Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 180573 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agit Desy Noor
"Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 menyebabkan semakin banyaknya perjanjian perkawinan yang dibuat oleh masyarakat di Indonesia, khususnya dalam perkawinan campuran. Dalam UU No. 1 Tahun 1974 (UU Perkawinan), ruang lingkup dalam perjanjian perkawinan merupakan harta benda perkawinan serta perjanjian lainnya asalkan tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan. Perjanjian perkawinan pada perkawinan campuran yang ada di Indonesia membuat adanya unsur asing dalam perjanjian tersebut sehingga merupakan persoalan Hukum Perdata Internasional. Diskursus mengenai perjanjian perkawinan pada perkawinan campuran belum terdapat pembahasan dan analisis yang lebih lanjut setelah pembahasan dari Sudargo Gautama dalam bukunya Hukum Perdata Internasional Jilid Ketujuh. Oleh karena itu, skripsi ini akan membahas serta menganalisis perjanjian perkawinan pada perkawinan campuran ditinjau dari segi Hukum Perdata Internasional dengan menganalisis Akta Perjanjian Kawin Nomor X, Y dan Z.

Nuptial Agreements After Constitutional Court Decree Number 69/PUU-XIII/2015 led to the increasing number of nuptial agreements made by the people in Indonesia, especially in mixed marriages. In Law No. 1 of 1974 (Marriage Act), the scope of the marriage agreement is the property of marriage and other agreements. However, it must not violate public order or morality. Nuptial agreements on mixed marriages at Indonesia create foreign element in the agreement so that it is a matter of Private International Law. Discourse about nuptial agreements on mixed marriages has not been discussed and further analysis after the discussion of Sudargo Gautama in his book, Indonesian Private International Law Chapter 7th. Therefore, this thesis will discuss and analyze nuptial agreements in mixed marriages in terms of Private International Law with examples of Notarial Deed of Nuptial Agreements X, Y and Z."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dodi Gunawan Ciptadi
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas pelaksanaan pasal 61 Undang-Undang no. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian yang secara khusus telah memberikan peluang bagi warga negara asing yang menikah dengan warga negara Indonesia beserta anak hasil perkawinannya untuk dapat tinggal dan melakukan pekerjaan atau usaha di Indonesia. Metode penelitian ini menggunakan deskriptif yang memberikan gambaran mengenai kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, dan tentang kecendrungan yang tengah berlangsung. Diperlukan responden-responden yang dianggap mampu dan mempunyai kompetensi untuk memberikan informasi tentang masalah penelitian ini.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan undang-undang tersebut belum sepenuhnya berjalan efektif karena masih disharmonis dengan aturan yang ada di bidang ketenagakerjaan. Ketidakpastian hukum yang dirasakan para subjek perkawinan campuran di Indonesia menjadi kendala serius sebagai akibat terjadinya disharmonisasi peraturan tersebut. Atas dasar hal tersebut, pemerintah Indonesia semestinya harus segera mengatasi permasalahan disharmonisasi peraturan tersebut.

This research is to analyze the effectiveness of the implementation of article 61 of the Act No. 6 year 2011 concerning Immigration, which has provided opportunity for any foreigners who are married to an Indonesian, also for any children  born to this marriage, to live and to work or to have business in Indonesia. The research utilized a descriptive method which provides description of condition or relations, developed ideas, undergoing processes, results or effects, and also of continuing trends in the matter. The respondents needed to this research are those who considered to be qualified in  having competencies to give information regarding the object of the research.
The research  has concluded in a conclusion that the implementation of the said law has not yet been effective, as there were still disharmony between those law and manpower regulations. The legal uncertainty, felt by those who are the subject of mix-marriage in Indonesia, still becomes  serious challenges that resulted from the disharmony. Therefore, the research  recommends the Government of Indonesia to immediately resolve the disharmony between those law and manpower regulations.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indira Maya Audina
"Perkawinan merupakan hubungan pria dan wanita untuk hidup bersama yang mana hubungan itu bersifat kekal dan diakui negara. Selama masa perkawinan terkumpul harta yang menjadi milik bersama. Namun, ada dorongan untuk dapat mengelola sendiri harta yang diperoleh selama masa perkawinan, adapun upaya yang dapat ditempuh untuk pemisahan harta benda dalam perkawinan yaitu dengan membuat perjanjian perkawinan. Dengan ini penulis ingin membuat penelitian dengan rumusan masalah sebagai berikut : 1) Bagaimana mekanisme dalam pembuatan perjanjian perkawinan yang berlaku surut dengan adanya Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 818/Pdt.P/2018/PN.Jkt.Sel 2) Bagaimana ketentuan untuk melindungi kepentingan pihak ketiga dalam perjanjian perkawinan yang berlaku surut? 3) Bagaimana peran Notaris dalam pembuatan perjanjian perkawinan pasca Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015?; Penelitian ini dibuat dengan metode penelitian Yuridis Normatif. UU Perkawinan mengatur perjanjian perkawinan dibuat sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung. Sejalan dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan hukum, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang mengubah perjanjian perkawinan dapat dibuat selama dalam masa perkawinan. Di sisi lain. Adanya perubahan berdasarkan putusan tersebut membuat potensi bagi pasangan suami istri ingin mengatur harta bersama yang telah diperoleh selama perkawinannya. Perjanjian perkawinan tersebut dapat dibuat dengan cara pasangan suami istri terlebih dahulu meminta penetapan pengadilan untuk harta benda apa saja yang akan diatur pemisahannya, dengan begitu Notaris dapat membuat akta perjanjian perkawinan berdasarkan penetapan pengadilan tersebut.

Marriage is a relationship between a man and a woman to live together in which such a relationship is eternal and recognized by the state. Throughout the marriage period, the jointly owned assets are collected. However, there is an urge to be able to manage the assets acquired during the marriage period personally, as for the efforts that can be taken for the separation of property in marriage, namely by making a marriage agreement. Based on the description above, the writer desires to make a research with the formulation of the problem as follows: 1) What are the provisions for making a marriage agreement in Indonesia? 2) What is the mechanism for making a retroactive marriage agreement? 3) What are the roles of the Notary in making a marriage agreement after the Judgment of the Constitutional Court No. 69/PUU-XIII/2015?. This research was made by applying a normative juridical research method. Marriage Law stipulates that a marriage agreement shall be made before or at the time of the marriage. In line with the development of society and legal needs, the Constitutional Court issued Judgment Number 69/PUU-XIII/2015 which amends that the marriage agreement can be made during the marriage period. Besides, the changes based on such judgment create the potential for married couples wanting to regulate joint assets that have been obtained during their marriage. The marriage agreement can be made by the marriage couple first requesting a court order for any property to be separated, so that the notary can make a marriage agreement deed based on the court's judgment."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamdi Haykal Miswar
"Pada tanggal 27 Oktober 2016, MK RI telah mengeluarkan putusan nomor 69/PUU-XIII/2015 yang merubah bunyi Pasal 29 ayat (1), (3), dan (4) UU Perkawinan. Namun, sampai saat ini belum ada ketentuan yang mengatur tentang pelaksanaan perjanjian perkawinan pasca Putusan MK tersebut sehingga menimbulkan permasalahan. Salah satu permasalahan yang muncul ke permukaan adalah tentang penerapan asas publisitas terhadap perubahan perjanjian perkawinan pasca Putusan MK. Penelitian skripsi ini mengungkap tentang bagaimana pengaturan perubahan perjanjian perkawinan dan bagaimana penerapan asas publisitas terhadap perubahan perjanjian perkawinan pasca putusan MK tersebut. Untuk itu, digunakan metode penelitian hukum yuridis normatif dengan fokus kajian pada bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Untuk memperkuat bahan hukum tersebut dilakukan wawancara dengan beberapa narasumber terkait. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan, perubahan pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan pasca Putusan MK ini membawa pengaruh kepada pengaturan perubahan perjanjian perkawinan, sedangkan prosedur dan tata cara pelaksanaannya belum diatur sehingga dapat menimbulkan kerugian terhadap pihak ketiga. Selain itu, mengenai penerapan asas publisitas terhadap perubahan perjanjian perkawinan di dalam pasal 29 ayat (1) pasca Putusan MK hanya ditentukan untuk disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris sebelum berlaku kepada pihak ketiga sehingga asas publisitasnya belum terpenuhi karena dengan pengesahan tidak berarti telah diumumkan, sehingga pihak ketiga dapat dirugikan. Atas dasar itu, penulis merekomendasikan agar segera dilakukan revisi khususnya pasal 29 ayat (1), (3), dan (4) UU Perkawinan diikuti dengan penambahan penjelasan dalam PP terkait prosedur dan tata cara perubahan perjanjian perkawinan supaya memberikan dasar hukum yang kuat bagi notaris dalam melaksanakan Putusan MK tersebut.

On October 27, 2016, the Constitutional Court of the Republic of Indonesia issued a decision number 69 / PUU-XIII / 2015 which changed the sound of article 29 paragraph (1), (3), and (4) of Marriage Law. However, until now there is no provision that regulates the implementation of marriage after the Constitutional Court's decision so that cause problems. One of the problems that arise is about the application of the principle of publicity to the change of marriage agreement after the Constitutional Court Decision. This thesis research reveals how the arrangement of change of marriage agreement and how the application of publicity principle to change of marriage agreement after the Constitutional Court decision. For that, the researcher use the juridical normative methods focusing the analysis on the the primary, secondary, and tertiary legal materials. To strengthen the legal material is done with several relevant sources. Based on the results of the review, the amendment of Article 29 paragraph (1) of the Marriage Law after the Constitutional Court's Decision has had an effect on the arrangement of amendments to the marriage agreement, while the procedures and procedures for implementation are not yet reliable for third parties. In addition, concerning the application of the principle of publicity to the amendment of the marriage agreement in article 29 paragraph (1) after the Constitutional Court Decision is only determined to be approved by the marriage or notary before applying to a third party so that the publicity principle has not been fulfilled because with no validation has been announced, third parties can be harmed. On that basis, the author suggest to promptly revise in particular Article 29 paragraphs (1), (3), and (4) of the Marriage Law with additional explanation in the Implementing regulation relating to the procedures and procedures for amending the marriage agreement which provide a firm legal basis for the notary in carry out the Constitutional Court Decision."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lina Tubagus
"ABSTRAK
Permasalahan mengenai pembuatan perjanjian perkawinan selama ikatan perkawinan kini dihalalkan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 ldquo;Putusan MK rdquo; . Secara daya laku Putusan MK langsung berlaku mengikat saat diputuskan. Namun soal efektivitas menjadi bermasalah karena untuk hal-hal teknis dalam pelaksanaan Putusan MK diperlukan pelaksanaan lebih lanjut tentang pengesahan perjanjian perkawinan yang dilakukan oleh pencatat perkawinan. Dalam hal ini telah hadir Surat Dirjen untuk mengatasi teknis pelaksanaan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk memahami pelaksanaan perjanjian perkawinan pasca Putusan MK yang ditindaklanjuti oleh Surat Dirjen/Surat Edaran. Hal tersebut menimbulkan tiga pokok masalah. Pertama, mengenai tanggung jawab notaris terhadap pelaksanaan perjanjian perkawinan pasca Putusan MK. Kedua, bentuk perjanjian perkawinan yang ideal. Ketiga, kedudukan hukum dan kekuatan mengikat Surat Dirjen. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan tipologi penelitian fact finding dan evaluatif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tanggung jawab notaris harus dijalankan sesuai kewenangan dan kewajibannya dalam Pasal 15 dan 16 Undang-Undang Jabatan Notaris dan undang-undang lain yang berlaku dengan cara sebelum perjanjian perkawinan dibuat notaris seyogyanya memverifikasi keterangan dan data harta perkawinan yang suami isteri sampaikan, meminta daftar inventarisasi harta perkawinan suami isteri guna dilampirkan dalam perjanjian perkawinan, memberi penyuluhan hukum serta memuat klausul ldquo;Perjanjian perkawinan yang dibuat selama ikatan perkawinan berikut perubahan dan pencabutannya berlaku sepanjang tidak merugikan pihak ketiga dan harta perkawinan tidak pernah ditransaksikan dengan cara dan bentuk apapun, untuk dan kepada siapapun rdquo;; guna menjembatani bentuk perjanjian perkawinan yang berbeda antara praktik dengan teori, maka idealnya bentuk akta perjanjian perkawinan dibuat notaril guna melindungi kepentingan para pihak, pihak ketiga dan KCS/KUA; kedudukan hukum Surat Dirjen bukanlah peraturan perundang-undangan maupun peraturan pelaksanaan sebagaimana dalam ketentuan UU No. 12/2011 dan kekuatan mengikatnya hanya mengikat internal Dukcapil dan Bimas Islam, tidak mengikat notaris dan suami/isteri. Oleh karenanya, untuk menjaga konsistensi dan kepastian hukum, idealnya Putusan MK ditindaklanjuti dengan perevisian Pasal 29 UUP lalu dibuat peraturan pelaksana berbentuk Peraturan Presiden atau minimal Peraturan Dirjen.Kata kunci:Perjanjian Perkawinan, Akta Notaril, Surat Dirjen.

ABSTRACT
The issue of a marriage agreement constructing during the marriage bond is now lawful under the Constitutional Court CC Verdict No. 69 PUU XIII 2015. Validitily, CC Verdict is directly binding when it is decided. But on the effectiveness becomes problematic because for the technical matters in the execution of CC Verdict is required further implementation on the marriage agreement legalization which legalized by marriage registrar. In this case the Directorate General Letter has been present to overcome the technical implementation. This raises three main issues. First, notary responsibility on the marriage agreement implementation post Verdict. Second, ideal marriage agreement form. Third, Directorate General Letter legal standing and binding power. This research uses normative juridical research method with fact finding and evaluative typology. This research results indicate that the notary responsibility should be executed according to the notary authority and obligations on Article 15 and 16 Act of Notary Incumbency and other prevailing laws by way of before the marriage agreement is constructed, the notary should verify the information and data of marriage treasure that is given by the husband and wife, ask the inventory list of husband rsquo s and wife rsquo s marriage treasure to be attached on the marriage agreement, give a legal counseling, and contain the clause Marriage Agreement that is made during the marriage bond and its amendment and revocation prevail as long as not harming the third party and the marriage treasures are never transacted in any manner and form, for and to anyone in order to bridge the difference of marriage agreement form between practice and theory, ideally the form of marriage agreement deed is made in notarial in order to protect the interests of the parties, third parties and KCS KUA and the Directorate General Letter legal standing is not a legislation or implementing regulation in accordance with the provisions of Act No. 12 2011 and its binding power only binds the internal of Dukcapil and Bimas Islam, not binding notary and spouses. Therefore, to maintain legal consistency and legal certainty, ideally the Constitutional Court Verdict is followed up by the revision of Chapter 29 UUP then is made the implementing regulation in the form of Presidential Regulation or at least the Regulation of Directorate General.Keyword Marriage Agreement, Notarial Deed, Directorate General Letter"
2018
T50962
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herman Yoseph
"Perkawinan antar mereka yang berbeda agama, tidak diatur dalam UU No. 1/1974 Tentang Perkawinan. Pasal 57 UU No. 1/1974 itu hanya mengatur mengenai perkawinan campur yang didasarkan pada perbedaan kewarganegaraan, di mana salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Di masyarakat Indonesia yang majemuk perkawinan antar orang-orang yang berbeda agama sering tak terhindarkan, meskipun dalam praktik sering ada banyak kesulitan dan hambatan. Kesulitan yang sama dialami oleh mereka yang menganut agama atau kepercayaan yang tidak diakui resmi oleh pemerintah sampai sekarang tidak ada peraturan perundang-undangan yang menghormati dan melindungi kepetingan dan hak-hak mereka karena Pasal 2 ayat (1) UU No. 1/ 1974 menetapkan bahwa perkawinan hanyalah sah bila dilakukan menurut agama dan kepercayaannya itu. Maka praktis, segolongan warga negara yang agama atau kepercayaannya tidak diakui secara resmi oleh pemerintah, menjadi seperti dianak-tirikan dalam pelayanan publik pemerintah sehingga mereka sulit memperoleh hak-hak mereka sebagai warga negara Indonesia. Untunglah, ketentuan peralihan, Pasal 66 UU No. 1/1974, masih memberi celah untuk masih dapat menggunakan 'Peraturan Perkawinan Campur' S 1898 No/158 dan 'Ordonansi Perkawinan Kristen Indonesia Jawa, Minahasa dan Ambon' S 1933 No.74, serta Pasal 83 dan Pasal 84 B.W. (KUH Perdata). Ketiga peraturan perundang-undangan itu meskipun tidak tuntas menyelesaikan persoalan perkawinan antar mereka yang berbeda agama setidak-tidaknya memberi jalan keluar minus malum (maksudnya kalau tidak ada rotan, akarpun jadilah). Hukum agama-agama yang ada di Indonesia sangat berbeda satu dari yang lain, masing-masing mandiri dan tidak saling berkaitan karenanya juga tidak dapat saling di damaikan. Bagi agama-agama, kawin campur agama selamanya dilarang dan menjadi halangan perkawinan; itu artinya tidak dapat diharapkan suatu pemecahan masalah perkawinan campur agama dari hukum agama-agama itu sendiri. Satu-satunya cara bagi bangsa Indonesia untuk dapat memecahkan soal Perkawinan Antar Mereka Yang Berbeda Agama adalah mengamandemen UU No.l/1974, alternatif lain satu-satunya adalah membuat undang-undang baru mengenai perkawinan yang memungkinkan orang-orang berbeda agama atau orang-orang yang agama dan atau kepercayaannya tidak diakui resmi oleh pemerintah bisa memperoleh hak-hak mereka. Undang-undang baru mengenai perkawinan itu harus mencerminkan semangat dan jiwa ayat (1) Pasal 27 UUD Negara Republik Indonesia 1945."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
S21174
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabilah Shafa
"Perceraian dari perkawinan di luar negeri dan perkawinan campuran internasional dapat dikatakan sebagai perceraian dengan unsur asing. Dalam perkara perceraian dengan unsur asing ini jika ditinjau dari segi HPI memiliki persoalan pokok yang menyangkut pada penentuan hukum yang berlaku serta kewenangan mengadili dari sebuah forum. Dalam prakteknya, ketika perkara perceraian yang melibatkan unsur asing diajukan di hadapan pengadilan Indonesia, maka hukum yang digunakan dalam perkara-perkara perceraian tersebut selama ini adalah lex fori, yakni hukum Indonesia. Sementara itu, dengan adanya perbedaan hukum yang mengatur perceraian serta forum tempat mengadili perceraian yang mungkin berbeda dengan hukum dan forum perkawinan menyebabkan permasalahan perceraian dengan unsur asing menjadi kompleks, Penelitian ini akan membahas serta menganalisis mengenai pertimbangan hakim terhadap forum yang berwenang dan lex fori sebagai hukum yang berlaku dalam perkara-perkara perceraian di Indonesia yakni Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor 0304/Pdt.G/2014/PA.JP, Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor Register Perkara 1978/Pdt.G/2017/PA.Tng.Nomor, dan Putusan Pengadilan Negeri Singaraja Nomor 449/Pdt.G/2015/PN.Sg. Penelitian ini akan mengaitkan pertimbangan-pertimbangan tersebut dengan teori-teori HPI.

Divorce from marriage abroad and international mixed marriage in Indonesia can be considered as divorce with foreign elements. In the case of divorce with foreign elements, if viewed from the Private International Law (PIL) point of view, has the main problem concerning the determination of the applicable law and the competent to adjudicate from a forum. In practice, when cases such as divorce with foreign elements are presented before an Indonesian court, then the law used in divorce cases so far is lex fori, specifically Indonesian law. In fact, due to the differences of the laws governing divorce as well as forums where the divorce proceedings may be different from the law and marriage forums, the problem of divorce with foreign elements becomes complex. This research will discuss and analyze the judges' consideration of the authorized forum and lex fori as the applicable law in the case of Central Jakarta Religious Court Decision Number 0304 / Pdt.G / 2014 / PA.JP, Tangerang Religious Court Decision Case Registration Number 1978 / Pdt.G / 2017 / PA.Tng, and Singaraja District Court Decision Number 449 / Pdt.G / 2015 / PN.Sg. This research will correlate these considerations with PIL theories."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nirmala Subroto
"Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975 melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975. Ada pihak yang berpendapat bahwa perkawinan antaragama belum diatur dalam UU No. 1/1974, padahal pasal 2 ayat (1) UU tersebut memberi perumusan tentang perkawinan antaragama. Kasus perkawinan antaragama inilah yang penulis bahas melalui studi kepustakaan dan studi lapangan serta studi perundang-undangan yang khusus membahas tentang perkawinan, baik dari sudut hukum agama maupun hukum negara disertakan pula komentar para pakar hukum yang pernah diwawancara dan dimuat di media baik majalah maupun surat kabar. Skripsi ini bermaksud mencari jawaban persoalan perkawinan antaragama, apakah dapat dipandang sebagai suatu perkawinan yang sah, baik menurut hukum agama maupun menurut nukum negara. Ataukah sebetulnya hanya suatu keabsahan yang semu belaka alias tidak sah. Pada bulan Agustus 2002 terjadi suatu perkawinan antara seorang penyanyi beragama Islam dan seorang laki-laki beragama Kristen. Untuk mencari keabsahan, mereka membuat akta perkawinan di Australia, pulang ke Indonesia akta didaftarkan ke Catatan Sipil Bekasi. Petugas Catatan Sipil mencatatnya karena akta perkawinan tersebut adalah sah menurut hukum yang berlaku di Australia. Mengamati semua proses yang ditempuh itu, pada akhir penulisan diperoleh kesimpulan, dipandang dari Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa perkawinan antaragama adalah perkawinan yang dilarang oleh hukum agama dan karenanya merupakan perkawinan yang tidak sah. Kesimpulan ini tentunya selaras dengan penjelasan perumusan pasal 2 ayat (1) UU No. 1/1974, yakni tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya. Sekiranya dapat diterima oleh pihak yang berkepentingan, penulis menyarankan bahwa beda agama sama sekali tidak menghalangi orang untuk bersahabat dan bekerjasama, namun sangat menghalangi atau melarang untuk mewujudkannya dalam sebuah perkawinan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S20630
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>