was introduced in Cristo Rei Sub Station on September
2008 by United Nations Police as a first Model implementation community policing in
Timor-Leste. By the time the security control was under the United Nations responsibility
until December 2012. But after Decree Law No. 9/2009 inter into the force which provide
PNTL space for promote community policing approach in its task and function which
supported by organization structure from head quarter till police post in villages.
The Implementation of community policing in Cristo Rei Sub Station effective on
2013 after the handover police authority from United Nations Police to Polisia Nasional
Timor Leste (PNTL) in the end of December 2012. Supported by head quarter policies to
apply Community policing model Visibility, Involvement and Professionalism (VIP) as
well policy to assign School Liason Officer (SLO), Community policing Officer (CPO) to
each villages, the establishment of Suco Volunteer Security (SVS), the establishment
Community Policing Council (CPC) and Municipality Security Council (MSC) as part of
decentralization of authority and responsibility of community and police on problem occur
in their area so both proactively to identifies, prevent and find solution to the problem
occur which can be create security and order for those communities so quality of life can
be improve.
The research method used in this Academic paper is used qualitative approach
through interview, observation and document study. The writer have interviewed 24 key
sources such: few school master, some students, representatives of : Veteran, Youth,
Female, Traditional head, Problem solver, Head of sub district, NGO, Community
policing officer, School liaison officer, Sub station Commander, Head of community
policing in district level, Deputy district commander, Deputy and Director of Community
policing in the PNTL head quarter level.
Research finding on the ground that even though the implementation of community
policing ongoing but community felt slightly unsafe and tranquillity yet because there
were problems still exist such domestic violence, land dispute and other crimes occur in
the that area. Based on the research on the ground can draw a conclusion that there is
need to increase police members in the area weather in quantity or quality. Through
increase of police members can be balance the sum total of citizen in that area because
currently the ratio is 1:1.176 and 1:1.351 in the daytime. There was lack of grass root level
of community policing empowerment to create peace and tranquillity in its neighbour,
villages and sub district level. Budget and police task and function supported equipment
were lacking because community policing have no its own constant budget, lack of
transport like motorbike, house facilities for community police officers as well
communication equipment which can support police work on the ground."
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aninda Kharistiyanti
"Bahasa dalam proses nation-building dan dekolonisasi sebuah bangsa merupakan aspek yang sangat penting, karena bahasa dapat mempengaruhi aspek-aspek lainnya, seperti ekonomi, politik, budaya, dan pendidikan. Tulisan ini fokus pada kajian mengenai pengaruh bahasa terhadap proses nation-building dalam kaitannya dengan dekolonisasi
Timor-Leste sebagai sebuah bangsa. Kompleksitas sejarah menyebabkan masyarakat Timor-Leste terbagi menjadi beberapa kelompok generasi dengan penguasaan bahasa yang berbeda. Berangkat dari praktik berbahasa sehari-hari yang dibedakan menjadi ranah formal dan nonformal, diketahui bahwa bahasa memiliki peranan penting dalam
pembentukan identitas bangsa. Tuntutan untuk menguasai setidaknya empat bahasa: Tetum, Portugis, Inggris, dan Indonesia memiliki konsekuensi dan membuat bahasa kemudian menjadi tantangan bagi proses nation-building dan dekolonisasi Timor-Leste. Pendidikan selalu menjadi salah satu cara yang digunakan pemerintah untuk mengonstruksi identitas masyarakatnya dan bahasa adalah alat yang mendukungnya. Namun, hal yang seringkali luput dari perhatian adalah bahwa praktik berbahasa pada ranah formal dan nonformal sama sekali berbeda. Artinya, kekuatan dan kontrol terhadap proses nation-building dan dekolonisasi juga berbeda.
Language is a crucial aspect in the process of nation-building and decolonization of a nation by means of its power to influence other aspects, such as economic, politic, culture, and education. This paper focuses on the influence of language towards the nation-building process in the decolonization of Timor-Leste as a nation. The consequences of historical complexity construct several generation groups of Timorese with distinct language proficiency. Drawing from language practice in everyday life which is distinguished to formal and nonformal sphere, known that language has a significant role in the formation of national identity. The demand to be proficient at the
very least in four language: Tetum, Portuguese, English, and Indonesian leads to the consequences and language subsequently becomes the challenge for nation-building and decolonization process of Timor-Leste. Education has always been used by the state to construct national identity and language is an instrument to promote the process.
However, the discrepancy between formal and nonformal sphere of practicing language usually unrecognize. By which it means, the power and control towards the process is also distinctive."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>