Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 137402 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ainul Mardhiyah
"Penelitian ini membahas konflik Aceh dalam cerpen “Jaring-Jaring Merah”, “Dua Tengkorak Kepala”, dan “Safrida Askariyah”. Penelitian ini bertujuan menjelaskan situasi konflik Aceh semasa pemberontakan GAM yang digambarkan dalam ketiga cerpen tersebut, serta mengungkapkan perbedaan yang menegaskan sikap dan ideologi para pengarang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode analisis deskriptif komparatif, sedangkan sumber data penelitian yang digunakan adalah teks cerpen “Jaring-Jaring Merah” karya Helvy Tiana Rosa, cerpen “Dua Tengkorak Kepala” karya Motinggo Busye, dan cerpen “Safrida Askariyah” karya Alimuddin. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini sosiologi sastra. Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa meskipun mengangkat tema yang sama, yaitu konflik Aceh, ketiga cerpen tersebut memiliki fokus bahasan yang berbeda. Cerpen “Jaring-jaring Merah” dan “Safrida Askariyah” memfokuskan ceritanya pada kondisi psikologis perempuan korban perkosaan tentara, sedangkan cerpen “Dua Tengkorak Kepala” memfokuskan cerita pada korban-korban yang ditembak mati oleh tentara pada masa konflik Aceh. Dalam cerpen-cerpen mereka, Rosa, Busye, dan Alimuddin mengkritik cara kekerasan yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalam memberantas GAM dan menuntut adanya penindakan terhadap masalah tersebut

This research discusses Aceh conflict inside the short story titled “Jaring-Jaring Merah” (Red Net), “Dua Tengkorak Kepala” (Two Head Skull), and “Safrida Askariyah”. The purpose of the research is to explain the situation in Aceh during the rebellion of Free Aceh Movement. Another purpose is to reveal the different attitudes and ideologies of the authors. The research uses descriptive analysis and comparative method using the data source from the short story of “Jaring-Jaring Merah” by Helvy Tiana Rosa, “Dua Tengkorak Kepala” by Motinggo Busye, and “Safrida Askariyah” by Alimuddin. As for the theory, the author uses the sociology of literature. Based on the result, the research concludes that even if the three short stories have the same theme, Aceh conflict, but all the authors have different focus of discussion. “Jaring-Jaring Merah” and “Safrida Askariyah” are focusing their story on the psychological condition of the victim that raped by the soldier. Meanwhile, “Dua Tengkorak Kepala” is focusing its story on the victim that shot by the police during Aceh. The author of the short stories, Rosa, Busye, and Alimuddin, also criticize the violence done by the Indonesian Government in combating the Free Aceh Movement and insist to follow up the problems"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Kompas, 2000
899.221 DUA
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Malya Nova Imaduddin
"Penelitian bertujuan untuk menganalisis bagaimana peran pemerintah dan mantan kombatan GAM dalam penyelesaian konflik pasca konflik Aceh. Hasil penelitian menemukan bahwa pertama, pemerintah sudah menjalankan perannya dalam menjaga perdamaian setelah pasca konflik Aceh sesuai dengan isi perjanjian dalam MoU Helsinski. Peran pemerintah dalam penyelesaian konflik dengan melakukan cara kolaborasi atau kerjasama dan kompromi terhadap pihak-pihak yang terlibat konflik. Namun demikian, masih ada beberapa program kegiatan dan bantuan dari pemerintah yang belum terealisasikan, masih ada beberapa pihak pemerintah yang mengunakan kewenangan untuk kepentingan pribadi. Kedua, mantan kombatan juga sudah menjalankan perannya dalam menjaga perdamaian setelah pasca konflik Aceh sesuai dengan isi perjanjian dalam MoU Helsinski. Namun demikian, masih ada beberapa mantan kombatan yang menunjukkan adanya rasa ketidakpuasan akan peran pemerintah dalam hal penegakan hukum hak asasi manusia, lambang dan bendera dan ketidakadilan dalam pemerataan pembangunan. Ketiga, masih terjadi konflik-konflik kecil diantara pihak pemerintah dan mantan kombatan yang disebabkan oleh konflik internal dalam demokrasi pemerintahan Aceh. Oleh karena itu, Pemerintah Aceh perlu menerjemahkan secara operasional kerangka penyelesaian konflik dalam menjaga perdamaian dengan skema yang dipahami oleh seluruh stakeholder melalui workshop dan pelatihan-pelatihan guna memudahkan sinergi dan kolaborasi pada seluruh level pemerintahan di provinsi dan kabupaten/kota.

The study aims to analyze how the role of government and GAM ex combatants in conflict resolution post conflict Aceh. The results of the study found that firstly, the government has performed its role in maintaining peace after the post Aceh conflict in accordance with the content of the agreement in the Helsinski MoU. The role of government in resolving conflicts by way of collaboration or cooperation and compromise on the parties to the conflict. However, there are still some programs of activity and assistance from the government that have not been realized, there are still some government parties that use the authority for personal interests. Secondly, ex combatants have also exercised their role in maintaining peace after the post Aceh conflict in accordance with the content of the agreement in the Helsinski MoU. Nevertheless, there are still some ex combatants demonstrating a sense of dissatisfaction with the role of the government in terms of human rights law enforcement, symbols and flags and injustices in the equitable distribution of development. Third, there are still small conflicts between the government and ex combatants caused by internal conflicts in Aceh 39 s democratic government. Therefore, the Aceh Government needs to translate operational conflict resolution framework in keeping peace with a scheme understood by all stakeholders through workshops and trainings to facilitate synergy and collaboration at all levels of government in provinces and districts.
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ulta Levenia
"ABSTRACT
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pelembagaan partai politik dalam kerangka otonomi khusus sebagai sarana resolusi konflik separatisme. Otonomi khusus merupakan pembagian kekuasaan yang diserahkan oleh pemerintah pusat atau pemerintah negara induk kepada wilayah konflik separatisme. Dalam otonomi khusus terdapat kebijakan khusus atau hanya diperuntukkan bagi wilayah yang bersengketa. Salah satunya yaitu kebijakan partai politik lokal. Aceh dan Mindanao memiliki persamaan dan perbedaan dalam konteks konflik separatisme dan resolusi konflik. Persamaan utama yaitu terdapat kelompok pemberontak yang menginginkan kemerdekaan di kedua wilayah, perbedaan utama yaitu resolusi konflik yang gagal di Mindanao sedangkan berhasil di Aceh dengan indikator berhentinya konflik separatisme. Argumen utama penulis dalam penelitian ini adalah partai politik lokal sebagai sarana resolusi konflik yang menjadi faktor berakhirnya konflik separatisme di Aceh antara GAM dan GoI namun tidak berhenti di Mindanao antara MNLF/MILF dan GRP. Kegagalan di Mindanao ini berdasarkan indikator masih berlanjutnya konflik setelah perjanjian perdamaian Tripoli pada tahun 1976 antara MNLF dan GRP. Berlanjutnya konflik tersebut menyebabkan munculnya kelompok pemberontak lain seperti MILF, BIFF, dan Abu Sayyaf Group. Permasalahan ini kemudian membawa penulis kepada argumen kedua yaitu dengan terdapat sentralisasi kelompok pemberontak, maka memudahkan proses perdamaian konflik separatisme. Selanjutnya penulis juga menemukan bahwa konflik separatisme tidak mencapai resolusi, jika kesepakatan otonomi khusus tidak mengatur partai politik lokal, karena kekuasaan yang diserahkan terpusat pada pemimpin kelompok pemberontak. Penulis melakukan analisis menggunakan teori yang dikembangkan oleh De Zeeuw (2009), yang menjelaskan empat aktor atau lembaga yang berperan dalam pelembagaan partai politik lokal, yaitu; aktor internasional, kelompok separatis atau pemberontak elit politik dan elit domestik. Penelitian ini bersifat kualitatif eksplanatif dengan komparasi menggunakan metode process tracing untuk membangun kesimpulan penelitian.

ABSTRACT
This study aims to analyze the impact of institutionalizing political parties within the framework of special autonomy as a medium of conflict separatism resolution. Special autonomy is the division of power that is surrendered by the central government or the parent state government to the territory of separatist conflict. In special autonomy there is a special policy or policy that only intended for the disputing region. One of them is the policy of local political parties. Aceh and Mindanao have similarities and differences in the context of separatist conflict and conflict resolution. The main equation is that there are rebel groups fighting for independence in the two regions, the main difference is the resolution conflict in Mindanao unsuccessful while succeed in Aceh with the cessation of the separatist conflict indicator. The main argument in this study is, local political parties as a medium of conflict resolution is a factor in the successful on ended the separatist conflict in Aceh between GAM and GoI but does not cease the conflict in Mindanao between MNLF / MILF and GRP. This failure in Mindanao is based on the indicator that the conflict continues after the Tripoli peace agreement in 1976 between MNLF and GRP. The continuation of the conflict led to the emergence of other rebel groups such as the MILF, BIFF, and the Abu Sayyaf Group. This problem then brings the writer to the second argument, namely by centralizing the rebel group, thus ease the peace process of separatist conflict. Furthermore, the authors also found that separatist conflicts did not reach a resolution, if the special autonomy agreement did not regulate local political parties, because the power handed over was centered on the leaders of the rebel group. The author conducts an analysis using a theory developed by De Zeeuw (2009), which describes four actors or institutions that play a role in institutionalizing local political parties, namely; international actors, separatist groups or rebels of political elites and domestic elites. This research is qualitative explanatory by comparison using process tracing method to construct research conclusions."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sucia Ramadhani
"Kerusakan hutan menjadi salah satu masalah lingkungan yang mengancam kehidupan manusia. Ancaman kerusakan hutan membuat resah berbagai kalangan, termasuk pengarang yang mengungkapkan keresahannya melalui karya sastra yaitu, cerpen. Cerpen yang digunakan dalam penelitian ini adalah empat cerpen bertema kerusakan hutan: cerpen Ongkak karya Fakhrunnas M.A. Jabbar, Harimau Belang karya Guntur Alam, Tebas Tebang karya Syukri Datasan Al-Pauhi, dan Kering rdquo; karya Wa Ode Wulan Ratna. Kerusakan hutan disebabkan kebutuhan manusia yang semakin meningkat yang tidak diiringi dengan pemenuhan kapasitas sumber daya alam di dalam hutan. Permasalahan lingkungan yang akan dibahas dalam keempat cerpen adalah respons pengarang terhadap kondisi lingkungan di sekitarnya. Respons manusia dan hutan dalam keempat cerpen ini meliputi konsep liar rimba, kelas sosial, dan konsekuensi tindakan manusia terhadap kerusakan hutan. Ketiga poin tersebut dianalisis menggunakan pendekatan ekokritik yang menggambarkan hubungan antarmanusia dan lingkungannya.

Forest destruction becomes one of the environmental problems that threaten human life. Threats forest destruction create anxiety among various circles, including authors who are expressing their uneasiness through literary works like short stories. The short story used in this research is four short stories with the theme of forest destruction short story Ongkak by Fakhrunnas M.A. Jabbar, Harimau Belang by Guntur Alam, ldquo Tebas Tebang rdquo by Syukri Datasan Al Pauhi, and Kering rdquo by Wa Ode Wulan Ratna. Forest destruction occurs due to an increasing human need that is not accompanied by the fulfillment of natural resource capacity from within the forest. This environmental issue is discussed in the four short stories as the authors response to the surrounding environmental conditions. The human and forest responses in these four stories include the wild concept of the jungle, the social class, and the consequences of human actions against forest destruction. These three points are analyzed using an ecocritical approach that describes the relationship between humans and their environment.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akhiruddin Mahjuddin
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pertumbuhan dan perkembangan perekonomian dan tingkat kesejahteraan rakyat Propinsi Aceh pada periode sebelum konflik(1980-1989), masa konflik (1990-2005) dan pasca perjanjian Helshinky (2006-2011).
Metodologi penelitian ini pada dasarnya merupakan studi empiris. Desain penelitian yang dipakai adalah metodologi deskriptif kualitatif.Selain itu juga dilakukan analisis kuantitatif atau analisis ekonometrika. Data sekunder terutama bersumber terutama dari BPS, Pemda Aceh, World Bank dan sumber lain yang valid. Terdapat dua model yang diestimasi yaitu:
Model 1: LYRNM = α0 + α1 Linves + α2 LAK + α3 LAPBDR + α4 Konflik
Model 2: LYRMIGAS = α0 + α1 Linves + α2 LAK + α3 LAPBDR + α4 Konflik.
Hasil penelitian menunjukkan Konflik berpengaruh negatif secara keseluruhan tehadap kinerja ekonomi. Konflik juga telah memperburuk tingkatkesejahteraan rakyat dimana kemiskinan, pendidikan dan kesehatan selama periode konflik terutamadi wilayah konflik juga terus memburuk. Selama periode pengamatan, PDRB tidak termasuk Migas lebih stabil dibandingkan dengan PDRB Migas, ini memberi harapan untuk memperbaiki Aceh dengan tidak mengandalkan sektor Migas.
Dengan menggunakan metode ekonometrik dapat disimpulkan bahwa pengaruh pertumbuhan investasi, pertumbuhan angkatan kerja dan pertumbuhan APBD rill terhadap pertumbuhan PDRB tidak termasuk Migas sangatlah kecil.
Hasil estimasi dengan menggunakan variabel terikat PDRB Migas ternyata hasilnya sangat tidak baik, hal ini menunjukkan bahwa perkembangan PDRB Migas sulit dikontrol atau dikelolah oleh pemerintah. Ini tidak lepas dari peranan sektor Migas dan begitu fluktuatifnya bisnis Migas di pasar internasional. Hasil analisis data berdasarkan kabupaten/kota menunjukkan antara lain bahwa daerah penghasil sumberdaya alam khususnya Migas merupakan daerah yang mengalami konflik berat, ketimpangan struktur produksi ditunjukkan ketergantungan yang besar terhadap Migas.
Saran kebijakan pemerintah Aceh harus segera dan terus menerus melakukan lagkah-langkah pemulihan perekonomian dan kesejahteraan rakyat Aceh, tidak cukup hanya berhenti pada perjanjian Helshinki tapi perlu perbaikanperbaikan internal khususnya pada Pemerintahan Aceh meliputi: penentuan prioritas utama pembangunan yang berkaitan langsung dengan upaya pemerintah dalam memperbaiki kinerja perekonomian serta kesejahteraan rakyat Aceh.

This research aims to analyze the growth and development of the economy and the welfare of the people of Aceh Province in the period before the conflict (1980-1989), the conflict (1990-2005) and post-agreement Helshinky ( 2006-2011).
The methodology of this study is basically an empirical study. Research design used in the conduct of research is a qualitative descriptive methodology. In addition, quantitative analysis or econometric analysis. Secondary data is mainly sourced mainly from the BPS, the Aceh government, World Bank and other valid resources.There are two models are estimated as follows:
Model 1: LYRNM = α0 + α1 Linves + α2 LAK + α3 LAPBDR + α4 Konflik
Model 2: LYRMIGAS = α0 + α1 Linves + α2 LAK + α3 LAPBDR + α4 Konflik.
The results showed an overall negative impact Conflict against economic performance. The conflict has also exacerbated the level of prosperity in which poverty, education and health over a period of conflict especially in conflict area also continued to deteriorate. During the observation period, GDP excluding oil and gas were more stable than oil and gas GDP, this gives hope to improve Aceh's oil and gas by not relying to oil and gas.
By using econometric methods can be concluded that the effect of investment growth, labor force growth and growing budget rill on the growth of GDP excluding oil and gas is very small. Estimation results using the dependent variable was the result of Oil and Gas GDP is not very good, this suggests that the development of oil and gas GDP is difficult to control or managed by the government. It can not be separated from the role of oil and gas sector and so fluctuated oil and gas business in international markets.
The results of data analysis by district / city showed inter alia that the area of natural resources, especially oil and gas producer is an area that experienced heavy conflict, discrepancy production structure shown a great dependence on oil and gas.
Aceh government's policy advice should be immediately and continuously perform recovery steps of the economy and welfare of the people of Aceh, not enough to stop the Helshinky agreement but necessary internal improvements, especially in Aceh Government include: determination of development priorities that are directly related to government efforts improve economic performance and welfare of the Acehnese.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2012
T31788
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rizanna Rosemary
"Studi mengenai reduksi ketidakpastian dengan subjek pasangan warga Aceh dan non-Aceh ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang mencoba menganalisa bagaimana suatu interaksi awal terjadi dalam konteks komunikasi antarpribadi. Sampel penelitian ini terdiri atas tujuh (7) pasang informan yang berada dan menetap di Jakarta, yang terbagi atas tiga (3) pasangan sahabat, dua (2) pasangan kekasih dan dua (2) pasangan suami-isteri yang masing-masing berlatar belakang kultur Aceh dan non-Aceh (Betawi, Sunda dan Jawa). Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan (observasi) serta wawancara mendalam (depth interview) terhadap masing-masing informan dengan tempat dan waktu lokasi wawancara yang berbeda-beda.
Melalui Teori Reduksi Ketidakpastian dari Charles R. Berger, telihat bahwa, interaksi awal yang terjadi antar individu yang berbeda latarbelakang kultural berlangsung tanpa adanya rintangan yang berarti bahkan secara mulus meningkat kepada hubungan yang lebih akrab, baik itu dalam bentuk hubungan suami-isteri, kekasih maupun hubungan persahabatan. Rintangan akan muncul, manakala individu yang bersangkutan berhadapan dengan kelompok yang diwarnai dengan berbagai stereotip sosial oleh kelompok yang satu terhadap yang lain secara timbal balik. Dalam kasus penelitian ini, penolakan secara kultural dialami oleh warga Aceh dari pihak lain, dan bukan oleh pasangannya.
Motivasi dan tujuan untuk mencari pekerjaan yang lebih layak serta pengalaman dan perasaan yang sama sebagai 'pendatang' di Ibukota Jakarta, menjadikan masing-masing pasangan informan yang berbeda latar belakang kultur dengan tingkat pendidikan dan status sosial-ekonomi yang relatif sama, mampu beradaptasi secara cepat dengan kultur yang berbeda. Sehingga hubungan mereka yang pada saat interaksi awal sama sekali belum saling mengenal, dapat berlanjut menjadi hubungan yang lebih akrab. Dengan kata lain telah tercipta ekskalasi hubungan yang relatif lebih tinggi (dekat / intim). Hal ini sesuai dengan Teori Reduksi Ketidakpastian yang telah mengalami perluasan atau revisi, yaitu dimana teori ini tidak hanya mencakup hubungan pada interaksi awal saja, namun juga hubungan pada tingkat yang lebih lanjut (Berger, 1975; Berger & Bradac, 1982; Gudykunst, Yang & Nishida, 1985, Parks & Adelman, 1983).
Berbagai strategi dilakukan oleh masing-masing individu dalam rangka mencari informasi mengenai pasangannya, seperti strategi pasif, aktif dan interaktif. Strategi interaktif dengan teknik self disclosure (pengungkapan diri) lebih banyak diterapkan dalam pencarian informasi mengenai pasangannya, dibandingkan dengan strategi aktif dengan melibatkan pihak ketiga. Strategi aktif ternyata tidak digunakan, mengingat masing-masing pihak lebih memprioritaskan faktor 'kepercayaan' terhadap pasangannya masing-masing dibanding 'kepercayaan' terhadap pihak ketiga sebagai sumber informasi.
Terkait dengan kondisi konflik di Aceh terutama semenjak diberlakukannya Darurat Militer di Aceh Juni 2003 lalu, ternyata sama sekali tidak mempengaruhi hubungan yang telah terjalin antara masing-masing pasangan selama ini. Toleransi dan kepercayaan yang besar terhadap pasangannya, menjadi alasan utama untuk menghindari 'isu politik' dalam komunikasi antarpribadi mereka."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13837
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
S5869
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>