Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 177688 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aninda Marina
"Latar belakang: Skabies adalah penyakit kulit akibat infestasi ektoparasit berupa tungau
Sarcoptes scabiei var hominis. Skabies menimbulkan ketidaknyamanan karena
menimbulkan lesi yang sangat gatal, menyebabkan penderita sering menggaruk dan
mengakibatkan infeksi sekunder terutama oleh Streptococcus pyogenes dan
Staphylococcus aureus. Prinsip tata laksana skabies impetigenisata meliputi penggunaan
skabisid dan antibiotik untuk pasien dan narakontak. Sediaan permetrin merupakan pilihan
utama, dengan antibiotik sistemik atau topikal untuk infeksi sekunder bakterial. Asam
Fusidat 2% merupakan antibiotik topikal pilihan pertama yang dianjurkan untuk lesi infeksi
terbatas. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai efektivitas kombinasi krim
permetrin 5% dan krim asam fusidat 2% untuk skabies impetigenisata.
Tujuan: Membandingkan efektifitas kombinasi krim permetrin 5% dan krim asam fusidat
2% dengan krim permetrin 5% dan plasebo; membandingkan skor VAS nyeri, Vas gatal
dan efek samping sebelum dan sesudah pengobatan pada kedua kelompok; melihat peta
kuman dan biakan dari skabies impetigenisata
Metode: Sebuah uji klinis acak tersamar ganda dilakukan di Pondok Pesantren Al Islami,
Cibinong, Bogor dan Pondok Pesantren Gaza Al-Islami Bogor pada September hingga
Oktober 2018 dan Maret 2020. Terdapat 41 orang santri yang memenuhi kriteria penelitian,
tetapi hanya 40 subjek penelitian (SP) menyelesaikan penelitian. Alokasi kelompok
dilakukan secara acak mengikuti tabel randomisasi. Kelompok intervensi mendapatkan
krim permetrin 5% dan krim asam fusidat 2%, sedangkan kelompok kontrol mendapatkan
krim permetrin 5% dan plasebo. Dilakukan pemeriksaan kerokan kulit, apusan Gram,
biakan, skor VAS gatal dan VAS nyeri. Subjek penelitian kemudian di follow-up pada hari
ke-7 dan ke-14 untuk menilai kesembuhan, skor VAS gatal, VAS nyeri dan efek samping
pengobatan.
Hasil: Efektivitas kesembuhan kelompok intervensi pada hari ke-7 lebih tinggi dibanding
kelompok kontrol (80% vs. 35%). Efektivitas kesembuhan kelompok intervensi pada hari
ke-14 lebih tinggi dibanding kelompok kontrol (95% vs. 35%) yang bemakna secara
statistik (p=<0.001) dan relative risk hari ke-14 adalah 2,714. Terdapat perbedaan
bermakna median selisih skor VAS gatal pada kelompok intervensi dibandingkan
kelompok kontrol setelah pengobatan (p=0,040) dan median selisih skor VAS nyeri
(p=0,035). Bakteri tersering ditemukan adalah Staphylococcus aureus diikuti dengan
bakteri Gram-negatif.Tidak terdapat perbedaan efek samping bermakna pada kedua
kelompok.
Kesimpulan: Pengobatan skabies impetigenisata dengan krim pemetrin 5% dan krim asam
fusidat 2% lebih efektif dibandingkan krim permetrin 5% dan plasebo. Perbaikan skor VAS
nyeri dan Vas Gatal dan tidak terdapat efek samping. Bakteri tersering merupakan
Staphylococcus aureus diikuti dengan bakteri Gram-negatif.

Background: Scabies is a skin disease due to ectoparasitic infestation in the form of
Sarcoptes scabiei var hominis. Scabies causes discomfort, and it causes very itchy lesions,
causing patients to often scratch and result in secondary bacterial infections, especially by
Streptococcus pyogenes and Staphylococcus aureus. The principles of management of
impetiginized scabies include the use of scabicidal and antibiotics for patients and
surrounding people. Permethrin 5% is the first-line treatment, combined with systemic or
topical antibiotics for secondary bacterial infections. Fusidic Acid 2% is the first-line
topical antibiotic recommended for limited infection. There has been no research on the
effectiveness of a combination of permethrin 5% cream and fusidic acid 2% cream for the
treatment of impetiginized scabies
Objectives: Comparing the effectiveness of a combination permethrin 5% cream and
fusidic acid 2% cream with 5% permethrin cream and placebo; comparing VAS pain and
VAS itchy scores, side effects before and after treatment in both groups; Displaying the
germs map of germs and cultures of impetiginized scabies
Methods: A double-blind, randomized clinical trial was carried out at Al-Islamic Boarding
School at Cibinong Bogor and Gaza Al-Islamic Boarding School at Bogor in September to
October 2018 and March 2020. Forty-one students met the study criteria, but only 40
research subjects complete research. Group allocations are carried out randomly following
a randomization table. The intervention group received permethrin 5% cream and fusidic
acid 2% cream, while the control group received permethrin 5% cream and placebo. Skin
scrapings, Gram smears, and cultures were examined. VAS itch and pain were also
examined. The study subjects were followed up on days 7 and 14 to assess healing, VAS
itch and pain, and side effects of treatment.
Results: Healing effectiveness of the intervention group on day 7 was higher than in the
control group (80% vs. 35%). The effectiveness of the intervention group healing on the
14th day was higher than the control group (95% vs. 35%), which was statistically
significant (p = <0.001), and the relative risk of the 14th day was 2,714. There was a
significant difference in median difference in itching VAS score in the intervention group
compared to the control group after treatment (p = 0.040) and median difference in pain
VAS score (p = 0.035). The most common bacterium found was Staphylococcus aureus
followed by Gram-negative bacteria. There were no significant differences in side effects
in the two groups.
Conclusion: The treatment of impetiginized scabies with permethrin 5% cream and fusidic
acid 2% cream is more effective than permethrin 5% cream and placebo. Improved VAS
score for pain and itch with no side effects. The most common bacterium is Staphylococcus
aureus followed by Gram-negative bacteria.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tiara Hana Azzahra
"Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk kokus yang tersusun seperti anggur dan dapat menyebabkan penyakit. Penggunaan antibiotik methicillin yang berlebihan menyebabkan bakteri menjadi resistan atau dikenal dengan Methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Resistensi pada MRSA ditandai dengan keberadaan gen mecA dan femA. Salah satu penyebaran MRSA dapat melalui hewan ternak. Penyebaran patogen zoonosis MRSA diduga terjadi melalui ayam atau cross contamination dari talenan. Tujuan penelitian adalah mendeteksi gen mecA dan femA pada Staphylococcus aureus dari talenan dan ampela ayam mentah di penjual ayam pasar tradisional. Penelitian dilakukan dengan pengambilan 6 sampel talenan dan ampela ayam mentah di 3 pasar tradisional Kota Depok dengan metode swab dan menggunakan medium Mannitol Salt Agar (MSA). Isolat-isolat yang mengubah warna medium menjadi kuning akan dilakukan pendeteksian gen penanda MRSA, yaitu 16S rRNA (STPY), mecA, dan femA dengan metode multiplex PCR. Hasil penelitian mendapatkan 19 isolat MRSA dan 2 isolat Methicillin resistant Staphylococcus (MRS) dengan menggunakan primer 16S rRNA universal, yaitu Staphylococcus cohnii dan Staphylococcus gallinarum. Keberadaan gen resistan dari isolat yang diperoleh menunjukkan bahwa talenan dan ampela ayam mentah dapat berpotensi menjadi sumber transmisi MRSA.

Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk kokus yang tersusun seperti anggur dan dapat menyebabkan penyakit. Penggunaan antibiotik methicillin yang berlebihan menyebabkan bakteri menjadi resistan atau dikenal dengan Methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Resistensi pada MRSA ditandai dengan keberadaan gen mecA dan femA. Salah satu penyebaran MRSA dapat melalui hewan ternak. Penyebaran patogen zoonosis MRSA diduga terjadi melalui ayam atau cross contamination dari talenan. Tujuan penelitian adalah mendeteksi gen mecA dan femA pada Staphylococcus aureus dari talenan dan ampela ayam mentah di penjual ayam pasar tradisional. Penelitian dilakukan dengan pengambilan 6 sampel talenan dan ampela ayam mentah di 3 pasar tradisional Kota Depok dengan metode swab dan menggunakan medium Mannitol Salt Agar (MSA). Isolat-isolat yang mengubah warna medium menjadi kuning akan dilakukan pendeteksian gen penanda MRSA, yaitu 16S rRNA (STPY), mecA, dan femA dengan metode multiplex PCR. Hasil penelitian mendapatkan 19 isolat MRSA dan 2 isolat Methicillin resistant Staphylococcus (MRS) dengan menggunakan primer 16S rRNA universal, yaitu Staphylococcus cohnii dan Staphylococcus gallinarum. Keberadaan gen resistan dari isolat yang diperoleh menunjukkan bahwa talenan dan ampela ayam mentah dapat berpotensi menjadi sumber transmisi MRSA."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diza Tazkiya
"Penggunaan methicillin yang tidak terkendali dapat menyebabkan munculnya strain resistan S. aureus, yaitu Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) dengan gen utama pengode resistansi mecA dan femA. Terdapat tiga strain MRSA: Healthcare-associated (HA-MRSA), Livetock-associated (LA-MRSA) dan Community-associated (CA-MRSA). Salah satu media yang berpotensi untuk mentransmisikan mikroorganisme patogen MRSA di masyarakat adalah aliran udara mesin pengering tangan di pusat perbelanjaan. Bakteri dari aliran udara tersebut diisolasi dengan medium Mannitol Salt Agar (MSA) menggunakan metode settle plate. Isolat yang tumbuh terpisah dan mengubah warna medium dari merah menjadi kuning kemudian dikonfirmasi dengan multiplex PCR menggunakan primer gen mecA dan femA serta 16S rRNA (STPY). Hasil penelitian mendapatkan sembilan isolat MRSA karena positif terhadap gen 16S rRNA (STPY) dengan gen resistan mecA atau mecA dan femA. Tiga isolat lainnya dianalisis dengan metode singleplex PCR menggunakan gen 16S rRNA universal (27F dan 1492R) dan kemudian dilakukan sekuensing DNA sehingga terdeteksi sebagai S. cohnii dan S. saprophyticus. Keberadaan kedua bakteri tersebut menandakan bahwa aliran udara mesin pengering tangan di pusat perbelanjaan berpotensi memaparkan mikroorganisme patogen resistan antibiotik karena intensitas pemakaian dan pemaparan langsung melalui udara ke tangan pengguna (komunitas).

The uncontrolled use of methicillin can lead to the emergence of resistant strains of S. aureus, specifically Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), characterized by the presence of the primary resistance-coding genes mecA and femA. There are three MRSA strains: Healthcare-associated (HA-MRSA), Livestock-associated (LA-MRSA), and Community-associated (CA-MRSA). One potential medium for transmitting MRSA pathogenic microorganisms in the community is the airflow from hand dryers in shopping centers. Bacteria from this airflow were isolated using Mannitol Salt Agar (MSA) through the settle plate method. Isolates that grew separately and changed the color of the medium from red to yellow were then confirmed using multiplex PCR with mecA, femA, and 16S rRNA (STPY) genes as primers. The research results revealed nine MRSA isolates that tested positive for the 16S rRNA (STPY) gene, with either mecA or both mecA and femA resistance genes. Three other isolates were analyzed using the singleplex PCR method with universal 16S rRNA genes (27F and 1492R) and then underwent DNA sequencing, identifying them as S. cohnii and S. saprophyticus. The presence of these two bacteria indicates that the airflow from hand dryers in shopping centers has the potential to expose antibiotic-resistant pathogenic microorganisms to users' hands in the community due to the intensity of usage and direct exposure through the air."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Natasha Marianne Setiabakti
"ABSTRAK
Skabies adalah penyakit kulit yang biasanya terdapat di lingkungan padat disertai sanitasi yang buruk. Pengobatan lini pertama skabies adalah permetrin krim yang dioleskan ke seluruh badan, namun permetrin menimbulkan rasa tidak nyaman seperti terbakar, merah dan gatal. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektivitas terapi skabies menggunakan permetrin hanya di lesi untuk mengurangi efek samping. Penelitian repeated cross sectional ini dilakukan pada semua santri yang menderita skabies di pesantren di Jakarta Timur pada bulan Maret-April 2014. Diagnosis skabies ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan dermatologik. Santri positif skabies diinstruksikan untuk mengoleskan permethrin krim di lesi saja dan empat minggu kemudian dinilai angka kesembuhannya. Data dianalisis menggunakan SPSS versi 20 dan diuji dengan chi square. Terdapat 44 dari santri positif skabies; 41 santri laki-laki dan perempuan. Uji chi-square menunjukkan yang berarti ada perbedaan bermakna prevalensi skabies pada santri laki-laki dan perempuan. Sebanyak 40 santri sembuh dari skabies (angka kesembuhan Tidak terdapat perbedaan signifikan antara tingkat kesembuhan skabies pada santri laki-laki dan perempuan (chi square Disimpulkan permetrin krim 5% yang dioleskan hanya di lesi efektif mengobati skabies dengan angka kesembuhan

ABSTRACT
Scabies is infectious skin diseases that usually occurs in overcrowded places with bad sanitation. First line drug used for the treatment of scabies is permethrin cream applied to the whole body. However application of permethrin cream to whole body causes a discomfort to the patient as well as a lot of side effects, such as burning sensation, pruritus and redness. Objective of this research is to evaluate effectiveness of scabies treatment using permethrin in lesion only application. This repeated cross-sectional study is done in a pesantren in East Jakarta on March April 2014. Diagnosis of scabies is done from anamnesis and dermatological examination. Students with positive scabies infection are instructed to use permethrin cream to the lesion only and four weeks later are evaluated from the cure rate of the disease. The data is then analyze using SPSS 20 and tested with chi square test It is found that 44 out of 188 students are scabies positive 41 students are male and 3 are female. Using chi square test which means that there is a significant difference in the prevalence of scabies in male and female students From the second evaluation it is found that 40 students are treated from scabies There is no significant difference between the cure rate of permethrin amongst male and female student in this pesantren In conclusion, permethrin cream when applied to the lesion only is effective to treat scabies with cure rate of "
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadira Alya Putri
"Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang bersifat anaerob fakultatif, membentuk pigmen kuning, umumnya tumbuh berpasangan maupun berkelompok. Bakteri ini seringkali ditemukan pada saluran pernapasan atas dan kulit. Infeksi S. aureus diasosiasikan dengan beberapa kondisi patologi, diantaranya seperti bisul, jerawat, pneumonia, meningitis, dan arthritits. S. aureus merupakan salah satu bakteri Gram positif yang banyak ditemukan di lingkungan medis yang berpotensi menimbulkan infeksi tak berbahaya maupun gejala lebih serius terhadap pasien rawat inap di rumah sakit. Sebagai upaya pencegahan terjadinya infeksi ringan maupun serius akibat bakteri S. aureus, maka dilakukan metode sterilisasi bakteri. Dalam studi kali ini dilakukan perbandingan efikasi menggunakan metode sterilisasi UV-C dan ozon terhadap Staphylococcus aureus secara in vitro. Bakteri dipaparkan ozon dan sinar UV-C dengan durasi 15, 30 dan 45 menit. Dilakukan pula uji lanjutan sterilisasi stetoskop. Selanjutnya dilakukan analisa Total Plate Count (TPC) untuk mengetahui tingkat kematian bakteri dan dilakukan uji statistik berupa ANOVA, Mann-Whitney, dan Kruskal-Wallis sehingga dapat ditentukan metode sterilisasi yang paling efektif terhadap S. aureus. Penelitian menunjukkan bahwa sterilisasi menggunakan sinar UV-C dan ozon paling efektif pada durasi paparan 30 menit.

Staphylococcus aureus is a facultatively anaerobic bacteria, producing yellow pigments, generally grown in pairs or groups. These bacteria are often found in the upper respiratory tract and skin. S. aureus infection is associated with several pathological conditions, including ulcers, acne, pneumonia, meningitis, and arthritis. S. aureus is one of the Gram-positive bacteria found in many medical environments that have the potential to cause harmless infections or more serious symptoms to hospitalization patients. As an effort to prevent the occurrence of mild and serious infections due to S. aureus bacteria, the method of sterilization of bacteria is carried out. In this study, efficacy comparisons were conducted using UV-C and ozone sterilization methods against Staphylococcus aureus bacteria. Bacteria are exposed to ozone and UV-C light with durations of 15, 30 and 45 minutes. Further tests of stethoscope sterilization are also carried out. Furthermore, Total Plate Count (TPC) analysis is performed to determine bacterial mortality rates and statistical tests in the form of ANOVA, Mann-Whitney, and Kruskal-Wallis can be determined so that the most effective sterilization methods against S. aureus can be determined. Research shows that sterilization using UV-C light and ozone is most effective at an exposure duration of 30 minutes."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Masayu Siti Gumala Sari
"Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif yang berperan sebagai flora normal sekaligus patogen penting pada manusia. Asam galat atau 3,4,5-asam trihidroksibenzoat merupakan senyawa polifenol yang memiliki banyak kegunaan seperti pada industri, makanan antioksidan, serta industri farmasi. Asam galat juga memiliki potensi untuk menjadi agen antimikroba berspektrum luas. Modifikasi gugus karboksil maupun hidroksil pada asam galat akan menghasilkan senyawa turunan asam galat yang diharapkan lebih aktif sebagai antimikroba dibandingkan asam galat.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat aktivitas antimikroba senyawa turunan asam galat terhadap Staphylococcus aureus. Pengujian dilakukan secara duplo pada asam galat dan 10 turunan asam galat dengan antibiotik amoksisilin sebagai kontrol positif menggunakan metode makrodilusi dan uji konfirmasi pada agar darah.
Hasil penelitian diambil dari nilai KHM Konsentrasi Hambat Minimum pada uji plat agar darah yang menunjukkan bahwa lima senyawa turunan asam galat yaitu senyawa 2-fenil-etil galat 4, benzil galat 6, amil galat 8, isoamil galat 9, dan sekunder amil galat 10 memiliki aktivitas antimikroba yang lebih baik dibandingkan asam galat dengan KHM masing-masing 989 g/mL, 983,5 g/mL, 455,5 g/mL, 972 g/mL, dan 1089 g/mL. Aktivitas antimikroba kelima senyawa turunan ini dipengaruhi oleh panjang rantai alkil ester yang optimal, struktur gugus alkil lurus, dan adanya gugus aromatik benzena.

Staphylococcus aureus is a gram positive bacteria that acts both as a normal flora and as an important human pathogens. Gallic acid or 3,4,5 trihydroxybenzoic acid is a polyphenol compounds that have many uses such as in industry, for antioxidant foods, and pharmaceutical industries. In addition, gallic acid has the potential to be a broad spectrum antimicrobial agents. Modification of carboxyl and hydroxyl groups on the gallic acid will generate gallic acid derivative compounds which are expected to be more active as an antimicrobial agent than gallic acid.
This study aimed to examine the antimicrobial activity of gallic acid derivatives against Staphylococcus aureus. The test was done in duplicate on gallic acid and 10 gallic acid derivative compounds with antibiotic amoxicillin as a positive control with macrodilution tube method and confirmation test by blood agar.
The results were taken from MIC Minimum Inhibitory Concentration on blood agar plate test which showed that five gallic acid derivative compounds, 2 phenyl ethyl gallate 4, benzyl gallate 6, amyl gallate 8, isoamyl gallate 9, and the secondary amyl gallate 10 has antimicrobial activity better than gallic acid with MIC of each is 989 g mL, 983.5 g mL, 455.5 g mL, 972 g mL and 1089 g mL. The antimicrobial activity of the fifth derivatives is influenced by optimum long chain alkyl ester, the straight structure of alkyl groups, and the presence of benzene aromatic group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70349
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Pratiwi
"Kolonisasi SA merupakan salah satu faktor ekstrinsik yang berperan sebagai pencetus eksaserbasi dan menetapnya inflamasi kulit DA. Prevalensi kolonisasi SA pada pasien DA lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum, baik pada lesi kulit, kulit nonlesi, maupun nares anterior. Kolonisasi SA di nares anterior berperan sebagai reservoir dan merupakan faktor panting untuk kolonisasi kulit. Data tentang kolonisasi SA nasal pada pasien DA bayi dan anak di Indonesia belum ada. Belum diketahui apakah densitas koloni SA nasal berhubungan dengan derajat keparahan DA bayi dan anak.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data perbandingan prevalensi kolonisasi SA nasal pasien DA bayi dan anak dengan bayi dan anak nonDA. Selain itu untuk mencari hubungan antara derajat densitas koloni SA nasal dengan derajat keparahan DA bayi dan anak. Penelitian ini adalah penelitian potong lintang dengan membandingkan antar kelompok (comparative cross sectional).
Penelitian dimulai pada bulan September 2004 sampai Januari 2005 di Poliklinik Divisi Dermatologi Anak Departemen IKKK RSCM, Jakarta. Pemeriksaan biakan untuk identifikasi dan hitung koloni SA dilakukan di Divisi Mikrobiologi Departemen Patologi Klinik RSCM, Jakarta.
Subyek penelitian terdiri atas 42 orang yang datang ke Poliklinik Divisi Dermatologi Anak Departemen IKKK RSCM dan memenuhi kriteria penerimaan serta penolakan. Subyek penelitian dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu 21 orang sebagai kelompok pasien DA dan 21 orang nonDA sebagai kelompok kontrol.
Variabel bebas yang diteliti adalah kolonisasi dan densitas koloni SA nasal, sedangkan variabel tergantung adalah derajat keparahan DA. Diagnosis DA ditegakkan berdasarkan kriteria Hanifin dan Rajka (1989). Dilakukan pencatatan derajat keparahan DA dengan skor EASI.
Hasil penelitian adalah sebagai berikut:
1. Karakteristik subyek penelitian
Usia, jenis kelamin, riwayat atopi diri selain DA, dan riwayat atopi keluarga antara kedua kelompok sebanding. Usia termuda 6 bulan dan tertua 13 tahun 11 bulan. Subyek penelitian terbanyak berusia 5 -14 tahun, yaitu 52%.
Pada kelompok pasien DA, 80,8% merupakan pasien DA fase anak. Pasien DA laki-laki 1,3 kali lebih banyak daripada perempuan. Terdapat 3 (14,3%) pasien DA yang disertai riwayat RA dan 2 (9,5%) pasien dengan riwayat asma bronkial. Tidak ditemukan pasien DA yang memiliki 2 manifestasi atopi saluran papas.
Usia awitan DA bervariasi antara 1 bulan - 12 tahun, terbanyak pada kelompok usia 1-5 tahun yaitu 8 (38,1%) pasien. Saat penelitian, 14 (66,5%) pasien menderita episode DA kurang dari 2 minggu. Frekuensi kekambuhan penyakit terbanyak terjadi 3 - 6 kali/tahun, yaitu pada 7 (33,2%) pasien.
2.Prevalensi kolonisasi SA nasal
Kolonisasi SA nasal pada pasien DA didapat pada 16 (76,2%) kasus, sedangkan pada kelompok kontrol ditemukan pada 8 (38,1%). Dengan menggunakan uji Chi-square didapat perbedaan bermakna (p=0,029). Prevalensi kolonisasi SA nasal bayi dan anak DA lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol.
3.Hubungan derajat keparahan DA dengan densitas koloni SN nasal dengan menggunakan uji Kruskal Wallis tidak terdapat hubungan bermakna antara derajat keparahan DA yang dihitung berdasarkan skor EASI dengan densitas koloni SA nasal (p=0.834)"
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Indonesian Journal of Dentistry 2006; Edisi Khusus KPPIKG XIV: 279-283
Zeolite is a pore mineral occupied by ions and water molecules. Heat activation of zeolite causes the release water molecules, from the pores and increases zeolite adsorbance capacity. Zeolite can he used as an antimicrobial agent by shifting its cation with other cation that has antimicrobial effect. The aim of this research is to determine the influence of heat activation and Cu addition on zeolite towards its antimicrobial effect on Staphytococcus aureus. There were 5 groups for heat activation of zeolite experiment: room temperature (100°C, 200°C, 300°C, and 400°C). Using effective heat activation temperature, the research was continued to determine the effect of Cu addition on Staphylococcus aureus growth. There were 4 goups of Cu concentration addition on zeolite: 0.025 M, 0.05 M, 0.1 M, and 0.2 M. Antimicrobial test of Cu-zeolite was determined by diffusion method. The data were analyzed by using Anova and LSD. The result showed that there was a significant difference among various zeolite heat activation toward Staphylococcus aureus growth (p<0.05). The temperature of 200°C became the effective heat activation of zeolite against Staphyloccus aureus growth.It also showed a significant effect of various Cu concentration additions on zeolite towards Staphylococcus aureus growth (p<0.05). In conclusion, zeolite heat activation up to 400°C and the addition of Cu on zeolite up to 0.2 M influence the antimicrobial effect on Staphylococcus aureus."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada, 2006
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nadiza Zahrani Putri
"Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif yang berbentuk bulat, tersusun seperti anggur, serta bersifat patogen oportunisik. Pemberian antibiotik methicillin yang berlebihan dapat menyebabkan munculnya Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Penanda resistan pada MRSA antara lain, gen mecA dan femA. Strain MRSA dapat terbagi menjadi tiga kelompok berdasarkan tipe kaset kromosom mec (SCCmec), yaitu Healthcare-associated MRSA (HA-MRSA), Community-associated MRSA (CA-MRSA), dan Livestock-associated MRSA (LA-MRSA). Penyebaran dari MRSA yang terjadi di komunitas dapat terjadi di pasar burung dan menjadi sumber dari penyakit zoonotik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeteksi keberadaan dari gen mecA dan femA pada Staphylococcus aureus yang diisolasi dari lingkungan pasar burung. Pendeteksian MRSA dilakukan dengan mengisolasi bakteri dari udara di Pasar Burung Pramuka menggunakan metode settle plate pada medium selektif diferensial MSA. Isolat-isolat yang memberi warna kuning pada medium MSA kemudian dianalisis molekuler menggunakan multiplex PCR. Primer penanda gen yang digunakan yaitu STPY (257 bp), mecA (297 bp), dan femA (454 bp). Terdapat 15 isolat positif Methicillin-resistant Staphylococci (MRS), yang terdiri dari 14 isolat MRSA dan 1 isolat S. aureus (MRnSA). Hasil sekuens dari PCR isolat MRnSA menggunakan primer 16S rRNA universal menunjukkan spesies Staphylococcus saprophyticus.

Staphylococcus aureus is a Gram-positive, round-shaped arranged resembling grapes, and considered as an opportunistic pathogen. Excessive administration of antibiotic methicillin can lead to emergence of Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Resistant markers in MRSA, is mecA and femA genes. Strains of MRSA can be classified into three groups based on the type of chromosomal cassette mec (SCCmec), namely Healthcare-associated MRSA (HA-MRSA), Community-associated MRSA (CA-MRSA), and Livestock-associated MRSA (LA-MRSA). Spread of MRSA in communities can occur in bird markets and serve as a source of zoonotic diseases. Aim of this study is to detect the presence of the mecA and femA genes in Staphylococcus aureus isolated from the bird market environment. Detection of MRSA performed by isolating bacteria from air at Pramuka Bird Market used settle plate method on selective differential medium MSA. Isolates that exhibited a yellow color on MSA medium were then molecularly analyzed using multiplex PCR. Marker gene primers used were STPY (257 bp), mecA (297 bp), and femA (454 bp). There were 15 positive isolates of Methicillin-resistant Staphylococci (MRS), comprising 14 MRSA isolates and 1 non-S. aureus isolate (MRnSA). The sequencing results of the PCR isolate MRnSA using 16S rRNA univesal primers indicated the species Staphylococcus saprophyticus."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Rahimah
"Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen penyebab infeksi kulit hingga pneumonia. Keberadaan S. aureus dengan sifat resistan antibiotik atau disebut sebagai Methicillin-Resistant Staohylococcus aureus (MRSA) menjadi salah satu masalah kesehatan dunia. Sifat resisten antibiotik pada S. aureus dimediasi oleh dua gen, yaitu yaitu mecA dan femA. Bakteri MRSA dapat menyebar di lingkungan, salah satunya melalui sungai. Isolasi dari sampel air sungai dilakukan menggunakan metode membrane filtration yang ditumbuhkan pada medium selektif mannitol salt agar (MSA). Koloni tunggal yang memiliki warna kuning serta berhasil merubah warna medium dipilih untuk analisis lebih lanjut secara molekuler. Pendeteksian molekuler menggunakan gen STPY (257 bp), mecA (297 bp), dan femA (454 bp) dilakukan untuk memastikan spesies S. aureus dan keberadaan gen resistan. Hasil penelitian berhasil mengisolasi 16 isolat yang melalui uji molekuler didapatkan bahwa 12 di antaranya merupakan MRSA karena positif gen STPY, mecA, dan femA, atau kombinasi keduanya. Sedangkan 4 isolat lainnya terdeteksi sebagai Methicillin Resitant Stapylococcus non-aureus (MRnSA) karena tidak memiliki gen STPY, tetapi menujukkan keberadaan gen 16S rRNA Universal dan gen resistan. Empat isolat tersebut kemudian melalu tahapan sequencing dan terdeteksi sebagai S. gallinarum dan S. sciuri. Penemuan MRSA di sungai menujukkan adanya potensi penyebaran MRSA yang mendukung perluasan pemahaman mengenai keberadaan bakteri resistan antibiotik di lingkungan yang berpotensi membahayakan kesehatan masyarakat.

Staphylococcus aureus is a pathogenic bacterium that causes skin infections and pneumonia. The existence of S. aureus with antibiotic-resistant properties or referred as Methicillin-Resistant Staohylococcus aureus (MRSA) is one of the world's health problems. The antibiotic-resistant nature of S. aureus is mediated by two genes, mecA and femA. MRSA bacteria can spread in the environment, one of which is through rivers. Isolation from river water samples was carried out using the membrane filtration method grown on selective mannitol salt agar (MSA). Single colonies that had a yellow color and changed the color of the medium were selected for molecular analysis. Molecular detection using the STPY (257 bp), mecA (297 bp), and femA (454 bp) genes was performed to confirm S. aureus species and the presence of resistance genes. The results of the study successfully isolated 16 isolates which through molecular testing found that 12 were MRSA because they were positive for the STPY, mecA, and femA genes, or a combination of both. While the other 4 isolates were detected as Methicillin Resitant Stapylococcus non-aureus (MRnSA) because they did not have the STPY gene, but showed the presence of the Universal 16S rRNA gene and the resistance gene. The four isolates then went through sequencing and were detected as S. gallinarum and S. sciuri. The discovery of MRSA in the river indicates the potential spread of MRSA which supports the expansion of understanding of the presence of antibiotic-resistant bacteria in the environment that could potentially endanger public health."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>