Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 51039 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Afriadi
"Studi ini mengangkat gerakan kemerdekaan Korea sebagai tema besar penelitiannya, dengan fokus utama pada kemelut ideologi yang terjadi di antara faksi-faksi pejuang kemerdekaan. Semenjak tahun 1919, gerakan kemerdekaan yang berusaha memerdekakan Korea dari penjajahan Jepang terus bermunculan dan masif. Gerakan yang cenderung sporadis membuat banyak organisasi muncul. Setidaknya ada dua organisasi besar yakni Pemerintahan Provisional Korea dan Partai Komunis Korea. Kedua organisasi ini sama-sama melakukan gerakan kemerdekaan namun dilandasi oleh ideologi yang berbeda. Perbedaan ideologi yang mendasar ini membuat kedua kubu merasa memiliki hak atas tanah Korea setelah kemerdekaan. Pada tahun 1948 kedua kubu tidak menemui titik temu dan membuat pemerintahannya masing-masing. Inilah cikal bakal terbentuknya dua bangsa di satu Korea dan munculnya Perang Korea. Studi ini berusaha menggali lebih dalam penyebab friksi yang terjadi di antara kedua kubu dengan menelusuri sumbangsih kedua pihak dalam gerakan kemerdekaan Korea. Studi ini sendiri menggunakan metode sejarah dengan konsep "bangsa" dari Benedict Anderson sebagai alat bantu untuk memahami peristiwa sejarah yang ada.

The major theme of this thesis is the Korean independence movement as its main focus is on ideological upheaval that take place among the factions of independence activists. Since 1919 the independence movement which sought to liberate Korea from the Japanese occupation continued to emerge and was massive. Movements that tend to be sporadic make many organizations emerge. There are at least two major organizations namely the Korean Provisional Government and the Korean Communist Party. Both of these organizations together carried out the independence movement but were based on different ideologies. These fundamental ideological differences make both side feel that they have ownership of Korean land after independence. In 1948 the both organization did not meet the common ground and made their respective governments. This stagnation led to the formation of two nations in one Korea and the rise of the Korean War. This thesis tries to dig deeper into the causes of friction between the two organizations by tracing the contributions of the two parties in the Korean independence movement. This study itself uses the historical method with the concept of "nation" from Benedict Anderson as a main concept to understand what happened in Korea."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Solihuddin
"Program penanggulangan terorisme dilaksanakan dengan pendekatan keras dan lunak. Jika dilihat pendekatan keras hanya menyelesaikan gejala kausatik tidak sampai akar terjadinya. Pemerintah juga melakukan rehabilitasi serta reintegrasi ke masyarakat serta kerjasama antar lembaga diterapkan dalam mengatasi pelaku tersebut. Meskipun banyak keberhasilan dari pendekatan lunak dalam program deradikalisasi masih ada mantan narapidana terorisme yang melakukan kembali perbuatannya. Oleh karena itu, penggunaan pengalaman mantan narapidana teroris, yakni Sofyan Tsauri dapat menjadi cara alternatif. Penulis menggunakan teori konversi ideologi dalam melihat perubahan ideologi pada individu. Tujuan dalam penelitian ini untuk menganalisis proses deradikalisasi mantan narapidana terorisme, yakni Sofyan Tsauri, untuk memahami perjalanan ideologinya. Sehingga mampu dijadikan agen perubahan untuk narapidana terorisme maupun mantan napi teroris. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dengan mengedepankan pendekatan life history atau lebih melihat kepada sejarah hidup dari individu yang ingin diteliti. Pendekatan ini untuk memahami pengalaman manusia dan bagaimana pihak lain terlibat dalam kehidupan mereka. Perjalanan ideologi ini dimulai dari kehidupan Sofyan Tsauri sebelum terpapar pemahaman kekerasan, dimana ia dan keluarganya tergabung dalam kelompok Nahdlatul Ulama (NU) dan juga latar belakang keluarga yang bekerja di kepolisian. Merasa kecewa dengan sistem penegak hukum dan pemahaman yang ia telah pelajari, Sofyan akhirnya masuk dalam kelompok kekerasan. Ia membuat pelatihan di Bukit Jalin, Kota Jantho, untuk merealisasikan aksi jihad dan idad. Akhirnya ia tertangkap dan mulai mereduksi pemahaman kekerasannya dengan literasi, keluarga, dan petugas penegak hukum. Konversi pemahaman ini melalui beberapa tahapan, yakni konteks, krisis, pencarian, pertemuan, interaksi, komitmen, dan konsekuensi. Dari hal ini, Sofyan mulai memberikan sistem kepercayaan yang ia miliki kepada mantan napi terorisme. Perjalanan idologi Sofyan bisa dijadikan sebuah bentuk kontra narasi. Hal tersebut bisa terwujud karena ada kesamaan pemahaman radikal yang pernah dianut, yang akan mempermudah mendekati mantan narapidana terorisme
The hard and soft approach is the way to tackle terrorism. If you look closely, the approach only solves the causative symptoms, not to the root of the occurrence. The government also carries out rehabilitation and reintegration into the community as well as inter-institutional cooperation that is implemented in dealing with these perpetrators. Although there are many successes from the soft approach, namely deradicalization, there are still acts that carry out their actions. Therefore, using the experience of a former terrorist, namely Sofyan Tsauri, can be an alternative way. The author uses the theory of ideological conversion in ideological change of individuals. The purpose of this study is to analyze the deradicalization process of the former framework, namely Sofyan Tsauri, to understand its ideological journey. So that they can be used as agents of change for terrorism and ex-terrorist convicts. The research method used is qualitative, with a life history approach or more to the life history of the individual who wants to be studied. This approach is to understand human experience and how others are involved in their lives. This ideological journey begins with Sofyan Tsauri's life before being seen from the understanding of violence, where he and his family are members of the Nahdlatul Ulama (NU) group and also have a family background working in the police. Disappointed with the law enforcement system and the understanding he learned, Sofyan ended up joining the violent group. He conducted training in Bukit Jalin, Jantho City, to realize jihad and idad actions. Finally he succeeded and began to reduce his understanding of violence with literacy, family, and law enforcement officers. The conversion of this understanding goes through several stages, namely context, crisis, search, meeting, interaction, commitment, and consequences. From this, Sofyan gave his belief system to former terrorist convicts. Sofyan's ideological journey can be used as a form of counter-narrative. This can be realized because there is a common radical understanding that has been held, which will be difficult to reach an agreement."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andina Mega Larasati
"Kebencian berbasis kelompok memiliki appraisal bahwa outgroup berwatak jahat dan sengaja menyakiti ingroup, memicu kecenderungan bertindak yang destruktif. Appraisal ini dipengaruhi oleh faktor jangka panjang yang terikat konteks. Mayoritas studi terdahulu berlatar konteks konflik intens berkepanjangan, padahal kebencian dapat terjadi dalam konteks politik karena peran ideologi. Di Indonesia, terjadi polarisasi antara ideologi agamis (mendukung kebijakan berbasis Syariat Islam) vs. sekuler. Partai Komunis Indonesia (PKI) telah lama dibenci karena dipersepsikan jahat dan anti-Islam. Penelitian ini bertujuan menyelidiki prediktor kebencian berbasis kelompok terhadap PKI melalui survei pada 217 WNI muslim. Menurut hipotesis ekstremisme ideologi, ekstremisme ideologi dicirikan oleh persepsi dunia yang kaku dan memicu intoleransi terhadap kelompok yang berseberangan. Peneliti menguji pengaruh ekstremisme ideologi (ideologi agamis), absolutisme moral (gaya kognitif hitam-putih), dan keyakinan konspirasi. Peneliti juga mengeksplorasi perbedaan interaksi antarvariabel dalam memprediksi kebencian chronic (sentimen jangka panjang) dan immediate (emosi intens jangka pendek). Berdasarkan analisis PLS-SEM, ketiga prediktor memprediksi kedua jenis kebencian. Keyakinan konspirasi memediasi pengaruh ideologi agamis, yang kemudian memediasi pengaruh absolutisme moral terhadap kebencian. Chronic hatred memediasi pengaruh ketiga prediktor terhadap immediate hatred. Chronic hatred diprediksi terutama oleh keyakinan konspirasi (dengan maupun tanpa ideologi agamis), sementara immediate hatred terutama oleh ideologi agamis pada individu dengan keyakinan konspirasi dan absolutisme moral sedang-tinggi. Persepsi ancaman dari PKI diduga lebih relevan dan mendesak bagi penganut ideologi agamis. Penelitian selanjutnya perlu menginvestigasi lebih jauh kebencian berbasis kelompok yang nyata dalam konteks politik.

Group-based hatred contains appraisal that the outgroup is evil and intentionally hurts the ingroup, causing destructive action tendencies. This appraisal is affected by long-term factors that are context-specific. Previous studies mostly focused on intractable conflict, although hatred can also occur within political context because of ideology. In Indonesia, polarization emerges between religious vs. secular ideology. Indonesian Communist Party (PKI) has long been hated since it is perceived as evil and anti-Islam. This study aimed to investigate the predictors of group-based hatred against PKI through a survey toward 217 Moslem citizens. According to ideological extremism hypothesis, ideological extremism is characterized by rigid perception of the world and causes intolerance against perceived opposing groups. We examined the role of ideological extremism (religious ideology), moral absolutism (black-or-white cognitive style), and conspiracy belief. We further explored the difference between chronic (long-term sentiment) and immediate (short-term intense emotion) hatred in terms of interactions among predictors. According to PLS-SEM, all three variables predicted both types of hatred. Conspiracy belief mediated religious ideology, which mediated the influence of moral absolutism on hatred. Chronic hatred mediated the influence of predictors on immediate hatred. Chronic hatred was predicted especially by conspiracy belief (with or without the influence of religious ideology). Immediate hatred was predicted especially by religious ideology among individuals with low-moderate score of conspiracy belief and moral absolutism. Perceived threat from PKI is thus more relevant and urgent to the religious ideology adherents. Future studies should further investigate the evident group-based hatred in politics."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akbar Priyono
"Jawa adalah suku mayoritas di negara Indonesia, beragam kreasi dan kearifan terlahir di komunitas ini. Ada satu hal yang menjadi acuan dalam kehidupan bermasyarakat yakni moralitas dalam kepemimpinan. Di dalam Serat Kalatidha disinggung moralitas kepemimpinan yang kian merosot dan memicu huru-hara. Dalam tulisan ini akan dibahas peristiwa Dombreng, sebuah peristiwa berupa hukuman yang dilahirkan oleh rakyat di pinggiran pantai utara Jawa (eks Karisidenan Pekalongan: Tegal, Brebes, dan Pemalang) tahun 1945. Dombreng adalah hukuman bagi pemimpin yang lalim dan korup serta meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan. Peristiwa Dombreng seolah merepresentasikan makna yang tersirat di dalam Serat Kalatidha karya Ranggawarsita (1802-1873). Melalui pendekatan Linguistik akan dilakukan analisis terhadap dua kasus yang berbeda zaman ini.

Javanese is a majority tribe in Indonesia. Creation and wisdom were born in this comunity. There is one thing to be a reference in their community life, which is morality of leadership. In Serat Kalatidha which was written in leadership morality was decreased and chaos. In this writing will discuss about an event of Dombreng punishment, it was born by “Pantura” „North Central Java‟ Peoples (Eks Karisidenan Pekalongan: Pemalang, Tegal, Brebes). Dombreng is the punishment for a bad leader, corruptly, and who leave humans value. The Dombreng event is representation a means is written in Serat Kalatidha. Linguistic approximation method will be used to analize on two these different cases.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S57135
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vaniadika Istamitra
"Penelitian ini membahas tentang deiksis dalam bahasa Korea. Deiksis merupakan kata rujukan yang sifatnya dinamis atau tidak tetap. Deiksis berfungsi sebagai penjelas konteks suatu tuturan atau kalimat. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan deiksis dalam bahasa Korea secara umum dan penggunaannya dalam setiap jenisnya. Penelitian ini merupakan studi kepustakaan yang mengambil sumber dari beberapa penelitian terdahulu. Pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana penggunaan deiksis dalam bahasa Korea. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat lima jenis deiksis paling umum dalam bahasa Korea, yaitu deiksis persona, deiksis ruang, deiksis waktu, deiksis wacana, dan deiksis sosial. Dari kelima jenis ini, dapat dikemukakan bahwa terdapat dua jenis deiksis yang dapat terbagi menjadi beberapa bagian. Deiksis yang dimaksud merupakan deiksis persona yang memiliki pembagian orang pertama, kedua, dan ketiga, dan deiksis waktu memiliki pembagian deiksis kalendrikal dan deiksis non-kalendrikal.

This study discusses deixis in Korean. Deixis is a reference word that is dynamic or not fixed. Deixis functions as an explanation of the context of an utterance or sentence. This study aims to explain deixis in Korean in general and its use in each type. This research is a library research that takes sources from several previous studies. The research question is how to use deixis in Korean. The results of this study indicate that there are five most common types of deixis in Korean: persona deixis, spatial deixis, time deixis, discourse deixis, and social deixis. From these five types, it can be stated that there are two types of deixis which can be divided into several parts. The deixis in question is persona deixis which has first, second, and third-person divisions, and time deixis has calendar deixis and non-calendrical deixis divisions."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: LP3ES , 1994
959.8 MAN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: LP3ES, 1988, 1981
920.02 MAN
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Nadhifa Ramadhani
"Kemiskinan merupakan sebuah permasalahan sosial yang genting di Korea Selatan. Anak muda di Korea adalah salah satu kelompok masyarakat yang mengalami kemiskinan di negara ini. Akibat dari kemiskinan tersebut, muncul berbagai permasalahan yang dialami masyarakat. Salah satu cara untuk menyampaikan kondisi kemiskinan anak muda di Korea adalah dengan memanfaatkan sastra salah satunya adalah melalui film. Drama Korea adalah bagian dari film yang berbentuk film series dan disiarkan di Televisi. Oleh sebab itu, drama Korea merupakan media representasi. Drama Korea juga sering menampilkan realitas kehidupan di Korea. Dalam penelitian ini, akan menjelaskan bentuk-bentuk representasi kemiskinan anak muda di Korea dalam drama Korea berjudul “Golden Spoon”. Pembahasan dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dan teori semiotika Ferdinand De Saussure. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa kemiskinan pemuda Korea Selatan drama Golden Spoon yaitu mengalami kesulitan di ekonomi keluarga, relasi dengan teman, perundungan sekolah, dan tempat tinggal.

Poverty is critical social trouble in South Korea. One of the Korean people who suffer from poverty in this country is youth. The effect of this poverty is lot of problems which faced by people affected. One of the steps to shows the youth poverty condition in South Korea is using literature, one of which is through film. Korean drama is type of movie in the format of film series and airs on television. Hence, korean drama is representative appliance. Korean drama also generally convey the reality life in South Korea. This research will portray various kinds of representations of youth poverty in South Korea in the Korean drama named “Golden Spoon.” This study applies descriptive qualitative method and Ferdinand De Saussure’s semiotic theory for argument. The results of this study of Korean Youth Poverty in Golden Spoon drama are facing struggles in family economy, relationship with friend, school bullying and housing."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Putri Shafira
"Penelitian ini bertujuan untuk mencari pengetahuan tentang bagaimana suatu negara menciptakan identitasnya dengan menggunakan “nation branding”. Studi ini berfokus menganalisa bagaimana Korea Selatan menggunakan “Korean Wave”, fenomena budayanya, dan media global, untuk mengubah identitas nasionalnya. Menggunakan teori kultivasi analisis, penelitian dilakukan dengan menggunakan tinjauan literatur pada database jurnal, katalog perpustakaan dan database surat kabar online, dengan mempelajari bagaimana Korea Selatan digambarkan dalam artikel media dan jurnal penelitian. Hasil mengungkapkan bahwa Korea Selatan telah berhasil mengubah identitasnya. Dahulu nya Korea Selatan dikenal karena perang Korea dan krisis keuangan yang parah, namun karena fenomena global telah berdampak pada industri pariwisata, ekonomi dan hiburan, Korea Selatan sekarang telah dikenal akan hiburan dan pariwisatanya.

The study aims to seek knowledge of how a nation creates its identity using the application of nation branding. The study focuses on analysing how South Korea use Korean Wave, its cultural phenomenon, and the global media, to alter its national identity. Using the cultivation analysis theory, the study was carried out using literature reviews on journal databases, library catalogue and online newspaper databases. It examines how South Korea was visualised in media articles and research journals. Results revealed that South Korea has succeeded in changing its identity. In the past, South Korea was known for the Korean War and the severe financial crisis, but because the global phenomenon has had an impact on the tourism, economic and entertainment industries, South Korea is now known for its entertainment and tourism.

The study aims to seek knowledge of how a nation creates its identity using the application of nation branding. The study focuses on analysing how South Korea use Korean Wave, its cultural phenomenon, and the global media, to alter its national identity. Using the cultivation analysis theory, the study was carried out using literature reviews on journal databases, library catalogue and online newspaper databases. It examines how South Korea was visualised in media articles and research journals. Results revealed that South Korea has succeeded in changing its identity. In the past, South Korea was known for the Korean War and the severe financial crisis, but because the global phenomenon has had an impact on the tourism, economic and entertainment industries, South Korea is now known for its entertainment and tourism.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Zahra Anindya Prameswari
"YouTube, sebagai media digital, dapat menjadi alat untuk mengonstruksi dan merepresentasikan identitas sosial. Dapat diakses oleh audiens dari seluruh dunia, YouTube juga membuat batasan antara dunia Barat dan Timur semakin semu, memberi jalan bagi orang-orang dari kedua budaya tersebut untuk berbagi pengaruh kepada audiens mereka. Dalam video YouTube mereka, Korean Englishman mengonstruksi dan merepresentasikan budaya Korea, dimana hal ini menunjukkan adanya narasi pasca-kolonial yaitu orang Barat bernarasi tentang orang Timur. Melalui Model Diskursif dari Pendekatan Konstruksionis dalam Teori Representasi oleh Stuart Hall serta perspektif pasca-kolonial dalam Teori Orientalisme, makalah ini menganalisis bahwa meskipun Korean Englishman bertujuan memperkenalkan budaya Korea kepada orang Inggris dan dunia, terdapat jejak-jejak pandangan Orientalisme dalam representasi mereka terhadap budaya Korea yang terlihat dalam 2 video yang akan dianalisis dalam makalah ini. Dalam mengidentifikasi tanda-tanda Orientalisme, analisis tekstual akan digunakan sebagai metode. Makalah ini menemukan bahwa perspektif Orientalisme seperti pembedaan, stereotip, dan eksotisisasi budaya Timur ditemukan dalam representasi budaya Korea oleh orang Inggris yang juga menyebabkan normalisasi perspektif Orientalisme yang dapat dilihat melalui penggunaan bahasa dan nada percakapan. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku pasca-kolonial masih terjadi di zaman digital, meskipun disampaikan melalui sarana yang berbeda dan cara yang lebih halus.

YouTube, as a digital medium, can be used as a tool to construct and represent social identities. Having the ability to reach a worldwide audience, YouTube also makes the barrier between the West and the East more subtle, paving the way for people embodying both cultures to share and create influence towards their audience. In their YouTube videos, Korean Englishman construct and represent Korean culture, which reflects a postcolonial narration of the West narrating the East. Through the Discursive Model of the Constructionist Approach of Representation by Stuart Hall and the postcolonial perspective of Orientalism, the paper attempts to analyze how although Korean Englishman aimed to capture and introduce Korean culture to British people and the world, there are traces of Orientalist views in their representation of Korean culture which are shown in 2 of their videos that are analyzed in this paper. In identifying the signs of Orientalism, the analysis will use textual analysis as a method. The article discovers that orientalist values such as otherness, stereotyping, and exoticization of the East are found in the representation of Korean culture by the British which perpetuates the normalization of orientalist views impacted by the language use and tone of the conversations. This reveals how postcolonial events are still prevalent in the digital era, although displayed in different mediums and delivered in a more indirect manner."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>